"Kau memeras ku?!" Arumi bicara sambil menatap tajam Selia. Selia menyeringai. "Saya tak merasa begitu" jawab Selia santai, seolah ia tak merasa melakukan suatu hal yang buruk. Melihat sikap Selia, Arumi kian naik darahnya. "Gil*!, kau minta satu miliar hanya untuk bicara dengan Mas Yoga?" "Kau ini memang tak waras ya!" Arumi geram. "Sudah cukup Bu!" suara Selia meninggi, membuat beberapa orang yang kebetulan melintas tak jauh darinya, menoleh, penasaran. Arumi kaget, sikap Selia kian tak terkendali. "Sudah cukup!. Dari tadi anda terus bicara, tapi sekarang cukup!. Tak usah membuang waktu, jika Ibu merasa keberatan, lebih baik tak usah, lagipula apa untungnya bagi saya membantu Ibu?, satu miliar itu bukan jumlah yang besar jika dibanding dengan resiko yang akan saya hadapi. Bisa saja Mas Yoga menolak, dan saya terpaksa harus mengabors* bayi ini untuk membuat dia percaya. Ibu kira itu murah, hah?!. Satu miliar itu sebenarnya sama sekali tak cukup Bu, saya harus memulai h
"Bu Ar..e.. Arumi?!!" langkah Selia terhenti seiring dengan tatapan mata yang tajam dan raut wajah yang tegang, ia tak menduga jika ketika keluar dari pintu sebuah toko kue, ternyata sudah ada Arumi yang sedang berdiri menghadap pintu, seolah memang sedang menunggu Selia keluar."Selia, tolong aku!" begitu melihat wanita yang sedang hamil besar itu, Arumi langsung menghambur kearahnya dan memegang erat lengan Selia.Selia berusaha tenang, tak terpancing dengan tatapan Arumi, sebab kondisi di toko itu sedang ramai oleh pengunjung. Ia terus berjalan hingga sampai ke tempat parkir, sedang Arumi terus mengikuti dengan memegang lengan Selia, sambil meratap meminta belas kasihan."Lepaskan!!" Selia melepas tangan Arumi dengan kasar."Sel, aku mohon tolong aku!. A-aku akan beri berapapun uang yang kau minta, ka-kau mau berapa?, satu miliar?, dua miliar?, e, berapapun Sel, asal kau mau menolongku!!" iba Arumi, hari ini ia sungguh sudah kehilangan harga diri sebagai seorang istri sah di hadapa
Dua bulan kemudian... "Hai Rum!!" Arumi terhenti langkahnya saat mendegar ada orang yang memanggilnya. Ia celingukan, mencari sumber suara itu di tengah keramaian pusat perbelanjaan, tempat dimana ia berada saat ini. "Dina!!" mata Arumi terbelalak saat tahu siapa orang yang memanggilnya tadi. Dina segera berlari kecil, menghambur kearah Arumi. "Em, kangen banget" kedua sahabat itu saling berpelukan erat, melepas rasa rindu. "Kamu kemana aja sih, kok udah lama kita nggak nongkrong lagi?" tanya Arumi sambil menatap Dina, sahabatnya itu dengan tatapan sayang. "Sorry, Rum, aku ada proyek di luar kota" "Ini baru pulang kemarin. Dan tau nggak, begitu aku sampai rumah, aku terus pergi ke butik, niatnya sih buat kasih kejutan ma kamu, tapi kamu malah nggak ada. Terus pegawai butik bilang kamu udah lama nggak ngantor, emang iya?" tanya Dina dengan wajah yang terlihat cemas. Arumi diam, ia menundukkan kepalanya, tak berani menatap Dina yang seperti sedang menginterogasi dirin
