Permaisuri Lister kagum dengan kelakuan kurang ajar Sirena yang mengundang kemeriahan dalam pesta teh yang membosankan.
Lister tersenyum lembut. Dia melihat tatapan gelap Arsenio mengardh pada Sirena dengan tajam.“Sekarang nikmatilah pestanya. Semoga kamu bisa berbaur dengan baik, Lady Sirena.” Lister meminta keduanya pergi.Sirena dan Arsenio menunduk hormat untuk terakhir kalinya. Mereka berjalan meninggalkan Permaisuri Lister dengan langkah cepat—lebih tepatnya, Arsenio menarik tangan Sirena keluar dari area perjamuan.Mereka masuk ke dalam taman labirin yang ditumbuhi tanaman bunga mawar merah yang menjalar di sepanjang dinding labirin.“Anda mau pergi sejauh apa, Yang Mulia?” Sirena berucap dengan suara gemetar. Tangannya sakit karena di genggam terlalu kuat oleh Arsenio.Namun tak ada rasa bersalah atau ketakutan dalam mata Sirena. Padahal Arsenio tahu jika wanita itu mengerti akan kemarahan dirinya. Tapi kenapa dia tidak gentar dan meminta maaf?Arsenio melempar diri Sirena ke arah dinding penuh batang berduri bunga mawar merah yang merekah dengan cantik di sekeliling mereka. Tidak ada maksud buruk. Dia hanya terlalu marah untuk melihat apakah tempat itu aman atau tidak.“Kenapa kamu mengatakan hal itu kepada Permaisuri? Satu minggu lagi? Kau tidak ingat hari apa itu?”Wanita itu tidak merintih. Padahal darah mulai menyatu dengan warna gaunnya yang cerah. Di beberapa bagian, Arsenio bisa melihat bercak merah itu. Namun amarah sudah menelan akal sehatnya—sehingga dia mengacuhkan fakta jika Sirena terluka karenanya.“Kenapa?” Sirena menatap Arsenio yang marah besar dengan berani. “Apa Anda tidak suka? Itu hanya hari peringatan kematian Ibu saya. Tidak ada yang istimewa ....”Sorot mata tajam nan dingin lelaki itu membuat hati Sirena sakit—yang jelas itu bukan karena ‘Lonie’ merasa sakit hati. Hanya tubuh Sirena saja yang merespons perlakuan kasar itu dengan sensitif.“Tak ada yang istimewa pada hari itu. Saya hanya pergi sendirian ke tempat pemakaman dan berdoa seharian. Ayah tidak pernah menemani saya ... di hari saya selalu merasa menjadi anak yatim piatu, bukankah lebih baik menggunakan hari itu sebagai hari besar? Setidaknya saya akan merasa sedikit terhibur melihat taburan kelopak mawar berjatuhan di atas saya."“Kau gila?” Arsenio menatap tajam. “Kenapa kelakuanmu semakin tidak berakal. Apa aku harus mengirimmu ke rumah sakit jiwa sekarang juga?”Pedih. Hati Sirena yang lembut itu terasa menyakitkan. Tubuh lemah yang dia miliki mulai gemetar hanya karena ‘Lonie’ tidak mengizinkan air mata dari tubuh itu menampakkan diri di depan lelaki ini.“Ya. Anggap saja begitu ... Tuan.” Sirena menatap penuh putus asa.Air mata gadis itu berkumpul di ujung mata tanpa berniat terjun membasahi wajah. Ini adalah pemandangan menyakitkan yang tak pernah Arsenio bayangkan.“Apa kamu sangat tersiksa? Apa kamu sangat putus asa ... kenapa orang yang selalu membuat onar di sekelilingku, sekarang terlihat lemah ... seperti seorang gadis kecil yang meringkuk dalam hujan. Menyedihkan ....” pikir Arsenio mulai kehilangan kata-kata dan amarahnya. Hanya tersisa rasa iba dalam hatinya. Dia ingin memeluk Sirena—sekedar menghiburnya.Apakah sekarang Arsenio mulai memiliki simpati pada gadis ini?