“Ada apa? Mengapa kau kemari?” teriak Sunny, dia memegang erat batang kelapa sebab Sunny hampir terjatuh. Tangisan Rury merusak perhatiannya pada kelapa-kelapa itu. “Dan—mengapa kau menangis?”
“Mama tidak sadar, Kak. Aku—aku menemukannya tergeletak di lantai. Aku sudah membangunkannya tapi dia tidak mendengar suaraku. Mama—” Rury tidak sanggup melanjutkan kata-katanya lagi. Dia takut membuat Sunny panik dan berakhir jatuh. Sunny sadar dia harus segera turun dari atas sana, menenangkan tangisan Rury dan mendekapnya. Sementara hatinya porak-poranda, dia gelisah bercampur cemas dengan kondisi ibunya. Dalam kekhawatiran itu, Sunny turun tergesa-gesa bahkan dia tidak sadar telapak tangannya sudah lecet oleh gesekan kasar dari batang pohon kelapa. Dan ketika Sunny mendapatkan langkah terakhirnya, dia berujar kepada pemilik kelapa, “paman, aku harus segera pulang. Besok saja kerjaan hari ini.” “Tapi—” pria tua belum selesai berbicara, namun Sunny sudah berlari bersama Rury. Sunny tahu, dia tidak boleh terlambat. Dia terus berlari walau napasnya sudah hampir habis. Dia tidak peduli jika tubuhnya sangat lelah. Pikirannya terus membayangkan hal buruk yang mungkin terjadinya pada ibunya, namun berulang kali dia membuang pemikiran seperti itu dari benaknya. Pada akhirnya, mereka tiba di rumah. Namun, pemandangan yang terlihat tidak seperti yang Rury katakan. Dia mendapati bibi Joyce duduk di sebelah ibunya sembari memegang sebuah suntik. “Rury, ada apa ini?” Sunny bertanya tanpa menoleh, pandangannya terkunci pada wajah bibi Joyce. “Kau bilang ibu tidak sadar, tapi mengapa bibi Joyce ada di sini? Ibu juga terlihat baik-baik saja. Mengapa kau berbohong?” Rury tidak mampu mengeluarkan satu kata pun dari mulutnya. Dia hanya menangis yang lebih terdengar seperti penyesalan dan rasa bersalah. “Oh, jangan marahi bocah itu. Aku yang menyuruhnya untuk berbohong. Semua ini hanya untuk membuatmu datang ke sini. Bagaimana? Menyenangkan bukan dipermainkan oleh kekhawatiran?” bibi Joyce terkekeh. Sunny menatap bibi Joyce dengan geram. Dia kesal melihat tindakan bibi Joyce yang berlebihan. “Apa mau bibi sebenarnya? Bukankah sudah kukatakan jangan pernah mengusik kami? Menjauhlah dari ibuku.” Sunny bergegas mendekati ibunya dan berusaha menarik tubuh ibunya dari sisi bibi Joyce. “Mama baik-baik saja, kan?” Jane mengangguk lemah. “Maaf membuatmu khawatir— mama tidak berdaya dengan perbuatan bibi Joyce. Mama sudah berusaha mencegah Rury, tapi—” Bibi Joyce segera menaruh mata jarum di kulit leher Jane dan itu membuat lidahnya kelu. “Bergerak lagi, maka ibumu hanya tinggal nama,” ancam bibi Joyce. “Ini adalah obat henti jantung. Jika kusuntikkan pada kakak iparku yang malang ini, menurutmu akankah dia tetap hidup?” Bibi Joyce terkekeh dengan senyum jahatnya. “Beraninya kau.” Sunny sudah kehilangan rasa hormatnya pada bibi Joyce. “Astaga, kasar sekali. Kau harus bersikap hormat pada bibimu ini, Sunny. Aku hanya ingin kau menikah dengan Marco. Kau tahu, si brengsek itu tidak akan pernah berhenti menerorku sampai aku memberinya uang.” “Itu urusan bibi. Bibi bisa memberinya Anne.” “Aku sudah menjual semua asetku termasuk tanah peninggalan ayahmu. Ah, rasanya semua uang itu tidak cukup untuk melunasi hutang. Aku tidak berniat memberikan putri kesayanganku, karena Marco seorang bajingan.” “Bajingan? Lantas, aku bukan keponakan bibi? Sampai-sampai bibi tidak merasa bersalah dan kasihan untuk