Operasi pengangkatan rahim Selia sudah selesai. Tapi, Selia masih belum sadar karena efek obat bius. Dokter yang menangani Selia segera keluar ruangan setelah operasi usai. "Bagaimana Dok?" sambut Prayoga saat mengetahui Dokter keluar. Begitu juga Bu Melinda dan Pak Harun, wajah mereka nampak tegang. "Syukurlah, operasinya berjalan lancar. Tapi, pasien masih belum sadar. Bapak tak usah cemas, itu hanya efek obat bius, tak lama lagi pasien agar segara sadar. Di dalam juga ada perawat yang menjaga" Dokter memberi penjelasan, Prayoga manggut-manggut, merasa lega, tapi tak begitu yang terlihat pada Bu Melinda, ia justru terlihat gelisah. "Saya permisi, jika ada keluhan, bisa langsung ke ruangan saya" sang Dokter pamit. Setelah dokter itu pergi, Bu Melinda yang sudah siuman dari pingsannya tadi, segera menghampiri Prayoga. "Yoga, Ibu jadi nggak tenang" bisik Bu Melinda. "Nggak tenang gimana sih Bu?" Prayoga bingung. "Sini deh, kita ngobrol sambil duduk" ajak Bu Melinda.
"Mana anak kita Mas?" suara Selia terdengar lirih, ia masih merasa sakit paska operasi pengangkatan rahimnya beberapa saat lalu. Prayoga tak menjawab, ia hanya menatap Selia nanar. "Mas?, mana anak kita?" Selia mengulangi lagi pertanyaannya itu. "Anakmu ada di UGD!" jawab Bu Melinda yang duduk tak jauh dari Selia. "A-pa?, UGD?!" Selia kaget, ia menatap penuh tanya pada Prayoga yang masih terdiam. "Apa benar yang Ibu katakan, Mas?" tanya Selia. Prayoga mengganguk. Seketika Selia merasa lunglai, tubuhnya yang memang sedang lemah setelah melahirkan dan juga operasi, kini terasa seperti hancur. Janji akan dijadikan istri sah membuat naluri sebagai orang tua begitu kentara dalam diri Selia. Ia merasa terpukul setelah mengetahui bayi yang baru ia lahir kan ke dunia ini, ternyata harus langsung mengalami cobaan yang berat. "Ta-pi kenapa dia bisa ada di sana?" tanya Selia dengan suara yang mulai parau. Prayoga lagi dan lagi hanya bisa diam. "Mas?!, jelaskan, jangan hanya
"Cucuku, ngngng!!" rintihan tangis yang menyayat terus terdengar dari bibir Bu Melinda. Wanita itu tak henti-hentinya menangis sepanjang prosesi pemakaman. Bahkan setelah jasad sang cucu selesai di kuburkan, dan orang-orang juga sudah mulai pamit pulang satu-persatu, hingga hanya menyisakan keluarga inti saja, Bu Melinda tetap tak menghentikan tangisnya. Harapannya untuk memiliki sang pewaris kini telah kandas. Anak yang dinanti selama ini dengan begitu banyak pengharapan, kini harus pergi untuk selamanya, bahkan sebelum ia sempat menggendongnya walau untuk sebentar. "Bu, sudahlah, jangan ditangisi terus, kita harus merelakan dengan ikhlas agar ia tenang di sana" Pak Harun mencoba membujuk sang istri yang masih duduk bersimpuh di dekat nisan. "Nggak Yah, Ibu nggak bisa merelakan begitu saja!" tolak Bu Melinda disela Isak tangisnya. "Tapi dia sudah pergi, meski Ibu nggak reka, cucu kita nggak akan kembali lagi Bu" tegas Pak Harun. "Jadi, Ibu nggak usah terus meratap seperti i