“Maaf ....” Sirena menunduk. Dia tak berani menatap Arsenio karena air matanya telah jatuh. “Saya sudah berbicara keterlaluan.”Suara Sirena yang gemetar membuat Arsenio tersadar. Dia telah keterlaluan.Lelaki itu membuang napas kasar. Dia memalingkan wajah dari Sirena dan memunggungi wanita itu. “Menangislah jika kamu ingin. Aku tidak akan melihatnya ... aku tahu kamu malu. Jadi aku hanya akan berdiri di sini untuk menjagamu.”Sirena mendongak. Dia menatap punggung kekar Arsenio dengan senyum miris. Dia menangis dalam diam sambil tersenyum melihat sosok Arsenio di depannya.“Terima kasih, Tuan. Maaf sudah bertindak lancang. Bahkan seharusnya saya tidak berhak marah karena sikap kurang ajar saya di depan Permaisuri.”Arsenio mendengar suara isak dan embusan napas berat Sirena di belakang punggung—sangat pelan. Dia bahkan bisa membayangkan bagaimana tubuh kecil itu menahan tubuhnya yang terluka agar tidak merintih dan merepotkan Arsenio walau sudah terguncang hebat menahan luka batin.“Aku selalu melihatmu berlari menghindariku. Sudah hampir tiga tahun kita bertunangan, aku bahkan bisa menghitung berapa kali aku melihat wajahmu dan menghabiskan waktu satu meja denganmu.” Arsenio melirik ke belakang—sekedar memastikan keadaan Sirena.Namun lelaki itu melihat Sirena telah duduk di atas rumput dengan napas tidak teratur. Seakan dia tengah menahan sakit di punggung dengan sekuat tenaga. Luka Sirena mengeluarkan bajyak darah. Padahal dia hanya tertusuk duri?Arsenio mendekat. “Kenapa—apa yang terjadi?”Dia menatap ke arah dinding tempat dia melempar Sirena dan menemukan gunting taman kecil yang menancap di sela batang mawar yang menjalar dengan sisi luar yang mencuat ke samping.Di ujung tajam satu sisi gunting itu dia melihat bercak darah Sirena di sana. Gunting yang sedikit berkarat itu mungkin saja telah melukai Sirena dengan cukup parah.“Sa-sakit ....” Tubuh Sirena gemetar semakin kuat. Dia hanya bisa menyuarakan sugesti pada tubuhnya untuk bertahan dan jangan kehilangan kesadaran.Namun sayangnya, tubuh lemah Sirena membuat ‘Lonie’ merasa sedikit frustrasi. Sebagai seorang pewaris Grup Gorgia di era modern, memiliki tubuh selemah ini membuatnya sangat jengkel.“Saya butuh obat merah.” Sirena menggenggam tangan Arsenio yang ragu ketika ingin menyentuhnya, dengan cengkeraman kuat. “Tolong ... tubuh ini sangat lemah sampai saya tidak mampu menahan luka sekecil ini.”Sirena terjatuh ke dalam pelukan Arsenio. Dalam kondisi sadar dia berusaha menahan rasa pedih dan ngilu di punggungnya. “Tolong antarkan saya pergi ke dokter, Tuan ... saya bisa mati jika seperti ini terus-menerus.““Tidak akan aku biarkan!” Arsenio mengangkat tubuh Sirena dan memeluknya erat. "Maaf atas kekurangajaran saya, Lady."Dia membawa tubuh wanitanya pergi meninggalkan labirin tanpa menghiraukan tatapan orang-orang ketika melihat situasi panik mereka.“Sand! Panggilkan tabib untuk tunanganku.” Arsenio berteriak lantang melihat Sand dan Vian mendekatinya dengan wajah panik.“Baik, Yang Mulia.” Sand berbalik arah dan pergi.Sementara Vian mengikuti langkah Arsenio yang membawa Sirena dengan langkah secepat kilat. “Tuan, apa yang terjadi pada Lady Sirena?!”Arsenio hanya diam. Dia tak mampu menjawab kelalaiannya karena malu. Rasa bersalah yang menumpuk dalam hatinya tiap kali melihat wajah Sirena yang kesakitan membuat langkahnya semakin cepat.Posy dan Einar yang sedang menikmati waktu sambil menyantap hidangan di pinggir pesta, kini langsung berlari melihat Tuannya di gendong pergi oleh Arsenio yang menunjukkan kekhawatiran.Brak!Arsenio menendang keras salah satu pintu ruang peristirahatan yang selalu di sediakan pihak penyelenggara pesta untuk para tamu undangan jika ada yang lelah.Namun ruangan itu sudah ada yang menempati. Yaitu Putra Mahkota Arion yang sedang di temani beberapa wanita yang hampir menanggalkan seluruh pakaiannya untuk menggoda sang Putra Mahkota.