"Terimakasih Mas karena sudah mau mengantar aku pulang" ucap Arumi sambil melepas Coat hitam yang ia kenakan."Aku mau balik lagi" Prayoga hendak melangkah keluar ruangan."Tapi ini sudah dini hari, Mas""Aku tau, tapi apa jadinya kalau Ibu atau Selia tau aku mengantar kau pulang?" Prayoga gusar."Em, baiklah, tapi setidaknya duduk dulu sebentar. Aku buatkan kopi dulu"tanpa menunggu persetujuan dari Prayoga, Arumi langsung bergegas menuju dapur.Tak berselang lama, ia sudah kembali dengan secangkir kopi almond hangat yang mengepulkan aroma wangi.Prayoga menerima cangkir itu, asap dari kopi hangat itu membuat pikiran Prayoga yang sedang kacau menjadi sedikit tenang. Arumi sudah lima tahun hidup dengan Prayoga, itulah sebabnya, ia tahu persis bagaimana suaminya itu selalu minum kopi untuk menenangkan pikirannya."Minumlah, Mas!" ucap Arumi sambil tersenyum, meski ia kini mulai asing dengan wajah ramah dan lembut seperti dulu. Sejak pernikahan kontrak Prayoga dan Selia terjadi, sejak i
"Mau kemana Mas?!" tanya Arumi setengah bingung saat melihat Prayoga memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam tas. Prayoga tak menjawab, ia masih sibuk dengan kegiatannya itu. "Mas?!" ulang Arumi, ia mulai gusar, pasti ada hal buruk yang terjadi. "Mulai hari ini aku memutuskan untuk memindahkan Selia ke rumah orang tuaku" "A-apa??!!" Arumi kaget bukan main, di pagi hari yang cerah dengan sinar mentari yang hangat itu, ia justru harus mengawalinya dengan mendengar kabar buruk. "Ta-tapi..." "Jangan bertanya apa-apa lagi, Rum" cegah Prayoga, ia sepertinya sedang malas berbicara dengan Arumi. "Ya, bukan begitu Mas. Tapi, aku tetap ingin tau, kenapa kau ingin membawa Selia untuk tinggal disana?!" Arumi penasaran sekaligus gelisah. Prayoga melemparkan satu helai pakaian yang tadi sedang ia pegang ke atas kasur begitu saja, itu sungguh memperlihatkan betapa ia tak nyaman dengan pertanyaan Arumi. "Rum, harus berapa kali aku jelaskan padamu, Selia itu istriku, ya meski kami hanya me
Selia merasa di atas angin. Permintaan maaf Arumi sungguh sudah membuat wanita itu merasa istimewa. Dan entah kenapa, tiba-tiba terbesit di dalam benak Selia untuk melakukan sesuatu yang lebih dari itu. "Em, jadi Ibu merasa bersalah?" tanya Selia dengan wajah datar. "E, itu, ya" jawab Arumi pasrah "Baiklah, karena Ibu sudah mengakuinya, saya akan maafkan" "Terimakasih Sel" Arumi segera beranjak dari kamar Selia, ia sudah merasa muak sejak tadi dengan sandiwara yang terpaksa ia mainkan. "Tunggu Bu!" langkah Arumi tertahan oleh Selia. Arumi berhenti, tapi ia tak menoleh apalagi membalikkan badannya. Ia tetap berdiri di tempatnya. "Tapi nggak semudah itu Bu" tiba-tiba Selia sudah ada di belakang Arumi. Ucapan Selia kini langsung membuat Arumi tertarik, ia seketika membalikkan badannya dan menatap tajam pada Selia yang berdiri di hadapannya. Tapi, Selia terlihat tenang, ia sama sekali tak gugup atau sungkan seperti yang biasa terjadi saat ia berhadapan dengan Arumi. Sepe
"Bu, kenapa belum diminum susunya?" tanya Mbok Piah cemas, semenjak kepergian Prayoga, Arumi mulai berubah. Ia sering terlihat murung, ia juga jarang pergi ke butik. Nafsu makannya juga bilang. Meski Mbok Piah selalu memasak makanan kesukaanya, Arumi sering tak menyentuhnya. Ia baru mau makan saat Mbok Piah memaksa, itu juga hanya beberapa suap saja. Mbok Piah jadi semakin khawatir dengan kesehatan Arumi. "Ayo minum Bu!, ini susu kurma buatan saya sendiri, saya belajar di hape, coba ya Bu!, kalau enak, boleh nggak kalau jadi apa itu, e, yang kayak orang-orang, kret..kret, apa itu.." "Kreator Mbok" celetuk Arumi sambil tersenyum tipis. Mbok Piah senang karena candaannya itu ternyata bisa membuat Arumi tersenyum, setelah beberapa waktu lamanya ia hanya murung. "Nah itu Bu. makanya, Ibu coba ya susunya!" bujuk Mbok Piah. Arumi menatap Mbok Piah, wanita tua yang selalu sabar dalam menjaga dirinya. Mbok Piah selalu ada untuk Arumi dalam segala situasi. "Makasih ya Mbok" "Untuk semu
"Apa Mbok?, Mas Yoga!" Arumi setengah tak percaya saat Mbok memberitahunya, ada Prayoga di luar sana. Arumi bergegas menuju ke jendela kamarnya, ia membuka sedikit tirainya, lalu netra indahnya mengintip ke luar. "Deg!!" jantung Arumi seperti berhenti berdetak. Mbok Piah benar, di halaman rumah tampak terparkir mobil sedang warna biru yang merupakan mobil Prayoga. Keringat dingin membasahi sekujur tubuh Arumi. Ia panik. Saat berbincang lewat telepon beberapa saat lalu, Prayoga marah besar pada Arumi dan menuduh Arumi memfitnah Selia, dengan mengatakan Selia meminta uang pada Arumi sebesar dua puluh juta untuk membeli parfum. Sedang menurut Prayoga, Selia meminta uang tak sebanyak itu, hanya beberapa juta saja. Sepertinya Prayoga belum merasa puas marah lewat telepon, ia mungkin berniat melanjutkan lagi kemarahannya secara langsung pada Arumi. "Bu, bagaimana?" Mbok Piah juga ikut panik. "Em, buka saja Mbok" ucap Arumi sambil bergegas turun ke lantai bawah. Mbok Piah s
"Kok nggak makan?" Prayoga bertanya pada Selia yang terlihat hanya mempermainkan sendoknya di atas piring berisi nasi putih dan beberapa lauk-pauk. "Sel?" ulang Prayoga dengan suara lembut, sejak Selia hamil, Prayoga memang lebih protektif pada Selia. Ia sungguh takut sampai terjadi hal buruk pada wanita yang sedang mengandung anaknya itu. Selia menggeleng. "Ayo makan, kaldu nggak makan, nanti dedek bayinya lapar, kasihan loh" Prayoga menghampiri Selia, lalu dengan tangan kekarnya ia membelai lembut perut Selia yang buncit. "Ntar ya dedek sayang, Papa masih bujuk Mama biar mau makan" ucap Prayoga yang berbicara dengan sang anak yang masih berada di dalam rahim Selia. Melihat sikap manis Prayoga, hati Selia bergetar hebat. Ada sebuah rasa aneh yang tiba-tiba hadir. Selia selalu merasa melayang di angkasa setiap kali melihat Prayoga memberinya sebuah perhatian, meski itu hanya berupa hal-hal kecil. "Uh, sungguh pria yang sempurna. Udah ganteng, kaya, baik, beruntungnya Bu A
"Mas, besok anniversary kita yang ke enam" itu bunyi pesan chat yang Arumi kirim ke nomer telpon Prayoga. Prayoga diam. Ia hanya terus memandangi layar ponselnya. Ia. yang tak ingat tentang hal itu. Ia sangat ingat, hanya saja saat ini situasi sedang tak baik. Selia dan juga Bu Melinda sama-sama ingin agar Prayoga meresmikan pernikahannya dengan Selia. Sedang Prayoga sejujurnya masih berat untuk melakukan itu. Baginya, meski saat ini rasa cinta pada Arumi sudah tak sebesar dulu, tapi ia tetap belum siap untuk melepas Arumi. Karena ia yakin, Arumi juga pasti tak akan mau jika harus dimadu secara legal. "Aku mau ke dokter" tiba-tiba Selia sudah ada di dekat Prayoga. Prayoga kaget, lamunannya buyar. "Aku antar ya?" "Nggak usah!" tolak Selia sambil bergegas pergi. "Aku antar Sel!" Prayoga buru-buru mengikuti langkah Selia. "Aku bilang nggak usah Mas!" Selia tetap menolak. "Jangan keras kepala!" Prayoga segera menuju garasi untuk mengeluarkan mobil. Tapi, Selia justru melenggang
Arumi tersenyum sumringah. Hari ini adalah hari anniversary pernikahan ia dsn Prayoga yang ke enam tahun. Meski lebih dari setengah tahun ini, ia nyaris tak bisa lagi merasakan indahnya hidup bersama Prayoga, tapi ia bersyukur karena hingga detik ini, ia masih terikat hubungan suami istri dengan pria tampan itu. "Dimana, Rum?" tiba-tiba ponsel Arumi berdering, dan saat ia lihat, ada pesan dari nomer Prayoga. Membaca pesan itu, hati Arumi berbunga-bunga, ia yakin jika Prayoga akan datang ke tempat yang sudah ia tentukan. "Di Tulip resto, Mas" jari jemari Arumi dengan lincah mengetik balasan untuk chat Prayoga. "Aku kesana" balas Prayoga. "Iya, aku tunggu" balas Arumi, ia sangat bahagia. Selesai membalas pesan Prayoga, Arumi segera menuju ke kamar kecil. Jarak dari rumah Bu Melinda dan restoran tempat saat ini ia berada tak begitu jauh, jika jalanan tak macet, hanya butuh waktu sekitar lima belas menit saja. Sesampainya di kamar kecil, ia segera mengeluarkan beberapa alat
Beberapa Minggu berlalu. "Gimana Rum, e, maksudku, apa kau menerima permintaan ku?" tanya Prayoga di suatu kesempatan saat ia dengan sengaja datang ke rumah Arumi. Arumi terdiam, bimbang. Sejak kembali lagi, Prayoga terus berusaha mendekati dirinya, ia menggunakan berbagai cara untuk memikat hati Arumi. Ia juga menunjukkan pada Arumi bahwa ia sudah berubah, ia sudah kembali menjadi dirinya yang dulu. "Rum?" suara lembut Prayoga terdengar memecah keheningan di ruang tamu rumah Arumi. "I-ya Mas?" Arumi tergagap, masih bimbang dia. "Jawab aku Rum, apa kau bersedia?, kau tak harus menjawab hari ini, kalo kau masih butuh waktu untuk berpikir lagi, aku akan berikan. Aku, aku akan kembali menunggu mu, aku rela Rum. Tapi aku mohon, katakan sesuatu padaku!" Prayoga berusaha meyakinkan Arumi, meski itu bukan yang ia inginkan. Sejujurnya, ia ingin secepatnya bisa kembali rujuk dengan Arumi. Arumi menatap Prayoga. Ia sedang berusaha untuk menelusuri mata Prayoga, ia ingin memastikan jika pr
"Rum, aku mau ngomong ma kamu!" Dina bicara pada Arumi yang sedang sibuk membereskan meja kerjanya. "Iya Din, ngomong aja!" jawab Arumi sambil tetap melakukan pekerjaannya itu. "Em, kita pulang bareng hari ini ya?" ucap Dina. "Aku.." "Nggak bisa lagi?" celetuk Dina seperti sudah tahu jika itu jawaban yang akan Arumi berikan. Arumi menghentikan pekerjaannya, ia menatap Dina, mencoba memberi penjelasan agar tak terjadi kesalahpahaman. "Bukan begitu Din, kemarin-kemarin aku memang sungguh ada urusan, makanya aku nggak bisa pulang bareng kamu" "Terus hari ini gimana?" "E, hari ini.." Arumi berpikir sejenak, sebenarnya hari ini ia dan Prayoga sudah berjanji akan makan bersama setelah Arumi pulang kerja. Ada restoran seafood baru di kota itu, mereka ingin mencoba makanan di restoran baru tersebut. Tapi, jika sekali ini Arumi menolak tawaran Dina, itu akan membuat Dina kian curiga padanya. Arumi jadi bimbang antara menerima atau menolak ajakan Dina, sebab keduanya sama-sam