menyerahkan aku pada lelaki macam itu. Bibi sangat picik dan kejam sekali.” Bibi Joyce terdiam sejenak. Dia tahu bahwa tindakannya sudah melebihi batas, akan tetapi itu tidak masalah baginya. Bibi Joyce menempatkan uang dalam urutan tertinggi dibanding dengan garis hubungan darah. Terlebih dia sudah jatuh tempo. Bibi Joyce harus segera membayar uang yang banyak kepada Marco atau dia akan mendapatkan tubuhnya berada dalam peti mati. Marco benar-benar menakutkan bagi bibi Joyce. “Ya, kau benar. Aku sudah lama kehilangan empati sejak semua harta itu merasuki pikiranku. Pokoknya, kau harus menuruti kemauan bibi, sayang. Tidak ada negoisasi lagi.” Bibi Joyce menusukkan ujung jarum sedalam satu cm di kulit leher Jane, namun dia belum menyuntikkan cairan di dalamnya. “Ucapkan selamat tinggal pada ibumu.” “Kumohon jangan lakukan itu. Biarkan ibuku hidup,” ujar Sunny, dia memeluk Jane dengan erat. “Apapun yang bibi mau akan kulakukan. Tapi tolong jangan sakiti ibuku.” Sunny hampir saja kehilangan kendali atas air matanya. Dia menahan diri untuk tidak menangis. Dia berusaha menunjukkan pada ibu dan adiknya bahwa dia bukan pribadi yang lemah. Sunny perlu menunjukkan sisinya yang tegar pada Bibi Joyce agar bibi Joyce tidak bisa sembarang melukai mereka dikemudian hari.Jane menyela dengan tangisan, “tidak. Kau tidak boleh melakukan itu, Sunny. Mama tidak apa-apa, jangan pedulikan mama. Pikirkan saja dirimu. Kau tidak boleh.”Sunny menggeleng, “aku hanya ingin Mama dan Rury tetap di sisiku. Kalian berdua satu-satunya tujuan hidupku. Jika mama tiada, aku akan mengutuki diriku seumur hidup. Kumohon, jangan khawatirkan aku, Ma.”Rury mendadak berlari dan mendekap bibi Joyce dan berujar, “bibi biarkan mama hidup. Jangan sakiti mama. Aku janji akan menuruti semua keinginan bibi.”Tetapi bibi Joyce masih tidak tersentuh dengan tangisan Rury. “Astaga! Drama keluarga yang menyebalkan,” ucap bibi Joyce sembari mendorong Rury menjauh darinya.Bibi Joyce menarik kembali suntik itu dari leher Jane dan menyimpannya ke dalam tas jinjing semerah darah. Kemudian dia melemparkan senyum seringai puas atas keberhasilannya dalam mengancam Sunny.“Kau sudah berjanji. Jadi tidak boleh melanggar. Berkemaslah, kau ikut denganku ke kota sore ini.” Bibi Joyce berdiri dan berjalan mendekati jendela sambil mengibaskan tangan ke wajah. “Di sini panas sekali, bahkan penyejuk ruangan pun kalian tidak punya. Untuk itulah kau perlu menuruti bibimu, Sunny. Tersenyumlah! Kau akan menikah dengan orang kaya.”Ekspresi wajah Sunny mendadak suram. Dia tidak mengira bahwa bibi Joyce akan membawanya secepat ini. Tidak boleh. Sunny tidak bisa meninggalkan ibu dan Rury sendirian. Rury hanya laki-laki remaja yang sedang puber, pencarian jati diri dan sedikit pembangkang. Bagaimana mungkin Rury bisa menjaga ibunya? Sedangkan Jane, dia lemah dan sakit-sakitan. Siapa yang akan merawat mereka berdua?Sunny melepaskan pelukannya dari Jane. Dia mendekati bibi Joyce dan berkata, “bisakah aku pergi lusa saja? Mama kurang sehat, dan Rury harus sekolah. Aku harus membereskan banyak hal dan—”“Aku akan merawat mereka. Tenang saja, jangan dipikirkan. Anne pulang dari luar negeri tiga hari lagi. Jadi, dia akan membantu sedikit di sini,” tukas bibi Joyce datar.Perkataan bibi Joyce sangat meragukan. Dia tidak sebaik ucapannya dan itu mengganggu pikiran Sunny.Bibi Joyce tidak mungkin berbohong. Tidak, dia licik. Dia pasti berpura-pura. Sunny