"Yoga!, Yoga!" Dina berteriak memanggil Prayoga, sedang Arumi mengikuti sambil terus mencoba menghentikan sahabatnya itu, sebab kini mereka sudah menjadi pusat perhatian para karyawan di kantor Prayoga. "Udah Din!, malu dilihat orang-orang!" cegah Arumi. "Nggak bisa Rum!, Prayoga itu udah keterlaluan!" Dina menolak saran Arumi, ia tetap melangkah menuju ke pintu utama kantor Prayoga itu. Arumi berlari kecil berusaha menghentikan langkah Dina, ia takut Dina akan membuat kegaduhan di dalam sana. "Din,tolong dengarkan aku!" Arumi menarik lengan Dina, tapi Dina dengan sekuat tenaga mencoba melepaskannya. "Jangan hentikan aku Rum!, aku harus beri pelajaran si Prayoga itu, dia pikir dia siapa, berani-beraninya dia menceraikan mu!" gerutu Dina dengan raut wajah penuh amarah. "Iya Din, tapi kamu nggak usah ikut terlibat, aku takut Mas Yoga tambah marah sama aku" "Kamu nggak usah cemas, itu akan aku urus" Dina meyakinkan Arumi. Arumi tetap tak bisa membiarkan Dina melanjutkan perbuatan
Dina benar-benar merasa sangat bersalah pada Arumi. Ia tak menduga, jika niatnya untuk menolong Arumi justru berbuah petaka. Prayoga yang mengetahui Dina datang bersama Arumi, menjadi marah besar pada Arumi karena ia mengira Arumi yang meminta Dina untuk melabraknya. Tak ingin berlarut-larut dengan rasa bersalah pada sahabatnya, Dina pun berinisiatif untuk kembali menemui Prayoga, ia ingin menuntaskan kesalahan pahaman itu agar tak berkepanjangan dan membuat Arumi tersiksa. Tapi kali ini, Dina tak memberitahu Arumi tentang niatnya ini. Ia menemui Prayoga secara diam-diam. "Kamu?!" Dina kaget saat mengetahui Selia yang membuka pintu rumah orang tua Prayoga, saat Dina datang berkunjung. Selia panik saat tahu tamu yang datang adalah Dina, temanya Arumi. "I-iya, Mbak" jawab Selia gugup. Otaknya segera bekerja cepat, berpikir untuk mencari alasan yang tepat jika sampai Dina bertanya sesuatu yang aneh tentang dirinya. "Em, Prayoga ada?" tanya Dina yang lebih fokus untuk mencari
Dina merinding saat mengingat lagi perkataan demi perkataan yang keluar dari mulut Bu Melinda. Ia masih bingung, meski ia mulai memahami akan satu hal, ternyata Selia bukanlah sepupu Prayoga seperti yang selama ini ia ketahui. Ada hubungan khusus antara keduanya, meski itu belum bisa Dina pastikan. Sebab selama di rumah Prayoga tadi, Dina benar-benar seperti patung, ia hanya terdiam kebingungan sambil terus mendengar Bu Melinda berceloteh ini dan itu. Dituntun oleh rasa penasaran yang begitu besar, akhirnya membuat ia memutuskan untuk menemui Arumi. Ia tak ingin menunda lagi, karena menurutnya ada sebuah rahasia besar yang menjadi penyebab dari perceraian Prayoga dan Arumi. "Dina?!" Arumi melongo kaget saat tahu Dina datang bertamu tanpa mengabarinya terlebih dahulu. Dina langsung ngeloyor masuk, meski Arumi belum memintanya. Arumi mengekori dengan pikiran bingung. "Mau Dateng kok nggak bilang sih?" tanya Arumi yang mengikuti Dina, duduk di sofa ruang tamu. Ia lalu memangg
Dina sudah tak sabar untuk membongkar semua rahasia yang terpendam selama ini, yaitu tentang alasan perceraian Prayoga dan Arumi, dan juga tentang Selia. Ia semalaman tak bisa tidur karena tak sabar menunggu pagi tiba. Rasa marah yang luar biasa merasuki batinnya. Jika apa yang ia dengar dan lihat saat acara syukuran di rumah orang tua Prayoga itu semua benar adanya, ia bersumpah akan membuat perhitungan dengan Prayoga. Ia akan melampiaskan semua amarahnya pada Prayoga. Pria pengkhianat yang sudah membuat hidup Arumi hancur. Dan saat pagi tiba, Dina pun bergegas meluncur menuju ke rumah Prayoga, ia tahu jika hari ini Prayoga tak ke kantor, sebab hari ini Selia akan melakukan persalinan. Dina memacu mobilnya dengan cepat, ia tak ingin terlambat tiba di rumah Prayoga. "Bapak sedang sibuk, Mbak" seorang asisten rumah tangga menyambut kedatangan Dina di rumah Prayoga. "Cuma sebentar aja" bujuk Dina. "Em, gimana ya?" asisten itu tampak bingung. "Bilang aja ada Dina, Bapak pasti tau