“Duke Orland, kau sudah gila?!” teriak Arion di sertai teriakan para wanitanya yang berhamburan keluar dengan bersusah payah memakai kembali pakaiannya.Arsenio tak menggubrisnya. Dia hanya fokus pada Sirena—menidurkan gadis itu ke atas sofa panjang setelah mengusir paksa adik sepupunya, Arion.“Sirena?” Arion segera memakai kemejanya dan melihat apa yang terjadi pada orang yang disebut-sebut sebagai kekasihnya. “Apa yang terjadi padamu?”Sirena tak menjawab. Begitu melihat wajah Arion, dia yang terbiasa tebar pesona untuk mencari perhatian Arion, kini malah memalingkan wajah seakan tidak mau melihat lelaki tampan bersurai pirang cerah itu.Arion mengerutkan keningnya dalam. Dia sedikit terkejut dengan respons tersebut. Namun ketika tabib datang, mereka semua di himbau keluar ruangan kecuali Posy—sebab dia harus membantu dokter untuk merawat Sirena.“Tuan Arsenio. Apa yang terjadi pada kekasihku?” celetuk Arion tanpa sengaja mengundang amarah.“Apa maksud perkataan Anda, Yang Mulia?” Arsenio menatap tajam. “Dia adalah tunangan saya. Tolong jaga ucapan Anda.”Arion menaikkan sebelah alisnya. “Apa kau bilang?”Arsenio selalu tahu apa yang ingin dia lakukan, dan sekarang yang dia inginkan adalah memukul kepala Arion—putra mahkota kekaisaran Firaz, sekaligus adik sepupu yang telah berani bertindak kurang ajar pada Kakaknya. Terutama karena seorang wanita yang sudah jelas adalah tunangan Arsenio. “Kamu meninggikan suaramu? Di depanku?” Arsenio menatap geram. “Ya, kenapa memangnya? Aku adalah Putra Mahkota Kekaisaran ini. Memang apa yang tidak bisa aku lakukan? Kau hanya seorang Duke, sementara aku—plak!” Arsenio melalukannya. Dia merasa puas melihat wajah kaget Arion setelah mendapatkan pukulan darinya. “Kau memukulku?!” Arion memelototkan mata. Dia melihat beberapa prajurit mulai memasang wajah garang ke arah Arsenio. “Kau—kau kurang ajar!” Pedang di tarik dari sarungnya. Empat orang prajurit menghunuskan pedang ke arah leher Arsenio. “Apa ini?” Sirena terkejut melihat pemandangan runyam di depannya. Dia baru keluar ruangan untuk berpamitan pulang. Namun apa yang dix lihat sekarang? Du
“Anda tidak bisa melakukannya, kan?" Arsenio tersenyum penuh kemenangan. Melihat wajah kebingungan Elvira membuatnya sangat bahagia. “Karena Anda tak bisa menghukum Putra Mahkota negeri ini, jadi saya akan pamit lebih dulu bersama dengan tunangan saya.” Arsenio menunduk sejenak. “Semoga berkat Dewa Zeus menyertai bintang kekaisaran.” Setelah mengucap hal itu, Arsenio membalik tubuhnya dan mengajak Sirena pergi meninggalkan lorong utama bangunan paviliun bulan—tempat perjamuan teh milik Putri Elvira di adakan. “Bukannya Anda terlalu keras pada Putri Evira? Bagaimana pun juga, dia masih belum dewasa.” Sirena berusaha membela dan mencari simpatik Arsenio. Setelah mereka keluar dari bangunan perjamuan, wajah Arsenio benar-benar berubah menjadi flat seakan dia tak memiliki emosi. “Umurmu dan Putri Elvira itu selaras. Jika kamu bisa bertindak dewasa, harusnya dia juga bisa melakukan hal yang sama.” Arsenio membantah dengan pandai. Dia bahkan mematahkan semangat Sirena untuk menyatukan
