"Siapa yang datang malam-malam gini Mbok?" tanya Arumi sambil bangun dari tidurnya. Matanya masih terasa berat, tapi karena Mbok Piah bilang ada orang bertamu,dengan terpaksa Arumi pun bangun. Ini sudah pukul sebelas malam. "Kayaknya Bapak, Bu" ucap Mbok Piah. "A-apa Mbok?!" Arumi kaget, ia langsung membuka matanya lebar-lebar. Tanpa banyak bicara, ia segera keluar kamar dan bergegas menuju ke lantai bawah. Mbok Piah mengikuti langkah Arumi dengan tergesa-gesa. "Biar saya aja Bu!" Mbok Piah mencegah Arumi untuk membuka pintu. "Ibu tunggu disini aja" lanjut Mbok Piah, sambil mengarahkan Arumi untuk duduk di sofa yang ada di ruang tamu. Arumi menurut, ia duduk dan membiarkan Mbok Piah yang membuka pintu. Dan tak lama berselang, benar saja, orang yang datang bertamu adalah Prayoga. Melihat sang suami, Arumi segera berdiri, antara bingung, senang dan juga cemas. "Silahkan tuan" Mbok Piah mempersilahkan Prayoga untuk masuk ke dalam rumah. "Terimakasih, Mbok" Dengan santai, Pra
"Mbok Piahhhh!!" teriakan Arumi menggema di tengah malam yang dingin dan sunyi. Mendegar teriakan itu, Mbok Piah yang hendak bersiap tidur, langsung kaget.Tapi ia tak segara menuju ke sumber suara itu. Ia memasang telinga, dan menunggu teriakan itu terdengar kembali, untuk memastikan suara siapa itu."Mbokkk!!" suara itu terdengar lagi.Setelah yakin itu suara Arumi, dengan sigap, wanita tua itu bergegas menuju ke lantai atas, tempat kamar Arumi berada."Ibu?!" Mbok Piah sudah tiba di depan pintu kamar Arumi yang tak si tutup.Dilihatnya sang majikan sudah duduk terkulai di lantai dengan suara tangis yang menyayat.Mbok Piah langsung menghambur ke arah Arumi. Panik."Bu, a-ada apa i-ini?!" tanya Mbok Piah sambil mengangkat wajah Arumi yang tertunduk lesu.Saat wajah itu terangkat, tampak kedua mata Arumi yang basah. "Oalah Bu, ada apa ini, kok tiba-tiba seperti ini?" Mbok Piah menyeka air mata Arumi dengan jari jemarinya yang gemetar, takut melihat Arumi yang menangis tersedu-sedu.
"Mas Yoga!, tunggu!" saat Arumi keluar dari mobil yang berhenti di halaman gedung pengadilan agama, momen itu bertepatan dengan sosok Prayoga yang baru keluar dari gedung dsn hendak menuju ke mobilnya. Prayoga terhenti seketika saat mendegar ada yang memanggilnya. Arumi berlari kecil menuju ke arah Prayoga. "Arumi??!!" Prayoga kaget bukan main saat tahu siapa orang yang tadi memanggilnya. "Ka-kau sungguh hendak bercerai denganku, Mas?!" tanya Arumi dengan nafas yang sedikit tersengal. Prayoga terlihat gusar, ia masih bingung bagaimana Arumi bisa tahu jika ia berada di tempat itu. "Mas Yoga, jawab?!" syara Arumi sedikit meninggi. "Rum, jangan teriak-teriak!" Prayoga menempelkan jari telunjuk di bibirnya, memberi isyarat pada Arumi agar tak meninggikan suaranya, karena suasana gedung pengadilan yang mulai ramai. "Jawab saja pertanyaan ku Mas!" desak Arumi, ia tak menurunkan sedikitpun nada bicaranya, hatinya sudah terlanjur terbalut emosi. Prayoga celingukan, sebelum akhirnya i
