Arumi merasa lega karena Selia akhirnya sepakat untuk menerima kontrak pernikahan itu. Dan setelah Selia menandatangani surat itu, Arumi pun langsung mengganjarnya dengan sejumlah uang yang nominalnya cukup besar bagi seorang Selia yang berasal dari keluarga biasa. Seolah sedang berpacu dengan waktu, Arumi pun segera mengajak suaminya untuk pergi ke rumah Bu Melinda, untuk memberitahu tentang kabar itu.
"Em, lumayan, cantik dan sepertinya ia juga gadis yang baik" puji Bu Melinda saat Arumi menyodorkan selembar potret yang merupakan potret Selia. Arumi merasa cemburu saat mendengar Bu Melinda memuji Selia, tapi meski demikian ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia harus tetap diam, demi memuluskan rencana yang sudah ia rancang sendiri. "Bagaimana menurutmu Yoga?" Bu Melinda memberikan foto Selia pada Prayoga yang duduk dihadapannya. Prayoga melirik kearah Arumi, seolah hendak meminta izin, tapi Arumi hanya diam karena ia sedang sibuk dengan pikirannya yang kacau saat ini. "Terserah Ibu saja" ucap Prayoga yang hanya melihat sekilas foto Selia itu, lalu kembali memberikannya pada Bu Melinda. Arumi hanya bisa menelan ludah yang terasa amat getir, ia sebenarnya merasa sangat kecewa dengan sikap pasrah suaminya itu. Seperti sudah tak ada lagi rasa cinta di dalam hati Prayoga untuk Arumi. "Siapa dia Rum?" tanya Bu Melinda. "E, dia, dia teman saya Bu" jawab Arumi berdusta. "Oh, baguslah, kau tak sembarangan memilih wanita untuk Prayoga " "Aku ingin kau segera pertemukan kami dengan dia, e, siapa tadi namanya?" "Selia Bu" "Ya, Selia, namanya cantik seperti orangnya " lagi-lagi Bu Melinda memuji Selia, ia sepertinya sengaja membuat Arumi kesal. "Dan setelah itu, karena wanita ini adalah pilihanmu, kau juga yang harus atur semuanya . Maksudku, kau urus pernikahan Selia dan Prayoga!" "Baik Bu. Tapi, mungkin mereka akan menikah dibawah tangan saja Bu " "Tak masalah, mau dibawah tangan, atau dibawah apapun, aku nggak perduli!. Yang penting mereka segera menikah. Aku sudah nggak sabar ingin segera punya cucu" Kalimat terakhir yang Bu Melinda ucapkan, ternyata sanggup membuat mata Arumi mengembun. "Yoga, apa kau tak masalah jika pernikahan ini dipercepat?" "Terserah kalian saja!" jawab Prayoga malas, ia masih merasa tak enak dengan Arumi. Karena sejujurnya, ia masih mencintai Arumi. "Ya sudah, kalian pulanglah!, dan kau Arumi, kau urus pernikahan mereka secepatnya. Aku beri kau waktu satu Minggu" "Satu Minggu Bu?!" "Ya, bukankah lebih cepat akan lebih baik?!" "Baiklah Bu" jawab Arumi dengan berat hati. Bu Melinda pun tersenyum senang karena akhirnya mimpinya untuk bisa memiliki cucu akan segera terwujud. ____ "Ini apa Bu?" tanya Selia dengan malu-malu saat ia sedang bersama Bu Melinda. "Ini obat khusus yang Ibu beli dari Dokter spesialis kandungan terkenal di kota ini" "Ini obat penyubur kandungan, kau harus minum ini secara rutin agar setelah menikah kau akan cepat hamil" ucap Bu Melinda sambil menyodorkan plastik kecil berisi obat yang dimaksud. Selia menerima obat itu dengan perasaan yang masih bingung, ia masih tak menyangka jika ternyata pria yang akan menikahinya adalah suami Arumi. Ada rasa tak enak pada Arumi, karena semula Selia