"Yoga?!" suara Bu Melinda terdengar menggelegar seperti petir yang menyambar dikala hujan.
"Ada apa Bu?" Prayoga bingung. "Kau ini gimana sih, kau itu Ibu nikahkan dengan Selia agar kau bisa punya anak!" "Kalau kau tetap tidur dengan Arumi, sampe akhir dunia juga kau tetap nggak akan punya anak!" Bu Melinda terlihat sangat marah. Prayoga kaget, ia bingung bagaimana bisa Bu Melinda tahu jika ia semalam tidur dengan Arumi. Pikirannya mulai menerka pasti ada orang yang sudah mengadu pada Bu Melinda. "Apa Arumi yang bilang ke Ibu?" Prayoga menyelidiki. "Ah!, itu nggak penting!. Pokoknya mulai sekarang kau harus lebih sering tidur dengan Selia!" perintah Bu Melinda. "Tapi Arumi juga masih istriku Bu!" protes Prayoga. "Arumi itu sudah lima tahun tidur denganmu, sedang Selia, dia baru satu hari jadi istrimu, jadi kau sekarang harus lebih sering memberi nafkah batin untuk Selia!" Bu Melinda tetap bersikeras dengan pendapatnya. "Tapi Yoga nggak ingin menyakiti Arumi!" "Yoga, Yoga, kau ini memang payah ya?!" "Ya kau jangan terang-terangan masuk ke kamar Selia saat ada Arumi. Kau harus pake taktik agar tak ketahuan Arumi. Kau pergi ke kamar Selia saat Arumi sudah tidur, dan setelah tugasmu bersama Selia selesai, kau kembali lagi ke kamar Arumi" "Paham?!" "Tapi Bu.." "Sudah, jangan membantah!. Pokoknya awas ya, kalau sampai ibu dengar kamu mengabaikan Selia!!" ancam Bu Melinda sambil bergegas pergi meninggalkan Prayoga yang masih merasa kesal. _____ Beberapa bulan kemudian... "Apa?!, kau hamil?!" wajah Bu Melinda terlihat begitu senang. Ia bahkan berulangkali membaca hasil tes kehamilan yang Selia berikan padanya. "Aaaaa!!, luar biasa Selia!, Ibu sangat senang, terima kasih sayang!" Bu Melinda langsung memberi Selia sebuah pelukan hangat. Arumi yang kebetulan melintas tak jauh dari tempat mereka berada, sayup-sayup mendengar percakapan mereka. "Hai Arumi!, kemari!" Bu Melinda memanggil Arumi. Dengan perasaan yang tak enak, Arumi menuruti panggilan mertuanya itu. "Ada apa Bu?" "Ibu harus berterima kasih padamu juga, karena kau sudah mencarikan wanita yang tepat untuk Prayoga" Arumi masih belum paham maksud dari perkataan Bu Melinda. "Apa kau tahu, kalau Selia saat ini sedang hamil?" ("Bum!!") Arumi kaget bukan main mendengar kabar yang disampaikan oleh Bu Melinda. Dengan tangan gemetar, ia menerima secarik kertas yang berisi laporan hasil tes kehamilan milik Selia. Dan ketika ia membacanya, ia bertambah terkejut. Dilaporan itu tertulis jika Selia positif hamil, dengan usia kehamilan empat minggu. Seketika Arumi pun lunglai, ia kehilangan semua tenaganya. Kertas laporan yang sedang ia pegang, terlepas begitu saja dan jatuh ke lantai. Kedua matanya mulai berat, sedang keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. "Selia baru menikah dua bulan dengan Prayoga, tapi lihatlah, dia sekarang sedang mengandung anaknya Prayoga" "Jadi, apa yang selama ini Ibu duga tentang dirimu, itu benar, kan Arumi?" tanya Bu Melinda ketus. Arumi tak menjawab, entah mengapa ia tak bisa merasa bahagia sedikitpun dengan kehamilan Selia. Padahal selama ini ia setuju Prayoga menikah lagi karena ia ingin Prayoga segera memiliki keturunan, dan ia juga berharap agar mertuanya tak lagi menghujat dirinya. Tapi yang terjadi sepertinya sungguh diluar dugaan, Arumi malah tersiksa dengan situasi yang ikut ia ciptakan sendiri. Ia juga merasa sangat kecewa karena ternyata selama ini ia sudah ditipu oleh suaminya. Arumi ingat dengan jelas, bagaimana nyaris setiap malam ia tidur bersama Prayoga. Saat Arumi bertanya kenapa Prayoga