"Mau kemana Mas?!" tanya Arumi setengah bingung saat melihat Prayoga memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam tas. Prayoga tak menjawab, ia masih sibuk dengan kegiatannya itu. "Mas?!" ulang Arumi, ia mulai gusar, pasti ada hal buruk yang terjadi. "Mulai hari ini aku memutuskan untuk memindahkan Selia ke rumah orang tuaku" "A-apa??!!" Arumi kaget bukan main, di pagi hari yang cerah dengan sinar mentari yang hangat itu, ia justru harus mengawalinya dengan mendengar kabar buruk. "Ta-tapi..." "Jangan bertanya apa-apa lagi, Rum" cegah Prayoga, ia sepertinya sedang malas berbicara dengan Arumi. "Ya, bukan begitu Mas. Tapi, aku tetap ingin tau, kenapa kau ingin membawa Selia untuk tinggal disana?!" Arumi penasaran sekaligus gelisah. Prayoga melemparkan satu helai pakaian yang tadi sedang ia pegang ke atas kasur begitu saja, itu sungguh memperlihatkan betapa ia tak nyaman dengan pertanyaan Arumi. "Rum, harus berapa kali aku jelaskan padamu, Selia itu istriku, ya meski kami hanya me
Selia merasa di atas angin. Permintaan maaf Arumi sungguh sudah membuat wanita itu merasa istimewa. Dan entah kenapa, tiba-tiba terbesit di dalam benak Selia untuk melakukan sesuatu yang lebih dari itu. "Em, jadi Ibu merasa bersalah?" tanya Selia dengan wajah datar. "E, itu, ya" jawab Arumi pasrah "Baiklah, karena Ibu sudah mengakuinya, saya akan maafkan" "Terimakasih Sel" Arumi segera beranjak dari kamar Selia, ia sudah merasa muak sejak tadi dengan sandiwara yang terpaksa ia mainkan. "Tunggu Bu!" langkah Arumi tertahan oleh Selia. Arumi berhenti, tapi ia tak menoleh apalagi membalikkan badannya. Ia tetap berdiri di tempatnya. "Tapi nggak semudah itu Bu" tiba-tiba Selia sudah ada di belakang Arumi. Ucapan Selia kini langsung membuat Arumi tertarik, ia seketika membalikkan badannya dan menatap tajam pada Selia yang berdiri di hadapannya. Tapi, Selia terlihat tenang, ia sama sekali tak gugup atau sungkan seperti yang biasa terjadi saat ia berhadapan dengan Arumi. Sepe
"Bu, kenapa belum diminum susunya?" tanya Mbok Piah cemas, semenjak kepergian Prayoga, Arumi mulai berubah. Ia sering terlihat murung, ia juga jarang pergi ke butik. Nafsu makannya juga bilang. Meski Mbok Piah selalu memasak makanan kesukaanya, Arumi sering tak menyentuhnya. Ia baru mau makan saat Mbok Piah memaksa, itu juga hanya beberapa suap saja. Mbok Piah jadi semakin khawatir dengan kesehatan Arumi. "Ayo minum Bu!, ini susu kurma buatan saya sendiri, saya belajar di hape, coba ya Bu!, kalau enak, boleh nggak kalau jadi apa itu, e, yang kayak orang-orang, kret..kret, apa itu.." "Kreator Mbok" celetuk Arumi sambil tersenyum tipis. Mbok Piah senang karena candaannya itu ternyata bisa membuat Arumi tersenyum, setelah beberapa waktu lamanya ia hanya murung. "Nah itu Bu. makanya, Ibu coba ya susunya!" bujuk Mbok Piah. Arumi menatap Mbok Piah, wanita tua yang selalu sabar dalam menjaga dirinya. Mbok Piah selalu ada untuk Arumi dalam segala situasi. "Makasih ya Mbok" "Untuk semu