"Mas, tolong katakan pada Ibu tentang pernikahan kita" Selia memohon pada Prayoga. "Tolonglah Sel, aku masih berduka, jangan paksa aku!" Prayoga mengemasi beberapa dokumen, ia akan pergi ke kantor setelah lebih dari satu Minggu ia cuti. "Tapi Mas, kau udah janji, kan?" Selia mendesak. "Selia, tolonglah, jangan buat aku tambah pusing!" nada bicara Prayoga mulai meninggi, ia mulai kesal karena Selia sepertinya sama sekali tak perduli dengan kematian sang anak. "Jangan bilang kau akan ingkar janji Mas" Selia mendekati Prayoga dan menatapnya penuh curiga. Prayoga tak bergeming, ia tetap sibuk dengan aktivitasnya, bersiap hendak ke kantor. Merasa tak dihargai, Selia kian menjadi, ia mulai gusar. "Mas!, jawab aku!. Kapan kau akan nikahi aku?!" desak Selia sambil terus mengekori Prayoga. "Selia!, stop!" hardik Prayoga. Selia kaget dan menatap tajam pada Prayoga, ia tak menduga Prayoga akan membentaknya. "Kau dengarkan aku sekarang, aku baru saja kehilangan anakku.." "Ka
Arumi tertegun, ia tak bisa berkata-kata lagi, bahkan untuk sekedar berpikir pun itu terasa sangat sulit baginya. Apa yang baru saja Selia katakan padanya sungguh membuat ia bagai di benamkan dalam lautan es, membeku dan tak bisa berbuat apa-apa. "Bagaimana Bu?, apa Ibu bisa menolong saya?" suara Selia memecah keheningan yang sempat tercipta, membuat alam sadar Arumi kembali seketika dari lamunannya. "Bu?!" "I-iya, iya, ada apa?!" Arumi tergagap. "Ibu bersedia membantu saya?" Selia mengulangi lagi pertanyaannya. "Em, itu, aku akan pikir-pikir dulu" jawab Arumi sedapatnya. "Tapi Bu, saya nggak punya banyak waktu, Bu Melinda sepertinya sangat ingin sekali memisahkan saya dan Mas Yoga" suara Selia parau, raut wajahnya juga terlihat sedih, membuat Arumi sempat merasa iba. "Tapi kenapa?, bukankah kau baru saja melahirkan anak?" Arumi bingung. "Iya, tapi.." Selia tak melanjutkan kalimatnya, seperti ada beban tersendiri yang membuat ia ragu untuk terus berbicara. "Tapi apa?" "Anak
"Ini ada apa sih, kok pada ribut?!" Prayoga yang baru pulang dari kantor terkejut saat mendengar suara gaduh dari dalam rumah, dan saat ia mencari sumber suara gaduh itu ternyata berasal dari kamarnya, di sana ada Selia dan Bu Melinda yang sedang saling serang dengan ucapan-ucapan pedas mereka. Selia dan Bu Melinda terhenti sejenak dari pertengkaran mereka saat mengetahui ada yang datang. "Untung kau pulang Yoga, lihat kelakuan wanita ini!" Bu Melinda langsung menghampiri Prayoga yang masih berdiri di tengah pintu. "Mas, kau harus jelaskan pada Ibumu ini bahwa kita saling mencintai, kita akan menjadi pasangan selamanya, ayo Mas jelaskan!" Selia tak ingin kalah dari Bu Melinda, ia juga meminta dukungan Prayoga. "Cihh!!" "Kau pikir anakku akan mencintai perempuan payah sepertimu?!, jangan mimpi kau!. Anakku Prayoga Harun, dia pria berkelas, mana mungkin dia mencintai wanita kelas bawah macam kau ini!" umpat Bu Melinda sambil tersenyum sinis. Mendengar ucapan Bu Melinda hati Selia
"Sepertinya kau sudah ingat apa posisimu di rumah ini" ucap Prayoga santai, ia terlihat tak merasa bersimpati sedikitpun pada Selia. Setelah ia kehilangan anak dan rahimnya, Prayoga mencampakkan wanita itu begitu saja. Jangankan mengucapkan maaf, bahkan ucapan terimakasih karena sudah mau mengandung anaknya selama sembilan bulan ini pun tak terlontar dari mulutnya. Selia melotot pada Prayoga, ia sangat marah pada pria yang sudah menghancurkan hidupnya itu. "Kalo kau sudah ingat, lebih baik kau segera kemasi barangmu, dan pulanglah ke rumah mu" lanjut Prayoga. "Kau benar Nak, Selia kau memang sebaiknya cepat pergi dari rumah ini, jangan sampe tetangga nanti bergunjing tentang kau dan Yoga" Bu Melinda ikut menimpali dengan kalimat provokasinya yang membuat suasana kian rumit. "Nggak, aku nggak mau pergi!" tolak Selia mentah-mentah. "Hei, ada apa denganmu?, kontrak kita sudah selesai, sesuai kesepakatan yang tertulis disitu, jika kau sudah melahirkan maka kita akan berpisah!" Prayog