Sudah tiga hari semenjak Prayoga mengajukan gugatan perceraian antara ia dan Arumi. Dan semenjak itu pula, Arumi jadi kesulitan untuk berkomunikasi dengan suaminya itu. Telepon, pesan, tak ada satupun yang di balas oleh Prayoga. Bahkan saat Arumi mendatangi kantornya, Prayoga juga tak pernah ada di sana. Arumi nyaris putus asa, ia sungguh belum ingin untuk berpisah dari Prayoga. Tapi, Prayoga sepertinya sudah bulat tekadnya, ia tetap ingin bercerai dengan Arumi, ia sungguh tak perduli tentang perasaan Arumi, karena bagi Prayoga Selia dan anaknya adalah prioritas utama. Tak ingin berputus asa begitu saja, Arumi tak hilang akal. Ia lalu memutuskan untuk mengambil tindakan yang agak sedikit konyol, Arumi menguntit rumah keluarga Prayoga. Ia sudah tiga hari ini, mengawasi rumah itu dari tempat yang tersembunyi, sambil berharap Prayoga atau Selia keluar rumah, agar Arumi bisa mengikutinya dan menemuinya. Tapi nyatanya, meski sudah tiga hari mengawasi rumah itu, ia tak melihat satu o
"Kau memeras ku?!" Arumi bicara sambil menatap tajam Selia. Selia menyeringai. "Saya tak merasa begitu" jawab Selia santai, seolah ia tak merasa melakukan suatu hal yang buruk. Melihat sikap Selia, Arumi kian naik darahnya. "Gil*!, kau minta satu miliar hanya untuk bicara dengan Mas Yoga?" "Kau ini memang tak waras ya!" Arumi geram. "Sudah cukup Bu!" suara Selia meninggi, membuat beberapa orang yang kebetulan melintas tak jauh darinya, menoleh, penasaran. Arumi kaget, sikap Selia kian tak terkendali. "Sudah cukup!. Dari tadi anda terus bicara, tapi sekarang cukup!. Tak usah membuang waktu, jika Ibu merasa keberatan, lebih baik tak usah, lagipula apa untungnya bagi saya membantu Ibu?, satu miliar itu bukan jumlah yang besar jika dibanding dengan resiko yang akan saya hadapi. Bisa saja Mas Yoga menolak, dan saya terpaksa harus mengabors* bayi ini untuk membuat dia percaya. Ibu kira itu murah, hah?!. Satu miliar itu sebenarnya sama sekali tak cukup Bu, saya harus memulai h
"Bu Ar..e.. Arumi?!!" langkah Selia terhenti seiring dengan tatapan mata yang tajam dan raut wajah yang tegang, ia tak menduga jika ketika keluar dari pintu sebuah toko kue, ternyata sudah ada Arumi yang sedang berdiri menghadap pintu, seolah memang sedang menunggu Selia keluar."Selia, tolong aku!" begitu melihat wanita yang sedang hamil besar itu, Arumi langsung menghambur kearahnya dan memegang erat lengan Selia.Selia berusaha tenang, tak terpancing dengan tatapan Arumi, sebab kondisi di toko itu sedang ramai oleh pengunjung. Ia terus berjalan hingga sampai ke tempat parkir, sedang Arumi terus mengikuti dengan memegang lengan Selia, sambil meratap meminta belas kasihan."Lepaskan!!" Selia melepas tangan Arumi dengan kasar."Sel, aku mohon tolong aku!. A-aku akan beri berapapun uang yang kau minta, ka-kau mau berapa?, satu miliar?, dua miliar?, e, berapapun Sel, asal kau mau menolongku!!" iba Arumi, hari ini ia sungguh sudah kehilangan harga diri sebagai seorang istri sah di hadapa
Dua bulan kemudian... "Hai Rum!!" Arumi terhenti langkahnya saat mendegar ada orang yang memanggilnya. Ia celingukan, mencari sumber suara itu di tengah keramaian pusat perbelanjaan, tempat dimana ia berada saat ini. "Dina!!" mata Arumi terbelalak saat tahu siapa orang yang memanggilnya tadi. Dina segera berlari kecil, menghambur kearah Arumi. "Em, kangen banget" kedua sahabat itu saling berpelukan erat, melepas rasa rindu. "Kamu kemana aja sih, kok udah lama kita nggak nongkrong lagi?" tanya Arumi sambil menatap Dina, sahabatnya itu dengan tatapan sayang. "Sorry, Rum, aku ada proyek di luar kota" "Ini baru pulang kemarin. Dan tau nggak, begitu aku sampai rumah, aku terus pergi ke butik, niatnya sih buat kasih kejutan ma kamu, tapi kamu malah nggak ada. Terus pegawai butik bilang kamu udah lama nggak ngantor, emang iya?" tanya Dina dengan wajah yang terlihat cemas. Arumi diam, ia menundukkan kepalanya, tak berani menatap Dina yang seperti sedang menginterogasi dirin
