“Haruskah kita melakukan ini?” tanya Marisa pada Adinda.“Sepertinya begitu,” jawab Adinda sambil mengangkat alisnya.Saat ini mereka sedang berada di ruang makan. Ayah mereka memerintahkan mereka untuk berkumpul di sana untuk makan malam bersama tamu spesial.Ibu mereka sedang menatap layar ponsel dengan wajah gugup. Kemudian ia menaruh ponselnya di kuping. Sepertinya sambungan teleponnya tidak dijawab. Wajah sang ibu langsung berubah semakin pucat.“Ma, apa Kian tidak mengangkat teleponnya?” tanya Marisa.Ibunya menggelengkan kepala. “Sebentar lagi Helga akan datang ke sini, tapi Kian masih belum pulang juga. Bagaimana ini?”Adinda sedang mengetik sesuatu di layar ponselnya. Ia mencoba menghubungi Kian, tapi ponselnya sepertinya tidak aktif karena pesan singkatnya tidak terkirim.“Mama tidak mengerti,” ucap sang ibu dengan bahu yang merosot. “Kenapa banyak sekali masalah yang menimpa Kian? Padahal selama ini, dia tidak baik-baik saja. Apa seharusnya Mama tidak pernah memintanya untu
“Sudahlah!” seru ayahnya. “Biarkan saja jika Kian tidak mau datang untuk makan malam! Yang terpenting, kamu sudah hadir di sini. Ayo kita ke ruang makan! Koki di rumahku sudah menyiapkan menu terbaik.”Ayahnya menekan punggung Helga dan membimbingnya menuju ke ruang makan. Marisa dan Adinda saling tukar pandang, lalu Marisa mengangkat alisnya. Ibu mereka masih terus memasang wajah masam sambil melipat tangannya di dada.Marisa merangkul ibunya dan kemudian mereka sama-sama mengikuti ayah mereka ke ruang makan. Ia cukup yakin jika ibunya sedang banyak tekanan dalam pikirannya. Ayahnya yang baru saja pulang dari rumah sakit, tapi malah langsung mengajak Helga untuk makan malam.Sikap ayahnya agak berlebihan, tidak seperti biasanya. Ayahnya terlalu terang-terangan menunjukkan bahwa ia sangat menyukai Helga.Untuk sejenak, Marisa mengesampingkan rasa bencinya dan fokus untuk menyantap makan malamnya. Sepertinya Adinda pun melakukan hal yang sama. Ia tidak lagi mendelik ke arah Helga.Si t
Malam semakin larut, Kian menyetir mobilnya menuju ke rumah. Seharusnya Helga sudah pulang dari rumahnya. Ketika ia hendak berbelok masuk ke jalan rumahnya, ia merasa khawatir jika tiba-tiba ia akan mendapatkan kejutan di rumahnya. Apa pun bisa saja terjadi. Kian pun mengeluarkan ponselnya dan mengaktifkannya. Ada banyak panggilan tak terjawab dari ibunya, Adinda, Marisa, dan juga Helga. Ia membaca pesan yang masuk satu per satu. Pesan dari Adinda ia buka terlebih dulu. “Kak Kian pengecut! Kenapa Kakak tidak pulang dan menghadapi Helga? Usir dia dari rumah ini!” Kian tersenyum. Adinda sepertinya setuju jika Kian dan Helga tidak perlu dijodohkan. Adiknya itu adalah orang yang telah memergokinya di hotel saat ia sedang berselingkuh dengan Helga. Rasanya tidak mungkin jika Adinda menerima Helga begitu saja. Kian membalasnya. “Maafkan aku. Apa Helga sudah pulang?” Lalu ia membaca pesan dari Marisa. “Begitu kamu tiba di rumah, aku akan langsung men
Semalaman itu Kian terus menerus memikirkan tentang ucapan Marisa. Untuk apa ia memaksa membawa Laureta pulang ke rumah ini jika pada akhirnya, ia hanya akan membuat Laureta menderita? Sebutan anak perampok itu tidak akan hilang begitu saja. Semua orang belum tentu akan menaruh rasa hormat lagi pada Laureta setelah mengetahui statusnya yang sebenarnya. Lantas, apa yang sebenarnya Kian inginkan? Mengikuti egonya untuk tetap membawa Laureta kembali ke sini? Atau ia justru harus merelakan Laureta supaya wanita itu bisa hidup bebas dan merasakan kebahagiaannya yang sesungguhnya? Perlahan setetes air mata pun mengalir di pipinya. Ia tidak rela jika harus kehilangan wanita itu untuk selamanya. Apakah Laureta pun tega membiarkan Kian hidup sendirian tanpa dirinya? Kian menoleh ke samping tempat tidurnya, tempat biasanya Laureta berbaring dengan wajahnya yang polos. Andai ia bisa, ia ingin tahu apa yang sebenarnya Laureta pikirkan. Apa yang sebenarnya tengah
