Keesokan harinya, Kian tidak menghubungi Miya lagi. Tugasnya sudah selesai. Bisa disebut Kian sukses besar. Ia sudah membuat Helga cemburu, sakit hati, dan kecewa berat.Jika ada cara yang lebih halus, tentunya sudah Kian lakukan sejak dulu. Namun, Helga jelas-jelas bukan tipe wanita yang bisa diajak berdamai dengan cara halus. Wanita itu harus merasakan sesuatu yang luar biasa dan setelah itu, ia baru menyadari jika ia benar-benar harus menghentikan semua permainan gila ini.Kian merasa lebih lega, seperti ada satu beban yang terlepas dalam hidupnya. Sepertinya ia bisa pulang besok ke rumahnya. Marisa sudah mengiriminya lagi pesan singkat. Ia khawatir ada salah satu anggota keluarganya yang melihat kelakuan Kian kemarin dengan Miya.Namun, Kian sudah memasang tingkat keamanan yang tinggi agar jangan sampai ada yang melihat foto-foto itu. Seharusnya semuanya aman. Kalaupun Marisa melihatnya, ia tidak peduli. Lebih bagus jika mereka menyadari jika Helga bukanlah wanita yang harus ia ni
Semenjak kejadian itu, Kian tidak pernah bertemu lagi dengan Helga atau menerima pesan darinya. Mereka seperti yang hilang kontak, tapi ternyata Helga lebih banyak berbicara dengan orang tuanya.Kian pikir, ibunya tidak menyukai Helga. Memang sepertinya begitu. Ibunya menyuruh Kian untuk menikah dengan Helga hanya supaya ibunya tidak perlu menderita karena ayahnya marah-marah terus setiap hari.Semenjak Kian menyerah akan keinginan orang tuanya, ayahnya jadi lebih bersemangat. Sama halnya dengan ibunya yang jadi semakin sehat dan segar.Percuma saja Kian melakukan sandiwara dengan Miya. Ujung-ujungnya, ia harus mengikuti keinginan orang tuanya. Ia sama sekali tidak ada suara di rumah ini, tidak ada haknya sama sekali untuk berbicara, mengemukakan pendapat. Semuanya seperti menentangnya.Bukan karena surat warisan itu, bukan karena semua harta kekayaan ayahnya. Kian terpaksa menyetujui pernikahan bodoh itu hanya supaya ibunya tidak menderita lagi. Keadaan terlihat lebih damai. Hanya Ki
Jika dikatakan Laureta bahagia tinggal seorang diri di tempat kosan sederhana dan bekerja bersama orang-orang baru yang baik hati, itu tidak benar. Dalam hatinya, ia masih merasa hampa dan kesepian.Laureta mengeluarkan cincin pernikahannya yang ia simpan di sebuah plastik kecil yang selama ini selalu ia simpan di dalam dompet. Ia mengenakan cincin itu dan tersenyum tipis. Kepedihan masih mengganjal di dalam hatinya setiap kali ia melihat cincin itu.Tak bisa dipungkiri, sejujurnya Laureta masih merindukan Kian. Teringat sikap Kian saat terakhir kali mereka masih bersama. Pria itu membelanya di depan ayahnya. Lalu ia murka saat melihat Laureta berciuman dengan Erwin.Laureta meringis mengingat ciuman itu. Ia sama sekali tidak merasa senang akan ciuman itu. Perpisahannya dengan Kian justru ia tutup dengan ciumannya bersama Erwin. Ia menyesal akan hal itu.Andai ia bisa memutar balikkan waktu, ia ingin tetap bersama Kian sampai detik-detik terakhirnya bersa
