“Sudahlah!” seru ayahnya. “Biarkan saja jika Kian tidak mau datang untuk makan malam! Yang terpenting, kamu sudah hadir di sini. Ayo kita ke ruang makan! Koki di rumahku sudah menyiapkan menu terbaik.”Ayahnya menekan punggung Helga dan membimbingnya menuju ke ruang makan. Marisa dan Adinda saling tukar pandang, lalu Marisa mengangkat alisnya. Ibu mereka masih terus memasang wajah masam sambil melipat tangannya di dada.Marisa merangkul ibunya dan kemudian mereka sama-sama mengikuti ayah mereka ke ruang makan. Ia cukup yakin jika ibunya sedang banyak tekanan dalam pikirannya. Ayahnya yang baru saja pulang dari rumah sakit, tapi malah langsung mengajak Helga untuk makan malam.Sikap ayahnya agak berlebihan, tidak seperti biasanya. Ayahnya terlalu terang-terangan menunjukkan bahwa ia sangat menyukai Helga.Untuk sejenak, Marisa mengesampingkan rasa bencinya dan fokus untuk menyantap makan malamnya. Sepertinya Adinda pun melakukan hal yang sama. Ia tidak lagi mendelik ke arah Helga.Si t
Malam semakin larut, Kian menyetir mobilnya menuju ke rumah. Seharusnya Helga sudah pulang dari rumahnya. Ketika ia hendak berbelok masuk ke jalan rumahnya, ia merasa khawatir jika tiba-tiba ia akan mendapatkan kejutan di rumahnya. Apa pun bisa saja terjadi. Kian pun mengeluarkan ponselnya dan mengaktifkannya. Ada banyak panggilan tak terjawab dari ibunya, Adinda, Marisa, dan juga Helga. Ia membaca pesan yang masuk satu per satu. Pesan dari Adinda ia buka terlebih dulu. “Kak Kian pengecut! Kenapa Kakak tidak pulang dan menghadapi Helga? Usir dia dari rumah ini!” Kian tersenyum. Adinda sepertinya setuju jika Kian dan Helga tidak perlu dijodohkan. Adiknya itu adalah orang yang telah memergokinya di hotel saat ia sedang berselingkuh dengan Helga. Rasanya tidak mungkin jika Adinda menerima Helga begitu saja. Kian membalasnya. “Maafkan aku. Apa Helga sudah pulang?” Lalu ia membaca pesan dari Marisa. “Begitu kamu tiba di rumah, aku akan langsung men
Semalaman itu Kian terus menerus memikirkan tentang ucapan Marisa. Untuk apa ia memaksa membawa Laureta pulang ke rumah ini jika pada akhirnya, ia hanya akan membuat Laureta menderita? Sebutan anak perampok itu tidak akan hilang begitu saja. Semua orang belum tentu akan menaruh rasa hormat lagi pada Laureta setelah mengetahui statusnya yang sebenarnya. Lantas, apa yang sebenarnya Kian inginkan? Mengikuti egonya untuk tetap membawa Laureta kembali ke sini? Atau ia justru harus merelakan Laureta supaya wanita itu bisa hidup bebas dan merasakan kebahagiaannya yang sesungguhnya? Perlahan setetes air mata pun mengalir di pipinya. Ia tidak rela jika harus kehilangan wanita itu untuk selamanya. Apakah Laureta pun tega membiarkan Kian hidup sendirian tanpa dirinya? Kian menoleh ke samping tempat tidurnya, tempat biasanya Laureta berbaring dengan wajahnya yang polos. Andai ia bisa, ia ingin tahu apa yang sebenarnya Laureta pikirkan. Apa yang sebenarnya tengah