berusaha membuang pikiran aneh itu dari kepalanya.Sunny masih berat hati, dia melirik ibunya dengan cemas. “Tapi—”“Oh, ayolah, pembicaraan selesai. Ingat, kau sudah berjanji Sunny. Aku yang pegang kendali,” tukas bibi Joyce.Sunny menyesal telah membuat janji gila tak masuk akal seperti itu pada bibi Joyce. Bila pada akhirnya itu akan memisahkan dia dengan orang terkasihnya. Namun, Sunny juga cukup sadar bahwa perjanjian itu menyelamatkan nyawa ibunya. Sunny tidak bisa berbuat apa pun selain menurut. Dia mengemasi beberapa lembar pakaian terbaik yang dia punya, menyiapkan obat herbal untuk ibunya minum nanti, dan membuat daftar pekerjaan untuk Rury. Sunny menaruh harapan pada adiknya itu, kendati sunny sedikit ragu, namun dia yakin Rury dapat dipercaya. “Mama jangan menangis lagi,” ujar Sunny. “Aku baik-baik saja. Doakan saja aku selalu sehat di sana. Aku akan mengirimi surat pada mama nanti jika aku sudah sampai dan—aku menyayangi kalian berdua.” Sunny mendekap Jane sangat erat seolah itu akan menjadi pertemuan terakhir mereka. Sunny melirik Rury dan berkata, “Kakak percayakan semua padamu. Jagalah mama kita. Jangan menangis, kau pria tangguh.” Rury mengangguk patuh. “Aku akan menjaga mama. Aku aka
“Ma-mati?” Sunny akhirnya berbicara setelah susah payah mendapatkan suaranya yang hampir tenggelam oleh kengerian. Marco hanya memberikan senyum simpul, sekejap berubah menjadi senyum manis nan mengerikan. “Benar— mati! Maka mintalah wanita ini untuk melunasinya segera,” sahut Marco.Sunny menoleh bibi Joyce dan memberikan sorot kecewa. “Teganya bibi ... ”Lagi-lagi Bibi Joyce hanya memberikan alasan yang menyakitkan. “Aku tidak punya pilihan. Sudah terjadi dan tidak perlu menyesal.” Bibi Joyce segera meninggalkan ruangan itu setelah mendapat izin dari Marco. Kali ini dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Bodoh sekali dia jika harus mengkhawatirkan Sunny. Itu sudah menjadi rencananya, bibi Joyce memang sengaja menjebak Sunny dan dia punya kesempatan untuk kabur selagi Marco mempercayainya.Marco bodoh, gumam bibi Joyce.Sunny berusaha membuat tubuhnya tetap tenang, walau sebenarnya dia cemas dengan ancaman Marco. Bulu-bulu di tubuhnya merinding ketika dia membayangkan dirinya b
Ryuse menoleh dengan sorot keterkejutan. Dia tidak menduga Sunny akan meminta hal rumit seperti ini.Sunny berlari menghampiri Ryuse dan dia berujar, “tolong aku, tuan. Aku tidak mau di sini bersamanya. Aku harus pulang ke tempat ibuku.”Ryuse menatap mata coklat Sunny lamat-lamat. Seakan mata itu memohon kepadanya, sunny tidak berbohong, dia ketakutan dan sedih.“Aku tidak bisa ... Kau milik pria itu,” Ryuse melirik Marco. “Aku tidak mencuri kepunyaan orang lain. Selesaikan saja urusanmu dengannya.”Ryuse memutar tubuhnya, berjalan kembali menuju tangga yang diikuti oleh Gordon dan Marvin. Mereka sudah terlambat untuk urusan lainnya. Tidak ada waktu untuk memikirkan yang bukan urusannya.“Dasar gadis gila. Kembali ke sini kau. Tidak akan kulepaskan. Don! Bawa dia kemari!” pekik Marco.“Aku mungkin akan dibunuhnya. Kumohon ... ibuku membutuhkan aku.” Sekali lagi Sunny memohon. Kali ini dia bertaruh pada keberuntungan. Sunny hampir menangis. Mati-matian dia menahan air mata dan suaran