"Apa Mbok?, Mas Yoga!" Arumi setengah tak percaya saat Mbok memberitahunya, ada Prayoga di luar sana. Arumi bergegas menuju ke jendela kamarnya, ia membuka sedikit tirainya, lalu netra indahnya mengintip ke luar. "Deg!!" jantung Arumi seperti berhenti berdetak. Mbok Piah benar, di halaman rumah tampak terparkir mobil sedang warna biru yang merupakan mobil Prayoga. Keringat dingin membasahi sekujur tubuh Arumi. Ia panik. Saat berbincang lewat telepon beberapa saat lalu, Prayoga marah besar pada Arumi dan menuduh Arumi memfitnah Selia, dengan mengatakan Selia meminta uang pada Arumi sebesar dua puluh juta untuk membeli parfum. Sedang menurut Prayoga, Selia meminta uang tak sebanyak itu, hanya beberapa juta saja. Sepertinya Prayoga belum merasa puas marah lewat telepon, ia mungkin berniat melanjutkan lagi kemarahannya secara langsung pada Arumi. "Bu, bagaimana?" Mbok Piah juga ikut panik. "Em, buka saja Mbok" ucap Arumi sambil bergegas turun ke lantai bawah. Mbok Piah s
"Kok nggak makan?" Prayoga bertanya pada Selia yang terlihat hanya mempermainkan sendoknya di atas piring berisi nasi putih dan beberapa lauk-pauk. "Sel?" ulang Prayoga dengan suara lembut, sejak Selia hamil, Prayoga memang lebih protektif pada Selia. Ia sungguh takut sampai terjadi hal buruk pada wanita yang sedang mengandung anaknya itu. Selia menggeleng. "Ayo makan, kaldu nggak makan, nanti dedek bayinya lapar, kasihan loh" Prayoga menghampiri Selia, lalu dengan tangan kekarnya ia membelai lembut perut Selia yang buncit. "Ntar ya dedek sayang, Papa masih bujuk Mama biar mau makan" ucap Prayoga yang berbicara dengan sang anak yang masih berada di dalam rahim Selia. Melihat sikap manis Prayoga, hati Selia bergetar hebat. Ada sebuah rasa aneh yang tiba-tiba hadir. Selia selalu merasa melayang di angkasa setiap kali melihat Prayoga memberinya sebuah perhatian, meski itu hanya berupa hal-hal kecil. "Uh, sungguh pria yang sempurna. Udah ganteng, kaya, baik, beruntungnya Bu A
"Mas, besok anniversary kita yang ke enam" itu bunyi pesan chat yang Arumi kirim ke nomer telpon Prayoga. Prayoga diam. Ia hanya terus memandangi layar ponselnya. Ia. yang tak ingat tentang hal itu. Ia sangat ingat, hanya saja saat ini situasi sedang tak baik. Selia dan juga Bu Melinda sama-sama ingin agar Prayoga meresmikan pernikahannya dengan Selia. Sedang Prayoga sejujurnya masih berat untuk melakukan itu. Baginya, meski saat ini rasa cinta pada Arumi sudah tak sebesar dulu, tapi ia tetap belum siap untuk melepas Arumi. Karena ia yakin, Arumi juga pasti tak akan mau jika harus dimadu secara legal. "Aku mau ke dokter" tiba-tiba Selia sudah ada di dekat Prayoga. Prayoga kaget, lamunannya buyar. "Aku antar ya?" "Nggak usah!" tolak Selia sambil bergegas pergi. "Aku antar Sel!" Prayoga buru-buru mengikuti langkah Selia. "Aku bilang nggak usah Mas!" Selia tetap menolak. "Jangan keras kepala!" Prayoga segera menuju garasi untuk mengeluarkan mobil. Tapi, Selia justru melenggang
Arumi tersenyum sumringah. Hari ini adalah hari anniversary pernikahan ia dsn Prayoga yang ke enam tahun. Meski lebih dari setengah tahun ini, ia nyaris tak bisa lagi merasakan indahnya hidup bersama Prayoga, tapi ia bersyukur karena hingga detik ini, ia masih terikat hubungan suami istri dengan pria tampan itu. "Dimana, Rum?" tiba-tiba ponsel Arumi berdering, dan saat ia lihat, ada pesan dari nomer Prayoga. Membaca pesan itu, hati Arumi berbunga-bunga, ia yakin jika Prayoga akan datang ke tempat yang sudah ia tentukan. "Di Tulip resto, Mas" jari jemari Arumi dengan lincah mengetik balasan untuk chat Prayoga. "Aku kesana" balas Prayoga. "Iya, aku tunggu" balas Arumi, ia sangat bahagia. Selesai membalas pesan Prayoga, Arumi segera menuju ke kamar kecil. Jarak dari rumah Bu Melinda dan restoran tempat saat ini ia berada tak begitu jauh, jika jalanan tak macet, hanya butuh waktu sekitar lima belas menit saja. Sesampainya di kamar kecil, ia segera mengeluarkan beberapa alat
