“Nyonya Sirena. Bolehkah saya masuk?”
Posy berdiri di depan kamar Sirena dengan membawa nampan berisikan sarapan untuk Nyonyanya.Sementara wanita muda yang berada di dalam kamarnya hanya menunduk dalam tanpa bisa menegakkan punggung dan lehernya dengan baik.Hantu Sirena merasa cemas. Dia tak lagi bisa mengendalikan dirinya. Padahal ini adalah tubuhnya. Namun dia seperti berada di dalam tubuh orang asing yang tak mau menuruti perintahnya.“Tubuh sialan! Milik siapa kau sebenarnya? Aku adalah pemilik aslimu.” Sirena menghardik dalam hati. “Cih, sekarang kau lebih nyaman di isi jiwa wanita kurang ajar itu dari pada diriku? Yang benar saja.”“Nyonya?” Posy mengerutkan kening samar. Dia mendengar seseorang bergumam sendiri di dalam kamar. Dia yakin itu suara Tuannya.Namun jika benar begitu, kenapa Sirena tak menjawab panggilannya?“Apakah Anda membutuhkan bantuan saya?” tanya Posy, sekali lagi.“Letakkan dKyaa .... “Nona!!” Beberapa pelayan wanita berteriak histeris. Mereka baru melihat salah satu Tuan mereka, Nona Sirena Egberta Sharon, melompat dari balkon dan menyelam ke dalam sungai buatan di bawah jendela kamarnya. “Nona Sirena sudah gila!” “Dia melakukan hal itu lagi!” Beberapa pelayan mulai panik. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Sirena di permukaan air walau sudah beberapa saat gadis berusia tujuh belas tahun itu menyelam. “Panggil Mr. Einar! Di mana Nona Senna dan Nona Posy? Apa mereka tidak tahu Nona Sirena melompat dari balkon lagi?!” teriak kepala pelayan kediaman Sharon, Madam Geneva. Dia memerintah beberapa orang pelayan perempuan untuk mencari tiga orang pelayan pribadi Nona Sirena. “Nona! Anda baik-baik saja?!” Madam Geneva berteriak dari tepi sungai. Dia menyusuri permukaan sungai dengan penglihatannya—berharap Nona Sirena segera keluar dari dalam air dengan selamat. Tapi harapannya tidak kunjung terwujud. Yang dia lihat hanya dataran air yang tenang dan ding
‘Jika kamu memberitahunya, kamu akan mati.’ Sirena membulatkan mata. Seseorang baru saja berbicara dengannya. Tapi wujud dari suara wanita yang dia dengar tidak terlihat di mana pun. “Anda mendengarnya?” Sirena menggenggam tangan Arsenio. Dia terlihat waspada dan ketakutan. “Apa yang kamu dengar?” Arsenio menatap sekeliling. Dia ikut waspada melihat gelagat Sirena yang meyakinkan. “Itu, suara wani—“ Sirena diam. Dia tidak lagi berbicara. Dadanya terasa sakit seperti ada sesuatu yang menekan dan mengikatnya sampai kesulitan bernapas. “Nona? Ada apa?” Arsenio menatap Sirena yang kesakitan. Dia menoleh ke arah pintu dengan wajah geram. Sudah beberapa saat yang lalu pelayan Nona Sirena keluar untuk memanggil Dokter, namun kenapa dia tidak kunjung kembali? “Saya akan panggilkan Dokter.” Arsenio melepaskan genggaman Sirena dari tangannya. Dia segera berlari keluar untuk mencari dokter. “Yang Mulia, kenapa Anda berlari di lorong dengan panik? Ada yang bisa saya bantu??” Ozias ada
“Bagaimana keadaan wanita itu?” Tuan Orlando menatap Senna dan Posy yang berdiri di depannya dalam sikap hormat dengan tatapan dingin—penuh penekanan. “Nona tidak keluar dari kamarnya sejak insiden Tuan Muda Ozias, Tuan Count.” Senna menjawab dengan patuh. Sementara Posy hanya diam dan memperhatikan ekspresi Orlando. Lelaki tua itu terlihat geram karena perilaku cucunya. “Panggil dia ke sini.” Orlando menatap tegas. “Jika dia tidak mau. Seret saja dia ke sini. Bagaimana pun caranya, bawa anak manja itu ke hadapanku sekarang!” “Baik, Tuan Count.” Senna dan Posy berjalan pergi meninggalkan tempat mereka. Tiga orang pengawal mengikuti mereka sesuai arahan Orlando untuk menyeret Sirena ke hadapannya. Belum sampai di ujung pintu kamar Nona Sirena, mereka melihat wanita itu keluar dengan pakaian tidurnya. Dia hanya menyisir rambut panjangnya agar terlihat lebih rapi dan menutup pundaknya dengan selendang sutra berwarna ungu muda. “Nona, Tuan Count memanggil Anda ke ruangannya,” uca
Sirena memejamkan matanya. Ia benar-benar terlelap dengan nyaman di pangkuan Arsenio. Bahkan lelaki itu ikut tertidur sampai tidak kenal waktu. “Pemandangan langka apa yang aku lihat ini Nona Posy?” Tuan Sand, ajudan pribadi Duke Arsenio berdiri di tepi lorong terbuka yang menghubungkannya pada pemandangan taman bunga Gladius. Dia terpana melihat kedekatan Tuan dan tunangannya di depan sana. Posy yang berdiri di samping Sand, juga menatap ke arah yang sama—dengan tatapan terkejut yang sama. Tuan Duke Arsenio yang tidak pernah akur, atau bahkan tidak ingin berlama-lama menatap Nona Sirena, kini sedang tertidur pulas sambil memangku kepala Nona Sirena sedang tertidur? “Pemandangan yang terlalu langka, Tuan Sand. Saya juga baru pertama kali melihat Nona Sirena dan Tuan Duke sangat akur seperti hari ini. Biasanya, mengharapkan ketenangan saat keduanya bertemu saja saya tidak berani. Tapi sekarang, sepertinya hubungan mereka telah membaik,” sahut Posy. “Bagaimana ini?!” Tuan Sand mel