Bibi Joyce mati! Bibi Joyce mati! Kata-kata itu bergaung dalam benak Sunny. Selanjutnya mungkin dirinya akan menyusul bibi Joyce. Bibi Joyce terlentang di lantai, tidak ada luka yang berarti, hanya ada bekas jerat di leher bibi Joyce. Rambut ikal gonjesnya terlihat berantakan, bibir membaranya tidak lagi semerah yang Sunny ingat, dan sarung tangan renda hitam sudah terkoyak, seakan itu menunjukkan perlawanan bibi Joyce dari maut. Sunny masih ingat rambut kebanggaan bibinya itu masih tersisir rapi ketika meninggalkan rumah Marco. Sekarang yang kembali hanyalah tubuh dingin dan kaku. Sunny tersungkur. Dia meratapi kematian bibinya. Dia telah berusaha sangat keras untuk tidak menyalahkan perlakuan bibi Joyce selama ini padanya, tapi situasi yang dia hadapi kini jauh lebih serius dan membuatnya marah. Dia marah karena bibi Joyce menjebaknya dan meninggalkannya. Dia juga marah karena kematiannya ini membuat dirinya berada dalam situasi sulit. Dia marah karena Marco mengambil salah
“Kakak Ryu, mengapa kau termenung?” Marvin menepuk pundak Ryuse yang tengah menatap hampa pemandangan di luar jendela. Ryuse mendesah dalam diam panjang. Dia melirik Marvin yang menatapnya dengan ekspresi penasaran. Ryuse memutar langkah, dia kembali ke meja kerjanya. Kaki terangkat ke atas meja, kepala bersandar pasrah pada bahu kursi, dan dia memejamkan mata sejenak. “Tidak ada.” Hanya itu yang keluar dari mulut Ryuse. Datar dan tanpa ekspresi. “Sungguh? Tapi kau terlihat berbeda belakangan ini. Tsssk ... apa ada yang mengganjal di hatimu?” Mata Marvin membulat besar ketika dia membayangkan penyebab kegelisahan Ryuse karena wanita. “Apa kau menyukai seseorang? Oh, ayolah kau bisa bertukar pikiran denganku. Aku cukup berpengalaman.” Marvin memainkan mata menggoda Ryuse. “Pergilah! Mulutmu berisik sekali.” “Sikapmu semakin mencurigakan. Baiklah jika kak Ryu tidak mau berbagi, maka aku akan mencari tahu sendiri,” ujar Marvin sembari terkekeh. Dia berjalan ke pintu dengan lagak k
“Tuan-tuan, silakan duduk dengan tenang dan bersabar. Kalian bisa memiliki gadis ini asal kesepakatan harga kita cocok. Lihatlah, betapa wajah ini begitu lugu.” Marco menyentuh wajah Sunny. “Dan—dia masih polos, sangat polos seperti kertas yang belum dicoret.”Ryuse merasakan tekanan darah di dalam tubuhnya meningkat drastis. Dia sangat marah kepada Marco, marah pada situasi Sunny yang menyedihkan, dan dia marah karena tidak bisa melakukan apapun pada gadis itu. Ryuse sadar, Sunny bukan urusannya dan juga bukan tanggung jawabnya. Namun, sesuatu yang disebut empati masih ada dalam hatinya. Dia memang tidak lebih baik, tapi soal nurani—Ryuse lebih baik dibandingkan Marco.Marco kembali berujar, “bayangkan saja dia tidur di samping kalian, menatap matanya yang indah, senyumnya yang menawan dan dia sedikit galak. Oh, betapa itu kombinasi yang menggiurkan.”Ryuse tidak tahan lagi. Kali ini saja dia akan membiarkan dirinya ikut campur, melanggar aturan yang dibuat, dan menerima konsekuensi
“Aku tak akan peduli soal ketakutanmu atau pun keberanianmu padanya,” Sunny berusaha meyakinkan Marco bahwa dirinya tidak tertekan oleh ancaman apapun. “Aku hanya peduli dengan bagaimana kau jatuh.”“Kau ... ”Marco hampir memukul wajah Sunny, namun Ryuse cekatan menangkap tangan Marco dan menghempaskannya.“Pria sejati tidak memukul wanita,” Ryuse berkata dengan nada tenang nan menghanyutkan, lalu menyembunyikan Sunny ke balik punggungnya.“Sial! Kau selalu ikut campur,” Marco mengeluh, lalu melangkah mendekati salah satu pengawal dan meninju perutnya keras. “Kalian tidak berguna!”Marco menjadi frustrasi. Dia tidak bisa melakukan apapun, melawan atau bahkan menyerang balik Ryuse. Dia menyadari kemampuan bertarung Ryuse bukan tandingannya. Bahkan dia menyesal telah memiliki banyak pengawal, namun tidak seorang pun yang sebanding dengan Ryuse. Marco berteriak, kesal bercampur marah yang berujung mengacak-acak rambutnya dengan kasar.“Kau menyebalkan ...” Marco menunjuk Ryuse sembari t