belum juga mau tidur dengan Selia, Prayoga selalu menjawab belum siap dan masih perlu waktu untuk berpikir. Tapi, ternyata semua itu hanya alasan Prayoga saja. Buktinya, saat ini Selia justru sudah hamil. "Nah, itu Yoga!" Bu Melinda menunjuk pada sosok Prayoga yang baru pulang dari kantor. "Yoga, cepat kemari!" panggil Bu Melinda tak sabar. "Ada apa Bu?" tanya Prayoga malas, ia masih lelah sepulang bekerja. "Ada kabar gembira sayang, tapi, sepertinya lebih baik jika Selia saja yang menyampaikan" ucap Bu Melinda sambil menatap Selia dengan tatapan penuh kasih sayang, hal itu lagi-lagi menambah kehancuran hati Arumi. Prayoga bingung, ia mengedarkan pandangannya, menatap satu persatu orang yang ada. "Ayo Selia, katakan pada suamimu tentang kabar gembira itu!" Selia tersenyum, lalu mendekati Prayoga. "Em, Mas, aku, aku hamil" "Apa?!!, ha-hamil katamu?" Selia mengangguk. "Su-sungguh?!" Prayoga tak percaya, tapi ia juga tak bisa menutupi rasa bahagianya. Wajahnya yang semula lesu, kini langsung berubah sumringah. "Ini buktinya" Bu Melinda menyodorkan hasil laporan kehamilan pada Prayoga. Dengan perasaan yang campur aduk, Prayoga menerima hasil laporan itu, dsn dengan segera ia membacanya. "Kau sungguh hamil Selia!!!" pekik Prayoga yang langsung menghambur kearah selia, ia segera memeluk istri keduanya itu, dan seolah seperti lupa dengan adanya Arumi disitu, Prayoga dengan tanpa ragu dan malu lagi menghadiahi Selia dengan ciuman mesra di pipi Selia berulang kali. Pemandangan langka itu membuat Arumi kian hancur, ia kini merasa dunia sudah tak berpihak padanya. Prayoga yang begitu bahagia karena kehamilan Selia, seolah sudah tak perduli lagi dengan perasaan Arumi. Kebahagiaan terus menyelimuti Prayoga dan Bu Melinda. Keduanya terus memuji-muji Selia karena sudah berhasil mengandung anak Prayoga, Arumi benar-benar sudah diabaikan. Dengan getir, wanita berhijab itu segera pergi menghindar dari tempat itu. Dadanya sudah terasa sangat sesak. Langkah Arumi terseok, air mata terus mengalir membasahi pipinya. Takdir yang buruk kini sedang berpihak padanya. Ia tak menyangka jika ternyata rencana yang ia buat akan menjadi begitu menyiksa untuk dirinya sendiri. "Bu!, Ibu nggak apa-apa?!"Mbok Piah yang rupanya sejak tadi terus memperhatikan Arumi dari jauh, langsung menyambut tubuh lunglai Arumi. Wanita paruh baya itu terlihat panik melihat kondisi Arumi. Arumi menggeleng lemah. "Ayo saya bantu ke kamar Bu!" dengan sigap Mbok Piah membimbing tubuh Arumi yang seperti sudah tak bertulang lagi. Wanita tua itu merasa trenyuh melihat nasib majikannya itu. Tapi, sekali lagi, ia tak bisa berbuat apapun untuk menolong Arumi, selain dari terus siap siaga membantu menguatkan Arumi, itu saja. _____"Rum, hari ini aku mau antar Selia ke Dokter, ini jadwalnya pemeriksaan" ucap Prayoga sambil mengganti pakaian seusai mandi. "Tapi hari ini, kan kita sudah sepakat untuk cari lokasi buat perayaan ulang tahunku Mas?" tanya Arumi cemas. "Iya, aku tahu. Tapi ini sudah jadwalnya Selia periksa Rum!" Prayoga mencoba mempertahankan pendapatnya. "Ya, itu bisa nanti, kan setelah kita pulang?, lagian juga paling nggak lama kok" "Ya nggak bisa gitu dong!. Kalau acara ulang tahun itu bisa dirayakan kapan aja, tapi kalau jadwal pemeriksaan, itu nggak bisa di tunda lagi. Kalau hari ini batal, kita harus nunggu jadwal minggu depan" tolak Prayoga. "Kamu bisa cari Dokter lain, kan Mas?" "Nggak semudah itu dong!" "Kenapa?, bukankah di kota ini ada banyak Dokter kandungan yang bagus?" "Iya, itu benar. Tapi sejak awal Selia udah sama Dokter Febbi, jadi kalau sampai ganti Dokter lain, aku khawatir nggak cocok lagi sama Selia" "Hah?!, serius Mas?, se khawatir itu kamu sama Selia?" Arumi m
