Dina benar-benar merasa sangat bersalah pada Arumi. Ia tak menduga, jika niatnya untuk menolong Arumi justru berbuah petaka. Prayoga yang mengetahui Dina datang bersama Arumi, menjadi marah besar pada Arumi karena ia mengira Arumi yang meminta Dina untuk melabraknya. Tak ingin berlarut-larut dengan rasa bersalah pada sahabatnya, Dina pun berinisiatif untuk kembali menemui Prayoga, ia ingin menuntaskan kesalahan pahaman itu agar tak berkepanjangan dan membuat Arumi tersiksa. Tapi kali ini, Dina tak memberitahu Arumi tentang niatnya ini. Ia menemui Prayoga secara diam-diam. "Kamu?!" Dina kaget saat mengetahui Selia yang membuka pintu rumah orang tua Prayoga, saat Dina datang berkunjung. Selia panik saat tahu tamu yang datang adalah Dina, temanya Arumi. "I-iya, Mbak" jawab Selia gugup. Otaknya segera bekerja cepat, berpikir untuk mencari alasan yang tepat jika sampai Dina bertanya sesuatu yang aneh tentang dirinya. "Em, Prayoga ada?" tanya Dina yang lebih fokus untuk mencari
Dina merinding saat mengingat lagi perkataan demi perkataan yang keluar dari mulut Bu Melinda. Ia masih bingung, meski ia mulai memahami akan satu hal, ternyata Selia bukanlah sepupu Prayoga seperti yang selama ini ia ketahui. Ada hubungan khusus antara keduanya, meski itu belum bisa Dina pastikan. Sebab selama di rumah Prayoga tadi, Dina benar-benar seperti patung, ia hanya terdiam kebingungan sambil terus mendengar Bu Melinda berceloteh ini dan itu. Dituntun oleh rasa penasaran yang begitu besar, akhirnya membuat ia memutuskan untuk menemui Arumi. Ia tak ingin menunda lagi, karena menurutnya ada sebuah rahasia besar yang menjadi penyebab dari perceraian Prayoga dan Arumi. "Dina?!" Arumi melongo kaget saat tahu Dina datang bertamu tanpa mengabarinya terlebih dahulu. Dina langsung ngeloyor masuk, meski Arumi belum memintanya. Arumi mengekori dengan pikiran bingung. "Mau Dateng kok nggak bilang sih?" tanya Arumi yang mengikuti Dina, duduk di sofa ruang tamu. Ia lalu memangg
Dina sudah tak sabar untuk membongkar semua rahasia yang terpendam selama ini, yaitu tentang alasan perceraian Prayoga dan Arumi, dan juga tentang Selia. Ia semalaman tak bisa tidur karena tak sabar menunggu pagi tiba. Rasa marah yang luar biasa merasuki batinnya. Jika apa yang ia dengar dan lihat saat acara syukuran di rumah orang tua Prayoga itu semua benar adanya, ia bersumpah akan membuat perhitungan dengan Prayoga. Ia akan melampiaskan semua amarahnya pada Prayoga. Pria pengkhianat yang sudah membuat hidup Arumi hancur. Dan saat pagi tiba, Dina pun bergegas meluncur menuju ke rumah Prayoga, ia tahu jika hari ini Prayoga tak ke kantor, sebab hari ini Selia akan melakukan persalinan. Dina memacu mobilnya dengan cepat, ia tak ingin terlambat tiba di rumah Prayoga. "Bapak sedang sibuk, Mbak" seorang asisten rumah tangga menyambut kedatangan Dina di rumah Prayoga. "Cuma sebentar aja" bujuk Dina. "Em, gimana ya?" asisten itu tampak bingung. "Bilang aja ada Dina, Bapak pasti tau
