Bibi Joyce mati!
Bibi Joyce mati! Kata-kata itu bergaung dalam benak Sunny. Selanjutnya mungkin dirinya akan menyusul bibi Joyce. Bibi Joyce terlentang di lantai, tidak ada luka yang berarti, hanya ada bekas jerat di leher bibi Joyce. Rambut ikal gonjesnya terlihat berantakan, bibir membaranya tidak lagi semerah yang Sunny ingat, dan sarung tangan renda hitam sudah terkoyak, seakan itu menunjukkan perlawanan bibi Joyce dari maut. Sunny masih ingat rambut kebanggaan bibinya itu masih tersisir rapi ketika meninggalkan rumah Marco. Sekarang yang kembali hanyalah tubuh dingin dan kaku. Sunny tersungkur. Dia meratapi kematian bibinya. Dia telah berusaha sangat keras untuk tidak menyalahkan perlakuan bibi Joyce selama ini padanya, tapi situasi yang dia hadapi kini jauh lebih serius dan membuatnya marah. Dia marah karena bibi Joyce menjebaknya dan meninggalkannya. Dia juga marah karena kematiannya ini membuat dirinya berada dalam situasi sulit. Dia marah karena Marco mengambil salah satu keluarganya. Setidaknya, bibi Joyce masih berhubungan darah dengan ayahnya. “Kau pembunuh!” tuding Sunny dengan suara keras. “Aku hanya melakukan hal yang perlu.” Sunny menggigit bibir, mencoba menahan diri untuk tidak menangisi kematian bibi Joyce. Tetapi dia kehilangan kendali atas dirinya. “Dasar iblis! Dia bibiku ... Dia keluarga ayahku ... Dia ....” “Hoi sadarlah! Tidak perlu menangisi perempuan picik ini. Dia mengkhianatimu dan kau masih berempati padanya? Tsskk ... gadis aneh. Dia menipuku. Dia pantas mendapatkannya.” Marco memasukkan tangan ke dalam saku berjalan melewati mayat bibi Joyce, kemudian dia berputar dengan elegan. Posisi Marco kini berhadapan dengan Sunny, dia bisa melihat mata Sunny yang menangis. Jantung Marco berdebar puas, pada akhirnya dia bisa membuat Sunny merasakan kengerian yang sesungguhnya. Marco menunjuk Sunny dan membuat ekspresi serius. “Untuk itulah kau harus takut padaku. Karena dia sudah mati dan uangku tidak kembali— maka kau yang akan menggantikan semua kerugian yang dibuat bibimu. Kau harus membayar uang yang banyak dengan bekerja padaku. Apapun itu—harus kau lakukan.” Sunny menggeleng marah. “Aku tidak berkewajiban untuk melakukan semua itu. Bukan aku yang berutang. Mengapa harus aku? Aku benci kalian semua!” Marco terkekeh. “Kau harus.” “Kau psyco!” Sunny frustasi. Marco tidak menghiraukan Sunny. “Bersihkan sampahnya!” perintah Marco kepada salah satu pengikutnya yang berdiri rapi di salah satu sisi ruangan. Lantas, mereka segera membawa tubuh bibi Joyce dan menghilang di lorong yang menuju dapur. Seolah di lorong itu ada banyak rahasia kotor Marco. Sunny tidak bisa melakukan apapun selain mengutuki bibi Joyce. Semua karena bibi Joyce. Jika saja bibi Joyce tidak membawanya kemari, mungkin Sunny masih bisa tersenyum melihat ibu dan adiknya. Mungkin Sunny saat ini terbangun di malam dingin dan memberikan obat pada ibunya atau mungkin dia terjaga karena suara-suara angin laut yang mengetuk-ngetuk jendela kamarnya. Seketika Sunny merindukan semua hal itu, dia merindukan rumahnya yang sederhana, seakan semua rasa itu telah menyiksanya bertahun-tahun. “Bawa dia ke kamarnya. Pastikan pintunya terkunci.” Marco berujar pada Don dengan segala pesona