Arumi gusar karena berulang kali ia mencoba menelpon suaminya, tapi tak dijawab. Pesan chat yang ia kirim juga tak satupun yang dibaca apalagi dibalas oleh Prayoga. Arumi sungguh tak menduga, jia ternyata Prayoga berubah dengan begitu cepat setelah kehamilan Selia. Cinta yang selama lima tahun ini sepenuhnya menjadi milik Arumi, seolah kini benar-benar sudah beralih pada Selia seutuhnya. Kehamilan Selia sudah merubah kehidupan Arumi menjadi seperti di neraka. Prayoga yang biasanya selalu bersemangat saat ulang tahun Arumi sudah dekat, menyiapkan acara atau hadiah-hadiah untuk menyenangkan Arumi, kini justru cuek dan bahkan menganggap ulang tahun Arumi sebagai sesuatu yang tak penting lagi." Jadi bagaimana Bu?, apa ibu jadi memesan tempat ini?" syara seorang karyawan cafe memecah kepenatan Arumi."Oh, i-iya, ja-jadi!" jawab Arumi tergagap."Kalau begitu, kapan Ibu akan menggunakan tempat ini?""Em, besok malam, saya akan berulang tahun besok ""Oke, pukul berapa?""Pukul berapa ya..?
"Mana Selia Mbok?" tanya Prayoga pada Mbok Piah yang sedang menghidangkan makanan untuk sarapan pagi.Mbok Piah tak langsung menjawab pertanyaan Prayoga itu, sebab disitu juga ada Arumi, ia merasa tak enak pada Arumi.Prayoga sepertinya juga sadar jika Mbok Piah enggan menjawab pertanyaannya karena segan dengan Arumi."Mbok??""E, iya, maaf Pak, saya nggak tahu" jawab Mbok Piah singkat, sambil berpamitan meminta izin untuk kembali ke dapur, karena masih ada makanan yang belum disajikan."Pasti kamu, kan yang udah nyuruh Mbok Piah bersikap begitu?!" tuduh Prayoga pada Arumi yang sedang duduk menghadap meja makan yang sudah berisi beberapa piring makanan.Arumi diam, tapi ia melirik tajam pada suaminya itu."Arumi, jawab aku!!" syara Prayoga meninggi.Akhir-akhir ini Prayoga memang sering bersikap agak keras pada Arumi. Berbeda jauh saat dirinya belum menikah dengan Selia. Terlebih saat Selia hamil, sikap Prayoga mulai berubah drastis. Ia jadi sering mengabaikan Arumi dan lebih mengutam
Arumi tak kuasa menahan rasa sedih dan sekaligus malu. Prayoga ternyata tak datang ke pesta ulang tahun Arumi. Beruntung para tamu yang datang hanyalah karyawan butik Arumi, sehingga mereka tak ada yang berani mempertanyakan keberadaan suami Arumi itu. Meski Arumi yakin, di dalam hati mereka pasti bertanya tentang hal itu."Mas Yoga benar-benar sudah keterlaluan!!" umpat Arumi sambil melangkah cepat menuju ke kamar.Dengan agak kasar ia membuka pintu kamarnya.Betapa terkejutnya Arumi, saat ia mendapati tak ada sosok Prayoga di kamar itu.Dengan darah yang mendidih menahan amarah, Arumi mempercepat langkahnya, kali ini ia menuju ke kamar lain di rumah itu, apalagi kalau bukan nanar Selia."Selia!!"Tok!, tok!, tok!!" Arumi terus menggedor pintu kamar Selia."Sel??!!!" panggil Arumi setengah berteriak.Mendengar teriakan Arumi, Mbok Piah yang kamarnya tak jauh dari kamar Selia, segera keluar kamar dan menghampiri Arumi."Ibu sudah pulang?" tanya Mbok Piah sambil mengikat rambutnya yang