"Astaga Arumiii!!" Dina geleng-geleng kepala melihat Arumi yang masih berada di tempat tidur. Dina langsung menghampiri Arumi dan menyingkap selimut tebal yang membalut sekujur tubuhnya. Arumi kaget karena tiba-tiba tubuhnya terasa dingin karena selimut yang sudah tak menutup sekujur tubuhnya itu. "Bangu Rum!!" Dina menggoyangkan tubuh Arumi. Arumi membuka perlahan matanya yang masih terasa berat. Ia mengucek kedua matanya agar bisa terbuka lebar. "Di-na?!" Arumi kaget karena ada Dina di sampingnya. "Kok kamu ada di kamar aku?" tanya Arumi bingung. Dina menghela nafas, gemas melihat reaksi bingung Arumi. "Buruan bangun!" pinta Dina. Arumi menggeliat, ia sejujurnya merasa sangat malas untuk bangun, karena semenjak perceraiannya dengan Prayoga usai, ia tak punya lagi kegiatan. Butik miliknya sudah berpindah menjadi milik Prayoga. Dari semua harta bersama yang mereka miliki, Arumi hanya mendapatkan satu mobil dan sejumlah uang, sedangkan butik, dua mobil, tanah, semua
Sementara itu di rumah sakit pusat kota. "Mas, aku takut" bisik Selia pada Prayoga. "Kamu nggak usah takut, ada aku disini, semua akan baik-baik saja" Prayoga berusaha menguatkan Selia, meski ia sendiri sebenarnya juga didera rasa takut. Seumur hidup, ia belum pernah masuk ke ruang operasi. Melihat ruangan yang dipenuhi oleh peralatan medis, dan aroma obat yang begitu menusuk hidung, membuat Prayoga merasa pusing. Tapi , ia tak boleh memperlihatkan rasa tak nyamannya itu. Demi Selia, Prayoga harus kuat dan terlihat baik-baik saja. Tak berselang lama, beberapa petugas medis masuk. Mereka sudah menggunakan pakaian operasi lengkap. Melihat hal itu, Prayoga kian tegang. Begitu juga Selia, ia terlihat panik. "Bagaimana Ibu, kita bisa mulai operasinya?" tanya seorang petugas medis yang merupakan dokter yang akan mengepalai operasi kelahiran itu. "E, Dokter, ini nggak sakit, kan?" tanya Selia yang tak bisa lagi menutupi rasa takutnya. Mendegar pertanyaan Selia, Dokter itu terseny
Prayoga merasa hancur seketika setelah mendengar penjelasan sang Dokter. Anaknya yang baru lahir ke dunia beberapa menit lalu dinyatakan dalam kondisi mengkhawatirkan. Belum lagi istri sirinya, Selia, yang juga di diagnosa memiliki masalah dengan rahimnya paska melahirkan. Kondisi Selia tak kalah buruk dibandingkan dengan kondisi anak ya, keduanya harus segera mendapatkan tindakan medis, karena jika tidak, terkhusus sang anak nyawanya bisa terancam. Tak ada pilihan bagi Prayoga selain dari menandatangani surat pernyataan setuju untuk tindakan medis bagi keduanya. Waktu tak bisa menunggu terlalu lama, ia bahkan tak sempat memberitahu pada orang tuanya tentang hal itu. "Yoga, mana cucu Ibu?, Ibu nggak sabar pengen lihat!" Bu Melinda segera mencecar Prayoga ketika melihat puteranya itu berjalan kearahnya. "Iya Nak, mana bayinya, kok kita nggak diberi kesempatan untuk melihat sih?" Pak Harun juga sepertinya tak sabar ingin melihat cucu pertamanya itu. Prayoga tak menjawab, ia seger
Operasi pengangkatan rahim Selia sudah selesai. Tapi, Selia masih belum sadar karena efek obat bius. Dokter yang menangani Selia segera keluar ruangan setelah operasi usai. "Bagaimana Dok?" sambut Prayoga saat mengetahui Dokter keluar. Begitu juga Bu Melinda dan Pak Harun, wajah mereka nampak tegang. "Syukurlah, operasinya berjalan lancar. Tapi, pasien masih belum sadar. Bapak tak usah cemas, itu hanya efek obat bius, tak lama lagi pasien agar segara sadar. Di dalam juga ada perawat yang menjaga" Dokter memberi penjelasan, Prayoga manggut-manggut, merasa lega, tapi tak begitu yang terlihat pada Bu Melinda, ia justru terlihat gelisah. "Saya permisi, jika ada keluhan, bisa langsung ke ruangan saya" sang Dokter pamit. Setelah dokter itu pergi, Bu Melinda yang sudah siuman dari pingsannya tadi, segera menghampiri Prayoga. "Yoga, Ibu jadi nggak tenang" bisik Bu Melinda. "Nggak tenang gimana sih Bu?" Prayoga bingung. "Sini deh, kita ngobrol sambil duduk" ajak Bu Melinda.
