Tiba di hotel, Helga segera menaruh kopernya di kamar. Sejujurnya, ia tidak tahu harus mulai mencari Kian ke mana. Lalu ia melihat ada postingan baru di statusnya Kian. Betapa terkejutnya ia karena melihat seorang wanita seksi sedang berfoto dengan Kian.
Sepertinya ucapan Kian tentang berpesta dengan teman kencannya itu memang benar adanya. Hati Helga terasa pedih melihat foto mesra Kian yang sedang dicium oleh wanita asing itu.
Kian tidak mungkin mengkhianatinya. Pria itu pasti sengaja melakukan semua ini supaya dirinya cemburu. Menolak pemikiran bahwa semua itu benar, Helga pun bersikeras untuk mengejar Kian sampai ke tempat café itu.
Saat mengecek peta di ponselnya, ternyata posisinya sangat jauh dari hotelnya berada. Dengan lemas, Helga duduk di kasur dan menaruh ponselnya.
Ia merasa sia-sia menyusul Kian sampai ke tempat ini. Pria itu tidak akan merespon kehadirannya. Belum apa-apa, Helga rasanya ingin menjerit keras-keras. Namun, ia tidak aka
“Kamu harus menciumku,” perintah Miya pada Kian.“Aku tidak mau!” tolak Kian. “Jangan memintaku melakukan hal-hal yang aneh.”Miya mengangkat alisnya. “Kamu yakin tidak ingin membuat orang itu patah hati? Aku rasa, cara ini akan berhasil kalau dia sampai melihatmu menciumku.”“Dia belum tentu datang ke sini.”“Oh ya? Coba cek sosial mediamu. Apa dia sudah melihat status barumu? Haruskah kita unggah foto lainnya?”Terpaksa Kian mengeluarkan ponselnya dan melihat orang yang sudah melihat statusnya. Ternyata Helga sudah melihatnya. Miya sengaja menyematkan nama tempat beach club ini supaya Helga bisa lebih mudah menemukannya.Kian merasa bersalah karena melakukan semua ini demi menghancurkan perasaan Helga. Namun, tak ada jalan lain selain membuat Helga cemburu.“Dia sudah melihatnya sejak setengah jam yang lalu,” ujar Kian.“Baguslah kalau begitu. Apa kamu tahu dia menginap di mana?” tanya Miya.Kian menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu.”“Ya sudah. Mungkin dia baru akan tiba di sin
“Lepaskan tanganku!” seru Helga sambil menyentak tangannya.Pria itu tersenyum lebar. “Aku tidak menyangka akan langsung bertemu denganmu di sini. Tadinya aku hendak membelikanmu sebuah gaun pink yang cantik, eh tiba-tiba kamu ada di sini. Ayo masuk ke ruanganku!”“Aku tidak mau!” tolak Helga.“Kenapa? Apa kamu tidak merindukanku, Sayang?” Pria itu merengkuh sebelah pipi Helga dengan lembut, lalu memiringkan kepalanya untuk menciumnya, tapi Helga langsung memalingkan wajahnya.“Aku ke sini untuk menemui orang lain!” ucap Helga ketus.Bibir pria itu sudah nyaris menyentuh bibir Helga, tapi ia hanya mencium angin yang kosong. Dengan berat hati, ia memundurkan wajahnya dan menatap Helga dengan mata yang sendu.“Aku tidak pernah mencari tahu tentang pria yang selalu kamu bicarakan itu, tapi kali ini aku benar-benar penasaran. Siapa dia sebenarnya? Biar aku temui dia dan beritahu padanya kalau kamu adalah kekasihku, milikku.”“Aku bukan kekasihmu, Ivan! Aku ini hanyalah ….”“Hanya apa? Tem
“Dia benar-benar datang!” seru Kian. “Apa kubilang,” ujar Miya. “Ayo cepat cium aku!” Kian menautkan alisnya. “Haruskah?” “Terserah padamu. Aku hanya tidak ingin kamu sia-sia membayarku hari ini.” Miya memposisikan tubuhnya sedekat mungkin dengan Kian. Ia sudah memejamkan matanya. Kian masih menatap wajah Miya yang sudah amat sangat siap untuk dicium, sementara Kian tidak menginginkannya. Namun, lagi-lagi ide gilanya itu memang harus dibarengi dengan orang yang sepadan. Miya memang rekan yang tepat untuk melakukannya. Kian pun memiringkan kepalanya dan mendekati wajah Miya. Wanita itu memajukan wajahnya dan segera saja bibir mereka saling bertemu. Miya mengenakan semprot mulut yang wangi segar. Kian menyukai aromanya. Ia mencium bibir wanita itu sambil membayangkan wajah Laureta. Jika tidak begitu, ia mungkin akan merasa canggung karena Miya adalah seorang wanita bayaran yang tentunya sudah sering dicium oleh banyak pria yang berbeda-beda. Kian benar-benar resmi menjadi seorang