Ryuse mendekati Sunny dan berjongkok di depannya. “Kau tidak tahu jalan pulang, bukan?” Sunny menatap mata Ryuse yang tengah melihat wajahnya. Tatapan Ryuse terasa menenangkan dan itu membuat Sunny mendadak merona. Sunny berusaha menyembunyikan kegembiraannya karena kehadiran Ryuse, namun itu mustahil. Sebab Ryuse berhasil memergokinya. Alih-alih bertanya lebih jauh, Ryuse melepaskan jasnya dan menutupi pundak terbuka Sunny. “Bajumu terlalu terbuka.” “Tapi ... kau lebih terbuka,” Sunny merona lagi saat melihat tubuh Ryuse yang tidak memakai apa pun di badannya, yang tersisa hanya celana burgundinya. “Sebaiknya kau saja yang pakai ini.” Ryuse berdiri dan mengulurkan tangan pada Sunny. “Aku sudah terbiasa seperti ini.” Sunny menerima uluran Ryuse. Dia meletakkan tangannya di dalam genggaman pria itu. Sekali lagi jantungnya bergulung oleh debaran yang aneh. Sampai-sampai dia khawatir Ryuse akan mendengar suara dadanya yang berdentam-dentam. Ryuse berusaha keras untuk mengabaikan S
Sunny menatap Ryuse dengan mata terbelalak ketika tangan lelaki itu mendekapnya erat. Raut wajah Sunny menggambarkan kebingungan dan ketidakpercayaan. Detak jantungnya berdegup kencang dan Sunny bersumpah bahwa napasnya seolah berhenti—memikirkan apakah yang terjadi benar-benar nyata. “Ryu, apa yang kau lakukan?” Sunny berusaha menyusun kata-kata, namun suaranya terdengar seperti bisikan lembut. “Tetaplah seperti ini sebentar,” sahut Ryuse berbisik. Tangan Ryuse mengusap lembut punggung Sunny. Ryuse tidak tahu mengapa dia harus melakukan hal konyol dan tidak tahu malu seperti ini. Tindakannya yang tiba-tiba ini bukan menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Perbuatan romansa dan hubungan intim antara lelaki dan wanita, Ryuse tidak peduli dengan semua itu sebelumnya. Namun kehadiran Sunny merubah segalanya. Ryuse pun tidak menyadari perasaan itu. Dia hanya tahu itu adalah perasaan empatinya terhadap kisah Sunny. “Jangan salah paham,” imbuh Ryuse. “Aku melakukan ini sebagai ucapan perp
“Namun, itu hanyalah sebuah benda,” ujar Ryuse. “Aku masih bisa membelinya. Melihatmu yang bertanggung jawab, aku akan membiarkanmu.” “Maafkan aku, Paman. Aku tidak akan mengulanginya lagi.” Ryuse memijat keningnya dan mendengus. “Jangan panggil aku paman. Aku tidak setua itu. Panggil saja aku sesukamu asal jangan sebutan yang tua.” Rury mengangguk dan tersenyum ceria. “Baik, Kakak keren.” “Kakak keren?” Ryuse menaikkan satu alis. “Tentu saja. Aku melihatmu bertarung waktu itu dan itu sangat keren,” ungkap Rury gembira. Ryuse tersenyum tipis dan menimpali dengan wajah tenang, “Itu tidak buruk. Aku suka.” Sementara Marvin tersenyum puas melihat sikap Ryuse terhadap Rury. Dia menang taruhan. Makan malam sepuasnya di Cozy resto akan menjadi hal yang paling menyenangkan untuk Marvin. Setidaknya dia terbebas dari makan roti lapis setiap harinya. Pekerjaannya yang sering menghabiskan waktu di malam hari, membuat Marvin sering mengabaikan makan malam. “Hei, aku menang. Jangan lupakan