"Yoga!, Yoga!" Dina berteriak memanggil Prayoga, sedang Arumi mengikuti sambil terus mencoba menghentikan sahabatnya itu, sebab kini mereka sudah menjadi pusat perhatian para karyawan di kantor Prayoga. "Udah Din!, malu dilihat orang-orang!" cegah Arumi. "Nggak bisa Rum!, Prayoga itu udah keterlaluan!" Dina menolak saran Arumi, ia tetap melangkah menuju ke pintu utama kantor Prayoga itu. Arumi berlari kecil berusaha menghentikan langkah Dina, ia takut Dina akan membuat kegaduhan di dalam sana. "Din,tolong dengarkan aku!" Arumi menarik lengan Dina, tapi Dina dengan sekuat tenaga mencoba melepaskannya. "Jangan hentikan aku Rum!, aku harus beri pelajaran si Prayoga itu, dia pikir dia siapa, berani-beraninya dia menceraikan mu!" gerutu Dina dengan raut wajah penuh amarah. "Iya Din, tapi kamu nggak usah ikut terlibat, aku takut Mas Yoga tambah marah sama aku" "Kamu nggak usah cemas, itu akan aku urus" Dina meyakinkan Arumi. Arumi tetap tak bisa membiarkan Dina melanjutkan perbuatan
Satu hari sebelumnya.. "Siapa kau?!" tanya Arumi pada seorang wanita yang datang ke rumahnya. "Apa kabar Bu Arumi?" wanita itu tersenyum manis sambil melenggang masuk ke dalam rumah meski Arumi belum memintanya. Arumi bingung, ia mengekori langkah wanita yang berpenampilan seksi itu. "Hei, siapa kau?!" tanya Arumi lagi dengan nada tinggi. "Oh ya, aku lupa, perkenalan, aku Nurselia!" wanita itu mengulurkan tangannya. Arumi bengong saat wanita itu menyebut namanya. "Selia?" gumam Arumi sambil terus mengamati wanita yang ada dihadapannya itu. "Kau tentu masih ingat aku, kan Bu?" tanya Selia dengan senyum misterius, seolah menyimpan sebuah rahasia yang besar. "Bagaimana bisa kau Selia?" tanya Arumi ragu, sebab wanita yang ada di hadapannya itu tak mirip sedikitpun dengan Selia. Wanita itu, Selia, menyeringai membuat Arumi sedikit cemas. "Ku dengar kau akan menikah dengan mantan suamiku, oh, bukan, mantan suamimu?" tanya Selia yang terus mempermainkan bibirnya, seolah
"Ada apa lagi Mas?" tanya Arumi kesal, ia sebenarnya sudah merasa malas untuk bertemu lagi dengan Prayoga, semenjak ia mendapat video dari perempuan bernama Aulia itu. "Rum, aku mohon, maafkan aku!" Prayoga langsung menghambur kearah Arumi yang berdiri dengan wajah datar. "Percayalah, semua itu nggak benar!. A-ku udah ditipu Rum!" ucap Prayoga dengan menggebu-gebu. "Apa, ditipu karamu?!" Arumi memicingkan matanya, merasa aneh dengan pernyataan mantan suaminya itu. "Iya Rum, aku nggak kenal siapa wanita itu, sungguh!" Prayoga hendak meraih tangan Arumi untuk ia genggam, agar dramanya terlihat begitu realistis. Tapi Arumi dengan cekatan menghindar. Ia tak ingin lengah lagi, ia sudah sadar kini, karena kelengahannya itulah yang membuat ia akhirnya jatuh kembali ke dalam jeratan cinta Prayoga yang sesungguhnya kini sudah tak lagi sama seperti enam tahun yang lalu. Prayoga terperanjat melihat reaksi ketus Arumi. "Rum?!" "Huhh!!" Arumi menarik nafas dan mengembuskan nya begit