Sirena merasakan tarikan kuat diujung rambutnya. Dia yang semula tertidur pulas sontak membuka mata lebar melihat seorang anak kecil tanpa bola mata terkikik menertawakan wajah terkejutnya. Oh, ini pertama kalinya baik “Lonie” atau tubuh Sirena melihat hal mengerikan. Biasanya tak pernah. Bukan! Tapi memang tak bisa melihat hal mengerikan seperti “hantu” ini. “A-akkhhhhhh ....” Brak! Sir. Einar dan dua orang penjaga bawahannya masuk dengan wajah setengah sadar. Mereka yang tak sengaja tertidur seketika itu sadar setelah mendengar teriakan Sirena yang lantang. Bahkan setelah tiga pengawal itu masuk, kini Gracio dan Ozias menyusul masuk dengan wajah panik. “Kenapa?” Gracio menatap Sirena yang duduk di atas ranjang dengan wajah pucat. Meringkuk memeluk tubuhnya yang gemetar ketakutan. Sirena menatap lima orang lelaki yang berdiri di depan pintu kamar bagian dalam. Melihat wajah mereka yang murni khawatir pada dir
Posy berjalan dengan tergesa. Kereta kuda Duke Arsenio sudah standby di depan pintu gerbang kediamannya. Sementara si Tuan pemilik kereta itu sedang berjalan memasuki kediaman Sharon—tempat kamar Tunangannya berada. “Nona Posy, kenapa Anda terlihat terburu-buru?” Arsenio mengerutkan kening. Dia melihat pelayan Sirena tampak bingung melihat Tuannya tak ada di tempat yang seharusnya. Bahkan tak ada seorang pun pengawal di sekitar kamar tersebut. “Apakah Sirena sudah pergi?” tanya Arsenio, hanya menebak. Posy menggeleng kuat. “Tidak, Tuan. Saya yakin Nona tidak akan pergi sangat pagi. Dia sangat pemalas ... eh, maksud saya ... Nona tidak akan bisa bangun jika saya tidak membantunya di pagi hari. Jadi, tidak mungkin Nona meninggalkan tempat tidurnya sebelum itu.” Arsenio menatap kamar Sirena yang sedikit berantakan di bagian ranjang—seakan wanita itu sudah meninggalkannya dalam waktu yang lama. “Apakah tidak ada anggota keluarg
Sirena terdiam beberapa saat. Dia menatap wajah Arsenio yang tersenyum mengejek dengan mata menyipit. “Kamu tidak—“ Cup .... Bukan pipi. Namun bibir Arsenio-lah yang mendapatkan kecupan. Itu karena Arsenio yang tidak sabaran, sudah bergerak secara tidak sengaja dan membuat Sirena tak bisa menghentikan kesalahan fatal yang dia perbuat. Arsenio membulatkan mata. Dia terkejut. Namun juga canggung melihat Sirena yang tampak tak keberatan dengan “kesalahan” itu. “Jangan salahkan saya.” Sirena menarik napas dalam. Dia memandang beberapa pengemis yang sedari tadi menarik perhatiannya. “Anda yang bergerak. Jadi ‘kesalahan’ itu adalah kesalahan Anda.” Usai mengucap hal tersebut, Sirena pergi ke arah para pengemis di ikuti Tuan Sand yang melangkah dengan tergesa untuk mengejar langkahnya. Sementara Arsenio masih termangu di tempatnya sambil menatap takjub pada sikap Sirena yang tenang walau sudah membuatnya berdebar. “Wah, lihat wajahnya yang tersenyum.” Arsenio berucap dalam hati. “Cant
Mendengar teriakan Arion, Sirena yang tadinya meringis kesakitan, kini langsung menepis kasar tangan besar yang mengekang pergelangan tangannya. “Anda tidak waras?” Sirena menatap geram. Pergelangan tangannya merah, nyaris lebam. Rasanya lebih sakit karena tubuh “Sirena” sangat lemah untuk sekarang. “Anda marah untuk apa? Aih, lelaki gila!” pekiknya jengkel dalam keadaan sadar. Bahkan gaun pernikahannya yang indah kini telah sedikit sobek. Sayang sekali, itu gaun yang Sirena suka walau bagian belakangnya sedikit terbuka. Lalu yang paling membuat Sirena marah adalah lukisannya—kacau balau dengan sobekkan besar di bagian tengahnya. “Kau!” Sirena mengeratkan kedua kepalan tangannya. Dia menatap Arion dengan geram—aura membunuh menyeruak dalam dirinya. Arion tercekat. Sirena terlihat mengerikan. Lalu, juga terlihat asing baginya. Tatapan penuh kebencian yang selama ini selalu di tunjukkan pada Arsenio seorang, kini malah mengarah padanya—bahkan ta