Sejujurnya, Kian tidak tahu mau pergi ke mana karena ia tidak punya tujuan sama sekali. Ia tidak pernah merencanakan hal ini dalam hidupnya. Untuk pertama kalinya Kian dengan penuh amarah, keluar dari rumah yang sejak kecil ia dibesarkan di sana.Kian merasa hampa. Pikirannya serabutan dalam kepalanya, membuatnya jadi pusing. Ia menghentikan mobilnya di pinggir jalan dan berusaha merenungkan apa yang tengah ia lakukan.Apalah gunanya ia pergi dari rumahnya jika tidak ada yang mencarinya. Tak ada yang peduli padanya. Orang tuanya hanya ingin supaya Kian menikah dengan Helga dan segera memberi mereka cucu laki-laki.Seharusnya hal itu tidak terdengar sulit. Namun, begitu Kian melibatkan perasaan dalam kepentingan keluarga ini, yang ada ia tenggelam dalam perasaannya. Ia pun harus merelakan banyak hal untuk memperjuangkan apa yang hatinya inginkan.Laureta. Di manakah Kian bisa menemukan Laureta?Seandainya ia bisa menemukan wanita itu, apakah Laureta bersedia untuk kembali padanya? Apa
“Bukan urusanmu,” ucap Kian dingin.“Ah, ayolah. Apa kamu sedang berlibur ke pantai? Pantai mana? Apa aku boleh menemuimu?”Kian cukup yakin jika Helga pasti akan mengancam Clara untuk memberitahunya keberadaan Kian. Kebetulan Kian tidak memberitahu Clara posisinya ada di mana. Tak ada yang tahu, tapi sebentar lagi Helga pasti tahu.“Untuk apa kamu menemuiku? Aku sedang bersenang-senang di sini.”“Ah ya, tentu saja. Kamu sedang bersenang-senang setelah kepergian Laureta. Kamu senang karena akhirnya kamu bebas dan kamu bisa berkencan denganku semaumu.”“Tidak denganmu.”Helga terdiam sejenak. “Apa maksudmu?”“Aku bisa berkencan dengan wanita mana pun yang aku suka, tidak harus kamu,” ujar Kian.“Begitu ya? Aku tidak yakin kalau kamu akan bersikap seperti itu. Kamu hanya sedang bingung dan tidak tahu harus melakukan apa. Ingat, kamu masih punya aku untuk meluapkan semua kesedihanmu. Aku siap untuk melakukan apa saja untukmu. Apa perlu aku menyusulmu malam ini juga?”“Tidak perlu,” ujar
Miya menoleh pada Kian. “Sentuh saja! Di mana pun kamu ingin menyentuh Miya. Sentuhlah dengan sepenuh hatimu.”Miya tiba-tiba menarik tangan Kian dan menaruhnya di payudaranya. Kian terkesiap. Ia segera menarik tangannya. Sekujur tubuhnya merinding menyentuh benda padat nan empuk itu. Sudah lama sekali rasanya semenjak ia menyentuh Laureta, ia baru menyentuh lagi yang seperti itu.Milik Miya sangat besar dan amat sangat besar hingga Kian khawatir benda itu akan meledak jika tertusuk jarum. Kian bergidik dan kembali fokus menyetir.Miya terkekeh manja. “Kenapa, Sayang? Kamu seperti yang kaget.”Kian mengatur napasnya dan menoleh pada Miya yang tampak senang. Ia tersenyum manja sambil memainkan rambutnya yang panjang. Lalu ia sengaja menurunkan sedikit bajunya supaya belahan dadanya semakin terlihat jelas.“Mau pegang langsung ke kulitnya juga boleh. Kalau kamu butuh seks, aku akan memberikanmu tiga ronde sesukamu. Bagai
Tiba di hotel, Helga segera menaruh kopernya di kamar. Sejujurnya, ia tidak tahu harus mulai mencari Kian ke mana. Lalu ia melihat ada postingan baru di statusnya Kian. Betapa terkejutnya ia karena melihat seorang wanita seksi sedang berfoto dengan Kian.Sepertinya ucapan Kian tentang berpesta dengan teman kencannya itu memang benar adanya. Hati Helga terasa pedih melihat foto mesra Kian yang sedang dicium oleh wanita asing itu.Kian tidak mungkin mengkhianatinya. Pria itu pasti sengaja melakukan semua ini supaya dirinya cemburu. Menolak pemikiran bahwa semua itu benar, Helga pun bersikeras untuk mengejar Kian sampai ke tempat café itu.Saat mengecek peta di ponselnya, ternyata posisinya sangat jauh dari hotelnya berada. Dengan lemas, Helga duduk di kasur dan menaruh ponselnya.Ia merasa sia-sia menyusul Kian sampai ke tempat ini. Pria itu tidak akan merespon kehadirannya. Belum apa-apa, Helga rasanya ingin menjerit keras-keras. Namun, ia tidak aka