"apa kabar Mas Yoga?!" seorang wanita tiba-tiba menegur Prayoga yang sedang duduk santai menikmati secangkir es kopi di sebuah cafe. Prayoga kaget dan segera meletakkan gelas berisi es kopi americano di atas meja. "hai!" seorang wanita melambaikan tangannya pada Prayoga sambil tersenyum manis. Prayoga tertegun melihat wanita itu, ia coba untuk mengingat-ingat, siapa tahu ia mengenal wanita itu, tapi ia ternyata tak bisa mengenalinya dengan mudah sebab wanita itu mengenakan kacamata hitam. "sendiri aja?" tanya wanita itu setelah berada tepat di dekat Prayoga. Prayoga tak menjawab, ia malah memandangi wanita itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. wanita itu berpenampilan cukup seksi dengan hot pant jeans yang di padu atasan rajut berbelahan dada cukup rendah hingga membuat area privasi miliknya sedikit terlihat. "kok bengong?!" ucap wanita itu sambil menjentikkan jarinya, membuat lamunan Prayoga buyar seketika. "e, si-apa kau?!" tanya Prayoga gugup. "astaga, apa waktu b
"sial!, bagaimana bisa wanita itu punya video seperti itu?, ku rasa aku udah dijebak malam itu?, tapi atas dasar apa dia lakukan itu?!" Prayoga mondar-mandir sambil terus mengoceh. "loh yoga?!, kok udah pulang?!" Bu Melinda kaget ketika melihat keberadaan Prayoga di ruang tengah. "bukankah hari ini kau dan Arumi akan fitting baju ya?" tanya Bu Melinda sambil mendekati anaknya itu. "apa terjadi sesuatu?" selidik Bu Melinda yang mulai merasa ada hal aneh yang terjadi jika melihat gelagat yang ditunjukkan Prayoga. "Yoga, kamu dengar Ibu nggak?!" pekik Bu Melinda. "iya Bu, Yoga dengar!" jawab Prayoga ketus. "kalo dengar kenapa kamu nggak jawab?!" Bu Melinda nggak kalah ketus. "Yoga lagi bingung Bu!" "bingung kenapa?, apa baju yang kalian pesan nggak sesuai?" tanya Bu Melinda sambil duduk di sofa dan menikmati secangkir teh Kamomil yang hangat dan harum. "bukan soal baju, tapi ini soal Arumi!" "crutt!" air teh yang sedang di seruput Bu Melinda muncrat seketika saat ia m
"Kok lama banget Mbok?" Prayoga bertanya pada Mbok Piah dengan gusar. Ini sudah hampir setengah jam ia menunggu Arumi yang kata Mbok Piah tadi sedang bersiap-siap. Kedua matanya terus menatap ke lantai atas, berharap Arumi segera turun untuk menemui dirinya. Prayoga merasa aneh, ia pernah hidup bersama Arumi selama enam tahun lamanya. Ia paham betul jika Arumi bukanlah tipikal wanita yang akan menghabiskan banyak waktu hanya untuk berkutat di meja rias. "Coba panggil lagi Mbok, ini udah siang!" pinta Prayoga, Mbok Piah mengangguk ragu namun ia bergegas naik ke lantai atas untuk memanggil Arumi. Prayoga gelisah, ia terus mondar-mandir kesana-kemari sambil menggerutu tak jelas. Dan tak berselang lama Arumi pun turun di ikuti oleh Mbok Piah. Prayoga tertegun melihat Arumi. Tadi menurut Mbok Piah Arumi sedang bersiap diri, tapi kini yang nampak justru berbeda. Arumi masih mengenakan daster panjang berwarna biru gelap dengan Khimar peach yang menutup kepalanya. Wajah Arumi juga
"Siapa ya?!" Mbok Piah menatap bingung pada seseorang yang berdiri di hadapannya. Sepagi itu ada seorang wanita muda yang Dadang berkunjung. Wanita itu masih sangat mudah, usianya sepertinya belum genap dua puluh tahun. Paras wajahnya cukup cantik, tubuhnya tak terlalu tinggi namun cukup sintal, apalagi ditambah dengan pakaian yang ketat membuat setiap lekuk di tubuhnya tergambar dengan jelas. Mbok Piah nampak tak suka melihat penampilan wanita itu yang terlalu seksi. "Perkenalkan, saya Aulia!" wanita itu mengulurkan tangannya pada Mbok Piah yang masih bingung. Dengan ragu Mbok Piah menerima uluran tangan wanita itu. "Maaf Bu, apa Bu Arumi nya ada?" tanya wanita bernama Aulia itu dengan ramah seolah sudah sangat mengenal Arumi. Mbok Piah memicingkan matanya, mencoba untuk menyelidiki siapa wanita itu. "E, Ibu dia, dia su-dah pergi!" jawab Mbok Piah berdusta, sebenarnya Arumi ada di rumah, tapi semalam Arumi bilang pada Mbok Piah jika hari ini ia berencana untuk melakukan fittin