Selia menangis sejadinya, ia tak menduga jika Prayoga akan berbuat kejam padanya. Tanpa memikirkan sedikitpun kondisi Selia yang masih lemah paska operasi, ia mengusir Selia dari rumahnya. "Jangan pernah kau kembali lagi dalam hidupku!" hardik Prayoga sambil melemparkan koper yang berisi barang-barang milik Selia. "Mas Yoga!" Selia mengiba, mengharap belas kasihan dari pria yang selama ini ia kenal sebagai pria yang lembut dan baik. "Oh iya, ini uangmu, pergilah dan jangan kembali!" Prayoga kemudian juga melempar amplop tebal berisi uang yang jumlahnya miliaran. Uang itu ia berikan sebagai kompensasi atas hilangnya rahim Selia, dan juga sekaligus sebagai uang tutup mulut agar Selia tak bicara pada siapapun tentang pernikahan kontrak mereka. Selia menatap nanar barang-barang yang dilempar dihadapannya itu, batinnya menjerit, rasa sakit hati yang begitu luar biasa kini ia rasakan, di saat seperti ini, terlintas juga rasa sesal karena sudah menerima tawaran Arumi dulu tanpa berpikir
Satu hari sebelumnya.. "Siapa kau?!" tanya Arumi pada seorang wanita yang datang ke rumahnya. "Apa kabar Bu Arumi?" wanita itu tersenyum manis sambil melenggang masuk ke dalam rumah meski Arumi belum memintanya. Arumi bingung, ia mengekori langkah wanita yang berpenampilan seksi itu. "Hei, siapa kau?!" tanya Arumi lagi dengan nada tinggi. "Oh ya, aku lupa, perkenalan, aku Nurselia!" wanita itu mengulurkan tangannya. Arumi bengong saat wanita itu menyebut namanya. "Selia?" gumam Arumi sambil terus mengamati wanita yang ada dihadapannya itu. "Kau tentu masih ingat aku, kan Bu?" tanya Selia dengan senyum misterius, seolah menyimpan sebuah rahasia yang besar. "Bagaimana bisa kau Selia?" tanya Arumi ragu, sebab wanita yang ada di hadapannya itu tak mirip sedikitpun dengan Selia. Wanita itu, Selia, menyeringai membuat Arumi sedikit cemas. "Ku dengar kau akan menikah dengan mantan suamiku, oh, bukan, mantan suamimu?" tanya Selia yang terus mempermainkan bibirnya, seolah
"Ada apa lagi Mas?" tanya Arumi kesal, ia sebenarnya sudah merasa malas untuk bertemu lagi dengan Prayoga, semenjak ia mendapat video dari perempuan bernama Aulia itu. "Rum, aku mohon, maafkan aku!" Prayoga langsung menghambur kearah Arumi yang berdiri dengan wajah datar. "Percayalah, semua itu nggak benar!. A-ku udah ditipu Rum!" ucap Prayoga dengan menggebu-gebu. "Apa, ditipu karamu?!" Arumi memicingkan matanya, merasa aneh dengan pernyataan mantan suaminya itu. "Iya Rum, aku nggak kenal siapa wanita itu, sungguh!" Prayoga hendak meraih tangan Arumi untuk ia genggam, agar dramanya terlihat begitu realistis. Tapi Arumi dengan cekatan menghindar. Ia tak ingin lengah lagi, ia sudah sadar kini, karena kelengahannya itulah yang membuat ia akhirnya jatuh kembali ke dalam jeratan cinta Prayoga yang sesungguhnya kini sudah tak lagi sama seperti enam tahun yang lalu. Prayoga terperanjat melihat reaksi ketus Arumi. "Rum?!" "Huhh!!" Arumi menarik nafas dan mengembuskan nya begit