"Mana anak kita Mas?" suara Selia terdengar lirih, ia masih merasa sakit paska operasi pengangkatan rahimnya beberapa saat lalu. Prayoga tak menjawab, ia hanya menatap Selia nanar. "Mas?, mana anak kita?" Selia mengulangi lagi pertanyaannya itu. "Anakmu ada di UGD!" jawab Bu Melinda yang duduk tak jauh dari Selia. "A-pa?, UGD?!" Selia kaget, ia menatap penuh tanya pada Prayoga yang masih terdiam. "Apa benar yang Ibu katakan, Mas?" tanya Selia. Prayoga mengganguk. Seketika Selia merasa lunglai, tubuhnya yang memang sedang lemah setelah melahirkan dan juga operasi, kini terasa seperti hancur. Janji akan dijadikan istri sah membuat naluri sebagai orang tua begitu kentara dalam diri Selia. Ia merasa terpukul setelah mengetahui bayi yang baru ia lahir kan ke dunia ini, ternyata harus langsung mengalami cobaan yang berat. "Ta-pi kenapa dia bisa ada di sana?" tanya Selia dengan suara yang mulai parau. Prayoga lagi dan lagi hanya bisa diam. "Mas?!, jelaskan, jangan hanya
"Sepertinya kau sudah ingat apa posisimu di rumah ini" ucap Prayoga santai, ia terlihat tak merasa bersimpati sedikitpun pada Selia. Setelah ia kehilangan anak dan rahimnya, Prayoga mencampakkan wanita itu begitu saja. Jangankan mengucapkan maaf, bahkan ucapan terimakasih karena sudah mau mengandung anaknya selama sembilan bulan ini pun tak terlontar dari mulutnya. Selia melotot pada Prayoga, ia sangat marah pada pria yang sudah menghancurkan hidupnya itu. "Kalo kau sudah ingat, lebih baik kau segera kemasi barangmu, dan pulanglah ke rumah mu" lanjut Prayoga. "Kau benar Nak, Selia kau memang sebaiknya cepat pergi dari rumah ini, jangan sampe tetangga nanti bergunjing tentang kau dan Yoga" Bu Melinda ikut menimpali dengan kalimat provokasinya yang membuat suasana kian rumit. "Nggak, aku nggak mau pergi!" tolak Selia mentah-mentah. "Hei, ada apa denganmu?, kontrak kita sudah selesai, sesuai kesepakatan yang tertulis disitu, jika kau sudah melahirkan maka kita akan berpisah!" Prayog
"Ini ada apa sih, kok pada ribut?!" Prayoga yang baru pulang dari kantor terkejut saat mendengar suara gaduh dari dalam rumah, dan saat ia mencari sumber suara gaduh itu ternyata berasal dari kamarnya, di sana ada Selia dan Bu Melinda yang sedang saling serang dengan ucapan-ucapan pedas mereka. Selia dan Bu Melinda terhenti sejenak dari pertengkaran mereka saat mengetahui ada yang datang. "Untung kau pulang Yoga, lihat kelakuan wanita ini!" Bu Melinda langsung menghampiri Prayoga yang masih berdiri di tengah pintu. "Mas, kau harus jelaskan pada Ibumu ini bahwa kita saling mencintai, kita akan menjadi pasangan selamanya, ayo Mas jelaskan!" Selia tak ingin kalah dari Bu Melinda, ia juga meminta dukungan Prayoga. "Cihh!!" "Kau pikir anakku akan mencintai perempuan payah sepertimu?!, jangan mimpi kau!. Anakku Prayoga Harun, dia pria berkelas, mana mungkin dia mencintai wanita kelas bawah macam kau ini!" umpat Bu Melinda sambil tersenyum sinis. Mendengar ucapan Bu Melinda hati Selia