Sejujurnya, Kian tidak tahu mau pergi ke mana karena ia tidak punya tujuan sama sekali. Ia tidak pernah merencanakan hal ini dalam hidupnya. Untuk pertama kalinya Kian dengan penuh amarah, keluar dari rumah yang sejak kecil ia dibesarkan di sana.Kian merasa hampa. Pikirannya serabutan dalam kepalanya, membuatnya jadi pusing. Ia menghentikan mobilnya di pinggir jalan dan berusaha merenungkan apa yang tengah ia lakukan.Apalah gunanya ia pergi dari rumahnya jika tidak ada yang mencarinya. Tak ada yang peduli padanya. Orang tuanya hanya ingin supaya Kian menikah dengan Helga dan segera memberi mereka cucu laki-laki.Seharusnya hal itu tidak terdengar sulit. Namun, begitu Kian melibatkan perasaan dalam kepentingan keluarga ini, yang ada ia tenggelam dalam perasaannya. Ia pun harus merelakan banyak hal untuk memperjuangkan apa yang hatinya inginkan.Laureta. Di manakah Kian bisa menemukan Laureta?Seandainya ia bisa menemukan wanita itu, apakah Laureta bersedia untuk kembali padanya? Apa
“Bukan urusanmu,” ucap Kian dingin.“Ah, ayolah. Apa kamu sedang berlibur ke pantai? Pantai mana? Apa aku boleh menemuimu?”Kian cukup yakin jika Helga pasti akan mengancam Clara untuk memberitahunya keberadaan Kian. Kebetulan Kian tidak memberitahu Clara posisinya ada di mana. Tak ada yang tahu, tapi sebentar lagi Helga pasti tahu.“Untuk apa kamu menemuiku? Aku sedang bersenang-senang di sini.”“Ah ya, tentu saja. Kamu sedang bersenang-senang setelah kepergian Laureta. Kamu senang karena akhirnya kamu bebas dan kamu bisa berkencan denganku semaumu.”“Tidak denganmu.”Helga terdiam sejenak. “Apa maksudmu?”“Aku bisa berkencan dengan wanita mana pun yang aku suka, tidak harus kamu,” ujar Kian.“Begitu ya? Aku tidak yakin kalau kamu akan bersikap seperti itu. Kamu hanya sedang bingung dan tidak tahu harus melakukan apa. Ingat, kamu masih punya aku untuk meluapkan semua kesedihanmu. Aku siap untuk melakukan apa saja untukmu. Apa perlu aku menyusulmu malam ini juga?”“Tidak perlu,” ujar
Miya menoleh pada Kian. “Sentuh saja! Di mana pun kamu ingin menyentuh Miya. Sentuhlah dengan sepenuh hatimu.”Miya tiba-tiba menarik tangan Kian dan menaruhnya di payudaranya. Kian terkesiap. Ia segera menarik tangannya. Sekujur tubuhnya merinding menyentuh benda padat nan empuk itu. Sudah lama sekali rasanya semenjak ia menyentuh Laureta, ia baru menyentuh lagi yang seperti itu.Milik Miya sangat besar dan amat sangat besar hingga Kian khawatir benda itu akan meledak jika tertusuk jarum. Kian bergidik dan kembali fokus menyetir.Miya terkekeh manja. “Kenapa, Sayang? Kamu seperti yang kaget.”Kian mengatur napasnya dan menoleh pada Miya yang tampak senang. Ia tersenyum manja sambil memainkan rambutnya yang panjang. Lalu ia sengaja menurunkan sedikit bajunya supaya belahan dadanya semakin terlihat jelas.“Mau pegang langsung ke kulitnya juga boleh. Kalau kamu butuh seks, aku akan memberikanmu tiga ronde sesukamu. Bagai
Tiba di hotel, Helga segera menaruh kopernya di kamar. Sejujurnya, ia tidak tahu harus mulai mencari Kian ke mana. Lalu ia melihat ada postingan baru di statusnya Kian. Betapa terkejutnya ia karena melihat seorang wanita seksi sedang berfoto dengan Kian.Sepertinya ucapan Kian tentang berpesta dengan teman kencannya itu memang benar adanya. Hati Helga terasa pedih melihat foto mesra Kian yang sedang dicium oleh wanita asing itu.Kian tidak mungkin mengkhianatinya. Pria itu pasti sengaja melakukan semua ini supaya dirinya cemburu. Menolak pemikiran bahwa semua itu benar, Helga pun bersikeras untuk mengejar Kian sampai ke tempat café itu.Saat mengecek peta di ponselnya, ternyata posisinya sangat jauh dari hotelnya berada. Dengan lemas, Helga duduk di kasur dan menaruh ponselnya.Ia merasa sia-sia menyusul Kian sampai ke tempat ini. Pria itu tidak akan merespon kehadirannya. Belum apa-apa, Helga rasanya ingin menjerit keras-keras. Namun, ia tidak aka