"Astaga Arumiii!!" Dina geleng-geleng kepala melihat Arumi yang masih berada di tempat tidur. Dina langsung menghampiri Arumi dan menyingkap selimut tebal yang membalut sekujur tubuhnya. Arumi kaget karena tiba-tiba tubuhnya terasa dingin karena selimut yang sudah tak menutup sekujur tubuhnya itu. "Bangu Rum!!" Dina menggoyangkan tubuh Arumi. Arumi membuka perlahan matanya yang masih terasa berat. Ia mengucek kedua matanya agar bisa terbuka lebar. "Di-na?!" Arumi kaget karena ada Dina di sampingnya. "Kok kamu ada di kamar aku?" tanya Arumi bingung. Dina menghela nafas, gemas melihat reaksi bingung Arumi. "Buruan bangun!" pinta Dina. Arumi menggeliat, ia sejujurnya merasa sangat malas untuk bangun, karena semenjak perceraiannya dengan Prayoga usai, ia tak punya lagi kegiatan. Butik miliknya sudah berpindah menjadi milik Prayoga. Dari semua harta bersama yang mereka miliki, Arumi hanya mendapatkan satu mobil dan sejumlah uang, sedangkan butik, dua mobil, tanah, semua
Beberapa Minggu berlalu. "Gimana Rum, e, maksudku, apa kau menerima permintaan ku?" tanya Prayoga di suatu kesempatan saat ia dengan sengaja datang ke rumah Arumi. Arumi terdiam, bimbang. Sejak kembali lagi, Prayoga terus berusaha mendekati dirinya, ia menggunakan berbagai cara untuk memikat hati Arumi. Ia juga menunjukkan pada Arumi bahwa ia sudah berubah, ia sudah kembali menjadi dirinya yang dulu. "Rum?" suara lembut Prayoga terdengar memecah keheningan di ruang tamu rumah Arumi. "I-ya Mas?" Arumi tergagap, masih bimbang dia. "Jawab aku Rum, apa kau bersedia?, kau tak harus menjawab hari ini, kalo kau masih butuh waktu untuk berpikir lagi, aku akan berikan. Aku, aku akan kembali menunggu mu, aku rela Rum. Tapi aku mohon, katakan sesuatu padaku!" Prayoga berusaha meyakinkan Arumi, meski itu bukan yang ia inginkan. Sejujurnya, ia ingin secepatnya bisa kembali rujuk dengan Arumi. Arumi menatap Prayoga. Ia sedang berusaha untuk menelusuri mata Prayoga, ia ingin memastikan jika pr
"Rum, aku mau ngomong ma kamu!" Dina bicara pada Arumi yang sedang sibuk membereskan meja kerjanya. "Iya Din, ngomong aja!" jawab Arumi sambil tetap melakukan pekerjaannya itu. "Em, kita pulang bareng hari ini ya?" ucap Dina. "Aku.." "Nggak bisa lagi?" celetuk Dina seperti sudah tahu jika itu jawaban yang akan Arumi berikan. Arumi menghentikan pekerjaannya, ia menatap Dina, mencoba memberi penjelasan agar tak terjadi kesalahpahaman. "Bukan begitu Din, kemarin-kemarin aku memang sungguh ada urusan, makanya aku nggak bisa pulang bareng kamu" "Terus hari ini gimana?" "E, hari ini.." Arumi berpikir sejenak, sebenarnya hari ini ia dan Prayoga sudah berjanji akan makan bersama setelah Arumi pulang kerja. Ada restoran seafood baru di kota itu, mereka ingin mencoba makanan di restoran baru tersebut. Tapi, jika sekali ini Arumi menolak tawaran Dina, itu akan membuat Dina kian curiga padanya. Arumi jadi bimbang antara menerima atau menolak ajakan Dina, sebab keduanya sama-sam