Arumi tertegun, ia tak bisa berkata-kata lagi, bahkan untuk sekedar berpikir pun itu terasa sangat sulit baginya. Apa yang baru saja Selia katakan padanya sungguh membuat ia bagai di benamkan dalam lautan es, membeku dan tak bisa berbuat apa-apa. "Bagaimana Bu?, apa Ibu bisa menolong saya?" suara Selia memecah keheningan yang sempat tercipta, membuat alam sadar Arumi kembali seketika dari lamunannya. "Bu?!" "I-iya, iya, ada apa?!" Arumi tergagap. "Ibu bersedia membantu saya?" Selia mengulangi lagi pertanyaannya. "Em, itu, aku akan pikir-pikir dulu" jawab Arumi sedapatnya. "Tapi Bu, saya nggak punya banyak waktu, Bu Melinda sepertinya sangat ingin sekali memisahkan saya dan Mas Yoga" suara Selia parau, raut wajahnya juga terlihat sedih, membuat Arumi sempat merasa iba. "Tapi kenapa?, bukankah kau baru saja melahirkan anak?" Arumi bingung. "Iya, tapi.." Selia tak melanjutkan kalimatnya, seperti ada beban tersendiri yang membuat ia ragu untuk terus berbicara. "Tapi apa?" "Anak
"Mas, tolong katakan pada Ibu tentang pernikahan kita" Selia memohon pada Prayoga. "Tolonglah Sel, aku masih berduka, jangan paksa aku!" Prayoga mengemasi beberapa dokumen, ia akan pergi ke kantor setelah lebih dari satu Minggu ia cuti. "Tapi Mas, kau udah janji, kan?" Selia mendesak. "Selia, tolonglah, jangan buat aku tambah pusing!" nada bicara Prayoga mulai meninggi, ia mulai kesal karena Selia sepertinya sama sekali tak perduli dengan kematian sang anak. "Jangan bilang kau akan ingkar janji Mas" Selia mendekati Prayoga dan menatapnya penuh curiga. Prayoga tak bergeming, ia tetap sibuk dengan aktivitasnya, bersiap hendak ke kantor. Merasa tak dihargai, Selia kian menjadi, ia mulai gusar. "Mas!, jawab aku!. Kapan kau akan nikahi aku?!" desak Selia sambil terus mengekori Prayoga. "Selia!, stop!" hardik Prayoga. Selia kaget dan menatap tajam pada Prayoga, ia tak menduga Prayoga akan membentaknya. "Kau dengarkan aku sekarang, aku baru saja kehilangan anakku.." "Ka
"Cucuku, ngngng!!" rintihan tangis yang menyayat terus terdengar dari bibir Bu Melinda. Wanita itu tak henti-hentinya menangis sepanjang prosesi pemakaman. Bahkan setelah jasad sang cucu selesai di kuburkan, dan orang-orang juga sudah mulai pamit pulang satu-persatu, hingga hanya menyisakan keluarga inti saja, Bu Melinda tetap tak menghentikan tangisnya. Harapannya untuk memiliki sang pewaris kini telah kandas. Anak yang dinanti selama ini dengan begitu banyak pengharapan, kini harus pergi untuk selamanya, bahkan sebelum ia sempat menggendongnya walau untuk sebentar. "Bu, sudahlah, jangan ditangisi terus, kita harus merelakan dengan ikhlas agar ia tenang di sana" Pak Harun mencoba membujuk sang istri yang masih duduk bersimpuh di dekat nisan. "Nggak Yah, Ibu nggak bisa merelakan begitu saja!" tolak Bu Melinda disela Isak tangisnya. "Tapi dia sudah pergi, meski Ibu nggak reka, cucu kita nggak akan kembali lagi Bu" tegas Pak Harun. "Jadi, Ibu nggak usah terus meratap seperti i
"Mana anak kita Mas?" suara Selia terdengar lirih, ia masih merasa sakit paska operasi pengangkatan rahimnya beberapa saat lalu. Prayoga tak menjawab, ia hanya menatap Selia nanar. "Mas?, mana anak kita?" Selia mengulangi lagi pertanyaannya itu. "Anakmu ada di UGD!" jawab Bu Melinda yang duduk tak jauh dari Selia. "A-pa?, UGD?!" Selia kaget, ia menatap penuh tanya pada Prayoga yang masih terdiam. "Apa benar yang Ibu katakan, Mas?" tanya Selia. Prayoga mengganguk. Seketika Selia merasa lunglai, tubuhnya yang memang sedang lemah setelah melahirkan dan juga operasi, kini terasa seperti hancur. Janji akan dijadikan istri sah membuat naluri sebagai orang tua begitu kentara dalam diri Selia. Ia merasa terpukul setelah mengetahui bayi yang baru ia lahir kan ke dunia ini, ternyata harus langsung mengalami cobaan yang berat. "Ta-pi kenapa dia bisa ada di sana?" tanya Selia dengan suara yang mulai parau. Prayoga lagi dan lagi hanya bisa diam. "Mas?!, jelaskan, jangan hanya