otoriternya. Don mengangguk seketika. Tangan Sunny yang gemetar, terasa semakin tidak berdaya ketika Don menarik tangan Sunny untuk ikut bersamanya. Sunny dikurung kembali, tidak ada benda apapun di kamar itu, bersih dan melompong. Hanya ada jendela yang cukup besar tanpa tirai, menampakkan malam yang kelam tiada bintang. Pemandangan yang suram itu menarik perhatian Sunny. Dia berdiri di depan jendela, menatap malam dengan hampa. “Mama ...” ujarnya lirih. “Aku ingin pulang ...” Dan malam pun berakhir lambat bagi Sunny. Dia yakin bahwa matanya tidak tertidur, dia cukup sadar bahwa semalaman dia menangis, akan tetapi dia mendapati dirinya yang terbaring ketika membuka mata. Oh, Sunny yang malang. Rasa lelahnya telah menghipnotis matanya untuk tertidur, tentu Sunny tidak menyadari itu. Suara ketukan ringan terdengar dari balik pintu, disusul suara wanita yang lebih terdengar seperti suara pria. Suaranya terdengar lembut, ceria dan menenangkan. “Sayang ... apa aku boleh masuk?” lalu pintu terbuka, menampakkan sesosok pria gemulai. Dia Gani, salah satu pekerja Marco di klub. Gani terlahir sebagai laki-laki, tapi dia sangat yakin bahwa jiwanya adalah perempuan. Dia memiliki wajah yang lembut, cantik dan bibirnya sangat suka menyunggingkan senyum. Penampilan Gani menarik perhatian Sunny, celana legging hitam yang dipadukan dengan crop top bunga-bunga merah jambu, dan tas tangan magenta tergantung di pergelangan tangannya yang lentik. Rambutnya pendek, bulu matanya panjang dan basah oleh pelumas, pipi berperona, dan bibirnya serupa warna jeruk matang. Sangat segar dan bersahabat. “Kau sudah bangun?” tanya Gani sembari mendekati Sunny. Dia menyentuh pundak Sunny dan membantunya untuk berdiri. “Dasar Marco! Dia tidak tahu memperlakukan gadis semanis dirimu dengan baik. Untungnya, ada aku di sini. Aku akan mengurusmu, jadi kau bisa bergantung padaku.” Sunny menatap Gani dengan sorot kebingungan. “Siapa kau?” “Oh, maaf,” Gani cekikikan malu. “Aku lupa mengenalkan namaku. Aku Gani, dan kau—siapa namamu?” Gani merangkul Sunny dan membawanya keluar kamar. Mereka menuju ke kamar yang lain, tepat di sebalah kamar Sunny tadi. Namun, kamar yang ini lebih layak disebut kamar. Setidaknya ada kasur empuk, meja rias, dan jendela bertirai. Gani mendudukkan Sunny di kasur dengan lembut. “Sunny,” sahut Sunny datar. Gani menimpali dengan antusias, “nama yang indah, seperti matahari pagi. Mulai saat ini, aku bertanggung jawab untuk keperluanmu.” “Bertanggung jawab?” Gani mengambil sisir dari meja rias, kemudian dia menyisir rambut Sunny yang berantakan. “Ya, mulai malam nanti kau akan bekerja di klub dan Marco memintaku untuk mendandanimu. Tenang saja, aku tidak segalak Marco. Kau bisa terbuka padaku, anggap saja aku kakakmu.” “Bekerja di klub?” Sunny bergumam, kali ini dia semakin kelimpungan. Sunny melirik Gani dengan perasaan aneh, tapi dia mendadak menyadari Gani memiliki kepribadian yang menyenangkan. Mungkin mereka bisa menjalin tali persahabatan jika mereka bertemu tidak sengaja entah di mana.Sunny tidak ingin mempercayai siapa pun di rumah ini, karena mereka pengikut Marco. Tentu saja sikap mereka tidak jauh beda dengan Marco.Namun Gani terlihat berbeda. Dia seperti ibu peri yang mengabulkan segala keinginan. Sunny ingin mencoba percaya pada Gani, sekali saja. Dia harus mencobanya.