“Kamu harus menciumku,” perintah Miya pada Kian.“Aku tidak mau!” tolak Kian. “Jangan memintaku melakukan hal-hal yang aneh.”Miya mengangkat alisnya. “Kamu yakin tidak ingin membuat orang itu patah hati? Aku rasa, cara ini akan berhasil kalau dia sampai melihatmu menciumku.”“Dia belum tentu datang ke sini.”“Oh ya? Coba cek sosial mediamu. Apa dia sudah melihat status barumu? Haruskah kita unggah foto lainnya?”Terpaksa Kian mengeluarkan ponselnya dan melihat orang yang sudah melihat statusnya. Ternyata Helga sudah melihatnya. Miya sengaja menyematkan nama tempat beach club ini supaya Helga bisa lebih mudah menemukannya.Kian merasa bersalah karena melakukan semua ini demi menghancurkan perasaan Helga. Namun, tak ada jalan lain selain membuat Helga cemburu.“Dia sudah melihatnya sejak setengah jam yang lalu,” ujar Kian.“Baguslah kalau begitu. Apa kamu tahu dia menginap di mana?” tanya Miya.Kian menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu.”“Ya sudah. Mungkin dia baru akan tiba di sin
Zion adalah anak yang sangat lucu dan pintar. Di usianya yang menginjak lima bulan, anak itu sudah bisa diajak bercanda. Siapa pun yang bertemu dengannya pasti akan gemas dengan tingkah lakunya.Hari itu adalah pertama kalinya Kian bertemu dengan Zion. Kian tampak tegang sekali seperti hendak bertemu dengan presiden. Laureta terkekeh sejak tadi menertawakan sikap Kian.Laureta baru saja pulang kerja dan Kian yang menjemputnya. Pria itu menyetir mobil menuju ke rumahnya tanpa Laureta perlu menunjukkan arah seolah ia sudah tahu alamatnya di mana.“Bagaimana kamu bisa tahu alamat rumahku? Ah, kamu memang memata-mataiku, ya kan.”Kian tidak menggubris candaannya. Pria itu fokus menyetir hingga berhenti di depan rumahnya.“Aku memang pernah mengikuti Ivan sampai ke rumah ini. Aku ingin tahu apakah benar kamu tinggal bersama dengannya di sini,” ungkap Kian.Laureta pun tersenyum. “Ya sudah. Kali ini aku akan memaafkan
Kian memutar tubuh Laureta, lalu wanita itu pun menengadahkan kepalanya sambil mengangkat kakinya hingga berada dalam dekapan Kian. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.Kian pun mendekatkan bibirnya dan mencium Laureta dengan lembut. Laureta pikir lututnya akan goyah hingga ia tidak sanggup untuk berpijak di bumi. Namun, Kian menopangnya, mendekapnya dengan erat.Laureta pun membalas ciuman itu. Ia yakin sekali jika dalam hidupnya, ia hanya mencintai satu pria, yaitu Kian seorang. Susah payah ia menutupi perasaannya, tapi ia tak akan sanggup. Kian benar-benar telah mencuri hatinya.Usai ciuman yang memabukkan itu, Kian pun melepaskan diri. Napas mereka sama-sama saling memburu. Kian mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya, lalu berlutut di hadapan Laureta.“Laureta Widya, maukah kamu menikah denganku? Lagi?”Laureta terkesima menatap cincin berlian di dalam kotak mungil berwarna merah. Ia pun mengangguk dan berkata, “Ya, aku