Ketika Rury pertama kali memasuki rumah mewah milik Ryuse, matanya terbuka lebar. Dia terdiam sejenak di pintu masuk, menelan ludah dengan pemandangan yang begitu mewah di hadapannya. Langit-langit tinggi, lukisan-lukisan mahal, perabotan klasik, dan hiasan-hiasan yang tersebar di seluruh ruangan. Rury bisa merasakan jawaban di ujung lidahnya, bibirnya bergerak tanpa suara saat dia mencoba untuk menggambarkan betapa takjubnya dia pada kekayaan dan keindahan rumah Ryuse. "Wow, ini... ini luar biasa," gumamnya gemetar. Rumah ini jauh lebih baik dari rumah mereka, jauh lebih nyaman. Tidak ada nyamuk yang akan mengganggu tidur mereka, atau angin laut yang merebak masuk melalui lubang dari jendela mereka. Tatapan Rury berkeliling dengan takjub, membenamkan diri dalam keelokan dan berharap dalam hatinya bahwa dia ingin mempunyai rumah sebesar ini. Itu adalah Rury di hari pertama. Namun yang terjadi sekarang di hadapannya bukanlah hal baik. Setelah tiga hari terlewati dengan bersenang-b
Ryuse terkekeh dan memberikan tatapan pengertian. “Sansan, setiap hal yang kuberikan padamu adalah tulus. Kau jangan berpikir yang aneh-aneh,” ujar Ryuse dengan santai tanpa menyadari bahwa Sunny mungkin saja menyukainya. Sunny bergumam dalam hati saat menatap Ryuse, “Aku hanya takut berharap terlalu banyak dan aku takut melakukan kesalahan dalam membaca perasaan ini.” Dalam momen itu, dokter tiba-tiba datang dan membuat Sunny melompat dari kasur dengan tergesa-gesa. Dokter tersebut, dengan sorot penuh perhatian menilik wadah infus yang hampir habis dan berbicara dengan senyum lebar. “Selamat pagi, pak Ryuse. Bagaimana perasaanmu hari ini?” “Halo dokter. Rasanya lebih baik dari kemarin.” Dokter melakukan beberapa pemeriksaan dan melihat catatan medis, kemudian dia mengangguk puas. “Hasil pemeriksaan menunjukkan peningkatan yang baik. Saya pikir anda sudah cukup pulih untuk pulang ke rumah. Tapi tetaplah menjaga kesehatan dan lakukan kontrol rutin di rum
Sunny merasa malu dengan kecerobohannya sendiri yang dengan tidak sengaja mengungkapkan bahwa dia menyukai seseorang. Matanya yang bercahaya dan senyumnya yang manis kini terasa begitu berat, dihiasi oleh rasa gugup dan keraguan. Dia berlari ke kamar mandi, berdiri lama menatap wajahnya di depan cermin. Tangan Sunny menyentuh pipinya yang telah memerah, seketika dia menjadi malu dan Sunny membasuh wajahnya untuk menghilangkan rona itu dari wajahnya. Ryuse merasakan ada sesuatu tidak biasa yang terjadi pada Sunny dan pertanyaan-pertanyaan pun mulai mendominasi pikirannya. “Mengapa dia terlihat begitu tergesa? Apa aku salah bicara?” pikirnya sambil mencoba mencari jawaban. Hatinya berdebar, tak bisa menolak rasa ingin tahu yang muncul begitu saja. Tanpa dia sadari, Ryuse pun mulai penasaran dengan pria yang dikagumi oleh Sunny. Pikirannya mencoba membayangkan siapa sosok pria yang dapat membuat Sunny begitu terpana dan membuatnya ingin tahu lebih banyak tentang siapa pria itu, apa y
Luigi Kasto, seorang pimpinan dari Red Dragon, sebuah organisasi kriminal yang menyelundupkan senjata dan mengoperasikan rumah perjudian. Dia lelaki yang paling ditakuti di seluruh Rosentown. Tindakannya selalu lebih sulit dipahami, liar, dan keji. Tak seorang pun berani menentangnya. Namun, pria yang di hadapannya itu tidak pernah menunjukkan rasa takut padanya. Pria yang dulu pernah dia 'pelihara' dan dia besarkan untuk menjadi sama dengannya. Ya, pria itu selalu membangkang terhadap perkataan Luigi. Satu-satunya orang yang berani melawan Luigi, Ryuse Adam. Ryuse bukan tidak ingin membalas kebaikan Luigi terhadapnya, apa pun akan dia lakukan—tapi tidak untuk Camila. Hanya Camila. Ryuse tidak pernah memiliki perasaan romantis terhadap Camila. Dia selalu memandang Camila seperti saudara perempuan. Ryuse pernah mencoba memaksa dirinya untuk mencintai Camila, namun dia tidak berhasil melakukan itu. Demi membalas jasa Luigi, Ryuse berkali-kali mencoba membuat dirinya jatuh cinta pa