“Aku harus kembali. Ibuku menunggu aku pulang. Dia sakit dan—aku harus bersamanya. Bisakah kau membantuku keluar dari sini?”Sunny berharap Gani bisa membantunya pergi, tetapi Gani tidak bisa melawan Marco. Dulu dia juga bernasib sama dengan Sunny, bedanya dia tidak dijebak, melainkan dia sendiri yang menawarkan dirinya bekerja pada Marco karena tidak bisa melunasi segala utangnya. Gani menggeleng, dia memberikan senyum tipis. “Sayangnya, aku tidak bisa melakukan banyak hal untuk ini. Aku juga tidak punya kekuatan untuk menentang Marco. Tenang saja, jika kau bersabar, aku akan berusaha membantumu sebisaku.”Bodoh. Jangan terlalu berharap. Sunny mengutuki dirinya.Percakapan mereka tidak terlalu menarik lagi bagi Sunny. Dia tidak lagi berbicara. Sunny lebih memilih diam, membiarkan Gani mempermak dirinya menjadi lebih seksi dan dewasa dari usianya. Selama dia hidup, baru kali ini Sunny melihat peralatan berhias wanita. Walau dia sudah memasuki usia 21 tahun, satu bedak pun tidak pernah dia pakai di wajahnya. Dia terlalu lugu dan tidak tahu banyak hal tentang mode dan make up.Sikap Sunny selalu periang, tidak terlalu terbuka dengan perasaannya, tidak bersikap dibuat-buat. Jika dia suka, dia akan mengatakannya—jika dia tidak suka, tentu dia akan mengatakannya dengan halus tanpa melukai hati orang lain. Sekarang, dia seolah orang lain ketika memandang dirinya di cermin. Binar-binar bahagia di matanya telah pergi, dalam sekejap dia telah berubah menjadi orang lain.Gani memilih dress emas bermanik-manik untuk Sunny. Pundak terbuka, rok berbelah tinggi, dan sangat ketat sampai-sampai bentuk tubuhnya terlihat jelas. Bulu mata yang sehitam malam membingkai mata coklat madu Sunny, pipi berperona jingga, dan bibirnya yang tipis dipoles lipstik merah muda. Gani juga menata rambut Sunny dengan hati-hati, membiarkan rambut coklat berombak Sunny terurai dan menambahkan jepit rambut serupa berlian di sisi kiri.“Sempurna,” puji Gani bersemangat. “Kau cantik sekali.”“Ini ... bukan aku. Aku ingin pakaian lamaku.”“Sayang ... kau harus berpenampilan menarik biar para tamu senang.”“Apa maksudmu? Apa aku harus melayani mereka? Itukah pekerjaanku?”Sunny berharap pekerjaannya tidak seperti yang dia pikirkan, namun ekspresi Gani seolah membenarkan pemikirannya.”Marco brengsek! bibi Joyce bedebah. Aku benci kalian semua!” frustasi Sunny.“Kakak Ryu, mengapa kau termenung?” Marvin menepuk pundak Ryuse yang tengah menatap hampa pemandangan di luar jendela. Ryuse mendesah dalam diam panjang. Dia melirik Marvin yang menatapnya dengan ekspresi penasaran. Ryuse memutar langkah, dia kembali ke meja kerjanya. Kaki terangkat ke atas meja, kepala bersandar pasrah pada bahu kursi, dan dia memejamkan mata sejenak. “Tidak ada.” Hanya itu yang keluar dari mulut Ryuse. Datar dan tanpa ekspresi. “Sungguh? Tapi kau terlihat berbeda belakangan ini. Tsssk ... apa ada yang mengganjal di hatimu?” Mata Marvin membulat besar ketika dia membayangkan penyebab kegelisahan Ryuse karena wanita. “Apa kau menyukai seseorang? Oh, ayolah kau bisa bertukar pikiran denganku. Aku cukup berpengalaman.” Marvin memainkan mata menggoda Ryuse. “Pergilah! Mulutmu berisik sekali.” “Sikapmu semakin mencurigakan. Baiklah jika kak Ryu tidak mau berbagi, maka aku akan mencari tahu sendiri,” ujar Marvin sembari terkekeh. Dia berjalan ke pintu dengan lagak k