Laureta tersenyum membaca pesan singkat dari Ivan. “Pacar?” gumamnya.“Ada apa?” tanya Kian.“Uhm, tidak ada apa-apa.”“Ayolah! Aku ingin tahu. Kamu tadi bilang pacar. Pacar siapa?”Kian merebut ponselnya dari tangannya. Ia malu sekali saat Kian membaca pesan itu dari Ivan. Kian pun tertawa lepas.“Astaga! Jadi, apakah aku harus memanggil Ivan kakak mulai sekarang? Dia itu kakakmu kan?”Laureta terkekeh. “Mungkin begitu. Dia pernah menyuruhku untuk memanggilnya kakak, tapi aku tidak mau.”“Kenapa? Sepertinya usianya lebih tua darimu.” Kian menautkan alisnya, tapi Laureta menggelengkan kepala. “Kamu saja selalu memanggilku nama padahal usia kita terpaut delapan belas tahun. Atau mungkin sekarang aku punya panggilan baru?”“Apa itu?”“Papa?”Laureta terkejut. “Papa? Kamu kan bukan ayahku!&rdq
“Kamu siap?” tanya Ivan sambil mengulurkan tangannya pada Laureta.Ia tersenyum dan kemudian menyerahkan tangannya pada Ivan. Ia baru saja turun dari mobil. Lalu mereka berjalan bergandengan, masuk ke dalam gedung mewah. Di dalam sana sedang ada acara pernikahan seorang anak pengusaha importir, rekan kerjanya Ivan.Sebenarnya, Laureta tidak perlu datang ke sini karena ia sama sekali tidak mengenal siapa pun di sini. Namun, Ivan bersikeras mengajaknya karena menurutnya Laureta pasti akan senang mencicipi berbagai macam makanan yang unik-unik di sana.Laureta pun terpaksa ikut. Ia melangkahkan kakinya dengan penuh percaya diri. Ivan membelikannya gaun yang ia pakai sekarang. Gaun itu berwarna biru tua dengan belahan rok yang tinggi hingga menampilkan kakinya yang tampak jenjang berbalut sepatu hak tinggi bertali hingga ke betisnya.Banyak sekali tamu yang datang ke acara pernikahan itu. Semua wanitanya mengenakan gaun yang sangat cantik dan para
Laureta menatap kedua tangannya yang gemetar. Ia pikir ia sudah gila karena menyerahkan amplop berisi cek satu setengah milyar. Laureta menepi di pinggir jalan, lalu menangis sejadi-jadinya. Ia tak kuasa lagi menahan semua emosi yang ada di dalam dadanya.Demi Tuhan, ia baru saja bertemu dengan Kian Aleandro, pria yang pernah menjadi suaminya. Meski pertemuannya hanya berlangsung selama beberapa menit, tapi efeknya luar biasa. Sekujur tubuhnya gemetar dan ia kesusahan untuk menginjak gas di kakinya.Dengan susah payah, Laureta menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Lalu ia pun kembali menangis sambil menutup muka dengan kedua tangannya.Kian begitu tampan mempesona. Tatapan matanya begitu tajam seperti biasanya dan seakan Laureta bisa tenggelam di dalamnya. Lalu pria itu memeluknya begitu saja.Hati Laureta dilingkupi oleh kehangatan yang tak pernah ia rasakan selama lebih dari satu tahun ini. Perasaannya jungkir balik seolah kakinya ber
