“Yang Mulia, saya harap Anda tidak lupa janji Anda kemarin.” Tuan Sand tersenyum penuh arti.
Sementara lelaki muda berusia dua puluh satu tahun yang baru saja bangun dan langsung di todong dengan fakta menyakitkan itu hanya menguap, lalu menatap datar ajudannya.“Jika kau mengingatkan aku tanpa bergerak, aku akan membuat wanita itu menunggu lama seperti kemarin.” Arsenio beranjak turun dari ranjang.Ia berjalan mendekat meja kecil di samping ranjang dan menuang segelas air untuk dia minum.Tuan Sand tersenyum melihat respons datar tanpa niat itu. “Baik. Saya akan segera panggil pelayan untuk membantu Anda bersiap dan menyiapkan kereta kuda.”Arsenio mengangguk. Dia melihat kepergian Sand dengan acuh tak acuh.“Vian.” Arsenio memanggil.Seorang lelaki berpakaian serba hitam dengan topeng menutup sebagian wajahnya berdiri tepat di balik pintu kaca yang menyekat antara balkon luar dan sisi dalam kamar.“Anda memanggil saya, Tuan?”Lelaki itu menjawab panggilan. Dia berlutut layaknya seorang ksatria—menunggu perintah atasan dengan patuh layaknya anjing Doberman yang terlatih walau terlihat garang.“Rusak semua roda kereta kuda kediaman.” Arsenio tersenyum sinis melihat tatapan Vian yang bingung. “Buat aku tak bisa pergi ke kediaman Sharon karena tak memiliki kendaraan yang layak.”Vian mengangguk mengerti. Ternyata itu alasannya. Dia bangkit dan pergi. "Laksanakan, Tuan.”Mengendap-endap berjalan memasuki kandang kereta kuda. Alih-alih melakukan apa yang di minta oleh Tuannya, lelaki bersurai hitam dengan potongan cepak di sisi depan dan panjang di bagian belakang itu memilih berbaur dengan para kusir yang sedang makan siang.“Huf!” Sand menghela napas lega.Dia datang dengan berlari dari paviliun utama ke kandang kuda untuk memastikan Vian—prajurit bayangan Arsenio—tidak mengacaukan hari penting ini.“Kau kira aku akan melakukan sesuatu yang gila?” Vian menatap wajah lelah Sand dengan tatapan tajam. Dia tidak senang di fitnah. Karena itu dia melempar tatapan permusuhan.“Padahal aku belum mengatakan apa pun. Tapi kamu sudah berburuk sangka.” Sand duduk di atas balok jerami. Dia menuang bir buah yang diminum para kusir ke dalam mulutnya beberapa teguk. “Tapi syukurlah kamu tidak melalukan perintah gila itu ...."Vian memutar bola matanya malas. “Sir. Einar dari kediaman Sharon mengirimkan pesan lewat burung merpati pagi tadi. Dia memintaku untuk tidak mempersulit Tuannya karena Nona Sirena tidak dalam keadaan baik.”Sand menaikkan sebelah alis. “Sir. Einar? Pasti lelaki itu mengancam kamu, mangkanya kamu takut, kan? Jika di lihat dari hubungan kalian berdua, pasti begitu ....”“Terserah.” Vian bangun dari tempat duduknya. “Aku harus bersiap untuk mengawal Tuan keluar. Jadi urus sisanya—jangan biarkan Tuan marah padaku. Awas saja jika lelaki cerewet itu sampai meninggikan suaranya satu oktaf. Aku akan langsung membuangmu ke hutan Naga!" ucapnya lalu pergi.Sand menggeleng ampun. Dia melihat seorang kusir yang ada di sebelahnya dan meminta untuk segera bersiap mengantar kepergian Tuan mereka ke kediaman Sharon.Satu jam kemudian, para pelayan telah siap mengantarkan kepergian Tuan mereka ke depan kediaman. Penampilan Arsenio sangat rapi dan menawan. Balutan setelan putih berpadu warna biru tua sangat pas untuk orang berkulit putih seperti dirinya.