“Tuan-tuan, silakan duduk dengan tenang dan bersabar. Kalian bisa memiliki gadis ini asal kesepakatan harga kita cocok. Lihatlah, betapa wajah ini begitu lugu.” Marco menyentuh wajah Sunny. “Dan—dia masih polos, sangat polos seperti kertas yang belum dicoret.”Ryuse merasakan tekanan darah di dalam tubuhnya meningkat drastis. Dia sangat marah kepada Marco, marah pada situasi Sunny yang menyedihkan, dan dia marah karena tidak bisa melakukan apapun pada gadis itu. Ryuse sadar, Sunny bukan urusannya dan juga bukan tanggung jawabnya. Namun, sesuatu yang disebut empati masih ada dalam hatinya. Dia memang tidak lebih baik, tapi soal nurani—Ryuse lebih baik dibandingkan Marco.Marco kembali berujar, “bayangkan saja dia tidur di samping kalian, menatap matanya yang indah, senyumnya yang menawan dan dia sedikit galak. Oh, betapa itu kombinasi yang menggiurkan.”Ryuse tidak tahan lagi. Kali ini saja dia akan membiarkan dirinya ikut campur, melanggar aturan yang dibuat, dan menerima konsekuensi
“Aku tak akan peduli soal ketakutanmu atau pun keberanianmu padanya,” Sunny berusaha meyakinkan Marco bahwa dirinya tidak tertekan oleh ancaman apapun. “Aku hanya peduli dengan bagaimana kau jatuh.”“Kau ... ”Marco hampir memukul wajah Sunny, namun Ryuse cekatan menangkap tangan Marco dan menghempaskannya.“Pria sejati tidak memukul wanita,” Ryuse berkata dengan nada tenang nan menghanyutkan, lalu menyembunyikan Sunny ke balik punggungnya.“Sial! Kau selalu ikut campur,” Marco mengeluh, lalu melangkah mendekati salah satu pengawal dan meninju perutnya keras. “Kalian tidak berguna!”Marco menjadi frustrasi. Dia tidak bisa melakukan apapun, melawan atau bahkan menyerang balik Ryuse. Dia menyadari kemampuan bertarung Ryuse bukan tandingannya. Bahkan dia menyesal telah memiliki banyak pengawal, namun tidak seorang pun yang sebanding dengan Ryuse. Marco berteriak, kesal bercampur marah yang berujung mengacak-acak rambutnya dengan kasar.“Kau menyebalkan ...” Marco menunjuk Ryuse sembari t
Ryuse mendekati Sunny dan berjongkok di depannya. “Kau tidak tahu jalan pulang, bukan?” Sunny menatap mata Ryuse yang tengah melihat wajahnya. Tatapan Ryuse terasa menenangkan dan itu membuat Sunny mendadak merona. Sunny berusaha menyembunyikan kegembiraannya karena kehadiran Ryuse, namun itu mustahil. Sebab Ryuse berhasil memergokinya. Alih-alih bertanya lebih jauh, Ryuse melepaskan jasnya dan menutupi pundak terbuka Sunny. “Bajumu terlalu terbuka.” “Tapi ... kau lebih terbuka,” Sunny merona lagi saat melihat tubuh Ryuse yang tidak memakai apa pun di badannya, yang tersisa hanya celana burgundinya. “Sebaiknya kau saja yang pakai ini.” Ryuse berdiri dan mengulurkan tangan pada Sunny. “Aku sudah terbiasa seperti ini.” Sunny menerima uluran Ryuse. Dia meletakkan tangannya di dalam genggaman pria itu. Sekali lagi jantungnya bergulung oleh debaran yang aneh. Sampai-sampai dia khawatir Ryuse akan mendengar suara dadanya yang berdentam-dentam. Ryuse berusaha keras untuk mengabaikan S