mengira ia akan menikah bukan dengan suami Arumi. "Oh iya, ini juga Ibu sudah belikan kamu buah-buahan, vitamin, susu, pokoknya lengkap. Kau harus konsumsi ini untuk membuat tubuhmu sehat, ya!" Bu Melinda memberikan Selia sebuah tas belanja besar berisi aneka makanan dan minuman yang dikhususkan untuk menambah kesuburan wanita. "Kalau ini habis, kau tinggal bilang ya!. Nanti akan Ibu belikan lagi, kau mengerti sayang?" "I, iya, Bu, iya" jawab Selia bingung, antara senang atau justru sedih karena mendapatkan perlakuan yang istimewa dari mertua wanita lain. Sedang Bu Melinda justru merasa senang karena akhirnya pernikahan Prayoga dan Selia sudah ada di depan mata. _____ Setelah Prayoga dan Selia menikah... Selia dan Prayoga akhirnya resmi menikah, meski itu hanya pernikahan secara agama. Itu memang siasat dari Arumi untuk tetap mengamankan posisinya sebagai satu-satunya istri sah Prayoga secara hukum dan agama. Dan setelah menikah, Selia pun tinggal bersama dengan Arumi dan Prayoga. Meski sejujurnya itu membuat Arumi sangat tak nyaman. Ia terpaksa kini harus berbagi segalanya dengan wanita lain, hal yang selama ini tak pernah ia bayangkan. "Kok tidur disini Mas?" tanya Arumi saat melihat Prayoga yang tidur di kamar mereka, padahal ini adalah malam pertama bagi Prayoga dan Selia. "Emangnya kenapa?, nggak boleh?" tanya Prayoga ketus. "Ya bukan begitu, tapi..." Arumi tak jadi melanjutkan kalimatnya. "Aku belum siap Rum" jawab Prayoga yang seolah tahu maksud dari ucapan Arumi itu. "Tapi kalian sudah sah Mas" "Ya, itu aku tahu!. Tapi kau, kan juga masih istriku!" bantah Prayoga. "Iya, tapi sekarang Selia juga istrimu. Kau juga harus memberi nafkah padanya sama seperti yang kau berikan padaku" Arumi dengan tegar mencoba memberi pengertian pada Prayoga. "Terserah kau saja!. Pokoknya sekarang aku belum siap!" tolak Prayoga yang langsung menarik selimutnya dan bergegas untuk tidur. Arumi hanya bisa menggeleng lemah, ia merasa cemas dengan sikap Prayoga itu. Ia takut jika sampai Selia mengadu pada Bu Melinda, dan urusan akan jadi rumit pastinya. Tapi, disisi lain, ia sebenarnya merasa senang karena Prayoga ternyata lebih memilih dirinya dibandingkan Selia. Ia berkeyakinan, jika apa yang ia rencanakan pasti akan berhasil. Arumi tetap menjadi yang utama di hati Prayoga, kehadiran Selia takkan bisa mengalihkan pandangan Prayoga dari Arumi. _____"Yoga?!" suara Bu Melinda terdengar menggelegar seperti petir yang menyambar dikala hujan. "Ada apa Bu?" Prayoga bingung. "Kau ini gimana sih, kau itu Ibu nikahkan dengan Selia agar kau bisa punya anak!" "Kalau kau tetap tidur dengan Arumi, sampe akhir dunia juga kau tetap nggak akan punya anak!" Bu Melinda terlihat sangat marah. Prayoga kaget, ia bingung bagaimana bisa Bu Melinda tahu jika ia semalam tidur dengan Arumi. Pikirannya mulai menerka pasti ada orang yang sudah mengadu pada Bu Melinda. "Apa Arumi yang bilang ke Ibu?" Prayoga menyelidiki. "Ah!, itu nggak penting!. Pokoknya mulai sekarang kau harus lebih sering tidur dengan Selia!" perintah Bu Melinda. "Tapi Arumi juga masih istriku Bu!" protes Prayoga. "Arumi itu sudah lima tahun tidur denganmu, sedang Selia, dia baru satu hari jadi istrimu, jadi kau sekarang harus lebih sering memberi nafkah batin untuk Selia!" Bu Melinda tetap bersikeras dengan pendapatnya. "Tapi Yoga nggak ingin menyakiti Arumi!" "Yoga, Yoga, ka