“Aku sudah minta Vian untuk merusaknya.” Arsenio menahan napas. Dia terlihat kaget dan kesal melihat sebuah kereta kuda mewah yang terparkir satu meter di depan pintu utama kediamannya. “Dia pasti tidak melakukan tugasnya dengan baik. Aku akan menghukumnya nanti!” batinya kesal.“Mari kita berangkat, Tuanku.” Sand tersenyum lebar seraya dia membukakan pintu kereta kuda untuk Arsenio.“Menyebalkan. Ini pasti ulahmu,” pekik Arsenio kesal melihat wajah cerah Tuan Sand yang tidak goyah walau mendapat teguran keras darinya.“Saya anggap itu sebagai ucapan terima kasih, Tuan ....”“Ck ... sial.” “Nona, Anda bisa menunggu di sana. Saya sudah menyiapkan jamuan kecil untuk Anda sembari menunggu kedatangan Tuan Duke.” Posy mengarahkan langkah Sirena menuju sebuah meja di tengah taman.Meja itu di lengkapi dengan payung besar yang menghalau sinar matahari di atasnya. Ada dua orang pelayan yang menunggunya—siap untuk menemani kegiatan Sirena.Tempat berteduh yang nyaman telah di siapkan dengan baik oleh Posy. Ya, dia memang pelayan yang paling bisa Sirena andalkan.“Kamu sudah bekerja keras, Posy.” Sirena memuji sambil mengulas senyum tulus.Posy membungkuk hormat. Dia memasang senyum cantik di wajah mungilnya. “Terima kasih, Nona.”Sirena berjalan dengan anggun mendekati tempat tersebut, namun ketika dia hendak duduk, seorang wanita paruh baya menempati tempat duduknya dan mengacuhkan kehadiran Sirena.“Ny-Nyonya ....” Posy menatap cemas.Dia sudah menyiapkan tempat itu dengan susah payah untuk Sirena. Mulai dari membawa bangku serta meja, lalu menggelar payung dan menyiapkan makanannya.Namun semua usaha kerasnya itu tidak bisa di nikmati oleh Tuannya. Tapi malah di rebut oleh Shafira—Ibu tiri Sirena yang terkenal membenci dan jahat pada Sirena.Shafira menoleh pada Sirena yang terdiam di sampingnya. Tanpa mengatakan apa pun gadis berusia tujuh belas tahun itu memandang tempat Shafira duduk.“Apa ini tempatmu?” Shafira menatap putri tirinya dengan tatapan lekat.Dia mengharapkan perlawanan, namun sejauh apa pun dia membuat ulah. Sirena tidak pernah marah dan selalu mengalah. Jika saat itu terjadi Shafira selalu merasa menjadai adik perempuan yang menyebalkan.“Tidak.” Sirena menggeleng pelan. “Saya akan pergi ke luar dengan Tuan Duke sebentar lagi.”“Ah, kamu akan pergi ke Istana Kaisar dengan beliau?”Sirena mengangguk. “Karena itu ....” dia berjalan ke sisi seberang tempat Shafira duduk dan menempati tempat tersebut. “Lebih baik saya menghabiskan sedikit waktu dengan Ibunda terlebih dulu.”Sirena menatap Posy. Dia memberikan kode untuk menuang segelas teh untuknya—pelayan itu segera menurut dan menjaga jarak dari meja Tuannya setelah melaksanakan tugas.“Bagaimana kabar Ibu? Saya dengar Anda sakit dan tidak bisa beranjak dari tempat tidur.” Sirena menyesap tehnya dengan tenang. Dia terlihat lebih dewasa dan kalem. “Saya minta maaf karena tidak bisa berkunjung ... situasi saya juga sedang sulit saat itu.”“Aku tahu.” Shafira terus memperhatikan Sirena.Anak perempuan yang bisanya membuat keributan karena temperamennya tidak stabil, kini sangat tenang dan anggun layaknya seorang nona bangsawan yang berpendidikan.“Kamu, apakah ... ada masalah yang mengganggumu akhir-akhir ini?” Shafira mencoba mendekatkan diri. “Kamu bisa menceritakannya pada Ibu jika berkenan. Siapa tahu ... Ibu bisa membantumu, kan?”Sirena diam cukup lama. Mereka berdua bertatapan beberapa saat—seakan sedang berusaha menerka apa yang ada di dalam pikiran lawan bicaranya.