"apa kabar Mas Yoga?!" seorang wanita tiba-tiba menegur Prayoga yang sedang duduk santai menikmati secangkir es kopi di sebuah cafe. Prayoga kaget dan segera meletakkan gelas berisi es kopi americano di atas meja. "hai!" seorang wanita melambaikan tangannya pada Prayoga sambil tersenyum manis. Prayoga tertegun melihat wanita itu, ia coba untuk mengingat-ingat, siapa tahu ia mengenal wanita itu, tapi ia ternyata tak bisa mengenalinya dengan mudah sebab wanita itu mengenakan kacamata hitam. "sendiri aja?" tanya wanita itu setelah berada tepat di dekat Prayoga. Prayoga tak menjawab, ia malah memandangi wanita itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. wanita itu berpenampilan cukup seksi dengan hot pant jeans yang di padu atasan rajut berbelahan dada cukup rendah hingga membuat area privasi miliknya sedikit terlihat. "kok bengong?!" ucap wanita itu sambil menjentikkan jarinya, membuat lamunan Prayoga buyar seketika. "e, si-apa kau?!" tanya Prayoga gugup. "astaga, apa waktu b
"sial!, bagaimana bisa wanita itu punya video seperti itu?, ku rasa aku udah dijebak malam itu?, tapi atas dasar apa dia lakukan itu?!" Prayoga mondar-mandir sambil terus mengoceh. "loh yoga?!, kok udah pulang?!" Bu Melinda kaget ketika melihat keberadaan Prayoga di ruang tengah. "bukankah hari ini kau dan Arumi akan fitting baju ya?" tanya Bu Melinda sambil mendekati anaknya itu. "apa terjadi sesuatu?" selidik Bu Melinda yang mulai merasa ada hal aneh yang terjadi jika melihat gelagat yang ditunjukkan Prayoga. "Yoga, kamu dengar Ibu nggak?!" pekik Bu Melinda. "iya Bu, Yoga dengar!" jawab Prayoga ketus. "kalo dengar kenapa kamu nggak jawab?!" Bu Melinda nggak kalah ketus. "Yoga lagi bingung Bu!" "bingung kenapa?, apa baju yang kalian pesan nggak sesuai?" tanya Bu Melinda sambil duduk di sofa dan menikmati secangkir teh Kamomil yang hangat dan harum. "bukan soal baju, tapi ini soal Arumi!" "crutt!" air teh yang sedang di seruput Bu Melinda muncrat seketika saat ia m
"Kok lama banget Mbok?" Prayoga bertanya pada Mbok Piah dengan gusar. Ini sudah hampir setengah jam ia menunggu Arumi yang kata Mbok Piah tadi sedang bersiap-siap. Kedua matanya terus menatap ke lantai atas, berharap Arumi segera turun untuk menemui dirinya. Prayoga merasa aneh, ia pernah hidup bersama Arumi selama enam tahun lamanya. Ia paham betul jika Arumi bukanlah tipikal wanita yang akan menghabiskan banyak waktu hanya untuk berkutat di meja rias. "Coba panggil lagi Mbok, ini udah siang!" pinta Prayoga, Mbok Piah mengangguk ragu namun ia bergegas naik ke lantai atas untuk memanggil Arumi. Prayoga gelisah, ia terus mondar-mandir kesana-kemari sambil menggerutu tak jelas. Dan tak berselang lama Arumi pun turun di ikuti oleh Mbok Piah. Prayoga tertegun melihat Arumi. Tadi menurut Mbok Piah Arumi sedang bersiap diri, tapi kini yang nampak justru berbeda. Arumi masih mengenakan daster panjang berwarna biru gelap dengan Khimar peach yang menutup kepalanya. Wajah Arumi juga
"Siapa ya?!" Mbok Piah menatap bingung pada seseorang yang berdiri di hadapannya. Sepagi itu ada seorang wanita muda yang Dadang berkunjung. Wanita itu masih sangat mudah, usianya sepertinya belum genap dua puluh tahun. Paras wajahnya cukup cantik, tubuhnya tak terlalu tinggi namun cukup sintal, apalagi ditambah dengan pakaian yang ketat membuat setiap lekuk di tubuhnya tergambar dengan jelas. Mbok Piah nampak tak suka melihat penampilan wanita itu yang terlalu seksi. "Perkenalkan, saya Aulia!" wanita itu mengulurkan tangannya pada Mbok Piah yang masih bingung. Dengan ragu Mbok Piah menerima uluran tangan wanita itu. "Maaf Bu, apa Bu Arumi nya ada?" tanya wanita bernama Aulia itu dengan ramah seolah sudah sangat mengenal Arumi. Mbok Piah memicingkan matanya, mencoba untuk menyelidiki siapa wanita itu. "E, Ibu dia, dia su-dah pergi!" jawab Mbok Piah berdusta, sebenarnya Arumi ada di rumah, tapi semalam Arumi bilang pada Mbok Piah jika hari ini ia berencana untuk melakukan fittin