Ketika mereka baru jalan beberapa kilometer, tiba-tiba hujan pun turun sangat deras. Jeri tampak panik. Ia segera membelokkan setirnya dan berteduh di bawah jembatan jalan tol.“Aduh, maaf ya, Ta. Aku hanya punya jas hujan keresek dan sudah bolong. Atau jas hujannya untukmu saja ya, Ta,” ucap Jeri sambil membuka joknya hendak mengeluarkan jas hujan keresek.“Eh, tidak usah, Jer,” tolak Laureta. “Kita berteduh dulu saja. Masa aku yang pakai jas hujan, tapi kamu kehujanan?”“Tidak apa-apa. Aku cukup pakai jaket saja.” Jeri tersenyum sambil menyerahkan jas hujan kereseknya yang tampak menyedihkan.Laureta meringis melihatnya. “Hmmm, tidak usah, Jer.”Jeri pun tahu diri. Ia menarik kembali jas hujannya itu dan menutup joknya. Beberapa motor pun ikut berteduh di sana. Udara terasa begitu dingin hingga Laureta menggigil.“Aduh, kamu kedinginan ya. Jaketmu terlalu tipis. Kamu mau pakai jaket aku?”Laureta menggelengkan kepalanya. “Tidak usah, Jer. Terima kasih. Kamu baik sekali.”Jeri nyengi
Hujan yang deras itu membuat jalanan jadi sangat macet dan agak banjir. Jeri menerobos antrian panjang mobil dan berjalan terus tanpa henti.“Kalau naik angkot, kamu tidak akan bisa bergerak, Ta. Ini macet sekali!” seru Jeri sambil menoleh-noleh ke belakang. Laureta mengangguk sambil mengerjapkan matanya yang terkena air hujan.Akhirnya, setelah menerobos kemacetan, mereka pun tiba di kosan Laureta. Jeri hendak memarkirkan motornya di dalam, tapi Laureta mencegahnya.“Ibu kosku bilang, ini adalah kosan putri. Jadi, tidak boleh ada laki-laki yang masuk ke sini kecuali keluarga,” ucap Laureta memperingatkan.“Oh, ya ampun.” Jeri terkekeh. “Maaf, aku tidak tahu. Hmmm, kamu tinggal di sini sendirian?”“Ya, begitulah. Ada teman-teman kosan yang lain.”Jeri mengangguk. “Sekali lagi, maaf ya karena sudah mengganggumu. Seharusnya kamu sudah pulang lebih awal, tapi kita malah kehujanan
“Menurutmu, mana yang yang lebih bagus? Gaun yang model ini atau yang ini?” tanya Reksi.Ia sedang menunjukkan beberapa foto gaun pengantin pada Erwin. Namun, tak sedikit pun Erwin peduli. Pikirannya dipenuhi oleh ingatan akan ciuman terakhirnya dengan Laureta.Erwin telah merusak rumah tangga Laureta hanya dengan satu ciuman. Ia tidak menyangka jika semuanya akan berakhir seperti ini. Laureta pergi untuk selamanya dari rumahnya, pergi dari hidup Erwin.Ia tidak bisa melihat wanita itu lagi untuk selamanya. Sampai saat ini, Erwin tidak tahu Laureta ada di mana.Sungguh ia amat menyesal. Setiap hari ia selalu dirundung rasa bersalah yang tak ada habis-habisnya.Beberapa kali, Erwin melihat pamannya. Hatinya perih karena pamannya tampak seperti orang lain, seperti boneka kayu yang keras dan dingin. Tidak ada lagi sikap ramah darinya.Semenjak neneknya sakit dan Om Kian kembali ke rumah, ia benar-benar telah berubah menjadi orang lain yang Erwin tidak kenal. Meski selama ini, Om Kian sel
“Apa katamu?!” bentak ibunya.“Aku tidak bisa menikahi wanita yang tidak aku cintai.”“Mama tidak terima alasan seperti itu! Menikah tidak perlu pakai cinta! Sudah Mama beritahu padamu waktu itu! Apa kamu sudah lupa? Kamu harus menikah secepatnya! Lebih bagus kalau dia hamil lebih dulu supaya di keluarga kita kehadiran seorang bayi! Kamu tidak perlu bersaing lagi dengan Kian karena dia sudah gagal. Kamu adalah kandidat terbaik! Kamu akan mendapatkan harta warisan dari kakekmu!”Erwin sudah lelah mendengar urusan tentang warisan. Lebih lagi, ia muak sekali dengan semua ini.“Ma, bisa tidak kita hentikan semua pembicaraan tentang warisan? Aku ini hanya cucunya kakek. Mama adalah anaknya. Warisannya untuk Mama saja. Aku tidak menginginkannya.”“Tutup mulutmu! Tidak usah berkata hal omong kosong! Kamu itu adalah cucu laki-laki pertama di keluarga ini! Kamulah yang berhak mendapatkan semuanya!”
