Sirena merasakan tarikan kuat diujung rambutnya. Dia yang semula tertidur pulas sontak membuka mata lebar melihat seorang anak kecil tanpa bola mata terkikik menertawakan wajah terkejutnya.
Oh, ini pertama kalinya baik “Lonie” atau tubuh Sirena melihat hal mengerikan. Biasanya tak pernah. Bukan! Tapi memang tak bisa melihat hal mengerikan seperti “hantu” ini.“A-akkhhhhhh ....”Brak!Sir. Einar dan dua orang penjaga bawahannya masuk dengan wajah setengah sadar. Mereka yang tak sengaja tertidur seketika itu sadar setelah mendengar teriakan Sirena yang lantang.Bahkan setelah tiga pengawal itu masuk, kini Gracio dan Ozias menyusul masuk dengan wajah panik.“Kenapa?” Gracio menatap Sirena yang duduk di atas ranjang dengan wajah pucat. Meringkuk memeluk tubuhnya yang gemetar ketakutan.Sirena menatap lima orang lelaki yang berdiri di depan pintu kamar bagian dalam. Melihat wajah mereka yang murni khawatir pada dirPosy berjalan dengan tergesa. Kereta kuda Duke Arsenio sudah standby di depan pintu gerbang kediamannya. Sementara si Tuan pemilik kereta itu sedang berjalan memasuki kediaman Sharon—tempat kamar Tunangannya berada. “Nona Posy, kenapa Anda terlihat terburu-buru?” Arsenio mengerutkan kening. Dia melihat pelayan Sirena tampak bingung melihat Tuannya tak ada di tempat yang seharusnya. Bahkan tak ada seorang pun pengawal di sekitar kamar tersebut. “Apakah Sirena sudah pergi?” tanya Arsenio, hanya menebak. Posy menggeleng kuat. “Tidak, Tuan. Saya yakin Nona tidak akan pergi sangat pagi. Dia sangat pemalas ... eh, maksud saya ... Nona tidak akan bisa bangun jika saya tidak membantunya di pagi hari. Jadi, tidak mungkin Nona meninggalkan tempat tidurnya sebelum itu.” Arsenio menatap kamar Sirena yang sedikit berantakan di bagian ranjang—seakan wanita itu sudah meninggalkannya dalam waktu yang lama. “Apakah tidak ada anggota keluarg
Sirena terdiam beberapa saat. Dia menatap wajah Arsenio yang tersenyum mengejek dengan mata menyipit. “Kamu tidak—“ Cup .... Bukan pipi. Namun bibir Arsenio-lah yang mendapatkan kecupan. Itu karena Arsenio yang tidak sabaran, sudah bergerak secara tidak sengaja dan membuat Sirena tak bisa menghentikan kesalahan fatal yang dia perbuat. Arsenio membulatkan mata. Dia terkejut. Namun juga canggung melihat Sirena yang tampak tak keberatan dengan “kesalahan” itu. “Jangan salahkan saya.” Sirena menarik napas dalam. