"Mana Selia Mbok?" tanya Prayoga pada Mbok Piah yang sedang menghidangkan makanan untuk sarapan pagi.Mbok Piah tak langsung menjawab pertanyaan Prayoga itu, sebab disitu juga ada Arumi, ia merasa tak enak pada Arumi.Prayoga sepertinya juga sadar jika Mbok Piah enggan menjawab pertanyaannya karena segan dengan Arumi."Mbok??""E, iya, maaf Pak, saya nggak tahu" jawab Mbok Piah singkat, sambil berpamitan meminta izin untuk kembali ke dapur, karena masih ada makanan yang belum disajikan."Pasti kamu, kan yang udah nyuruh Mbok Piah bersikap begitu?!" tuduh Prayoga pada Arumi yang sedang duduk menghadap meja makan yang sudah berisi beberapa piring makanan.Arumi diam, tapi ia melirik tajam pada suaminya itu."Arumi, jawab aku!!" syara Prayoga meninggi.Akhir-akhir ini Prayoga memang sering bersikap agak keras pada Arumi. Berbeda jauh saat dirinya belum menikah dengan Selia. Terlebih saat Selia hamil, sikap Prayoga mulai berubah drastis. Ia jadi sering mengabaikan Arumi dan lebih mengutam
Arumi tak kuasa menahan rasa sedih dan sekaligus malu. Prayoga ternyata tak datang ke pesta ulang tahun Arumi. Beruntung para tamu yang datang hanyalah karyawan butik Arumi, sehingga mereka tak ada yang berani mempertanyakan keberadaan suami Arumi itu. Meski Arumi yakin, di dalam hati mereka pasti bertanya tentang hal itu."Mas Yoga benar-benar sudah keterlaluan!!" umpat Arumi sambil melangkah cepat menuju ke kamar.Dengan agak kasar ia membuka pintu kamarnya.Betapa terkejutnya Arumi, saat ia mendapati tak ada sosok Prayoga di kamar itu.Dengan darah yang mendidih menahan amarah, Arumi mempercepat langkahnya, kali ini ia menuju ke kamar lain di rumah itu, apalagi kalau bukan nanar Selia."Selia!!"Tok!, tok!, tok!!" Arumi terus menggedor pintu kamar Selia."Sel??!!!" panggil Arumi setengah berteriak.Mendengar teriakan Arumi, Mbok Piah yang kamarnya tak jauh dari kamar Selia, segera keluar kamar dan menghampiri Arumi."Ibu sudah pulang?" tanya Mbok Piah sambil mengikat rambutnya yang
"Mas Yoga??!!" langkah Arumi terhenti seketika di ambang pintu sebuah ruangan yang tak lain adalah kamar tidur. Kakinya gemetar sehingga nyaris tak mampu menopang berat tubuh Arumi. "Rum??!!" Prayoga rupanya ada di dalam kamar itu. Ketika melihat Arumi sudah berdiri di ambang pintu, pria tampan itu bergegas menghampirinya "Ngapain kamu kesini?!" tanya Prayoga sambil menarik lengan Arumi agar menjauh dari tempat itu. "Lepaskan aku Mas!!" Arumi berontak, ia merasa seperti orang asing di rumah yang selama lima tahun ini menjadi rumah kedua baginya. "Husstt!!!" jangan berisik, nanti semua orang pada kebangun!!" ucap Prayoga yang terus menarik lengan Arumi, seperti tuan rumah yang menangkap basah maling di rumahnya, Prayoga dengan cepat membawa Arumi turun lagi ke lantai bawah. "Mas Yoga, lepaskan aku!, sakit Mas!!" iba Arumi yang mulai merasa lengannya nyeri karena Prayoga mencengkeram cukup kuat. Setibanya di lantai bawah, tepatnya di ruang tamu utama, Prayoga langsung me
"Terimakasih Mas karena sudah mau mengantar aku pulang" ucap Arumi sambil melepas Coat hitam yang ia kenakan."Aku mau balik lagi" Prayoga hendak melangkah keluar ruangan."Tapi ini sudah dini hari, Mas""Aku tau, tapi apa jadinya kalau Ibu atau Selia tau aku mengantar kau pulang?" Prayoga gusar."Em, baiklah, tapi setidaknya duduk dulu sebentar. Aku buatkan kopi dulu"tanpa menunggu persetujuan dari Prayoga, Arumi langsung bergegas menuju dapur.Tak berselang lama, ia sudah kembali dengan secangkir kopi almond hangat yang mengepulkan aroma wangi.Prayoga menerima cangkir itu, asap dari kopi hangat itu membuat pikiran Prayoga yang sedang kacau menjadi sedikit tenang. Arumi sudah lima tahun hidup dengan Prayoga, itulah sebabnya, ia tahu persis bagaimana suaminya itu selalu minum kopi untuk menenangkan pikirannya."Minumlah, Mas!" ucap Arumi sambil tersenyum, meski ia kini mulai asing dengan wajah ramah dan lembut seperti dulu. Sejak pernikahan kontrak Prayoga dan Selia terjadi, sejak i
"Mau kemana Mas?!" tanya Arumi setengah bingung saat melihat Prayoga memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam tas. Prayoga tak menjawab, ia masih sibuk dengan kegiatannya itu. "Mas?!" ulang Arumi, ia mulai gusar, pasti ada hal buruk yang terjadi. "Mulai hari ini aku memutuskan untuk memindahkan Selia ke rumah orang tuaku" "A-apa??!!" Arumi kaget bukan main, di pagi hari yang cerah dengan sinar mentari yang hangat itu, ia justru harus mengawalinya dengan mendengar kabar buruk. "Ta-tapi..." "Jangan bertanya apa-apa lagi, Rum" cegah Prayoga, ia sepertinya sedang malas berbicara dengan Arumi. "Ya, bukan begitu Mas. Tapi, aku tetap ingin tau, kenapa kau ingin membawa Selia untuk tinggal disana?!" Arumi penasaran sekaligus gelisah. Prayoga melemparkan satu helai pakaian yang tadi sedang ia pegang ke atas kasur begitu saja, itu sungguh memperlihatkan betapa ia tak nyaman dengan pertanyaan Arumi. "Rum, harus berapa kali aku jelaskan padamu, Selia itu istriku, ya meski kami hanya me
Selia merasa di atas angin. Permintaan maaf Arumi sungguh sudah membuat wanita itu merasa istimewa. Dan entah kenapa, tiba-tiba terbesit di dalam benak Selia untuk melakukan sesuatu yang lebih dari itu. "Em, jadi Ibu merasa bersalah?" tanya Selia dengan wajah datar. "E, itu, ya" jawab Arumi pasrah "Baiklah, karena Ibu sudah mengakuinya, saya akan maafkan" "Terimakasih Sel" Arumi segera beranjak dari kamar Selia, ia sudah merasa muak sejak tadi dengan sandiwara yang terpaksa ia mainkan. "Tunggu Bu!" langkah Arumi tertahan oleh Selia. Arumi berhenti, tapi ia tak menoleh apalagi membalikkan badannya. Ia tetap berdiri di tempatnya. "Tapi nggak semudah itu Bu" tiba-tiba Selia sudah ada di belakang Arumi. Ucapan Selia kini langsung membuat Arumi tertarik, ia seketika membalikkan badannya dan menatap tajam pada Selia yang berdiri di hadapannya. Tapi, Selia terlihat tenang, ia sama sekali tak gugup atau sungkan seperti yang biasa terjadi saat ia berhadapan dengan Arumi. Sepe
"Bu, kenapa belum diminum susunya?" tanya Mbok Piah cemas, semenjak kepergian Prayoga, Arumi mulai berubah. Ia sering terlihat murung, ia juga jarang pergi ke butik. Nafsu makannya juga bilang. Meski Mbok Piah selalu memasak makanan kesukaanya, Arumi sering tak menyentuhnya. Ia baru mau makan saat Mbok Piah memaksa, itu juga hanya beberapa suap saja. Mbok Piah jadi semakin khawatir dengan kesehatan Arumi. "Ayo minum Bu!, ini susu kurma buatan saya sendiri, saya belajar di hape, coba ya Bu!, kalau enak, boleh nggak kalau jadi apa itu, e, yang kayak orang-orang, kret..kret, apa itu.." "Kreator Mbok" celetuk Arumi sambil tersenyum tipis. Mbok Piah senang karena candaannya itu ternyata bisa membuat Arumi tersenyum, setelah beberapa waktu lamanya ia hanya murung. "Nah itu Bu. makanya, Ibu coba ya susunya!" bujuk Mbok Piah. Arumi menatap Mbok Piah, wanita tua yang selalu sabar dalam menjaga dirinya. Mbok Piah selalu ada untuk Arumi dalam segala situasi. "Makasih ya Mbok" "Untuk semu
"Apa Mbok?, Mas Yoga!" Arumi setengah tak percaya saat Mbok memberitahunya, ada Prayoga di luar sana. Arumi bergegas menuju ke jendela kamarnya, ia membuka sedikit tirainya, lalu netra indahnya mengintip ke luar. "Deg!!" jantung Arumi seperti berhenti berdetak. Mbok Piah benar, di halaman rumah tampak terparkir mobil sedang warna biru yang merupakan mobil Prayoga. Keringat dingin membasahi sekujur tubuh Arumi. Ia panik. Saat berbincang lewat telepon beberapa saat lalu, Prayoga marah besar pada Arumi dan menuduh Arumi memfitnah Selia, dengan mengatakan Selia meminta uang pada Arumi sebesar dua puluh juta untuk membeli parfum. Sedang menurut Prayoga, Selia meminta uang tak sebanyak itu, hanya beberapa juta saja. Sepertinya Prayoga belum merasa puas marah lewat telepon, ia mungkin berniat melanjutkan lagi kemarahannya secara langsung pada Arumi. "Bu, bagaimana?" Mbok Piah juga ikut panik. "Em, buka saja Mbok" ucap Arumi sambil bergegas turun ke lantai bawah. Mbok Piah s