"Mas Yoga??!!" langkah Arumi terhenti seketika di ambang pintu sebuah ruangan yang tak lain adalah kamar tidur. Kakinya gemetar sehingga nyaris tak mampu menopang berat tubuh Arumi. "Rum??!!" Prayoga rupanya ada di dalam kamar itu. Ketika melihat Arumi sudah berdiri di ambang pintu, pria tampan itu bergegas menghampirinya "Ngapain kamu kesini?!" tanya Prayoga sambil menarik lengan Arumi agar menjauh dari tempat itu. "Lepaskan aku Mas!!" Arumi berontak, ia merasa seperti orang asing di rumah yang selama lima tahun ini menjadi rumah kedua baginya. "Husstt!!!" jangan berisik, nanti semua orang pada kebangun!!" ucap Prayoga yang terus menarik lengan Arumi, seperti tuan rumah yang menangkap basah maling di rumahnya, Prayoga dengan cepat membawa Arumi turun lagi ke lantai bawah. "Mas Yoga, lepaskan aku!, sakit Mas!!" iba Arumi yang mulai merasa lengannya nyeri karena Prayoga mencengkeram cukup kuat. Setibanya di lantai bawah, tepatnya di ruang tamu utama, Prayoga langsung me
"Terimakasih Mas karena sudah mau mengantar aku pulang" ucap Arumi sambil melepas Coat hitam yang ia kenakan."Aku mau balik lagi" Prayoga hendak melangkah keluar ruangan."Tapi ini sudah dini hari, Mas""Aku tau, tapi apa jadinya kalau Ibu atau Selia tau aku mengantar kau pulang?" Prayoga gusar."Em, baiklah, tapi setidaknya duduk dulu sebentar. Aku buatkan kopi dulu"tanpa menunggu persetujuan dari Prayoga, Arumi langsung bergegas menuju dapur.Tak berselang lama, ia sudah kembali dengan secangkir kopi almond hangat yang mengepulkan aroma wangi.Prayoga menerima cangkir itu, asap dari kopi hangat itu membuat pikiran Prayoga yang sedang kacau menjadi sedikit tenang. Arumi sudah lima tahun hidup dengan Prayoga, itulah sebabnya, ia tahu persis bagaimana suaminya itu selalu minum kopi untuk menenangkan pikirannya."Minumlah, Mas!" ucap Arumi sambil tersenyum, meski ia kini mulai asing dengan wajah ramah dan lembut seperti dulu. Sejak pernikahan kontrak Prayoga dan Selia terjadi, sejak i
"Mau kemana Mas?!" tanya Arumi setengah bingung saat melihat Prayoga memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam tas. Prayoga tak menjawab, ia masih sibuk dengan kegiatannya itu. "Mas?!" ulang Arumi, ia mulai gusar, pasti ada hal buruk yang terjadi. "Mulai hari ini aku memutuskan untuk memindahkan Selia ke rumah orang tuaku" "A-apa??!!" Arumi kaget bukan main, di pagi hari yang cerah dengan sinar mentari yang hangat itu, ia justru harus mengawalinya dengan mendengar kabar buruk. "Ta-tapi..." "Jangan bertanya apa-apa lagi, Rum" cegah Prayoga, ia sepertinya sedang malas berbicara dengan Arumi. "Ya, bukan begitu Mas. Tapi, aku tetap ingin tau, kenapa kau ingin membawa Selia untuk tinggal disana?!" Arumi penasaran sekaligus gelisah. Prayoga melemparkan satu helai pakaian yang tadi sedang ia pegang ke atas kasur begitu saja, itu sungguh memperlihatkan betapa ia tak nyaman dengan pertanyaan Arumi. "Rum, harus berapa kali aku jelaskan padamu, Selia itu istriku, ya meski kami hanya me
Selia merasa di atas angin. Permintaan maaf Arumi sungguh sudah membuat wanita itu merasa istimewa. Dan entah kenapa, tiba-tiba terbesit di dalam benak Selia untuk melakukan sesuatu yang lebih dari itu. "Em, jadi Ibu merasa bersalah?" tanya Selia dengan wajah datar. "E, itu, ya" jawab Arumi pasrah "Baiklah, karena Ibu sudah mengakuinya, saya akan maafkan" "Terimakasih Sel" Arumi segera beranjak dari kamar Selia, ia sudah merasa muak sejak tadi dengan sandiwara yang terpaksa ia mainkan. "Tunggu Bu!" langkah Arumi tertahan oleh Selia. Arumi berhenti, tapi ia tak menoleh apalagi membalikkan badannya. Ia tetap berdiri di tempatnya. "Tapi nggak semudah itu Bu" tiba-tiba Selia sudah ada di belakang Arumi. Ucapan Selia kini langsung membuat Arumi tertarik, ia seketika membalikkan badannya dan menatap tajam pada Selia yang berdiri di hadapannya. Tapi, Selia terlihat tenang, ia sama sekali tak gugup atau sungkan seperti yang biasa terjadi saat ia berhadapan dengan Arumi. Sepe