"Siapa yang datang malam-malam gini Mbok?" tanya Arumi sambil bangun dari tidurnya. Matanya masih terasa berat, tapi karena Mbok Piah bilang ada orang bertamu,dengan terpaksa Arumi pun bangun. Ini sudah pukul sebelas malam. "Kayaknya Bapak, Bu" ucap Mbok Piah. "A-apa Mbok?!" Arumi kaget, ia langsung membuka matanya lebar-lebar. Tanpa banyak bicara, ia segera keluar kamar dan bergegas menuju ke lantai bawah. Mbok Piah mengikuti langkah Arumi dengan tergesa-gesa. "Biar saya aja Bu!" Mbok Piah mencegah Arumi untuk membuka pintu. "Ibu tunggu disini aja" lanjut Mbok Piah, sambil mengarahkan Arumi untuk duduk di sofa yang ada di ruang tamu. Arumi menurut, ia duduk dan membiarkan Mbok Piah yang membuka pintu. Dan tak lama berselang, benar saja, orang yang datang bertamu adalah Prayoga. Melihat sang suami, Arumi segera berdiri, antara bingung, senang dan juga cemas. "Silahkan tuan" Mbok Piah mempersilahkan Prayoga untuk masuk ke dalam rumah. "Terimakasih, Mbok" Dengan santai, Pra
"Sepertinya kau sudah ingat apa posisimu di rumah ini" ucap Prayoga santai, ia terlihat tak merasa bersimpati sedikitpun pada Selia. Setelah ia kehilangan anak dan rahimnya, Prayoga mencampakkan wanita itu begitu saja. Jangankan mengucapkan maaf, bahkan ucapan terimakasih karena sudah mau mengandung anaknya selama sembilan bulan ini pun tak terlontar dari mulutnya. Selia melotot pada Prayoga, ia sangat marah pada pria yang sudah menghancurkan hidupnya itu. "Kalo kau sudah ingat, lebih baik kau segera kemasi barangmu, dan pulanglah ke rumah mu" lanjut Prayoga. "Kau benar Nak, Selia kau memang sebaiknya cepat pergi dari rumah ini, jangan sampe tetangga nanti bergunjing tentang kau dan Yoga" Bu Melinda ikut menimpali dengan kalimat provokasinya yang membuat suasana kian rumit. "Nggak, aku nggak mau pergi!" tolak Selia mentah-mentah. "Hei, ada apa denganmu?, kontrak kita sudah selesai, sesuai kesepakatan yang tertulis disitu, jika kau sudah melahirkan maka kita akan berpisah!" Prayog
"Ini ada apa sih, kok pada ribut?!" Prayoga yang baru pulang dari kantor terkejut saat mendengar suara gaduh dari dalam rumah, dan saat ia mencari sumber suara gaduh itu ternyata berasal dari kamarnya, di sana ada Selia dan Bu Melinda yang sedang saling serang dengan ucapan-ucapan pedas mereka. Selia dan Bu Melinda terhenti sejenak dari pertengkaran mereka saat mengetahui ada yang datang. "Untung kau pulang Yoga, lihat kelakuan wanita ini!" Bu Melinda langsung menghampiri Prayoga yang masih berdiri di tengah pintu. "Mas, kau harus jelaskan pada Ibumu ini bahwa kita saling mencintai, kita akan menjadi pasangan selamanya, ayo Mas jelaskan!" Selia tak ingin kalah dari Bu Melinda, ia juga meminta dukungan Prayoga. "Cihh!!" "Kau pikir anakku akan mencintai perempuan payah sepertimu?!, jangan mimpi kau!. Anakku Prayoga Harun, dia pria berkelas, mana mungkin dia mencintai wanita kelas bawah macam kau ini!" umpat Bu Melinda sambil tersenyum sinis. Mendengar ucapan Bu Melinda hati Selia