Setelah Pertunangan Arumi dan Prayoga. "Selamat Rum!" Dina mengulurkan tangannya pada Arumi yang sedang sibuk di hadapan laptopnya. Arumi kaget saat mengetahui Dina sudah ada di sampingnya. Ia buru-buru menghentikan pekerjaannya itu. "Dina?!" Melihat ekspresi wajah Arumi yang terkejut, Dina hanya tersenyum datar. "Selamat ya!" ulang Dina lagi sambil memberi kode lewat kedua matanya agar Arumi menyambut uluran itu. Arumi bingung, apa maksud dari ucapan Dina itu, ia tak langsung menyambut tangan Dina, tetapi justru memperhatikan dengan tatapan gelisah. "Wah, sepertinya kau sungguh tak ingin membagi kebahagiaan mu itu denganku?" tanya Dina yang kemudian menarik lagi tangannya karena tak kunjung di sambut oleh Arumi. "A-aku nggak ngerti apa maksudmu Din?!" Arumi bingung. "Sungguh?!" Dina mulai kesal dengan sikap Arumi yang ia nilai hanya berpura-pura saja. Dina sedikit membungkukkan badannya dan melingkarkan tangannya pada bahu Arumi, lalu wajahnya ia dekatkan ke telinga Arumi.
Beberapa Minggu berlalu. "Gimana Rum, e, maksudku, apa kau menerima permintaan ku?" tanya Prayoga di suatu kesempatan saat ia dengan sengaja datang ke rumah Arumi. Arumi terdiam, bimbang. Sejak kembali lagi, Prayoga terus berusaha mendekati dirinya, ia menggunakan berbagai cara untuk memikat hati Arumi. Ia juga menunjukkan pada Arumi bahwa ia sudah berubah, ia sudah kembali menjadi dirinya yang dulu. "Rum?" suara lembut Prayoga terdengar memecah keheningan di ruang tamu rumah Arumi. "I-ya Mas?" Arumi tergagap, masih bimbang dia. "Jawab aku Rum, apa kau bersedia?, kau tak harus menjawab hari ini, kalo kau masih butuh waktu untuk berpikir lagi, aku akan berikan. Aku, aku akan kembali menunggu mu, aku rela Rum. Tapi aku mohon, katakan sesuatu padaku!" Prayoga berusaha meyakinkan Arumi, meski itu bukan yang ia inginkan. Sejujurnya, ia ingin secepatnya bisa kembali rujuk dengan Arumi. Arumi menatap Prayoga. Ia sedang berusaha untuk menelusuri mata Prayoga, ia ingin memastikan ji
"Rum, aku mau ngomong ma kamu!" Dina bicara pada Arumi yang sedang sibuk membereskan meja kerjanya. "Iya Din, ngomong aja!" jawab Arumi sambil tetap melakukan pekerjaannya itu. "Em, kita pulang bareng hari ini ya?" ucap Dina. "Aku.." "Nggak bisa lagi?" celetuk Dina seperti sudah tahu jika itu jawaban yang akan Arumi berikan. Arumi menghentikan pekerjaannya, ia menatap Dina, mencoba memberi penjelasan agar tak terjadi kesalahpahaman. "Bukan begitu Din, kemarin-kemarin aku memang sungguh ada urusan, makanya aku nggak bisa pulang bareng kamu" "Terus hari ini gimana?" "E, hari ini.." Arumi berpikir sejenak, sebenarnya hari ini ia dan Prayoga sudah berjanji akan makan bersama setelah Arumi pulang kerja. Ada restoran seafood baru di kota itu, mereka ingin mencoba makanan di restoran baru tersebut. Tapi, jika sekali ini Arumi menolak tawaran Dina, itu akan membuat Dina kian curiga padanya. Arumi jadi bimbang antara menerima atau menolak ajakan Dina, sebab keduanya sama-sam