“Anda tidak perlu khawatir, Ibu. Saya sudah berusia tujuh belas tahun. Tidak seharusnya saya merepotkan Anda. Terlebih ... saat kesehatan Anda sedang memburuk seperti sekarang," jelas Sirena dengan tenang.Shafira mengerutkan kening samar. “Apa ... yang terjadi kepadanya? Dia terlihat ... asing?” pikirnya bingung.“Nona ....” Posy memanggil. Dia mendekati Sirena seraya suara kereta kuda terdengar. Sirena menoleh pada kereta kediaman Arsenio yang datang dari arah barat menuju gerbang utama rumahnya. Dia segera bangkit. Begitu pula dengan Shafira yang hendak mengantarnya. “Ibu.” Sirena berjalan berdampingan dengan Shafira menuju kereta kediaman Tuan Arsenio di depan pagar. “Maukah Anda minum teh bersama saya, besok?” Shafira menatap ragu. Dia hanya tidak percaya putri tiri yang selama ini waspada kepadanya, mulai membuka hati. Bahkan mengajaknya minum teh lebih dulu. “Aku tak keberatan. Datanglah ke tempatku besok. Aku akan meminta para pelayan menyiapkan jamuan untukmu,” jelas Shafira dengan mengulas senyum lembut. Sirena mengangguk pelan. Dia mengalihkan tatapannya pada Arsenio yang keluar kereta kuda untuk menuntunnya masuk ke dalam kendaraan miliknya. “Hati-hati.” Shafira mengulas senyum lembut ketika dia dan putri tirinya saling bertatapan. Perubahan Sirena tampaknya tidak terlalu bur
Permaisuri Lister kagum dengan kelakuan kurang ajar Sirena yang mengundang kemeriahan dalam pesta teh yang membosankan. Lister tersenyum lembut. Dia melihat tatapan gelap Arsenio mengardh pada Sirena dengan tajam. “Sekarang nikmatilah pestanya. Semoga kamu bisa berbaur dengan baik, Lady Sirena.” Lister meminta keduanya pergi. Sirena dan Arsenio menunduk hormat untuk terakhir kalinya. Mereka berjalan meninggalkan Permaisuri Lister dengan langkah cepat—lebih tepatnya, Arsenio menarik tangan Sirena keluar dari area perjamuan. Mereka masuk ke dalam taman labirin yang ditumbuhi tanaman bunga mawar merah yang menjalar di sepanjang dinding labirin. “Anda mau pergi sejauh apa, Yang Mulia?” Sirena berucap dengan suara gemetar. Tangannya sakit karena di genggam terlalu kuat oleh Arsenio. Namun tak ada rasa bersalah atau ketakutan dalam mata Sirena. Padahal Arsenio tahu jika wanita itu mengerti akan kemarahan dirinya. Tapi kenapa dia tidak gentar dan meminta maaf? Arsenio melempar diri Si
Arsenio selalu tahu apa yang ingin dia lakukan, dan sekarang yang dia inginkan adalah memukul kepala Arion—putra mahkota kekaisaran Firaz, sekaligus adik sepupu yang telah berani bertindak kurang ajar pada Kakaknya. Terutama karena seorang wanita yang sudah jelas adalah tunangan Arsenio. “Kamu meninggikan suaramu? Di depanku?” Arsenio menatap geram. “Ya, kenapa memangnya? Aku adalah Putra Mahkota Kekaisaran ini. Memang apa yang tidak bisa aku lakukan? Kau hanya seorang Duke, sementara aku—plak!” Arsenio melalukannya. Dia merasa puas melihat wajah kaget Arion setelah mendapatkan pukulan darinya. “Kau memukulku?!” Arion memelototkan mata. Dia melihat beberapa prajurit mulai memasang wajah garang ke arah Arsenio. “Kau—kau kurang ajar!” Pedang di tarik dari sarungnya. Empat orang prajurit menghunuskan pedang ke arah leher Arsenio. “Apa ini?” Sirena terkejut melihat pemandangan runyam di depannya. Dia baru keluar ruangan untuk berpamitan pulang. Namun apa yang dix lihat sekarang? Du