“kurasa itu cocok untukmu,” pungkas Ryuse. Ryuse tidak memiliki alasan kuat, dia hanya mengucapkan apa yang terlintas dalam benaknya ketika melihat mata Sunny bersinar polos. Yang seharusnya hanyalah sebuah ucapan sopan berubah menjadi nama panggilan yang lebih terdengar seperti ajakan tersirat untuk lebih dekat. Sunny tidak berniat untuk terpesona dengan panggilan itu, namun dia tidak bisa menolak untuk jatuh pada suara maskulin Ryuse ketika menyebut namanya. Sunny berhasil menenangkan jantungnya yang berdebar lagi lalu tersenyum kepada Ryuse. “Aku ... akan beristirahat,” ungkap Sunny gugup. Lalu dia buru-buru menutup pintu kamar, bersandar di balik pintu sembari menyentuh jantungnya yang berdentam-dentam. Debaran aneh dari jantungnya semakin tidak terkendali. Sunny berusaha mengingat debaran itu sama ketika dia memikirkan ibunya, namun perasaan yang bergejolak di balik paru-parunya itu terasa jauh lebih dahsyat seolah dia telah mendambakan itu sejak lama. Sunny mengintip dari ce
Ryuse melirik Sunny. “Kau sudah sarapan?”Sunny mengangguk gugup. “Ya. Aku tidak tahu kau ada di sini.”“Aku baru saja datang, jangan sungkan. Selesai ini aku akan mengantarmu pulang.” Ryuse melirik pakaian Sunny. “Sebaiknya kau mengganti pakaianmu. Akan kuberikan baju gantinya.”Sunny lupa kalau dia masih memakai gaun emas manik-manik itu, dan dia mendadak malu telah dilihat oleh Ryuse.“Ayo,” ajak Ryuse. Dia menyimpan kembali botol air ke dalam kulkas.“Hah, kemana?”“Ikut saja.”Sunny tidak bertanya lagi. Dia berjalan kikuk di belakang Ryuse, menerka-nerka kemana Ryuse membawanya. Mereka menaiki tangga, melewati kamar Sunny dan mendapati diri mereka berhenti di depan kamar Ryuse.“Tunggu sebentar,” ujar Ryuse lembut.Ryuse masuk ke dalam kamar, dan kembali sesaat kemudian sambil membawa kaus dan celana panjang denim miliknya. Dia memberikan itu pada Sunny. Awalnya Sunny ragu-ragu, tetapi Ryuse meyakinkan Sunny bahwa hanya ini pakaian yang cocok dengan badan Sunny.“Aku tidak punya p
Sunny tidak sadar, tubuhnya syok menerima hantaman yang tiba-tiba itu dan Ryuse—kepalanya terbentur kemudi dan melukai pelipisnya. Untungnya, pohon itu hanya menimpa bagian kap mesin. Asap mengepul dari dalam mesin, kapnya ringsek, dan perjalanan mereka terhenti. Ryuse melirik Sunny dengan cemas. Dia menggeser wajah Sunny dan menepuk-nepuk pipinya. “Sansan ... hei, bangunlah. Sansan ... Sunny!” Sunny terbangun dan dia terperanjat. “Apa aku masih hidup?” tanyanya frustasi. “Syukurlah,” Ryuse mendesah lega. “Apa ada yang terluka? Atau tubuhmu terasa sakit?” Ryuse memeriksa tangan dan kaki Sunny. “Aku baik-baik saja. Hanya saja benturan itu membuatku lemas.” “Kau yakin?” sekali lagi Ryuse mamastikan kondisi Sunny. Sunny hanya memberikan anggukan. Ryuse mendesah lagi, menyandarkan tubuhnya ke jok dan memejamkan mata. “Kau berdarah,” ujar Sunny cemas. Ryuse menyentuh pelipisnya dan berkomentar, “ini bukan apa-apa.” Sunny buru-buru mengambil beberapa lembar tisu dan menyeka darah