"Rum, hari ini aku mau antar Selia ke Dokter, ini jadwalnya pemeriksaan" ucap Prayoga sambil mengganti pakaian seusai mandi. "Tapi hari ini, kan kita sudah sepakat untuk cari lokasi buat perayaan ulang tahunku Mas?" tanya Arumi cemas. "Iya, aku tahu. Tapi ini sudah jadwalnya Selia periksa Rum!" Prayoga mencoba mempertahankan pendapatnya. "Ya, itu bisa nanti, kan setelah kita pulang?, lagian juga paling nggak lama kok" "Ya nggak bisa gitu dong!. Kalau acara ulang tahun itu bisa dirayakan kapan aja, tapi kalau jadwal pemeriksaan, itu nggak bisa di tunda lagi. Kalau hari ini batal, kita harus nunggu jadwal minggu depan" tolak Prayoga. "Kamu bisa cari Dokter lain, kan Mas?" "Nggak semudah itu dong!" "Kenapa?, bukankah di kota ini ada banyak Dokter kandungan yang bagus?" "Iya, itu benar. Tapi sejak awal Selia udah sama Dokter Febbi, jadi kalau sampai ganti Dokter lain, aku khawatir nggak cocok lagi sama Selia" "Hah?!, serius Mas?, se khawatir itu kamu sama Selia?" Arumi m
Arumi gusar karena berulang kali ia mencoba menelpon suaminya, tapi tak dijawab. Pesan chat yang ia kirim juga tak satupun yang dibaca apalagi dibalas oleh Prayoga. Arumi sungguh tak menduga, jia ternyata Prayoga berubah dengan begitu cepat setelah kehamilan Selia. Cinta yang selama lima tahun ini sepenuhnya menjadi milik Arumi, seolah kini benar-benar sudah beralih pada Selia seutuhnya. Kehamilan Selia sudah merubah kehidupan Arumi menjadi seperti di neraka. Prayoga yang biasanya selalu bersemangat saat ulang tahun Arumi sudah dekat, menyiapkan acara atau hadiah-hadiah untuk menyenangkan Arumi, kini justru cuek dan bahkan menganggap ulang tahun Arumi sebagai sesuatu yang tak penting lagi." Jadi bagaimana Bu?, apa ibu jadi memesan tempat ini?" syara seorang karyawan cafe memecah kepenatan Arumi."Oh, i-iya, ja-jadi!" jawab Arumi tergagap."Kalau begitu, kapan Ibu akan menggunakan tempat ini?""Em, besok malam, saya akan berulang tahun besok ""Oke, pukul berapa?""Pukul berapa ya..?
"Mana Selia Mbok?" tanya Prayoga pada Mbok Piah yang sedang menghidangkan makanan untuk sarapan pagi.Mbok Piah tak langsung menjawab pertanyaan Prayoga itu, sebab disitu juga ada Arumi, ia merasa tak enak pada Arumi.Prayoga sepertinya juga sadar jika Mbok Piah enggan menjawab pertanyaannya karena segan dengan Arumi."Mbok??""E, iya, maaf Pak, saya nggak tahu" jawab Mbok Piah singkat, sambil berpamitan meminta izin untuk kembali ke dapur, karena masih ada makanan yang belum disajikan."Pasti kamu, kan yang udah nyuruh Mbok Piah bersikap begitu?!" tuduh Prayoga pada Arumi yang sedang duduk menghadap meja makan yang sudah berisi beberapa piring makanan.Arumi diam, tapi ia melirik tajam pada suaminya itu."Arumi, jawab aku!!" syara Prayoga meninggi.Akhir-akhir ini Prayoga memang sering bersikap agak keras pada Arumi. Berbeda jauh saat dirinya belum menikah dengan Selia. Terlebih saat Selia hamil, sikap Prayoga mulai berubah drastis. Ia jadi sering mengabaikan Arumi dan lebih mengutam