Arion dan Arsenio membulatkan matanya. “Kau berpikir terlalu jauh!” Arsenio tampak marah. Begitu pula dengan Arion. “Jangan mengatakan hal buruk. Kamu pikir aku akan membiarkanmu pergi begitu saja?” Arsenio mendekat—semakin mengikis jarak mereka. Dia memeluk wanitanya dengan erat. Bahkan tatapan yang tampak dalam itu bisa membuat wanita mana pun mabuk akan pesonanya. “Jangan pernah berpikir pergi tanpa seizinku, Lady ... pernikahan ini berlangsung karena keluargamu—menjual putrinya pada Duke Utara yang kaya tapi kejam! Bahkan setelah mendengar tentangku yang buruk ... mereka masih mendorongmu ke sisiku.” “Tak ingatkah kamu, inilah alasan kamu berusaha keras untuk mati berulang kali?!” tegas Arsenio, mengancam. Sirena diam. Dia yang membuat suasananya menjadi keruh. Namun dia juga yang bingung harus bagaimana menghadapinya. Terlebih lagi, saat melihat tatapan Sir. Einar yang kecewa membuat hatinya lebih ngilu. Sire
Sir. Einar menatap ragu. Melihat betapa teguhnya tekat Posy untuk menghalangi mereka masuk membuatnya menyadari niat membunuhnya. “Kami hanya akan melihatnya. Tak akan ada yang terjadi.” Lelaki bersurai gelap itu mengulas senyum masam—dia berusaha tenang walau cukup khawatir dengan keselamatan lehernya. Wanita yang berdiri di depannya ini bukan sekedar pembunuh bayaran kelas teri. Sebab Sirena memungutnya di perbatasan hutan iblis, duduk di tumpukan monster yang berhasil dia bunuh dengan tangan kecilnya. “Lancang sekali dirimu.” Arion maju selangkah. Namun tampaknya kekuasaan yang dia punya tak memiliki arti di mata pelayan wanita berparas menawan itu. Mata hijau bagai rubi itu berkilat tajam begitu mendengarnya berbicara. Arion kembali mundur. Tiga langkah di belakang sir. Einar dan selangkah di belakang Arsenio. “Nona, apakah Anda tak percaya pada Sir. Einar?” Arsenio membuka mulutnya. Sejak tadi dia diam sebab melihat so
“Nyonya Sirena. Bolehkah saya masuk?” Posy berdiri di depan kamar Sirena dengan membawa nampan berisikan sarapan untuk Nyonyanya. Sementara wanita muda yang berada di dalam kamarnya hanya menunduk dalam tanpa bisa menegakkan punggung dan lehernya dengan baik. Hantu Sirena merasa cemas. Dia tak lagi bisa mengendalikan dirinya. Padahal ini adalah tubuhnya. Namun dia seperti berada di dalam tubuh orang asing yang tak mau menuruti perintahnya. “Tubuh sialan! Milik siapa kau sebenarnya? Aku adalah pemilik aslimu.” Sirena menghardik dalam hati. “Cih, sekarang kau lebih nyaman di isi jiwa wanita kurang ajar itu dari pada diriku? Yang benar saja.” “Nyonya?” Posy mengerutkan kening samar. Dia mendengar seseorang bergumam sendiri di dalam kamar. Dia yakin itu suara Tuannya. Namun jika benar begitu, kenapa Sirena tak menjawab panggilannya? “Apakah Anda membutuhkan bantuan saya?” tanya Posy, sekali lagi. “Letakkan d
“Terima kasih sudah mengantarku.” Pelayan perempuan itu menunduk hormat dan melihat kepergian Ozias beberapa saat, sebelum meninggalkan tempat. Dari kejauhan Ozias bisa melihat lelaki berambut coklat dengan mata biru melihatnya dengan tatapan tertegun. “Ozias?” gumam lelaki itu, senang melihat kawannya. Berbeda dengan lawan bicaranya yang terus menatap dingin—seakan melihat musuh. Melihat itu, Theo paham jika sekarang bukan saatnya berbincang ramah dengan seorang teman. “Aku datang untuk bertemu Kakakku. Dia di dalam, kan?” tanya Ozias, dingin. Theo mengangguk. “Silakan masuk, Tuan. Saya akan mengantar Anda." Ozias hanya mengangguk dan mengikuti langkah Theo yang membawanya masuk ke dalam menara. Mereka menaiki tangga yang akan membawa keduanya ke puncak menara. “Bagaimana keadaan Kakakku?” Nada bicara Ozias melunak. Kini dia tak perlu memasang kewaspadaan tinggi karena hanya ada dirinya dan T