Ryuse mendekati Sunny dengan tatapan memburu. Sunny merasa terintimidasi dan mundur perlahan sampai tubuhnya menabrak dinding. Melihat wajah Sunny yang memerah, Ryuse menjadi terhibur. Dia terbahak-bahak dan beringsut ke sofa, lantas membuka sepatu hitam kesayangannya yang sudah basah. “Wajahmu semerah tomat,” celoteh Ryuse tanpa rasa bersalah telah membuat Sunny berdebar. Sunny mengambil bantal dan melemparkannya kepada Ryuse. “Kau menyebalkan!” “Hei, ada apa? Kau marah dengan perkataanku?” Ryuse setengah berteriak. “Apakah menyenangkan mempermainkan perasaan orang lain?” Sunny duduk di ranjang sambil bersidekap tangan. Ryuse menyeringai. “Jangan bilang kau merona karena aku.” “Anda terlalu percaya diri, tuan Ryu,” sangkal Sunny, memalingkan muka dari Ryuse. “Tssk ... kau mendadak berbicara formal. Kelihatan sekali sedang melakukan penyangkalan.” Sunny tidak berniat membiarkan Ryuse mengetahui hatinya. Dia perlu berpikir cepat mencari alasan lain agar Ryuse tidak menggoda diri
Sunny menatap Ryuse dengan mata terbelalak ketika tangan lelaki itu mendekapnya erat. Raut wajah Sunny menggambarkan kebingungan dan ketidakpercayaan. Detak jantungnya berdegup kencang dan Sunny bersumpah bahwa napasnya seolah berhenti—memikirkan apakah yang terjadi benar-benar nyata. “Ryu, apa yang kau lakukan?” Sunny berusaha menyusun kata-kata, namun suaranya terdengar seperti bisikan lembut. “Tetaplah seperti ini sebentar,” sahut Ryuse berbisik. Tangan Ryuse mengusap lembut punggung Sunny. Ryuse tidak tahu mengapa dia harus melakukan hal konyol dan tidak tahu malu seperti ini. Tindakannya yang tiba-tiba ini bukan menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Perbuatan romansa dan hubungan intim antara lelaki dan wanita, Ryuse tidak peduli dengan semua itu sebelumnya. Namun kehadiran Sunny merubah segalanya. Ryuse pun tidak menyadari perasaan itu. Dia hanya tahu itu adalah perasaan empatinya terhadap kisah Sunny. “Jangan salah paham,” imbuh Ryuse. “Aku melakukan ini sebagai ucapan perp
“Namun, itu hanyalah sebuah benda,” ujar Ryuse. “Aku masih bisa membelinya. Melihatmu yang bertanggung jawab, aku akan membiarkanmu.” “Maafkan aku, Paman. Aku tidak akan mengulanginya lagi.” Ryuse memijat keningnya dan mendengus. “Jangan panggil aku paman. Aku tidak setua itu. Panggil saja aku sesukamu asal jangan sebutan yang tua.” Rury mengangguk dan tersenyum ceria. “Baik, Kakak keren.” “Kakak keren?” Ryuse menaikkan satu alis. “Tentu saja. Aku melihatmu bertarung waktu itu dan itu sangat keren,” ungkap Rury gembira. Ryuse tersenyum tipis dan menimpali dengan wajah tenang, “Itu tidak buruk. Aku suka.” Sementara Marvin tersenyum puas melihat sikap Ryuse terhadap Rury. Dia menang taruhan. Makan malam sepuasnya di Cozy resto akan menjadi hal yang paling menyenangkan untuk Marvin. Setidaknya dia terbebas dari makan roti lapis setiap harinya. Pekerjaannya yang sering menghabiskan waktu di malam hari, membuat Marvin sering mengabaikan makan malam. “Hei, aku menang. Jangan lupakan