Kian mendongak dan semua seolah terjadi dalam adegan lambat. Ia melihat Laureta masuk ke dalam ruangan dalam balutan kaus hitam ketat dengan potongan leher berbentuk kotak. Bagian lengannya berbahan tile halus hingga kulitnya jadi terlihat samar-samar. Bagian bawahnya ia mengenakan celana cargo dengan banyak kantung yang membuatnya tampak sangat keren.Kian terkesima melihat wanita yang pernah menjadi istrinya itu muncul lagi dalam hidupnya. Laureta tidak pernah terlihat secantik dan seanggun itu dalam hidupnya. Laureta terlihat tomboy, tapi juga elegan dalam waktu bersamaan.“Maaf aku terlambat,” ucapnya dengan suara yang terdengar amat merdu di kuping Kian.Tergerak untuk langsung melompat dari kursi dan memeluk wanita itu, Kian pun menahan dirinya.“Kamu memotong rambutmu,” ucap Kian yang masih melongo.Kalimat pertama yang ia ucapkan malah terdengar konyol dan tidak penting sama sekali. Ia jadi terlihat sangat bodoh di h
Betapa sedihnya Kian karena ia harus menerima kenyataan jika Laureta memang tidak mau bertemu lagi dengannya.“Ya. Kamu sudah membuatnya merasa terbuang dari rumahmu itu. Semua orang membencinya karena kalian menyebutnya anak perampok. Dia tidak mau menghalangimu untuk menikah dengan wanita yang kamu cintai. Ha! Kamu pun menikah dengan Helga, tapi kamu menyia-nyiakannya hingga dia harus mengembuskan napas terakhirnya.”“Aku tidak mencintai Helga. Aku menikah dengannya karena ayahku yang memaksa. Dan satu hal lagi, aku tidak pernah menyebut Laura dengan sebutan anak perampok. Akulah yang memintanya untuk menikah denganku meski aku tahu ayahnya seperti apa.”“Kamu terpaksa menikahi Laureta karena kamu ingin dia membayar utang ayahnya!” hardik Ivan. “Kamu pikir uang satu setengah milyar cukup untuk membayar seorang wanita untuk memuaskan nafsumu dan melahirkan seorang anak?”Kian pun terdiam. Ivan benar-benar t
Semalaman itu Kian benar-benar tidak bisa tidur. Ia mengingat tatapan Laureta saat melihatnya. Wanita itu jelas-jelas terkejut melihatnya. Lalu seperti ada sorot ketakutan yang membuatnya langsung memutuskan untuk kabur dari Kian.Lalu anak bayi itu. Anak siapakah itu? Bagaimana mungkin Ivan menikah dengan Laureta dan melahirkan anaknya? Kian pikir, Ivan masih mencintai Helga. Jika dilihat dari usia bayi itu dan waktu untuk mengandung selama sembilan bulan, Ivan mungkin sudah lama menikah dengan Laureta.Mana mungkin? Batin Kian menolak semua pemikiran itu.Entah sudah berapa kali Kian menghubungi Ivan hingga ponselnya pun tidak aktif lagi. Ivan benar-benar menghindarinya.Ia melihat jam di dinding dan memutuskan untuk bangun. Ia menyiapkan diri dan segera turun untuk sarapan. Marisa sudah ada di ruang makan lebih dulu.“Pagi, Kian,” sapa Marisa.“Pagi,” jawab Kian singkat yang langsung menuangkan kopi ke dalam cangki
Desti tampak bingung mendengar pernyataan Kian.“Tante Laureta? Kenapa? Bukankah kalian sudah berpisah lama?”Kian mendesah. “Aku selalu mencintai Laura, lebih dari apa pun. Aku menikah dengan Helga karena terpaksa, hanya untuk memenuhi keinginan kakekmu.”“Kenapa Om mau menurut?”“Ya, banyak hal yang membuatku harus menurut pada keinginan kakek.”Desti mengangguk dengan bibir yang tertekuk ke bawah. “Om pasti sedih sekali ya ditinggal wanita yang Om cintai.”“Kenapa kita tidak membahas tentangmu? Siapa itu Erik? Teman atau teman?”Desti tersenyum. “Teman, Om. Benar! Aku dan dia belum jadian.”“Baguslah! Tidak usah berpacaran dengan laki-laki yang meninggalkanmu di mall yang besar seperti ini! Nanti kamu menyesal. Cari lagi pria lain yang sepadan denganmu.”“Aku sebenarnya suka pria yang lebih tua dariku, seperti Om Kian