Arumi tak kuasa menahan rasa sedih dan sekaligus malu. Prayoga ternyata tak datang ke pesta ulang tahun Arumi. Beruntung para tamu yang datang hanyalah karyawan butik Arumi, sehingga mereka tak ada yang berani mempertanyakan keberadaan suami Arumi itu. Meski Arumi yakin, di dalam hati mereka pasti bertanya tentang hal itu."Mas Yoga benar-benar sudah keterlaluan!!" umpat Arumi sambil melangkah cepat menuju ke kamar.Dengan agak kasar ia membuka pintu kamarnya.Betapa terkejutnya Arumi, saat ia mendapati tak ada sosok Prayoga di kamar itu.Dengan darah yang mendidih menahan amarah, Arumi mempercepat langkahnya, kali ini ia menuju ke kamar lain di rumah itu, apalagi kalau bukan nanar Selia."Selia!!"Tok!, tok!, tok!!" Arumi terus menggedor pintu kamar Selia."Sel??!!!" panggil Arumi setengah berteriak.Mendengar teriakan Arumi, Mbok Piah yang kamarnya tak jauh dari kamar Selia, segera keluar kamar dan menghampiri Arumi."Ibu sudah pulang?" tanya Mbok Piah sambil mengikat rambutnya yang
"Mas Yoga??!!" langkah Arumi terhenti seketika di ambang pintu sebuah ruangan yang tak lain adalah kamar tidur. Kakinya gemetar sehingga nyaris tak mampu menopang berat tubuh Arumi. "Rum??!!" Prayoga rupanya ada di dalam kamar itu. Ketika melihat Arumi sudah berdiri di ambang pintu, pria tampan itu bergegas menghampirinya "Ngapain kamu kesini?!" tanya Prayoga sambil menarik lengan Arumi agar menjauh dari tempat itu. "Lepaskan aku Mas!!" Arumi berontak, ia merasa seperti orang asing di rumah yang selama lima tahun ini menjadi rumah kedua baginya. "Husstt!!!" jangan berisik, nanti semua orang pada kebangun!!" ucap Prayoga yang terus menarik lengan Arumi, seperti tuan rumah yang menangkap basah maling di rumahnya, Prayoga dengan cepat membawa Arumi turun lagi ke lantai bawah. "Mas Yoga, lepaskan aku!, sakit Mas!!" iba Arumi yang mulai merasa lengannya nyeri karena Prayoga mencengkeram cukup kuat. Setibanya di lantai bawah, tepatnya di ruang tamu utama, Prayoga langsung me
"Terimakasih Mas karena sudah mau mengantar aku pulang" ucap Arumi sambil melepas Coat hitam yang ia kenakan."Aku mau balik lagi" Prayoga hendak melangkah keluar ruangan."Tapi ini sudah dini hari, Mas""Aku tau, tapi apa jadinya kalau Ibu atau Selia tau aku mengantar kau pulang?" Prayoga gusar."Em, baiklah, tapi setidaknya duduk dulu sebentar. Aku buatkan kopi dulu"tanpa menunggu persetujuan dari Prayoga, Arumi langsung bergegas menuju dapur.Tak berselang lama, ia sudah kembali dengan secangkir kopi almond hangat yang mengepulkan aroma wangi.Prayoga menerima cangkir itu, asap dari kopi hangat itu membuat pikiran Prayoga yang sedang kacau menjadi sedikit tenang. Arumi sudah lima tahun hidup dengan Prayoga, itulah sebabnya, ia tahu persis bagaimana suaminya itu selalu minum kopi untuk menenangkan pikirannya."Minumlah, Mas!" ucap Arumi sambil tersenyum, meski ia kini mulai asing dengan wajah ramah dan lembut seperti dulu. Sejak pernikahan kontrak Prayoga dan Selia terjadi, sejak i