“Anda tidak bisa melakukannya, kan?" Arsenio tersenyum penuh kemenangan. Melihat wajah kebingungan Elvira membuatnya sangat bahagia. “Karena Anda tak bisa menghukum Putra Mahkota negeri ini, jadi saya akan pamit lebih dulu bersama dengan tunangan saya.” Arsenio menunduk sejenak. “Semoga berkat Dewa Zeus menyertai bintang kekaisaran.” Setelah mengucap hal itu, Arsenio membalik tubuhnya dan mengajak Sirena pergi meninggalkan lorong utama bangunan paviliun bulan—tempat perjamuan teh milik Putri Elvira di adakan. “Bukannya Anda terlalu keras pada Putri Evira? Bagaimana pun juga, dia masih belum dewasa.” Sirena berusaha membela dan mencari simpatik Arsenio. Setelah mereka keluar dari bangunan perjamuan, wajah Arsenio benar-benar berubah menjadi flat seakan dia tak memiliki emosi. “Umurmu dan Putri Elvira itu selaras. Jika kamu bisa bertindak dewasa, harusnya dia juga bisa melakukan hal yang sama.” Arsenio membantah dengan pandai. Dia bahkan mematahkan semangat Sirena untuk menyatukan
Sirena merasakan tarikan kuat diujung rambutnya. Dia yang semula tertidur pulas sontak membuka mata lebar melihat seorang anak kecil tanpa bola mata terkikik menertawakan wajah terkejutnya. Oh, ini pertama kalinya baik “Lonie” atau tubuh Sirena melihat hal mengerikan. Biasanya tak pernah. Bukan! Tapi memang tak bisa melihat hal mengerikan seperti “hantu” ini. “A-akkhhhhhh ....” Brak! Sir. Einar dan dua orang penjaga bawahannya masuk dengan wajah setengah sadar. Mereka yang tak sengaja tertidur seketika itu sadar setelah mendengar teriakan Sirena yang lantang. Bahkan setelah tiga pengawal itu masuk, kini Gracio dan Ozias menyusul masuk dengan wajah panik. “Kenapa?” Gracio menatap Sirena yang duduk di atas ranjang dengan wajah pucat. Meringkuk memeluk tubuhnya yang gemetar ketakutan. Sirena menatap lima orang lelaki yang berdiri di depan pintu kamar bagian dalam. Melihat wajah mereka yang murni khawatir pada dir
Posy berjalan dengan tergesa. Kereta kuda Duke Arsenio sudah standby di depan pintu gerbang kediamannya. Sementara si Tuan pemilik kereta itu sedang berjalan memasuki kediaman Sharon—tempat kamar Tunangannya berada. “Nona Posy, kenapa Anda terlihat terburu-buru?” Arsenio mengerutkan kening. Dia melihat pelayan Sirena tampak bingung melihat Tuannya tak ada di tempat yang seharusnya. Bahkan tak ada seorang pun pengawal di sekitar kamar tersebut. “Apakah Sirena sudah pergi?” tanya Arsenio, hanya menebak. Posy menggeleng kuat. “Tidak, Tuan. Saya yakin Nona tidak akan pergi sangat pagi. Dia sangat pemalas ... eh, maksud saya ... Nona tidak akan bisa bangun jika saya tidak membantunya di pagi hari. Jadi, tidak mungkin Nona meninggalkan tempat tidurnya sebelum itu.” Arsenio menatap kamar Sirena yang sedikit berantakan di bagian ranjang—seakan wanita itu sudah meninggalkannya dalam waktu yang lama. “Apakah tidak ada anggota keluarg