BRAK! Arsenio menghantam meja. Beberapa puing kayu kokoh itu rontok ke atas karpet berbulu. Martell menatap takut. Dia tak pernah melihat Arsenio semarah ini selama satu tahun terakhir. Melihatnya kembali temperamental, tampaknya Nyonya Duchess yang baru selalu berhasil mengendalikan Duke mereka yang pandai mengontrol emosi. “Bisa-bisanya wanita itu membuatku kesal.” Arsenio mengepalkan tangannya semakin kencang. Dua urat menonjol di bawah dagu Arsenio membuat Martell menelan ludahnya susah—dia sangat tegang sekarang. “Yang Mulia, Tuan Frederick akan pergi ke desa untuk mencari informasi kemunculan pada monster.” Martell berusaha mengalihkan topik. Dia berharap Arsenio melupakan masalah Sirena dan fokus pada pekerjaan saja. Setidaknya itu lebih baik dari pada mengingat kenangan buruk yang membuat Tuannya menjadi emosional. “Aku sudah tahu. Frederick menyampaikannya padaku kemarin. Lalu, bagaimana dengan
Posy terdiam beberapa saat. Melihat reaksi Vian dan Cavan yang cukup kebingungan, tampaknya hanya Theo yang bisa melihat sosok menyeramkan itu. “Anda, bisa melihatnya?” tanya Posy, terlihat cukup terusik. Lelaki bermata biru laut itu menganggukkan kepala. “Dari awal. Dalam wujud yang nyata.” Dia melirik ke arah sudut ruangan. “Bahkan sekarang, dia ada di sini—mengawasi kita.” Posy menatap ke beberapa sudut, termasuk sudut yang di lihat oleh Theo dengan tatapan waspada. Sayangnya, dia tidak bisa melihat wanita itu kecuali wanita itu menampakkan diri di hadapannya. “Besok saya akan mengaturkan pertemuan Anda dengan Nyonya.” Posy menatap waspada. “Yang bisa melihat wanita itu secara berkala hanya Nyonya ... jadi, bisakah Anda membicarakan hal ini kembali bersama dengan Nyonya besok?” Theo mengangguk. “Baiklah.” “Nyonya.” Posy membuka gorden dan membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam kamar. Na
Sirena berjalan masuk ke dalam menara tempatnya tinggal dengan langkah sempoyongan. Seperti yang dia duga, Arsenio telah menempatkan banyak pengawal untuk mengawasinya. Bahkan mereka bukanlah pengawal biasa. Karena baik Sirena atau Posy dapat merasakan kekuatan besar di dalam tiga lelaki berpakaian serba hitam itu. “Yang Mulia, Anda kembali?” Vian bergegas mendekat. Sayangnya, langkah Vian harus berhenti saat Posy menghalanginya dari Sirena. “Apa yang Anda lakukan di sini, Tuan Vian?” Posy menatap tajam. Dia terlihat waspada. “Apa Anda di tugaskan menjaga Nyonya Duchess?” Vian menatap dalam diam beberapa saat. Lalu dia tersenyum setelah mengetahui pikiran lawannya. “Ya. Tuan Duke memerintahkan kami—“ “Posy. Sudahlah. Jangan berdebat.” Sirena memijat pelipisnya. “Pergilah ... kamu ingin bertemu dengan Lucas, kan?” Posy menatap ragu. Meninggalkan Tuannya sendirian dalam pengawasan tiga serigala cukup membu