"Mau kemana Mas?!" tanya Arumi setengah bingung saat melihat Prayoga memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam tas. Prayoga tak menjawab, ia masih sibuk dengan kegiatannya itu. "Mas?!" ulang Arumi, ia mulai gusar, pasti ada hal buruk yang terjadi. "Mulai hari ini aku memutuskan untuk memindahkan Selia ke rumah orang tuaku" "A-apa??!!" Arumi kaget bukan main, di pagi hari yang cerah dengan sinar mentari yang hangat itu, ia justru harus mengawalinya dengan mendengar kabar buruk. "Ta-tapi..." "Jangan bertanya apa-apa lagi, Rum" cegah Prayoga, ia sepertinya sedang malas berbicara dengan Arumi. "Ya, bukan begitu Mas. Tapi, aku tetap ingin tau, kenapa kau ingin membawa Selia untuk tinggal disana?!" Arumi penasaran sekaligus gelisah. Prayoga melemparkan satu helai pakaian yang tadi sedang ia pegang ke atas kasur begitu saja, itu sungguh memperlihatkan betapa ia tak nyaman dengan pertanyaan Arumi. "Rum, harus berapa kali aku jelaskan padamu, Selia itu istriku, ya meski kami hanya me
"Sepertinya kau sudah ingat apa posisimu di rumah ini" ucap Prayoga santai, ia terlihat tak merasa bersimpati sedikitpun pada Selia. Setelah ia kehilangan anak dan rahimnya, Prayoga mencampakkan wanita itu begitu saja. Jangankan mengucapkan maaf, bahkan ucapan terimakasih karena sudah mau mengandung anaknya selama sembilan bulan ini pun tak terlontar dari mulutnya. Selia melotot pada Prayoga, ia sangat marah pada pria yang sudah menghancurkan hidupnya itu. "Kalo kau sudah ingat, lebih baik kau segera kemasi barangmu, dan pulanglah ke rumah mu" lanjut Prayoga. "Kau benar Nak, Selia kau memang sebaiknya cepat pergi dari rumah ini, jangan sampe tetangga nanti bergunjing tentang kau dan Yoga" Bu Melinda ikut menimpali dengan kalimat provokasinya yang membuat suasana kian rumit. "Nggak, aku nggak mau pergi!" tolak Selia mentah-mentah. "Hei, ada apa denganmu?, kontrak kita sudah selesai, sesuai kesepakatan yang tertulis disitu, jika kau sudah melahirkan maka kita akan berpisah!" Prayog
"Ini ada apa sih, kok pada ribut?!" Prayoga yang baru pulang dari kantor terkejut saat mendengar suara gaduh dari dalam rumah, dan saat ia mencari sumber suara gaduh itu ternyata berasal dari kamarnya, di sana ada Selia dan Bu Melinda yang sedang saling serang dengan ucapan-ucapan pedas mereka. Selia dan Bu Melinda terhenti sejenak dari pertengkaran mereka saat mengetahui ada yang datang. "Untung kau pulang Yoga, lihat kelakuan wanita ini!" Bu Melinda langsung menghampiri Prayoga yang masih berdiri di tengah pintu. "Mas, kau harus jelaskan pada Ibumu ini bahwa kita saling mencintai, kita akan menjadi pasangan selamanya, ayo Mas jelaskan!" Selia tak ingin kalah dari Bu Melinda, ia juga meminta dukungan Prayoga. "Cihh!!" "Kau pikir anakku akan mencintai perempuan payah sepertimu?!, jangan mimpi kau!. Anakku Prayoga Harun, dia pria berkelas, mana mungkin dia mencintai wanita kelas bawah macam kau ini!" umpat Bu Melinda sambil tersenyum sinis. Mendengar ucapan Bu Melinda hati Selia
Arumi tertegun, ia tak bisa berkata-kata lagi, bahkan untuk sekedar berpikir pun itu terasa sangat sulit baginya. Apa yang baru saja Selia katakan padanya sungguh membuat ia bagai di benamkan dalam lautan es, membeku dan tak bisa berbuat apa-apa. "Bagaimana Bu?, apa Ibu bisa menolong saya?" suara Selia memecah keheningan yang sempat tercipta, membuat alam sadar Arumi kembali seketika dari lamunannya. "Bu?!" "I-iya, iya, ada apa?!" Arumi tergagap. "Ibu bersedia membantu saya?" Selia mengulangi