Tiga bulan seharusnya cukup untuk Laureta mencari tempat tinggalnya yang baru. Sepertinya ia harus menggunakan sebagian tabungannya untuk mengontrak sebuah rumah yang layak untuk dirinya dan bayinya kelak. Uangnya masih cukup untuk mengontrak rumah kecil.Tinggal di kosan dan membesarkan seorang bayi memang bukan ide yang bagus. Semua orang akan bertanya-tanya dan menggosipkan dirinya yang buruk.Ibu Layla memang tidak salah. Hanya saja, Laureta merasa hidup ini terlalu kejam untuk dirinya yang lemah ini. Sungguh ia merasa tidak berdaya dan ingin menangis sejadi-jadinya jika melihat kehidupannya yang penuh penderitaan.Satu hal yang ia yakini, jika ia memang diizinkan Tuhan untuk mengalami semua ini, itu artinya ia memang pasti mampu menghadapinya. Ada hal yang tidak ia mengerti, tapi ia hanya bisa pasrah.Sambil menanti pelangi muncul sehabis hujan yang deras, Laureta pun berusaha menelusuri jalan untuk mencari rumah kontrakan yang pas untuknya.I
Zion adalah anak yang sangat lucu dan pintar. Di usianya yang menginjak lima bulan, anak itu sudah bisa diajak bercanda. Siapa pun yang bertemu dengannya pasti akan gemas dengan tingkah lakunya.Hari itu adalah pertama kalinya Kian bertemu dengan Zion. Kian tampak tegang sekali seperti hendak bertemu dengan presiden. Laureta terkekeh sejak tadi menertawakan sikap Kian.Laureta baru saja pulang kerja dan Kian yang menjemputnya. Pria itu menyetir mobil menuju ke rumahnya tanpa Laureta perlu menunjukkan arah seolah ia sudah tahu alamatnya di mana.“Bagaimana kamu bisa tahu alamat rumahku? Ah, kamu memang memata-mataiku, ya kan.”Kian tidak menggubris candaannya. Pria itu fokus menyetir hingga berhenti di depan rumahnya.“Aku memang pernah mengikuti Ivan sampai ke rumah ini. Aku ingin tahu apakah benar kamu tinggal bersama dengannya di sini,” ungkap Kian.Laureta pun tersenyum. “Ya sudah. Kali ini aku akan memaafkan
Kian memutar tubuh Laureta, lalu wanita itu pun menengadahkan kepalanya sambil mengangkat kakinya hingga berada dalam dekapan Kian. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.Kian pun mendekatkan bibirnya dan mencium Laureta dengan lembut. Laureta pikir lututnya akan goyah hingga ia tidak sanggup untuk berpijak di bumi. Namun, Kian menopangnya, mendekapnya dengan erat.Laureta pun membalas ciuman itu. Ia yakin sekali jika dalam hidupnya, ia hanya mencintai satu pria, yaitu Kian seorang. Susah payah ia menutupi perasaannya, tapi ia tak akan sanggup. Kian benar-benar telah mencuri hatinya.Usai ciuman yang memabukkan itu, Kian pun melepaskan diri. Napas mereka sama-sama saling memburu. Kian mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya, lalu berlutut di hadapan Laureta.“Laureta Widya, maukah kamu menikah denganku? Lagi?”Laureta terkesima menatap cincin berlian di dalam kotak mungil berwarna merah. Ia pun mengangguk dan berkata, “Ya, aku