Arumi tertegun, ia tak bisa berkata-kata lagi, bahkan untuk sekedar berpikir pun itu terasa sangat sulit baginya. Apa yang baru saja Selia katakan padanya sungguh membuat ia bagai di benamkan dalam lautan es, membeku dan tak bisa berbuat apa-apa. "Bagaimana Bu?, apa Ibu bisa menolong saya?" suara Selia memecah keheningan yang sempat tercipta, membuat alam sadar Arumi kembali seketika dari lamunannya. "Bu?!" "I-iya, iya, ada apa?!" Arumi tergagap. "Ibu bersedia membantu saya?" Selia mengulangi lagi pertanyaannya. "Em, itu, aku akan pikir-pikir dulu" jawab Arumi sedapatnya. "Tapi Bu, saya nggak punya banyak waktu, Bu Melinda sepertinya sangat ingin sekali memisahkan saya dan Mas Yoga" suara Selia parau, raut wajahnya juga terlihat sedih, membuat Arumi sempat merasa iba. "Tapi kenapa?, bukankah kau baru saja melahirkan anak?" Arumi bingung. "Iya, tapi.." Selia tak melanjutkan kalimatnya, seperti ada beban tersendiri yang membuat ia ragu untuk terus berbicara. "Tapi apa?" "Anak
"Mas, tolong katakan pada Ibu tentang pernikahan kita" Selia memohon pada Prayoga. "Tolonglah Sel, aku masih berduka, jangan paksa aku!" Prayoga mengemasi beberapa dokumen, ia akan pergi ke kantor setelah lebih dari satu Minggu ia cuti. "Tapi Mas, kau udah janji, kan?" Selia mendesak. "Selia, tolonglah, jangan buat aku tambah pusing!" nada bicara Prayoga mulai meninggi, ia mulai kesal karena Selia sepertinya sama sekali tak perduli dengan kematian sang anak. "Jangan bilang kau akan ingkar janji Mas" Selia mendekati Prayoga dan menatapnya penuh curiga. Prayoga tak bergeming, ia tetap sibuk dengan aktivitasnya, bersiap hendak ke kantor. Merasa tak dihargai, Selia kian menjadi, ia mulai gusar. "Mas!, jawab aku!. Kapan kau akan nikahi aku?!" desak Selia sambil terus mengekori Prayoga. "Selia!, stop!" hardik Prayoga. Selia kaget dan menatap tajam pada Prayoga, ia tak menduga Prayoga akan membentaknya. "Kau dengarkan aku sekarang, aku baru saja kehilangan anakku.." "Ka
"Cucuku, ngngng!!" rintihan tangis yang menyayat terus terdengar dari bibir Bu Melinda. Wanita itu tak henti-hentinya menangis sepanjang prosesi pemakaman. Bahkan setelah jasad sang cucu selesai di kuburkan, dan orang-orang juga sudah mulai pamit pulang satu-persatu, hingga hanya menyisakan keluarga inti saja, Bu Melinda tetap tak menghentikan tangisnya. Harapannya untuk memiliki sang pewaris kini telah kandas. Anak yang dinanti selama ini dengan begitu banyak pengharapan, kini harus pergi untuk selamanya, bahkan sebelum ia sempat menggendongnya walau untuk sebentar. "Bu, sudahlah, jangan ditangisi terus, kita harus merelakan dengan ikhlas agar ia tenang di sana" Pak Harun mencoba membujuk sang istri yang masih duduk bersimpuh di dekat nisan. "Nggak Yah, Ibu nggak bisa merelakan begitu saja!" tolak Bu Melinda disela Isak tangisnya. "Tapi dia sudah pergi, meski Ibu nggak reka, cucu kita nggak akan kembali lagi Bu" tegas Pak Harun. "Jadi, Ibu nggak usah terus meratap seperti i
"Mana anak kita Mas?" suara Selia terdengar lirih, ia masih merasa sakit paska operasi pengangkatan rahimnya beberapa saat lalu. Prayoga tak menjawab, ia hanya menatap Selia nanar. "Mas?, mana anak kita?" Selia mengulangi lagi pertanyaannya itu. "Anakmu ada di UGD!" jawab Bu Melinda yang duduk tak jauh dari Selia. "A-pa?, UGD?!" Selia kaget, ia menatap penuh tanya pada Prayoga yang masih terdiam. "Apa benar yang Ibu katakan, Mas?" tanya Selia. Prayoga mengganguk. Seketika Selia merasa lunglai, tubuhnya yang memang sedang lemah setelah melahirkan dan juga operasi, kini terasa seperti hancur. Janji akan dijadikan istri sah membuat naluri sebagai orang tua begitu kentara dalam diri Selia. Ia merasa terpukul setelah mengetahui bayi yang baru ia lahir kan ke dunia ini, ternyata harus langsung mengalami cobaan yang berat. "Ta-pi kenapa dia bisa ada di sana?" tanya Selia dengan suara yang mulai parau. Prayoga lagi dan lagi hanya bisa diam. "Mas?!, jelaskan, jangan hanya