"Maaf Bu, ada urusan apa mereka kemari?" Mbok Piah bertanya sambil membereskan meja makan sisa menjamu Bu Melinda dan Prayoga beberapa saat lalu, sebelum mereka pergi. "E, nggak ada Mbok, mereka cuma datang untuk minta maaf" jawab Arumi berdusta. "Lalu Ibu maafkan?" lanjut Mbok Piah seperti tak rela jika orang-orang yang sudah menyakiti Arumi itu kembali datang dalam hidup Arumi. "Apa boleh buat Mbok" "Tapi Bu, mereka sudah menyakiti Ibu, maaf kalo sara lancang, hanya saja, saya merasa itu tak adil untuk Ibu" Mbok Piah terbawa suasana di dalam hatinya, ia sungguh menyayangkan sikap Arumi yang masih mau memaafkan orang-orang itu. Entahlah, apa yang menjadi pertimbangan Arumi hingga ia bisa menerima lagi mereka, meski sudah jelas bahwa mereka lah yang membuat hidup Arumi berantakan. "Mbok nggak usah cemas, aku bisa atasi semua" Arumi bangkit dari kursinya dan bergegas pergi. Sedang Mbok Piah entah mengapa merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Arumi. Dia tak yakin jika kedatan
Arumi tertegun saat membuka pintu. Meski ia sudah tahu siapa orang yang datang. Kedua bola matanya terbelalak menyapa dua orang yang berdiri dihadapannya. "Arumi, maafkan Ibu sayang!" "Ngngng!!" tangus Bu Melinda pecah saat melihat Arumi, ia serta merta menghambur ke arah Arumi dan memeluknya erat. "Maafkan Ibu, Ibu udah menyakitimu selama ini, Ibu menyesal Arumi!" ucap Bu Melinda disela tangisnya yang menjadi. Entah itu sungguh tangis penyesalan seperti kalimat yang keluar dari bibirnya, atau itu salah satu siasat agar hati Arumi luluh, yang jelas ternyata hal itu sanggup mengguncang batin Arumi. Mata Arumi jadi berat, ia seperti terbawa suasana haru yang diciptakan oleh Bu Melinda saat ini. Cacian dan hujatan yang selama ini ia terima dari wanita perlente itu seketika terlupakan begitu saja. Hati Arumi yang memang lembut dan baik itu, tak sanggup menahan gempuran kesedihan yang dipertontonkan oleh mantan mertuanya itu. "E, I-ibu ja-ngan begitu!" ucap Arumi terbatas sambil b
Arumi melangkah keluar dari taksi dengan kaki yang gemetar. Ia masih tak percaya jika hari ini ia bertemu dengan Prayoga, pria yang sudah menghancurkan hidupnya. "Aku, aku menyesal Rum, aku sadar, kalo hanya kau wanita yang aku cintai" "Jika masih mungkin, aku ingin kembali seperti dulu, Rum" kalimat yang di ucapkan Prayoga itu, kini kembali terngiang-ngiang di telinga Arumi, membuat sekujur tubuh Arumi lemas. Entahlah, ia kini harus merasa senang, atau justru sebaliknya, takut. "Ibu udah pulang?" Mbok Piah menyambut Arumi di ambang pintu. "Bu?" Mbok Piah bingung karena Arumi tak menjawab, ia malah terlihat bengong seperti orang yang bingung. "Ibu sakit?" tanya Mbok Piah sambil menghampiri Arumi yang berdiri di depan pintu. "Bu?!" "Iya, Iya, a-da apa?!" Arumi tergagap. "Loh Mbok, ngapain disini?!" tanya Arumi sambil menatap aneh pada Mbok Piah. "Lah, saya, kan kerja disini" jawab Mbok Piah bingung. "Kerja?, sejak kapan?" tanya Arumi lagi. Mbok Piah garuk-garuk kepala, tak
"Rum, pulang bareng yuk!, kita, ksn udah lama nggak makan diluar" Dina menghampiri Arumi yang sedang bersiap untuk pulang. Hari sudah menunjukkan pukul lima sore. "Maaf, kayaknya hari ini aku belum bisa Din" tolak Arumi sambil memasukkan beberapa barangnya ke dalam tas. Dina memicingkan matanya, merasa aneh dengan penolakan dari Arumi itu. Arumi yang kemudian sadar sudah membuat Dina tak enak, buru-buru meralat ucapannya. "Mak-sud ku, hari ini aku ada urusan penting setelah pulang nanti, jadi gimana kalo besok aja?" tanya Arumi, mencoba mengembalikan rasa nyaman Dina. Dina memajukan bibirnya, meluapkan rasa kecewa. "Please Din!" Arumi menatap Dina dengan tatapan penuh iba. "Iya, iya, terserah kamu. Ya udah, aku antar aja ya?" "Oh, nggak usah, a-aku pulang sendiri aja!" lagi dan lagi Arumi menolak tawaran Dina. Dina yang semula merasa biasa saja, kini dibuat curiga lagi dengan sikap Arumi yang agak aneh itu. "kamu nggak apa-apa?" tanya Dina cemas. "Yah, aku baik, nggak apa-ap