Operasi pengangkatan rahim Selia sudah selesai. Tapi, Selia masih belum sadar karena efek obat bius. Dokter yang menangani Selia segera keluar ruangan setelah operasi usai. "Bagaimana Dok?" sambut Prayoga saat mengetahui Dokter keluar. Begitu juga Bu Melinda dan Pak Harun, wajah mereka nampak tegang. "Syukurlah, operasinya berjalan lancar. Tapi, pasien masih belum sadar. Bapak tak usah cemas, itu hanya efek obat bius, tak lama lagi pasien agar segara sadar. Di dalam juga ada perawat yang menjaga" Dokter memberi penjelasan, Prayoga manggut-manggut, merasa lega, tapi tak begitu yang terlihat pada Bu Melinda, ia justru terlihat gelisah. "Saya permisi, jika ada keluhan, bisa langsung ke ruangan saya" sang Dokter pamit. Setelah dokter itu pergi, Bu Melinda yang sudah siuman dari pingsannya tadi, segera menghampiri Prayoga. "Yoga, Ibu jadi nggak tenang" bisik Bu Melinda. "Nggak tenang gimana sih Bu?" Prayoga bingung. "Sini deh, kita ngobrol sambil duduk" ajak Bu Melinda.
Prayoga merasa hancur seketika setelah mendengar penjelasan sang Dokter. Anaknya yang baru lahir ke dunia beberapa menit lalu dinyatakan dalam kondisi mengkhawatirkan. Belum lagi istri sirinya, Selia, yang juga di diagnosa memiliki masalah dengan rahimnya paska melahirkan. Kondisi Selia tak kalah buruk dibandingkan dengan kondisi anak ya, keduanya harus segera mendapatkan tindakan medis, karena jika tidak, terkhusus sang anak nyawanya bisa terancam. Tak ada pilihan bagi Prayoga selain dari menandatangani surat pernyataan setuju untuk tindakan medis bagi keduanya. Waktu tak bisa menunggu terlalu lama, ia bahkan tak sempat memberitahu pada orang tuanya tentang hal itu. "Yoga, mana cucu Ibu?, Ibu nggak sabar pengen lihat!" Bu Melinda segera mencecar Prayoga ketika melihat puteranya itu berjalan kearahnya. "Iya Nak, mana bayinya, kok kita nggak diberi kesempatan untuk melihat sih?" Pak Harun juga sepertinya tak sabar ingin melihat cucu pertamanya itu. Prayoga tak menjawab, ia seger
Sementara itu di rumah sakit pusat kota. "Mas, aku takut" bisik Selia pada Prayoga. "Kamu nggak usah takut, ada aku disini, semua akan baik-baik saja" Prayoga berusaha menguatkan Selia, meski ia sendiri sebenarnya juga didera rasa takut. Seumur hidup, ia belum pernah masuk ke ruang operasi. Melihat ruangan yang dipenuhi oleh peralatan medis, dan aroma obat yang begitu menusuk hidung, membuat Prayoga merasa pusing. Tapi , ia tak boleh memperlihatkan rasa tak nyamannya itu. Demi Selia, Prayoga harus kuat dan terlihat baik-baik saja. Tak berselang lama, beberapa petugas medis masuk. Mereka sudah menggunakan pakaian operasi lengkap. Melihat hal itu, Prayoga kian tegang. Begitu juga Selia, ia terlihat panik. "Bagaimana Ibu, kita bisa mulai operasinya?" tanya seorang petugas medis yang merupakan dokter yang akan mengepalai operasi kelahiran itu. "E, Dokter, ini nggak sakit, kan?" tanya Selia yang tak bisa lagi menutupi rasa takutnya. Mendegar pertanyaan Selia, Dokter itu terseny