Ketika Rury pertama kali memasuki rumah mewah milik Ryuse, matanya terbuka lebar. Dia terdiam sejenak di pintu masuk, menelan ludah dengan pemandangan yang begitu mewah di hadapannya. Langit-langit tinggi, lukisan-lukisan mahal, perabotan klasik, dan hiasan-hiasan yang tersebar di seluruh ruangan. Rury bisa merasakan jawaban di ujung lidahnya, bibirnya bergerak tanpa suara saat dia mencoba untuk menggambarkan betapa takjubnya dia pada kekayaan dan keindahan rumah Ryuse. "Wow, ini... ini luar biasa," gumamnya gemetar. Rumah ini jauh lebih baik dari rumah mereka, jauh lebih nyaman. Tidak ada nyamuk yang akan mengganggu tidur mereka, atau angin laut yang merebak masuk melalui lubang dari jendela mereka. Tatapan Rury berkeliling dengan takjub, membenamkan diri dalam keelokan dan berharap dalam hatinya bahwa dia ingin mempunyai rumah sebesar ini. Itu adalah Rury di hari pertama. Namun yang terjadi sekarang di hadapannya bukanlah hal baik. Setelah tiga hari terlewati dengan bersenang-b
Ryuse terkekeh dan memberikan tatapan pengertian. “Sansan, setiap hal yang kuberikan padamu adalah tulus. Kau jangan berpikir yang aneh-aneh,” ujar Ryuse dengan santai tanpa menyadari bahwa Sunny mungkin saja menyukainya. Sunny bergumam dalam hati saat menatap Ryuse, “Aku hanya takut berharap terlalu banyak dan aku takut melakukan kesalahan dalam membaca perasaan ini.” Dalam momen itu, dokter tiba-tiba datang dan membuat Sunny melompat dari kasur dengan tergesa-gesa. Dokter tersebut, dengan sorot penuh perhatian menilik wadah infus yang hampir habis dan berbicara dengan senyum lebar. “Selamat pagi, pak Ryuse. Bagaimana perasaanmu hari ini?” “Halo dokter. Rasanya lebih baik dari kemarin.” Dokter melakukan beberapa pemeriksaan dan melihat catatan medis, kemudian dia mengangguk puas. “Hasil pemeriksaan menunjukkan peningkatan yang baik. Saya pikir anda sudah cukup pulih untuk pulang ke rumah. Tapi tetaplah menjaga kesehatan dan lakukan kontrol rutin di rum
Sunny merasa malu dengan kecerobohannya sendiri yang dengan tidak sengaja mengungkapkan bahwa dia menyukai seseorang. Matanya yang bercahaya dan senyumnya yang manis kini terasa begitu berat, dihiasi oleh rasa gugup dan keraguan. Dia berlari ke kamar mandi, berdiri lama menatap wajahnya di depan cermin. Tangan Sunny menyentuh pipinya yang telah memerah, seketika dia menjadi malu dan Sunny membasuh wajahnya untuk menghilangkan rona itu dari wajahnya. Ryuse merasakan ada sesuatu tidak biasa yang terjadi pada Sunny dan pertanyaan-pertanyaan pun mulai mendominasi pikirannya. “Mengapa dia terlihat begitu tergesa? Apa aku salah bicara?” pikirnya sambil mencoba mencari jawaban. Hatinya berdebar, tak bisa menolak rasa ingin tahu yang muncul begitu saja. Tanpa dia sadari, Ryuse pun mulai penasaran dengan pria yang dikagumi oleh Sunny. Pikirannya mencoba membayangkan siapa sosok pria yang dapat membuat Sunny begitu terpana dan membuatnya ingin tahu lebih banyak tentang siapa pria itu, apa y
Luigi Kasto, seorang pimpinan dari Red Dragon, sebuah organisasi kriminal yang menyelundupkan senjata dan mengoperasikan rumah perjudian. Dia lelaki yang paling ditakuti di seluruh Rosentown. Tindakannya selalu lebih sulit dipahami, liar, dan keji. Tak seorang pun berani menentangnya. Namun, pria yang di hadapannya itu tidak pernah menunjukkan rasa takut padanya. Pria yang dulu pernah dia 'pelihara' dan dia besarkan untuk menjadi sama dengannya. Ya, pria itu selalu membangkang terhadap perkataan Luigi. Satu-satunya orang yang berani melawan Luigi, Ryuse Adam. Ryuse bukan tidak ingin membalas kebaikan Luigi terhadapnya, apa pun akan dia lakukan—tapi tidak untuk Camila. Hanya Camila. Ryuse tidak pernah memiliki perasaan romantis terhadap Camila. Dia selalu memandang Camila seperti saudara perempuan. Ryuse pernah mencoba memaksa dirinya untuk mencintai Camila, namun dia tidak berhasil melakukan itu. Demi membalas jasa Luigi, Ryuse berkali-kali mencoba membuat dirinya jatuh cinta pa