Sirena terdiam beberapa saat. Dia menatap wajah Arsenio yang tersenyum mengejek dengan mata menyipit. “Kamu tidak—“ Cup .... Bukan pipi. Namun bibir Arsenio-lah yang mendapatkan kecupan. Itu karena Arsenio yang tidak sabaran, sudah bergerak secara tidak sengaja dan membuat Sirena tak bisa menghentikan kesalahan fatal yang dia perbuat. Arsenio membulatkan mata. Dia terkejut. Namun juga canggung melihat Sirena yang tampak tak keberatan dengan “kesalahan” itu. “Jangan salahkan saya.” Sirena menarik napas dalam. Dia memandang beberapa pengemis yang sedari tadi menarik perhatiannya. “Anda yang bergerak. Jadi ‘kesalahan’ itu adalah kesalahan Anda.” Usai mengucap hal tersebut, Sirena pergi ke arah para pengemis di ikuti Tuan Sand yang melangkah dengan tergesa untuk mengejar langkahnya. Sementara Arsenio masih termangu di tempatnya sambil menatap takjub pada sikap Sirena yang tenang walau sudah membuatnya berdebar. “Wah, lihat wajahnya yang tersenyum.” Arsenio berucap dalam hati. “Cant
Mendengar teriakan Arion, Sirena yang tadinya meringis kesakitan, kini langsung menepis kasar tangan besar yang mengekang pergelangan tangannya. “Anda tidak waras?” Sirena menatap geram. Pergelangan tangannya merah, nyaris lebam. Rasanya lebih sakit karena tubuh “Sirena” sangat lemah untuk sekarang. “Anda marah untuk apa? Aih, lelaki gila!” pekiknya jengkel dalam keadaan sadar. Bahkan gaun pernikahannya yang indah kini telah sedikit sobek. Sayang sekali, itu gaun yang Sirena suka walau bagian belakangnya sedikit terbuka. Lalu yang paling membuat Sirena marah adalah lukisannya—kacau balau dengan sobekkan besar di bagian tengahnya. “Kau!” Sirena mengeratkan kedua kepalan tangannya. Dia menatap Arion dengan geram—aura membunuh menyeruak dalam dirinya. Arion tercekat. Sirena terlihat mengerikan. Lalu, juga terlihat asing baginya. Tatapan penuh kebencian yang selama ini selalu di tunjukkan pada Arsenio seorang, kini malah mengarah padanya—bahkan ta
“Nyonya Sirena. Bolehkah saya masuk?” Posy berdiri di depan kamar Sirena dengan membawa nampan berisikan sarapan untuk Nyonyanya. Sementara wanita muda yang berada di dalam kamarnya hanya menunduk dalam tanpa bisa menegakkan punggung dan lehernya dengan baik. Hantu Sirena merasa cemas. Dia tak lagi bisa mengendalikan dirinya. Padahal ini adalah tubuhnya. Namun dia seperti berada di dalam tubuh orang asing yang tak mau menuruti perintahnya. “Tubuh sialan! Milik siapa kau sebenarnya? Aku adalah pemilik aslimu.” Sirena menghardik dalam hati. “Cih, sekarang kau lebih nyaman di isi jiwa wanita kurang ajar itu dari pada diriku? Yang benar saja.” “Nyonya?” Posy mengerutkan kening samar. Dia mendengar seseorang bergumam sendiri di dalam kamar. Dia yakin itu suara Tuannya. Namun jika benar begitu, kenapa Sirena tak menjawab panggilannya? “Apakah Anda membutuhkan bantuan saya?” tanya Posy, sekali lagi. “Letakkan d
“Terima kasih sudah mengantarku.” Pelayan perempuan itu menunduk hormat dan melihat kepergian Ozias beberapa saat, sebelum meninggalkan tempat. Dari kejauhan Ozias bisa melihat lelaki berambut coklat dengan mata biru melihatnya dengan tatapan tertegun. “Ozias?” gumam lelaki itu, senang melihat kawannya. Berbeda dengan lawan bicaranya yang terus menatap dingin—seakan melihat musuh. Melihat itu, Theo paham jika sekarang bukan saatnya berbincang ramah dengan seorang teman. “Aku datang untuk bertemu Kakakku. Dia di dalam, kan?” tanya Ozias, dingin. Theo mengangguk. “Silakan masuk, Tuan. Saya akan mengantar Anda." Ozias hanya mengangguk dan mengikuti langkah Theo yang membawanya masuk ke dalam menara. Mereka menaiki tangga yang akan membawa keduanya ke puncak menara. “Bagaimana keadaan Kakakku?” Nada bicara Ozias melunak. Kini dia tak perlu memasang kewaspadaan tinggi karena hanya ada dirinya dan T