lagi pertanyaannya. "Em, itu, aku akan pikir-pikir dulu" jawab Arumi sedapatnya. "Tapi Bu, saya nggak punya banyak waktu, Bu Melinda sepertinya sangat ingin sekali memisahkan saya dan Mas Yoga" suara Selia parau, raut wajahnya juga terlihat sedih, membuat Arumi sempat merasa iba. "Tapi kenapa?, bukankah kau baru saja melahirkan anak?" Arumi bingung. "Iya, tapi.." Selia tak melanjutkan kalimatnya, seperti ada beban tersendiri yang membuat ia ragu untuk terus berbicara. "Tapi apa?" "Anak
"Mas, tolong katakan pada Ibu tentang pernikahan kita" Selia memohon pada Prayoga. "Tolonglah Sel, aku masih berduka, jangan paksa aku!" Prayoga mengemasi beberapa dokumen, ia akan pergi ke kantor setelah lebih dari satu Minggu ia cuti. "Tapi Mas, kau udah janji, kan?" Selia mendesak. "Selia, tolonglah, jangan buat aku tambah pusing!" nada bicara Prayoga mulai meninggi, ia mulai kesal karena Selia sepertinya sama sekali tak perduli dengan kematian sang anak. "Jangan bilang kau akan ingkar janji Mas" Selia mendekati Prayoga dan menatapnya penuh curiga. Prayoga tak bergeming, ia tetap sibuk dengan aktivitasnya, bersiap hendak ke kantor. Merasa tak dihargai, Selia kian menjadi, ia mulai gusar. "Mas!, jawab aku!. Kapan kau akan nikahi aku?!" desak Selia sambil terus mengekori Prayoga. "Selia!, stop!" hardik Prayoga. Selia kaget dan menatap tajam pada Prayoga, ia tak menduga Prayoga akan membentaknya. "Kau dengarkan aku sekarang, aku baru saja kehilangan anakku.." "Ka
"Cucuku, ngngng!!" rintihan tangis yang menyayat terus terdengar dari bibir Bu Melinda. Wanita itu tak henti-hentinya menangis sepanjang prosesi pemakaman. Bahkan setelah jasad sang cucu selesai di kuburkan, dan orang-orang juga sudah mulai pamit pulang satu-persatu, hingga hanya menyisakan keluarga inti saja, Bu Melinda tetap tak menghentikan tangisnya. Harapannya untuk memiliki sang pewaris kini telah kandas. Anak yang dinanti selama ini dengan begitu banyak pengharapan, kini harus pergi untuk selamanya, bahkan sebelum ia sempat menggendongnya walau untuk sebentar. "Bu, sudahlah, jangan ditangisi terus, kita harus merelakan dengan ikhlas agar ia tenang di sana" Pak Harun mencoba membujuk sang istri yang masih duduk bersimpuh di dekat nisan. "Nggak Yah, Ibu nggak bisa merelakan begitu saja!" tolak Bu Melinda disela Isak tangisnya. "Tapi dia sudah pergi, meski Ibu nggak reka, cucu kita nggak akan kembali lagi Bu" tegas Pak Harun. "Jadi, Ibu nggak usah terus meratap seperti i
"Mana anak kita Mas?" suara Selia terdengar lirih, ia masih merasa sakit paska operasi pengangkatan rahimnya beberapa saat lalu. Prayoga tak menjawab, ia hanya menatap Selia nanar. "Mas?, mana anak kita?" Selia mengulangi lagi pertanyaannya itu. "Anakmu ada di UGD!" jawab Bu Melinda yang duduk tak jauh dari Selia. "A-pa?, UGD?!" Selia kaget, ia menatap penuh tanya pada Prayoga yang masih terdiam. "Apa benar yang Ibu katakan, Mas?" tanya Selia. Prayoga mengganguk. Seketika Selia merasa lunglai, tubuhnya yang memang sedang lemah setelah melahirkan dan juga operasi, kini terasa seperti hancur. Janji akan dijadikan istri sah membuat naluri sebagai orang tua begitu kentara dalam diri Selia. Ia merasa terpukul setelah mengetahui bayi yang baru ia lahir kan ke dunia ini, ternyata harus langsung mengalami cobaan yang berat. "Ta-pi kenapa dia bisa ada di sana?" tanya Selia dengan suara yang mulai parau. Prayoga lagi dan lagi hanya bisa diam. "Mas?!, jelaskan, jangan hanya