Operasi pengangkatan rahim Selia sudah selesai. Tapi, Selia masih belum sadar karena efek obat bius. Dokter yang menangani Selia segera keluar ruangan setelah operasi usai. "Bagaimana Dok?" sambut Prayoga saat mengetahui Dokter keluar. Begitu juga Bu Melinda dan Pak Harun, wajah mereka nampak tegang. "Syukurlah, operasinya berjalan lancar. Tapi, pasien masih belum sadar. Bapak tak usah cemas, itu hanya efek obat bius, tak lama lagi pasien agar segara sadar. Di dalam juga ada perawat yang menjaga" Dokter memberi penjelasan, Prayoga manggut-manggut, merasa lega, tapi tak begitu yang terlihat pada Bu Melinda, ia justru terlihat gelisah. "Saya permisi, jika ada keluhan, bisa langsung ke ruangan saya" sang Dokter pamit. Setelah dokter itu pergi, Bu Melinda yang sudah siuman dari pingsannya tadi, segera menghampiri Prayoga. "Yoga, Ibu jadi nggak tenang" bisik Bu Melinda. "Nggak tenang gimana sih Bu?" Prayoga bingung. "Sini deh, kita ngobrol sambil duduk" ajak Bu Melinda.
Prayoga merasa hancur seketika setelah mendengar penjelasan sang Dokter. Anaknya yang baru lahir ke dunia beberapa menit lalu dinyatakan dalam kondisi mengkhawatirkan. Belum lagi istri sirinya, Selia, yang juga di diagnosa memiliki masalah dengan rahimnya paska melahirkan. Kondisi Selia tak kalah buruk dibandingkan dengan kondisi anak ya, keduanya harus segera mendapatkan tindakan medis, karena jika tidak, terkhusus sang anak nyawanya bisa terancam. Tak ada pilihan bagi Prayoga selain dari menandatangani surat pernyataan setuju untuk tindakan medis bagi keduanya. Waktu tak bisa menunggu terlalu lama, ia bahkan tak sempat memberitahu pada orang tuanya tentang hal itu. "Yoga, mana cucu Ibu?, Ibu nggak sabar pengen lihat!" Bu Melinda segera mencecar Prayoga ketika melihat puteranya itu berjalan kearahnya. "Iya Nak, mana bayinya, kok kita nggak diberi kesempatan untuk melihat sih?" Pak Harun juga sepertinya tak sabar ingin melihat cucu pertamanya itu. Prayoga tak menjawab, ia seger
Sementara itu di rumah sakit pusat kota. "Mas, aku takut" bisik Selia pada Prayoga. "Kamu nggak usah takut, ada aku disini, semua akan baik-baik saja" Prayoga berusaha menguatkan Selia, meski ia sendiri sebenarnya juga didera rasa takut. Seumur hidup, ia belum pernah masuk ke ruang operasi. Melihat ruangan yang dipenuhi oleh peralatan medis, dan aroma obat yang begitu menusuk hidung, membuat Prayoga merasa pusing. Tapi , ia tak boleh memperlihatkan rasa tak nyamannya itu. Demi Selia, Prayoga harus kuat dan terlihat baik-baik saja. Tak berselang lama, beberapa petugas medis masuk. Mereka sudah menggunakan pakaian operasi lengkap. Melihat hal itu, Prayoga kian tegang. Begitu juga Selia, ia terlihat panik. "Bagaimana Ibu, kita bisa mulai operasinya?" tanya seorang petugas medis yang merupakan dokter yang akan mengepalai operasi kelahiran itu. "E, Dokter, ini nggak sakit, kan?" tanya Selia yang tak bisa lagi menutupi rasa takutnya. Mendegar pertanyaan Selia, Dokter itu terseny