Sirena melihat Mr. Sand turun dari kereta kuda dan mendekat. Lelaki itu sedikit membungkuk untuk memberi salam. "Selamat siang, Nona. Semoga Dewa El selalu memberkati Anda." Dia kembali pada posisi tegap tanpa mengangkat kepala. “Maaf atas keterlambatan kami, Nona. Namun Tuan Duke tidak bisa menepati janji karena ada pekerjaan mendesak.” Lelaki itu berbicara dalam sikap hormat. Dia bahkan tidak berani melirik ke arah Sirena dan Sir. Einar yang terlihat geram. “Jadi begitu.” Sirena membuang napas panjang dan melihat beberapa peti yang di turunkan oleh kusir. Raut wajahnya yang terlihat tenang membuat Sir. Einar berperasangka jika Tuannya sudah tahu hal ini akan terjadi. “Lalu apa yang datang bersamamu, Mr. Sand?” tanya Sirena. “Duke Arsenio merasa tidak enak hati karena tidak bisa menepati janji. Karena itu beliau mengirimkan beberapa hadiah dan sepucuk surat untuk Anda.” “Dasar gila!” Sir. Einar memekik kesal. “Kau tahu berapa lama Nona menunggu kedatangan Tuan Duke?” Mr. S
“Yang Mulia, saya harap Anda tidak lupa janji Anda kemarin.” Tuan Sand tersenyum penuh arti. Sementara lelaki muda berusia dua puluh satu tahun yang baru saja bangun dan langsung di todong dengan fakta menyakitkan itu hanya menguap, lalu menatap datar ajudannya. “Jika kau mengingatkan aku tanpa bergerak, aku akan membuat wanita itu menunggu lama seperti kemarin.” Arsenio beranjak turun dari ranjang. Ia berjalan mendekat meja kecil di samping ranjang dan menuang segelas air untuk dia minum. Tuan Sand tersenyum melihat respons datar tanpa niat itu. “Baik. Saya akan segera panggil pelayan untuk membantu Anda bersiap dan menyiapkan kereta kuda.” Arsenio mengangguk. Dia melihat kepergian Sand dengan acuh tak acuh. “Vian.” Arsenio memanggil. Seorang lelaki berpakaian serba hitam dengan topeng menutup sebagian wajahnya berdiri tepat di balik pintu kaca yang menyekat antara balkon luar dan sisi dalam kamar. “Anda memanggil saya, Tuan?” Lelaki itu menjawab panggilan. Dia berlutut laya
“Nona ....” Posy memanggil. Dia mendekati Sirena seraya suara kereta kuda terdengar. Sirena menoleh pada kereta kediaman Arsenio yang datang dari arah barat menuju gerbang utama rumahnya. Dia segera bangkit. Begitu pula dengan Shafira yang hendak mengantarnya. “Ibu.” Sirena berjalan berdampingan dengan Shafira menuju kereta kediaman Tuan Arsenio di depan pagar. “Maukah Anda minum teh bersama saya, besok?” Shafira menatap ragu. Dia hanya tidak percaya putri tiri yang selama ini waspada kepadanya, mulai membuka hati. Bahkan mengajaknya minum teh lebih dulu. “Aku tak keberatan. Datanglah ke tempatku besok. Aku akan meminta para pelayan menyiapkan jamuan untukmu,” jelas Shafira dengan mengulas senyum lembut. Sirena mengangguk pelan. Dia mengalihkan tatapannya pada Arsenio yang keluar kereta kuda untuk menuntunnya masuk ke dalam kendaraan miliknya. “Hati-hati.” Shafira mengulas senyum lembut ketika dia dan putri tirinya saling bertatapan. Perubahan Sirena tampaknya tidak terlalu bur
Permaisuri Lister kagum dengan kelakuan kurang ajar Sirena yang mengundang kemeriahan dalam pesta teh yang membosankan. Lister tersenyum lembut. Dia melihat tatapan gelap Arsenio mengardh pada Sirena dengan tajam. “Sekarang nikmatilah pestanya. Semoga kamu bisa berbaur dengan baik, Lady Sirena.” Lister meminta keduanya pergi. Sirena dan Arsenio menunduk hormat untuk terakhir kalinya. Mereka berjalan meninggalkan Permaisuri Lister dengan langkah cepat—lebih tepatnya, Arsenio menarik tangan Sirena keluar dari area perjamuan. Mereka masuk ke dalam taman labirin yang ditumbuhi tanaman bunga mawar merah yang menjalar di sepanjang dinding labirin. “Anda mau pergi sejauh apa, Yang Mulia?” Sirena berucap dengan suara gemetar. Tangannya sakit karena di genggam terlalu kuat oleh Arsenio. Namun tak ada rasa bersalah atau ketakutan dalam mata Sirena. Padahal Arsenio tahu jika wanita itu mengerti akan kemarahan dirinya. Tapi kenapa dia tidak gentar dan meminta maaf? Arsenio melempar diri Si