Operasi pengangkatan rahim Selia sudah selesai. Tapi, Selia masih belum sadar karena efek obat bius. Dokter yang menangani Selia segera keluar ruangan setelah operasi usai. "Bagaimana Dok?" sambut Prayoga saat mengetahui Dokter keluar. Begitu juga Bu Melinda dan Pak Harun, wajah mereka nampak tegang. "Syukurlah, operasinya berjalan lancar. Tapi, pasien masih belum sadar. Bapak tak usah cemas, itu hanya efek obat bius, tak lama lagi pasien agar segara sadar. Di dalam juga ada perawat yang menjaga" Dokter memberi penjelasan, Prayoga manggut-manggut, merasa lega, tapi tak begitu yang terlihat pada Bu Melinda, ia justru terlihat gelisah. "Saya permisi, jika ada keluhan, bisa langsung ke ruangan saya" sang Dokter pamit. Setelah dokter itu pergi, Bu Melinda yang sudah siuman dari pingsannya tadi, segera menghampiri Prayoga. "Yoga, Ibu jadi nggak tenang" bisik Bu Melinda. "Nggak tenang gimana sih Bu?" Prayoga bingung. "Sini deh, kita ngobrol sambil duduk" ajak Bu Melinda.
Prayoga merasa hancur seketika setelah mendengar penjelasan sang Dokter. Anaknya yang baru lahir ke dunia beberapa menit lalu dinyatakan dalam kondisi mengkhawatirkan. Belum lagi istri sirinya, Selia, yang juga di diagnosa memiliki masalah dengan rahimnya paska melahirkan. Kondisi Selia tak kalah buruk dibandingkan dengan kondisi anak ya, keduanya harus segera mendapatkan tindakan medis, karena jika tidak, terkhusus sang anak nyawanya bisa terancam. Tak ada pilihan bagi Prayoga selain dari menandatangani surat pernyataan setuju untuk tindakan medis bagi keduanya. Waktu tak bisa menunggu terlalu lama, ia bahkan tak sempat memberitahu pada orang tuanya tentang hal itu. "Yoga, mana cucu Ibu?, Ibu nggak sabar pengen lihat!" Bu Melinda segera mencecar Prayoga ketika melihat puteranya itu berjalan kearahnya. "Iya Nak, mana bayinya, kok kita nggak diberi kesempatan untuk melihat sih?" Pak Harun juga sepertinya tak sabar ingin melihat cucu pertamanya itu. Prayoga tak menjawab, ia seger
Sementara itu di rumah sakit pusat kota. "Mas, aku takut" bisik Selia pada Prayoga. "Kamu nggak usah takut, ada aku disini, semua akan baik-baik saja" Prayoga berusaha menguatkan Selia, meski ia sendiri sebenarnya juga didera rasa takut. Seumur hidup, ia belum pernah masuk ke ruang operasi. Melihat ruangan yang dipenuhi oleh peralatan medis, dan aroma obat yang begitu menusuk hidung, membuat Prayoga merasa pusing. Tapi , ia tak boleh memperlihatkan rasa tak nyamannya itu. Demi Selia, Prayoga harus kuat dan terlihat baik-baik saja. Tak berselang lama, beberapa petugas medis masuk. Mereka sudah menggunakan pakaian operasi lengkap. Melihat hal itu, Prayoga kian tegang. Begitu juga Selia, ia terlihat panik. "Bagaimana Ibu, kita bisa mulai operasinya?" tanya seorang petugas medis yang merupakan dokter yang akan mengepalai operasi kelahiran itu. "E, Dokter, ini nggak sakit, kan?" tanya Selia yang tak bisa lagi menutupi rasa takutnya. Mendegar pertanyaan Selia, Dokter itu terseny