Selia menangis sejadinya, ia tak menduga jika Prayoga akan berbuat kejam padanya. Tanpa memikirkan sedikitpun kondisi Selia yang masih lemah paska operasi, ia mengusir Selia dari rumahnya. "Jangan pernah kau kembali lagi dalam hidupku!" hardik Prayoga sambil melemparkan koper yang berisi barang-barang milik Selia. "Mas Yoga!" Selia mengiba, mengharap belas kasihan dari pria yang selama ini ia kenal sebagai pria yang lembut dan baik. "Oh iya, ini uangmu, pergilah dan jangan kembali!" Prayoga kemudian juga melempar amplop tebal berisi uang yang jumlahnya miliaran. Uang itu ia berikan sebagai kompensasi atas hilangnya rahim Selia, dan juga sekaligus sebagai uang tutup mulut agar Selia tak bicara pada siapapun tentang pernikahan kontrak mereka. Selia menatap nanar barang-barang yang dilempar dihadapannya itu, batinnya menjerit, rasa sakit hati yang begitu luar biasa kini ia rasakan, di saat seperti ini, terlintas juga rasa sesal karena sudah menerima tawaran Arumi dulu tanpa berpikir
"Sepertinya kau sudah ingat apa posisimu di rumah ini" ucap Prayoga santai, ia terlihat tak merasa bersimpati sedikitpun pada Selia. Setelah ia kehilangan anak dan rahimnya, Prayoga mencampakkan wanita itu begitu saja. Jangankan mengucapkan maaf, bahkan ucapan terimakasih karena sudah mau mengandung anaknya selama sembilan bulan ini pun tak terlontar dari mulutnya. Selia melotot pada Prayoga, ia sangat marah pada pria yang sudah menghancurkan hidupnya itu. "Kalo kau sudah ingat, lebih baik kau segera kemasi barangmu, dan pulanglah ke rumah mu" lanjut Prayoga. "Kau benar Nak, Selia kau memang sebaiknya cepat pergi dari rumah ini, jangan sampe tetangga nanti bergunjing tentang kau dan Yoga" Bu Melinda ikut menimpali dengan kalimat provokasinya yang membuat suasana kian rumit. "Nggak, aku nggak mau pergi!" tolak Selia mentah-mentah. "Hei, ada apa denganmu?, kontrak kita sudah selesai, sesuai kesepakatan yang tertulis disitu, jika kau sudah melahirkan maka kita akan berpisah!" Prayog
"Ini ada apa sih, kok pada ribut?!" Prayoga yang baru pulang dari kantor terkejut saat mendengar suara gaduh dari dalam rumah, dan saat ia mencari sumber suara gaduh itu ternyata berasal dari kamarnya, di sana ada Selia dan Bu Melinda yang sedang saling serang dengan ucapan-ucapan pedas mereka. Selia dan Bu Melinda terhenti sejenak dari pertengkaran mereka saat mengetahui ada yang datang. "Untung kau pulang Yoga, lihat kelakuan wanita ini!" Bu Melinda langsung menghampiri Prayoga yang masih berdiri di tengah pintu. "Mas, kau harus jelaskan pada Ibumu ini bahwa kita saling mencintai, kita akan menjadi pasangan selamanya, ayo Mas jelaskan!" Selia tak ingin kalah dari Bu Melinda, ia juga meminta dukungan Prayoga. "Cihh!!" "Kau pikir anakku akan mencintai perempuan payah sepertimu?!, jangan mimpi kau!. Anakku Prayoga Harun, dia pria berkelas, mana mungkin dia mencintai wanita kelas bawah macam kau ini!" umpat Bu Melinda sambil tersenyum sinis. Mendengar ucapan Bu Melinda hati Selia