Setelah Pertunangan Arumi dan Prayoga. "Selamat Rum!" Dina mengulurkan tangannya pada Arumi yang sedang sibuk di hadapan laptopnya. Arumi kaget saat mengetahui Dina sudah ada di sampingnya. Ia buru-buru menghentikan pekerjaannya itu. "Dina?!" Melihat ekspresi wajah Arumi yang terkejut, Dina hanya tersenyum datar. "Selamat ya!" ulang Dina lagi sambil memberi kode lewat kedua matanya agar Arumi menyambut uluran itu. Arumi bingung, apa maksud dari ucapan Dina itu, ia tak langsung menyambut tangan Dina, tetapi justru memperhatikan dengan tatapan gelisah. "Wah, sepertinya kau sungguh tak ingin membagi kebahagiaan mu itu denganku?" tanya Dina yang kemudian menarik lagi tangannya karena tak kunjung di sambut oleh Arumi. "A-aku nggak ngerti apa maksudmu Din?!" Arumi bingung. "Sungguh?!" Dina mulai kesal dengan sikap Arumi yang ia nilai hanya berpura-pura saja. Dina sedikit membungkukkan badannya dan melingkarkan tangannya pada bahu Arumi, lalu wajahnya ia dekatkan ke telinga Arumi.
Beberapa Minggu berlalu. "Gimana Rum, e, maksudku, apa kau menerima permintaan ku?" tanya Prayoga di suatu kesempatan saat ia dengan sengaja datang ke rumah Arumi. Arumi terdiam, bimbang. Sejak kembali lagi, Prayoga terus berusaha mendekati dirinya, ia menggunakan berbagai cara untuk memikat hati Arumi. Ia juga menunjukkan pada Arumi bahwa ia sudah berubah, ia sudah kembali menjadi dirinya yang dulu. "Rum?" suara lembut Prayoga terdengar memecah keheningan di ruang tamu rumah Arumi. "I-ya Mas?" Arumi tergagap, masih bimbang dia. "Jawab aku Rum, apa kau bersedia?, kau tak harus menjawab hari ini, kalo kau masih butuh waktu untuk berpikir lagi, aku akan berikan. Aku, aku akan kembali menunggu mu, aku rela Rum. Tapi aku mohon, katakan sesuatu padaku!" Prayoga berusaha meyakinkan Arumi, meski itu bukan yang ia inginkan. Sejujurnya, ia ingin secepatnya bisa kembali rujuk dengan Arumi. Arumi menatap Prayoga. Ia sedang berusaha untuk menelusuri mata Prayoga, ia ingin memastikan ji
"Rum, aku mau ngomong ma kamu!" Dina bicara pada Arumi yang sedang sibuk membereskan meja kerjanya. "Iya Din, ngomong aja!" jawab Arumi sambil tetap melakukan pekerjaannya itu. "Em, kita pulang bareng hari ini ya?" ucap Dina. "Aku.." "Nggak bisa lagi?" celetuk Dina seperti sudah tahu jika itu jawaban yang akan Arumi berikan. Arumi menghentikan pekerjaannya, ia menatap Dina, mencoba memberi penjelasan agar tak terjadi kesalahpahaman. "Bukan begitu Din, kemarin-kemarin aku memang sungguh ada urusan, makanya aku nggak bisa pulang bareng kamu" "Terus hari ini gimana?" "E, hari ini.." Arumi berpikir sejenak, sebenarnya hari ini ia dan Prayoga sudah berjanji akan makan bersama setelah Arumi pulang kerja. Ada restoran seafood baru di kota itu, mereka ingin mencoba makanan di restoran baru tersebut. Tapi, jika sekali ini Arumi menolak tawaran Dina, itu akan membuat Dina kian curiga padanya. Arumi jadi bimbang antara menerima atau menolak ajakan Dina, sebab keduanya sama-sam