Selia merasa di atas angin. Permintaan maaf Arumi sungguh sudah membuat wanita itu merasa istimewa. Dan entah kenapa, tiba-tiba terbesit di dalam benak Selia untuk melakukan sesuatu yang lebih dari itu. "Em, jadi Ibu merasa bersalah?" tanya Selia dengan wajah datar. "E, itu, ya" jawab Arumi pasrah "Baiklah, karena Ibu sudah mengakuinya, saya akan maafkan" "Terimakasih Sel" Arumi segera beranjak dari kamar Selia, ia sudah merasa muak sejak tadi dengan sandiwara yang terpaksa ia mainkan. "Tunggu Bu!" langkah Arumi tertahan oleh Selia. Arumi berhenti, tapi ia tak menoleh apalagi membalikkan badannya. Ia tetap berdiri di tempatnya. "Tapi nggak semudah itu Bu" tiba-tiba Selia sudah ada di belakang Arumi. Ucapan Selia kini langsung membuat Arumi tertarik, ia seketika membalikkan badannya dan menatap tajam pada Selia yang berdiri di hadapannya. Tapi, Selia terlihat tenang, ia sama sekali tak gugup atau sungkan seperti yang biasa terjadi saat ia berhadapan dengan Arumi. Sepe
"Bu, kenapa belum diminum susunya?" tanya Mbok Piah cemas, semenjak kepergian Prayoga, Arumi mulai berubah. Ia sering terlihat murung, ia juga jarang pergi ke butik. Nafsu makannya juga bilang. Meski Mbok Piah selalu memasak makanan kesukaanya, Arumi sering tak menyentuhnya. Ia baru mau makan saat Mbok Piah memaksa, itu juga hanya beberapa suap saja. Mbok Piah jadi semakin khawatir dengan kesehatan Arumi. "Ayo minum Bu!, ini susu kurma buatan saya sendiri, saya belajar di hape, coba ya Bu!, kalau enak, boleh nggak kalau jadi apa itu, e, yang kayak orang-orang, kret..kret, apa itu.." "Kreator Mbok" celetuk Arumi sambil tersenyum tipis. Mbok Piah senang karena candaannya itu ternyata bisa membuat Arumi tersenyum, setelah beberapa waktu lamanya ia hanya murung. "Nah itu Bu. makanya, Ibu coba ya susunya!" bujuk Mbok Piah. Arumi menatap Mbok Piah, wanita tua yang selalu sabar dalam menjaga dirinya. Mbok Piah selalu ada untuk Arumi dalam segala situasi. "Makasih ya Mbok" "Untuk semu
"Apa Mbok?, Mas Yoga!" Arumi setengah tak percaya saat Mbok memberitahunya, ada Prayoga di luar sana. Arumi bergegas menuju ke jendela kamarnya, ia membuka sedikit tirainya, lalu netra indahnya mengintip ke luar. "Deg!!" jantung Arumi seperti berhenti berdetak. Mbok Piah benar, di halaman rumah tampak terparkir mobil sedang warna biru yang merupakan mobil Prayoga. Keringat dingin membasahi sekujur tubuh Arumi. Ia panik. Saat berbincang lewat telepon beberapa saat lalu, Prayoga marah besar pada Arumi dan menuduh Arumi memfitnah Selia, dengan mengatakan Selia meminta uang pada Arumi sebesar dua puluh juta untuk membeli parfum. Sedang menurut Prayoga, Selia meminta uang tak sebanyak itu, hanya beberapa juta saja. Sepertinya Prayoga belum merasa puas marah lewat telepon, ia mungkin berniat melanjutkan lagi kemarahannya secara langsung pada Arumi. "Bu, bagaimana?" Mbok Piah juga ikut panik. "Em, buka saja Mbok" ucap Arumi sambil bergegas turun ke lantai bawah. Mbok Piah s
"Sudah ke Dokter?!" tanya seorang wanita separuh baya yang sedang duduk dengan anggun di sebuah sofa. Di hadapan wanita itu, seorang wanita berwajah ayu terduduk dengan wajah pucat, seperti orang yang sedang ketakutan. Sedangkan wanita yang duduk di sofa itu terus menatap tajam ke arah wanita muda itu. “Sudah, Bu” jawab wanita muda itu pelan. Namanya Arumi Syafillah, istri dari anak Bu Melinda, mertuanya yang kini sedang menatapnya setajam silet, Prayoga Harun. "Oh, baguslah kalau begitu!" seloroh Bu Melinda dengan nada bicara yang sinis. Ia menyilangkan satu kakinya di atas kakinya yang lain sebelum kemudian melanjutkan kembali perkataannya. "Jadi, bagaimana hasilnya? Jangan bilang kalau kamu gagal lagi!". Perkataan Bu Melinda membuat Arumi terdiam dan hanya mampu menelan ludah yang rasanya entah mengapa menjadi sangat pahit, padahal saat ini ia sedang tidak sakit. Gestur Arumi membuat Bu Melinda melirik ke arah Arumi dengan ujung mata. Arumi tak berani mengangkat wajah,
Di depan pintu, Arumi jatuh terduduk dan menangis sejadi-jadinya sembari memandang nanar ke arah mobil Bu Melinda yang dengan perlahan mulai bergerak meninggalkan rumah. Arumi menatap mobil itu hingga hilang di ujung jalan. Setelah beberapa lama menangis, ia berusaha untuk bangkit dan kembali masuk ke dalam rumah dengan tubuh yang lemas. "Ibu gak apa, kan?!" sambut seorang wanita paruh baya saat Arumi masuk ke dalam rumah. "Saya tidak kenapa-napa, Mbok." kilah Arumi. Padahal saat ini jantungnya masih berdetak kencang dan air matanya masih saja menetes dengan deras. Di sisi lain, kepalanya juga menjadi pusing setelah mendengar ucapan sang mertua tadi. "Apa perlu saya teleponkan Bapak?!" tanya Mbok Piah, orang yang sudah bekerja menjadi asisten di rumah Arumi sejak hari pertama Arumi dan Prayoga menempati rumah itu. Wanita paruh baya itu sudah paham betul bagaimana kondisi Arumi saat ini. Itulah sebabnya, saat tahu kalau Bu Melinda datang, ia terus mengawasi Arumi dari jauh.