BRAK! Arsenio menghantam meja. Beberapa puing kayu kokoh itu rontok ke atas karpet berbulu. Martell menatap takut. Dia tak pernah melihat Arsenio semarah ini selama satu tahun terakhir. Melihatnya kembali temperamental, tampaknya Nyonya Duchess yang baru selalu berhasil mengendalikan Duke mereka yang pandai mengontrol emosi. “Bisa-bisanya wanita itu membuatku kesal.” Arsenio mengepalkan tangannya semakin kencang. Dua urat menonjol di bawah dagu Arsenio membuat Martell menelan ludahnya susah—dia sangat tegang sekarang. “Yang Mulia, Tuan Frederick akan pergi ke desa untuk mencari informasi kemunculan pada monster.” Martell berusaha mengalihkan topik. Dia berharap Arsenio melupakan masalah Sirena dan fokus pada pekerjaan saja. Setidaknya itu lebih baik dari pada mengingat kenangan buruk yang membuat Tuannya menjadi emosional. “Aku sudah tahu. Frederick menyampaikannya padaku kemarin. Lalu, bagaimana dengan
Posy terdiam beberapa saat. Melihat reaksi Vian dan Cavan yang cukup kebingungan, tampaknya hanya Theo yang bisa melihat sosok menyeramkan itu. “Anda, bisa melihatnya?” tanya Posy, terlihat cukup terusik. Lelaki bermata biru laut itu menganggukkan kepala. “Dari awal. Dalam wujud yang nyata.” Dia melirik ke arah sudut ruangan. “Bahkan sekarang, dia ada di sini—mengawasi kita.” Posy menatap ke beberapa sudut, termasuk sudut yang di lihat oleh Theo dengan tatapan waspada. Sayangnya, dia tidak bisa melihat wanita itu kecuali wanita itu menampakkan diri di hadapannya. “Besok saya akan mengaturkan pertemuan Anda dengan Nyonya.” Posy menatap waspada. “Yang bisa melihat wanita itu secara berkala hanya Nyonya ... jadi, bisakah Anda membicarakan hal ini kembali bersama dengan Nyonya besok?” Theo mengangguk. “Baiklah.” “Nyonya.” Posy membuka gorden dan membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam kamar. Na
Sirena berjalan masuk ke dalam menara tempatnya tinggal dengan langkah sempoyongan. Seperti yang dia duga, Arsenio telah menempatkan banyak pengawal untuk mengawasinya. Bahkan mereka bukanlah pengawal biasa. Karena baik Sirena atau Posy dapat merasakan kekuatan besar di dalam tiga lelaki berpakaian serba hitam itu. “Yang Mulia, Anda kembali?” Vian bergegas mendekat. Sayangnya, langkah Vian harus berhenti saat Posy menghalanginya dari Sirena. “Apa yang Anda lakukan di sini, Tuan Vian?” Posy menatap tajam. Dia terlihat waspada. “Apa Anda di tugaskan menjaga Nyonya Duchess?” Vian menatap dalam diam beberapa saat. Lalu dia tersenyum setelah mengetahui pikiran lawannya. “Ya. Tuan Duke memerintahkan kami—“ “Posy. Sudahlah. Jangan berdebat.” Sirena memijat pelipisnya. “Pergilah ... kamu ingin bertemu dengan Lucas, kan?” Posy menatap ragu. Meninggalkan Tuannya sendirian dalam pengawasan tiga serigala cukup membu