Keesokan harinya, Kian tidak menghubungi Miya lagi. Tugasnya sudah selesai. Bisa disebut Kian sukses besar. Ia sudah membuat Helga cemburu, sakit hati, dan kecewa berat.Jika ada cara yang lebih halus, tentunya sudah Kian lakukan sejak dulu. Namun, Helga jelas-jelas bukan tipe wanita yang bisa diajak berdamai dengan cara halus. Wanita itu harus merasakan sesuatu yang luar biasa dan setelah itu, ia baru menyadari jika ia benar-benar harus menghentikan semua permainan gila ini.Kian merasa lebih lega, seperti ada satu beban yang terlepas dalam hidupnya. Sepertinya ia bisa pulang besok ke rumahnya. Marisa sudah mengiriminya lagi pesan singkat. Ia khawatir ada salah satu anggota keluarganya yang melihat kelakuan Kian kemarin dengan Miya.Namun, Kian sudah memasang tingkat keamanan yang tinggi agar jangan sampai ada yang melihat foto-foto itu. Seharusnya semuanya aman. Kalaupun Marisa melihatnya, ia tidak peduli. Lebih bagus jika mereka menyadari jika Helga bukanlah wanita yang harus ia ni
Semenjak kejadian itu, Kian tidak pernah bertemu lagi dengan Helga atau menerima pesan darinya. Mereka seperti yang hilang kontak, tapi ternyata Helga lebih banyak berbicara dengan orang tuanya.Kian pikir, ibunya tidak menyukai Helga. Memang sepertinya begitu. Ibunya menyuruh Kian untuk menikah dengan Helga hanya supaya ibunya tidak perlu menderita karena ayahnya marah-marah terus setiap hari.Semenjak Kian menyerah akan keinginan orang tuanya, ayahnya jadi lebih bersemangat. Sama halnya dengan ibunya yang jadi semakin sehat dan segar.Percuma saja Kian melakukan sandiwara dengan Miya. Ujung-ujungnya, ia harus mengikuti keinginan orang tuanya. Ia sama sekali tidak ada suara di rumah ini, tidak ada haknya sama sekali untuk berbicara, mengemukakan pendapat. Semuanya seperti menentangnya.Bukan karena surat warisan itu, bukan karena semua harta kekayaan ayahnya. Kian terpaksa menyetujui pernikahan bodoh itu hanya supaya ibunya tidak menderita lagi. Keadaan terlihat lebih damai. Hanya Ki
Jika dikatakan Laureta bahagia tinggal seorang diri di tempat kosan sederhana dan bekerja bersama orang-orang baru yang baik hati, itu tidak benar. Dalam hatinya, ia masih merasa hampa dan kesepian.Laureta mengeluarkan cincin pernikahannya yang ia simpan di sebuah plastik kecil yang selama ini selalu ia simpan di dalam dompet. Ia mengenakan cincin itu dan tersenyum tipis. Kepedihan masih mengganjal di dalam hatinya setiap kali ia melihat cincin itu.Tak bisa dipungkiri, sejujurnya Laureta masih merindukan Kian. Teringat sikap Kian saat terakhir kali mereka masih bersama. Pria itu membelanya di depan ayahnya. Lalu ia murka saat melihat Laureta berciuman dengan Erwin.Laureta meringis mengingat ciuman itu. Ia sama sekali tidak merasa senang akan ciuman itu. Perpisahannya dengan Kian justru ia tutup dengan ciumannya bersama Erwin. Ia menyesal akan hal itu.Andai ia bisa memutar balikkan waktu, ia ingin tetap bersama Kian sampai detik-detik terakhirnya bersa
Ketika mereka baru jalan beberapa kilometer, tiba-tiba hujan pun turun sangat deras. Jeri tampak panik. Ia segera membelokkan setirnya dan berteduh di bawah jembatan jalan tol.“Aduh, maaf ya, Ta. Aku hanya punya jas hujan keresek dan sudah bolong. Atau jas hujannya untukmu saja ya, Ta,” ucap Jeri sambil membuka joknya hendak mengeluarkan jas hujan keresek.“Eh, tidak usah, Jer,” tolak Laureta. “Kita berteduh dulu saja. Masa aku yang pakai jas hujan, tapi kamu kehujanan?”“Tidak apa-apa. Aku cukup pakai jaket saja.” Jeri tersenyum sambil menyerahkan jas hujan kereseknya yang tampak menyedihkan.Laureta meringis melihatnya. “Hmmm, tidak usah, Jer.”Jeri pun tahu diri. Ia menarik kembali jas hujannya itu dan menutup joknya. Beberapa motor pun ikut berteduh di sana. Udara terasa begitu dingin hingga Laureta menggigil.“Aduh, kamu kedinginan ya. Jaketmu terlalu tipis. Kamu mau pakai jaket aku?”Laureta menggelengkan kepalanya. “Tidak usah, Jer. Terima kasih. Kamu baik sekali.”Jeri nyengi
Hujan yang deras itu membuat jalanan jadi sangat macet dan agak banjir. Jeri menerobos antrian panjang mobil dan berjalan terus tanpa henti.“Kalau naik angkot, kamu tidak akan bisa bergerak, Ta. Ini macet sekali!” seru Jeri sambil menoleh-noleh ke belakang. Laureta mengangguk sambil mengerjapkan matanya yang terkena air hujan.Akhirnya, setelah menerobos kemacetan, mereka pun tiba di kosan Laureta. Jeri hendak memarkirkan motornya di dalam, tapi Laureta mencegahnya.“Ibu kosku bilang, ini adalah kosan putri. Jadi, tidak boleh ada laki-laki yang masuk ke sini kecuali keluarga,” ucap Laureta memperingatkan.“Oh, ya ampun.” Jeri terkekeh. “Maaf, aku tidak tahu. Hmmm, kamu tinggal di sini sendirian?”“Ya, begitulah. Ada teman-teman kosan yang lain.”Jeri mengangguk. “Sekali lagi, maaf ya karena sudah mengganggumu. Seharusnya kamu sudah pulang lebih awal, tapi kita malah kehujanan