Ryuse menatap Sunny dengan senyum simpul. Tatapannya begitu dalam, seolah dia baru menyadari betapa gadis yang di hadapannya itu terlihat begitu cantik. Tudingan Sunny barusan membuat Ryuse merasa terhibur untuk terus menggodanya. Dia ingin melihat lagi wajah kesal Sunny, suaranya yang memberengut, dan tatapan tajam Sunny padanya. Lantas Ryuse menyahut dengan satu kata yang membuat Sunny bingung. “Mungkin,” sahut Ryuse, tersenyum manis. Sunny merona lagi. “Ah, aku—” Sunny menjadi gugup dengan jawaban Ryuse. Sunny merasa Ryuse sedikit berubah. Selama ini dia selalu bersikap seolah tidak menginginkan hal yang manis selain kehidupan perkelahian. 'Bagaimana ini? Mengapa aku harus gugup olehnya. Padahal jawabannya bisa mengandung makna lain,' gerutu Sunny dalam hati. Sunny kesal, sebab jawaban yang dia katakan selalu berakhir dengan godaan Ryuse. “Kau bercanda lagi. Berhentilah bermain-main denganku. Aku tidak suka,” ujar Sunny pada akhirnya dengan wajah menantang. Dia berharap it
Sunny membelalakkan matanya, tidak percaya dengan yang dia dengar barusan. “Kau bercanda dan juga sinting!” “Aku masih waras,” sambar Ryuse dengan ekspresi usil. Dia merasa terhibur dengan kegugupan yang diperlihatkan oleh Sunny dan dia ingin menggodanya lagi. Ryuse tahu bahwa dia telah mengatakan hal yang tidak masuk akal. Pikiran itu hanya terlintas sekilas di benaknya. Ketika dia melihat bibir Sunny yang merungut kesal, Ryuse penasaran dengan bagaimana rasanya jika dia mencumbu bibir tipis itu lagi. Sesungguhnya kenangan dari ciuman pertama mereka di penginapan waktu itu masih meninggalkan perasaan yang tak menentu di dalam hati Ryuse. Apakah rasanya akan sama? Apakah jantungnya akan berdebar asing lagi seperti waktu itu? Atau bahkan mungkin dia terlalu mendambakan ciuman itu sampai-sampai rasanya sangat menyiksa. 'Apa yang kulakukan?' Ryuse bergumam dalam pikirannya. “Kau mengambil kesempatan. Hah! Seharusnya aku tahu itu. Kau hanya berusaha untuk membuat
“Kau sudah bangun?” tanya Sunny dengan ekspresi bahagia. “Syukurlah, akan kupanggilkan dokter. Tunggu sebentar ... ” Sunny memutar langkah, hendak berlari menuju pintu. Namun Ryuse bertanya lagi. “Sansan, apa yang kau lakukan di sini?” Sunny berbalik, menatap Ryuse yang berusaha bangkit dari ranjang. “Ah, pelan-pelan. Awas lukamu terbuka lagi. Kau tidak boleh banyak bergerak.” Sunny membantu Ryuse untuk duduk. Dia memutar kenop ranjang untuk menaikkan posisi ranjang agar Ryuse dapat duduk dengan nyaman. Ryuse menengadahkan kepalanya dan mencengkram tangan Sunny dengan erat.“Kau belum menjawab aku.” Sunny mendesah kesal. “Pertanyaanmu tidak memiliki jawaban. Kau sudah lihat sendiri kondisi tubuhmu yang sekarat, tapi kau malah bertanya mengapa aku di sini. Tentu saja aku mencemaskanmu. Aku senang kau terlihat lebih baik sekarang. Akan kupanggilkan dokternya. Jadi tetaplah di ranjang ini. Jangan banyak bergerak, oke?” Sunny menaikkan selimut sampai ke perut Ryuse, memastikannya t