Ryuse menatap Sunny dengan senyum simpul. Tatapannya begitu dalam, seolah dia baru menyadari betapa gadis yang di hadapannya itu terlihat begitu cantik. Tudingan Sunny barusan membuat Ryuse merasa terhibur untuk terus menggodanya. Dia ingin melihat lagi wajah kesal Sunny, suaranya yang memberengut, dan tatapan tajam Sunny padanya. Lantas Ryuse menyahut dengan satu kata yang membuat Sunny bingung. “Mungkin,” sahut Ryuse, tersenyum manis. Sunny merona lagi. “Ah, aku—” Sunny menjadi gugup dengan jawaban Ryuse. Sunny merasa Ryuse sedikit berubah. Selama ini dia selalu bersikap seolah tidak menginginkan hal yang manis selain kehidupan perkelahian. 'Bagaimana ini? Mengapa aku harus gugup olehnya. Padahal jawabannya bisa mengandung makna lain,' gerutu Sunny dalam hati. Sunny kesal, sebab jawaban yang dia katakan selalu berakhir dengan godaan Ryuse. “Kau bercanda lagi. Berhentilah bermain-main denganku. Aku tidak suka,” ujar Sunny pada akhirnya dengan wajah menantang. Dia berharap it
Sunny membelalakkan matanya, tidak percaya dengan yang dia dengar barusan. “Kau bercanda dan juga sinting!” “Aku masih waras,” sambar Ryuse dengan ekspresi usil. Dia merasa terhibur dengan kegugupan yang diperlihatkan oleh Sunny dan dia ingin menggodanya lagi. Ryuse tahu bahwa dia telah mengatakan hal yang tidak masuk akal. Pikiran itu hanya terlintas sekilas di benaknya. Ketika dia melihat bibir Sunny yang merungut kesal, Ryuse penasaran dengan bagaimana rasanya jika dia mencumbu bibir tipis itu lagi. Sesungguhnya kenangan dari ciuman pertama mereka di penginapan waktu itu masih meninggalkan perasaan yang tak menentu di dalam hati Ryuse. Apakah rasanya akan sama? Apakah jantungnya akan berdebar asing lagi seperti waktu itu? Atau bahkan mungkin dia terlalu mendambakan ciuman itu sampai-sampai rasanya sangat menyiksa. 'Apa yang kulakukan?' Ryuse bergumam dalam pikirannya. “Kau mengambil kesempatan. Hah! Seharusnya aku tahu itu. Kau hanya berusaha untuk membuat
“Kau sudah bangun?” tanya Sunny dengan ekspresi bahagia. “Syukurlah, akan kupanggilkan dokter. Tunggu sebentar ... ” Sunny memutar langkah, hendak berlari menuju pintu. Namun Ryuse bertanya lagi. “Sansan, apa yang kau lakukan di sini?” Sunny berbalik, menatap Ryuse yang berusaha bangkit dari ranjang. “Ah, pelan-pelan. Awas lukamu terbuka lagi. Kau tidak boleh banyak bergerak.” Sunny membantu Ryuse untuk duduk. Dia memutar kenop ranjang untuk menaikkan posisi ranjang agar Ryuse dapat duduk dengan nyaman. Ryuse menengadahkan kepalanya dan mencengkram tangan Sunny dengan erat.“Kau belum menjawab aku.” Sunny mendesah kesal. “Pertanyaanmu tidak memiliki jawaban. Kau sudah lihat sendiri kondisi tubuhmu yang sekarat, tapi kau malah bertanya mengapa aku di sini. Tentu saja aku mencemaskanmu. Aku senang kau terlihat lebih baik sekarang. Akan kupanggilkan dokternya. Jadi tetaplah di ranjang ini. Jangan banyak bergerak, oke?” Sunny menaikkan selimut sampai ke perut Ryuse, memastikannya t