Sirena menatap kaget tumpukan mayat di depan mereka. Begitu pula dengan Posy yang memperlihatkan reaksi yang sama. “Para pelayan mengatakan, bahwa di desa ini terkena wabah hitam. Tiap malam satu keluarga akan mati. Mayat mereka berlumuran darah walau tidak di temukan luka di tubuh mereka,” jelas Posy. Wanita berambut coklat tua dengan mata hijau itu menatap nanar tumpukan mayat manusia dengan bau yang menyengat. “Sungguh aneh,” gumamnya, tidak habis pikir. Suara langkah kaku seseorang membuat kedua wanita muda itu menoleh ke arah sumber suara. Mereka melihat lelaki bertudung hitam ada di dekat tumpukan orang-orang, seakan bersiap membakar mayat-mayat itu dengan obor di tangannya. “Ternyata ada penonton yang datang.” Lelaki berjubah hitam itu menoleh. Dia memperlihatkan wajah tampannya dengan berani. Bahkan tersenyum lembut pada Posy dan Sirena. Posy maju selangkah, menghalangi pandangan lelaki itu dari
“Sepertinya Anda harus bermalam di sini, Nona Posy. Langit mendung tidak mendukung. Jika Anda keluar sekerang, takutnya ... hujan akan turun di tengah jalan.” Oriel berucap dengan cemas. Dia menatap wanita bermata hijau itu naik ke atas kuda sambil memeluk Tuannya yang selesai mendapat pengobatan—walau dia belum sadar sepenuhnya. “Tidak.” Posy menjawab dengan tegas. Dia menatap lembut pada wanita muda berusia satu tahun lebih muda darinya. Lantas tersenyum. “Duke akan mencari kami jika seperti itu ... dan bisa saja, kalian dalam bahaya setelahnya.” Oriel tidak memaksa. Keadaannya memang tidak terlalu baik setelah dia memaksakan diri menyembuhkan Sirena dalam satu waktu. “Kalau begitu, izinkan saya mengantar Anda sampai keluar Hutan.” Ivander keluar dari dalam dengan membawa tombak. “Saat malam, hutan ini akan tetap berbahaya untuk seorang wanita yang cukup kuat. ” Posy tidak membantah. Saat bahaya menimpa, dia tid
“Ke mana kau akan membawanya?” Sosok wanita bersurai pirang dengan mata hitam mengikuti laju kuda Posy dengan kaki melayang. Sosok menyeramkan itu kembali menampakkan diri. Lagi-lagi juga terlihat perhatian pada Sirena. “Kenapa Anda selalu menunjukkan perasaan khawatir?” Posy tak menatapnya. Dia takut. Tapi juga penasaran dengan identitasnya. Hantu bukan hal yang mudah di percaya. Namun setelah melihatnya beberapa kali, Posy yakin jika mereka memang ada—hidup berdampingan dengan kita—seperti yang pernah di katakan oleh Sirena kecil enam tahun yang lalu. “Karena aku mengkhawatirkannya.” Wanita itu menjawab dengan nada serak—suaranya tidak terlalu jelas, namun Posy masih mengerti apa yang sedang dia katakan. “Begitukah?” Posy menatapnya beberapa saat—dengan harapan hantu itu tidak menoleh dan menampakkan wajahnya. “Kenapa Anda memiliki perasaan seperti itu pada Nyonya?” Hantu perempuan itu tertawa. Tawa ya
Ivander mendengar tapak kaki kuda dari kejauhan. Kali ini dia sedang memungut kayu untuk membuat kayu bakar dan memasak. Namun saat dia mendengar suara tak kaki kuda yang mendekat ke arahnya, dia segera memasang posisi bertarung—mengarahkan belati yang dia genggam ke arah depan. “Nona Posy?” Ivander bergumam saat melihat wanita itu melewatinya dengan wajah muram. Wanita muda itu tampak tergesa. Dia memacu kudanya sangat kencang sampai mendatangkan badai debu di sepanjang jalan yang telah dia lalui. “Apa yang membuatnya seperti itu?” gumam Ivander, bergegas mengumpulkan kayu dan menyusul Posy. “Tampaknya dia datang untuk bertemu Kakak,” gumam Ivander, mempercepat langkahnya. Sesampainya di pondok, Ivander melihat dua wanita muda itu tampak tergesa-gesa menyiapkan beberapa barang dan hendak pergi meninggalkan tempat. Ivander menatap keduanya dengan tatapan bertanya-tanya. “Apa yang kalian lakukan? Apa kalian ingin p