"Maaf Bu, ada urusan apa mereka kemari?" Mbok Piah bertanya sambil membereskan meja makan sisa menjamu Bu Melinda dan Prayoga beberapa saat lalu, sebelum mereka pergi. "E, nggak ada Mbok, mereka cuma datang untuk minta maaf" jawab Arumi berdusta. "Lalu Ibu maafkan?" lanjut Mbok Piah seperti tak rela jika orang-orang yang sudah menyakiti Arumi itu kembali datang dalam hidup Arumi. "Apa boleh buat Mbok" "Tapi Bu, mereka sudah menyakiti Ibu, maaf kalo sara lancang, hanya saja, saya merasa itu tak adil untuk Ibu" Mbok Piah terbawa suasana di dalam hatinya, ia sungguh menyayangkan sikap Arumi yang masih mau memaafkan orang-orang itu. Entahlah, apa yang menjadi pertimbangan Arumi hingga ia bisa menerima lagi mereka, meski sudah jelas bahwa mereka lah yang membuat hidup Arumi berantakan. "Mbok nggak usah cemas, aku bisa atasi semua" Arumi bangkit dari kursinya dan bergegas pergi. Sedang Mbok Piah entah mengapa merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Arumi. Dia tak yakin jika kedatan
Arumi tertegun saat membuka pintu. Meski ia sudah tahu siapa orang yang datang. Kedua bola matanya terbelalak menyapa dua orang yang berdiri dihadapannya. "Arumi, maafkan Ibu sayang!" "Ngngng!!" tangus Bu Melinda pecah saat melihat Arumi, ia serta merta menghambur ke arah Arumi dan memeluknya erat. "Maafkan Ibu, Ibu udah menyakitimu selama ini, Ibu menyesal Arumi!" ucap Bu Melinda disela tangisnya yang menjadi. Entah itu sungguh tangis penyesalan seperti kalimat yang keluar dari bibirnya, atau itu salah satu siasat agar hati Arumi luluh, yang jelas ternyata hal itu sanggup mengguncang batin Arumi. Mata Arumi jadi berat, ia seperti terbawa suasana haru yang diciptakan oleh Bu Melinda saat ini. Cacian dan hujatan yang selama ini ia terima dari wanita perlente itu seketika terlupakan begitu saja. Hati Arumi yang memang lembut dan baik itu, tak sanggup menahan gempuran kesedihan yang dipertontonkan oleh mantan mertuanya itu. "E, I-ibu ja-ngan begitu!" ucap Arumi terbatas sambil b
Arumi melangkah keluar dari taksi dengan kaki yang gemetar. Ia masih tak percaya jika hari ini ia bertemu dengan Prayoga, pria yang sudah menghancurkan hidupnya. "Aku, aku menyesal Rum, aku sadar, kalo hanya kau wanita yang aku cintai" "Jika masih mungkin, aku ingin kembali seperti dulu, Rum" kalimat yang di ucapkan Prayoga itu, kini kembali terngiang-ngiang di telinga Arumi, membuat sekujur tubuh Arumi lemas. Entahlah, ia kini harus merasa senang, atau justru sebaliknya, takut. "Ibu udah pulang?" Mbok Piah menyambut Arumi di ambang pintu. "Bu?" Mbok Piah bingung karena Arumi tak menjawab, ia malah terlihat bengong seperti orang yang bingung. "Ibu sakit?" tanya Mbok Piah sambil menghampiri Arumi yang berdiri di depan pintu. "Bu?!" "Iya, Iya, a-da apa?!" Arumi tergagap. "Loh Mbok, ngapain disini?!" tanya Arumi sambil menatap aneh pada Mbok Piah. "Lah, saya, kan kerja disini" jawab Mbok Piah bingung. "Kerja?, sejak kapan?" tanya Arumi lagi. Mbok Piah garuk-garuk kepala, tak
"Rum, pulang bareng yuk!, kita, ksn udah lama nggak makan diluar" Dina menghampiri Arumi yang sedang bersiap untuk pulang. Hari sudah menunjukkan pukul lima sore. "Maaf, kayaknya hari ini aku belum bisa Din" tolak Arumi sambil memasukkan beberapa barangnya ke dalam tas. Dina memicingkan matanya, merasa aneh dengan penolakan dari Arumi itu. Arumi yang kemudian sadar sudah membuat Dina tak enak, buru-buru meralat ucapannya. "Mak-sud ku, hari ini aku ada urusan penting setelah pulang nanti, jadi gimana kalo besok aja?" tanya Arumi, mencoba mengembalikan rasa nyaman Dina. Dina memajukan bibirnya, meluapkan rasa kecewa. "Please Din!" Arumi menatap Dina dengan tatapan penuh iba. "Iya, iya, terserah kamu. Ya udah, aku antar aja ya?" "Oh, nggak usah, a-aku pulang sendiri aja!" lagi dan lagi Arumi menolak tawaran Dina. Dina yang semula merasa biasa saja, kini dibuat curiga lagi dengan sikap Arumi yang agak aneh itu. "kamu nggak apa-apa?" tanya Dina cemas. "Yah, aku baik, nggak apa-ap