Laureta tersenyum membaca pesan singkat dari Ivan. “Pacar?” gumamnya.“Ada apa?” tanya Kian.“Uhm, tidak ada apa-apa.”“Ayolah! Aku ingin tahu. Kamu tadi bilang pacar. Pacar siapa?”Kian merebut ponselnya dari tangannya. Ia malu sekali saat Kian membaca pesan itu dari Ivan. Kian pun tertawa lepas.“Astaga! Jadi, apakah aku harus memanggil Ivan kakak mulai sekarang? Dia itu kakakmu kan?”Laureta terkekeh. “Mungkin begitu. Dia pernah menyuruhku untuk memanggilnya kakak, tapi aku tidak mau.”“Kenapa? Sepertinya usianya lebih tua darimu.” Kian menautkan alisnya, tapi Laureta menggelengkan kepala. “Kamu saja selalu memanggilku nama padahal usia kita terpaut delapan belas tahun. Atau mungkin sekarang aku punya panggilan baru?”“Apa itu?”“Papa?”Laureta terkejut. “Papa? Kamu kan bukan ayahku!&rdq
“Kamu siap?” tanya Ivan sambil mengulurkan tangannya pada Laureta.Ia tersenyum dan kemudian menyerahkan tangannya pada Ivan. Ia baru saja turun dari mobil. Lalu mereka berjalan bergandengan, masuk ke dalam gedung mewah. Di dalam sana sedang ada acara pernikahan seorang anak pengusaha importir, rekan kerjanya Ivan.Sebenarnya, Laureta tidak perlu datang ke sini karena ia sama sekali tidak mengenal siapa pun di sini. Namun, Ivan bersikeras mengajaknya karena menurutnya Laureta pasti akan senang mencicipi berbagai macam makanan yang unik-unik di sana.Laureta pun terpaksa ikut. Ia melangkahkan kakinya dengan penuh percaya diri. Ivan membelikannya gaun yang ia pakai sekarang. Gaun itu berwarna biru tua dengan belahan rok yang tinggi hingga menampilkan kakinya yang tampak jenjang berbalut sepatu hak tinggi bertali hingga ke betisnya.Banyak sekali tamu yang datang ke acara pernikahan itu. Semua wanitanya mengenakan gaun yang sangat cantik dan para
Laureta menatap kedua tangannya yang gemetar. Ia pikir ia sudah gila karena menyerahkan amplop berisi cek satu setengah milyar. Laureta menepi di pinggir jalan, lalu menangis sejadi-jadinya. Ia tak kuasa lagi menahan semua emosi yang ada di dalam dadanya.Demi Tuhan, ia baru saja bertemu dengan Kian Aleandro, pria yang pernah menjadi suaminya. Meski pertemuannya hanya berlangsung selama beberapa menit, tapi efeknya luar biasa. Sekujur tubuhnya gemetar dan ia kesusahan untuk menginjak gas di kakinya.Dengan susah payah, Laureta menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Lalu ia pun kembali menangis sambil menutup muka dengan kedua tangannya.Kian begitu tampan mempesona. Tatapan matanya begitu tajam seperti biasanya dan seakan Laureta bisa tenggelam di dalamnya. Lalu pria itu memeluknya begitu saja.Hati Laureta dilingkupi oleh kehangatan yang tak pernah ia rasakan selama lebih dari satu tahun ini. Perasaannya jungkir balik seolah kakinya ber
Kian mendongak dan semua seolah terjadi dalam adegan lambat. Ia melihat Laureta masuk ke dalam ruangan dalam balutan kaus hitam ketat dengan potongan leher berbentuk kotak. Bagian lengannya berbahan tile halus hingga kulitnya jadi terlihat samar-samar. Bagian bawahnya ia mengenakan celana cargo dengan banyak kantung yang membuatnya tampak sangat keren.Kian terkesima melihat wanita yang pernah menjadi istrinya itu muncul lagi dalam hidupnya. Laureta tidak pernah terlihat secantik dan seanggun itu dalam hidupnya. Laureta terlihat tomboy, tapi juga elegan dalam waktu bersamaan.“Maaf aku terlambat,” ucapnya dengan suara yang terdengar amat merdu di kuping Kian.Tergerak untuk langsung melompat dari kursi dan memeluk wanita itu, Kian pun menahan dirinya.“Kamu memotong rambutmu,” ucap Kian yang masih melongo.Kalimat pertama yang ia ucapkan malah terdengar konyol dan tidak penting sama sekali. Ia jadi terlihat sangat bodoh di h