Sirena menatap kaget tumpukan mayat di depan mereka. Begitu pula dengan Posy yang memperlihatkan reaksi yang sama. “Para pelayan mengatakan, bahwa di desa ini terkena wabah hitam. Tiap malam satu keluarga akan mati. Mayat mereka berlumuran darah walau tidak di temukan luka di tubuh mereka,” jelas Posy. Wanita berambut coklat tua dengan mata hijau itu menatap nanar tumpukan mayat manusia dengan bau yang menyengat. “Sungguh aneh,” gumamnya, tidak habis pikir. Suara langkah kaku seseorang membuat kedua wanita muda itu menoleh ke arah sumber suara. Mereka melihat lelaki bertudung hitam ada di dekat tumpukan orang-orang, seakan bersiap membakar mayat-mayat itu dengan obor di tangannya. “Ternyata ada penonton yang datang.” Lelaki berjubah hitam itu menoleh. Dia memperlihatkan wajah tampannya dengan berani. Bahkan tersenyum lembut pada Posy dan Sirena. Posy maju selangkah, menghalangi pandangan lelaki itu dari
“Sepertinya Anda harus bermalam di sini, Nona Posy. Langit mendung tidak mendukung. Jika Anda keluar sekerang, takutnya ... hujan akan turun di tengah jalan.” Oriel berucap dengan cemas. Dia menatap wanita bermata hijau itu naik ke atas kuda sambil memeluk Tuannya yang selesai mendapat pengobatan—walau dia belum sadar sepenuhnya. “Tidak.” Posy menjawab dengan tegas. Dia menatap lembut pada wanita muda berusia satu tahun lebih muda darinya. Lantas tersenyum. “Duke akan mencari kami jika seperti itu ... dan bisa saja, kalian dalam bahaya setelahnya.” Oriel tidak memaksa. Keadaannya memang tidak terlalu baik setelah dia memaksakan diri menyembuhkan Sirena dalam satu waktu. “Kalau begitu, izinkan saya mengantar Anda sampai keluar Hutan.” Ivander keluar dari dalam dengan membawa tombak. “Saat malam, hutan ini akan tetap berbahaya untuk seorang wanita yang cukup kuat. ” Posy tidak membantah. Saat bahaya menimpa, dia tid
“Ke mana kau akan membawanya?” Sosok wanita bersurai pirang dengan mata hitam mengikuti laju kuda Posy dengan kaki melayang. Sosok menyeramkan itu kembali menampakkan diri. Lagi-lagi juga terlihat perhatian pada Sirena. “Kenapa Anda selalu menunjukkan perasaan khawatir?” Posy tak menatapnya. Dia takut. Tapi juga penasaran dengan identitasnya. Hantu bukan hal yang mudah di percaya. Namun setelah melihatnya beberapa kali, Posy yakin jika mereka memang ada—hidup berdampingan dengan kita—seperti yang pernah di katakan oleh Sirena kecil enam tahun yang lalu. “Karena aku mengkhawatirkannya.” Wanita itu menjawab dengan nada serak—suaranya tidak terlalu jelas, namun Posy masih mengerti apa yang sedang dia katakan. “Begitukah?” Posy menatapnya beberapa saat—dengan harapan hantu itu tidak menoleh dan menampakkan wajahnya. “Kenapa Anda memiliki perasaan seperti itu pada Nyonya?” Hantu perempuan itu tertawa. Tawa ya
Ivander mendengar tapak kaki kuda dari kejauhan. Kali ini dia sedang memungut kayu untuk membuat kayu bakar dan memasak. Namun saat dia mendengar suara tak kaki kuda yang mendekat ke arahnya, dia segera memasang posisi bertarung—mengarahkan belati yang dia genggam ke arah depan. “Nona Posy?” Ivander bergumam saat melihat wanita itu melewatinya dengan wajah muram. Wanita muda itu tampak tergesa. Dia memacu kudanya sangat kencang sampai mendatangkan badai debu di sepanjang jalan yang telah dia lalui. “Apa yang membuatnya seperti itu?” gumam Ivander, bergegas mengumpulkan kayu dan menyusul Posy. “Tampaknya dia datang untuk bertemu Kakak,” gumam Ivander, mempercepat langkahnya. Sesampainya di pondok, Ivander melihat dua wanita muda itu tampak tergesa-gesa menyiapkan beberapa barang dan hendak pergi meninggalkan tempat. Ivander menatap keduanya dengan tatapan bertanya-tanya. “Apa yang kalian lakukan? Apa kalian ingin p