Selia menangis sejadinya, ia tak menduga jika Prayoga akan berbuat kejam padanya. Tanpa memikirkan sedikitpun kondisi Selia yang masih lemah paska operasi, ia mengusir Selia dari rumahnya. "Jangan pernah kau kembali lagi dalam hidupku!" hardik Prayoga sambil melemparkan koper yang berisi barang-barang milik Selia. "Mas Yoga!" Selia mengiba, mengharap belas kasihan dari pria yang selama ini ia kenal sebagai pria yang lembut dan baik. "Oh iya, ini uangmu, pergilah dan jangan kembali!" Prayoga kemudian juga melempar amplop tebal berisi uang yang jumlahnya miliaran. Uang itu ia berikan sebagai kompensasi atas hilangnya rahim Selia, dan juga sekaligus sebagai uang tutup mulut agar Selia tak bicara pada siapapun tentang pernikahan kontrak mereka. Selia menatap nanar barang-barang yang dilempar dihadapannya itu, batinnya menjerit, rasa sakit hati yang begitu luar biasa kini ia rasakan, di saat seperti ini, terlintas juga rasa sesal karena sudah menerima tawaran Arumi dulu tanpa berpikir
"Sepertinya kau sudah ingat apa posisimu di rumah ini" ucap Prayoga santai, ia terlihat tak merasa bersimpati sedikitpun pada Selia. Setelah ia kehilangan anak dan rahimnya, Prayoga mencampakkan wanita itu begitu saja. Jangankan mengucapkan maaf, bahkan ucapan terimakasih karena sudah mau mengandung anaknya selama sembilan bulan ini pun tak terlontar dari mulutnya. Selia melotot pada Prayoga, ia sangat marah pada pria yang sudah menghancurkan hidupnya itu. "Kalo kau sudah ingat, lebih baik kau segera kemasi barangmu, dan pulanglah ke rumah mu" lanjut Prayoga. "Kau benar Nak, Selia kau memang sebaiknya cepat pergi dari rumah ini, jangan sampe tetangga nanti bergunjing tentang kau dan Yoga" Bu Melinda ikut menimpali dengan kalimat provokasinya yang membuat suasana kian rumit. "Nggak, aku nggak mau pergi!" tolak Selia mentah-mentah. "Hei, ada apa denganmu?, kontrak kita sudah selesai, sesuai kesepakatan yang tertulis disitu, jika kau sudah melahirkan maka kita akan berpisah!" Prayog
"Ini ada apa sih, kok pada ribut?!" Prayoga yang baru pulang dari kantor terkejut saat mendengar suara gaduh dari dalam rumah, dan saat ia mencari sumber suara gaduh itu ternyata berasal dari kamarnya, di sana ada Selia dan Bu Melinda yang sedang saling serang dengan ucapan-ucapan pedas mereka. Selia dan Bu Melinda terhenti sejenak dari pertengkaran mereka saat mengetahui ada yang datang. "Untung kau pulang Yoga, lihat kelakuan wanita ini!" Bu Melinda langsung menghampiri Prayoga yang masih berdiri di tengah pintu. "Mas, kau harus jelaskan pada Ibumu ini bahwa kita saling mencintai, kita akan menjadi pasangan selamanya, ayo Mas jelaskan!" Selia tak ingin kalah dari Bu Melinda, ia juga meminta dukungan Prayoga. "Cihh!!" "Kau pikir anakku akan mencintai perempuan payah sepertimu?!, jangan mimpi kau!. Anakku Prayoga Harun, dia pria berkelas, mana mungkin dia mencintai wanita kelas bawah macam kau ini!" umpat Bu Melinda sambil tersenyum sinis. Mendengar ucapan Bu Melinda hati Selia