Betapa sedihnya Kian karena ia harus menerima kenyataan jika Laureta memang tidak mau bertemu lagi dengannya.“Ya. Kamu sudah membuatnya merasa terbuang dari rumahmu itu. Semua orang membencinya karena kalian menyebutnya anak perampok. Dia tidak mau menghalangimu untuk menikah dengan wanita yang kamu cintai. Ha! Kamu pun menikah dengan Helga, tapi kamu menyia-nyiakannya hingga dia harus mengembuskan napas terakhirnya.”“Aku tidak mencintai Helga. Aku menikah dengannya karena ayahku yang memaksa. Dan satu hal lagi, aku tidak pernah menyebut Laura dengan sebutan anak perampok. Akulah yang memintanya untuk menikah denganku meski aku tahu ayahnya seperti apa.”“Kamu terpaksa menikahi Laureta karena kamu ingin dia membayar utang ayahnya!” hardik Ivan. “Kamu pikir uang satu setengah milyar cukup untuk membayar seorang wanita untuk memuaskan nafsumu dan melahirkan seorang anak?”Kian pun terdiam. Ivan benar-benar t
Semalaman itu Kian benar-benar tidak bisa tidur. Ia mengingat tatapan Laureta saat melihatnya. Wanita itu jelas-jelas terkejut melihatnya. Lalu seperti ada sorot ketakutan yang membuatnya langsung memutuskan untuk kabur dari Kian.Lalu anak bayi itu. Anak siapakah itu? Bagaimana mungkin Ivan menikah dengan Laureta dan melahirkan anaknya? Kian pikir, Ivan masih mencintai Helga. Jika dilihat dari usia bayi itu dan waktu untuk mengandung selama sembilan bulan, Ivan mungkin sudah lama menikah dengan Laureta.Mana mungkin? Batin Kian menolak semua pemikiran itu.Entah sudah berapa kali Kian menghubungi Ivan hingga ponselnya pun tidak aktif lagi. Ivan benar-benar menghindarinya.Ia melihat jam di dinding dan memutuskan untuk bangun. Ia menyiapkan diri dan segera turun untuk sarapan. Marisa sudah ada di ruang makan lebih dulu.“Pagi, Kian,” sapa Marisa.“Pagi,” jawab Kian singkat yang langsung menuangkan kopi ke dalam cangki
Desti tampak bingung mendengar pernyataan Kian.“Tante Laureta? Kenapa? Bukankah kalian sudah berpisah lama?”Kian mendesah. “Aku selalu mencintai Laura, lebih dari apa pun. Aku menikah dengan Helga karena terpaksa, hanya untuk memenuhi keinginan kakekmu.”“Kenapa Om mau menurut?”“Ya, banyak hal yang membuatku harus menurut pada keinginan kakek.”Desti mengangguk dengan bibir yang tertekuk ke bawah. “Om pasti sedih sekali ya ditinggal wanita yang Om cintai.”“Kenapa kita tidak membahas tentangmu? Siapa itu Erik? Teman atau teman?”Desti tersenyum. “Teman, Om. Benar! Aku dan dia belum jadian.”“Baguslah! Tidak usah berpacaran dengan laki-laki yang meninggalkanmu di mall yang besar seperti ini! Nanti kamu menyesal. Cari lagi pria lain yang sepadan denganmu.”“Aku sebenarnya suka pria yang lebih tua dariku, seperti Om Kian