Arumi mondar-mandir di dalam ruang kerjanya di butik. Ia masih kepikiran soal pengakuan mengejutkan Prayoga semalam. Hati Arumi sungguh hancur, ia tak menyangka jika ternyata Prayoga akan setuju dengan ide konyol Bu Melinda untuk menikah lagi. Ketakutan Arumi sepertinya akan benar-benar terwujud. Rumah tangga yang sudah dibangun selama lima tahun, akan segera hancur. Prayoga yang selama ini berjuang bersamanya, kini mulai menyerah dan terpaksa mengikuti kemauan orang tuanya. "Siapa?!" lamunan Arumi pecah saat tiba-tiba pintu ruang kerjanya diketuk. "Maaf Bu" tampak seorang wanita berdiri di ambang pintu saat pintu dibuka. "Ada apa Ainah?" tanya Arumi pada Ainah, resepsionis di butik milik Arumi. "Ada orang yang datang untuk melamar pekerjaan, sepertinya lowongan yang kita sebar di sosial media sudah dibaca oleh para penggunanya " "Oh begitu, suruh dia masuk!" pinta Arumi sambil melenggang kembali ke meja kerjanya. Untuk sejenak ia harus menepikan urusan rumah tangganya
Arumi merasa lega karena Selia akhirnya sepakat untuk menerima kontrak pernikahan itu. Dan setelah Selia menandatangani surat itu, Arumi pun langsung mengganjarnya dengan sejumlah uang yang nominalnya cukup besar bagi seorang Selia yang berasal dari keluarga biasa. Seolah sedang berpacu dengan waktu, Arumi pun segera mengajak suaminya untuk pergi ke rumah Bu Melinda, untuk memberitahu tentang kabar itu. "Em, lumayan, cantik dan sepertinya ia juga gadis yang baik" puji Bu Melinda saat Arumi menyodorkan selembar potret yang merupakan potret Selia. Arumi merasa cemburu saat mendengar Bu Melinda memuji Selia, tapi meski demikian ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia harus tetap diam, demi memuluskan rencana yang sudah ia rancang sendiri. "Bagaimana menurutmu Yoga?" Bu Melinda memberikan foto Selia pada Prayoga yang duduk dihadapannya. Prayoga melirik kearah Arumi, seolah hendak meminta izin, tapi Arumi hanya diam karena ia sedang sibuk dengan pikirannya yang kacau saat ini. "Terserah I
"Yoga?!" suara Bu Melinda terdengar menggelegar seperti petir yang menyambar dikala hujan. "Ada apa Bu?" Prayoga bingung. "Kau ini gimana sih, kau itu Ibu nikahkan dengan Selia agar kau bisa punya anak!" "Kalau kau tetap tidur dengan Arumi, sampe akhir dunia juga kau tetap nggak akan punya anak!" Bu Melinda terlihat sangat marah. Prayoga kaget, ia bingung bagaimana bisa Bu Melinda tahu jika ia semalam tidur dengan Arumi. Pikirannya mulai menerka pasti ada orang yang sudah mengadu pada Bu Melinda. "Apa Arumi yang bilang ke Ibu?" Prayoga menyelidiki. "Ah!, itu nggak penting!. Pokoknya mulai sekarang kau harus lebih sering tidur dengan Selia!" perintah Bu Melinda. "Tapi Arumi juga masih istriku Bu!" protes Prayoga. "Arumi itu sudah lima tahun tidur denganmu, sedang Selia, dia baru satu hari jadi istrimu, jadi kau sekarang harus lebih sering memberi nafkah batin untuk Selia!" Bu Melinda tetap bersikeras dengan pendapatnya. "Tapi Yoga nggak ingin menyakiti Arumi!" "Yoga, Yoga, ka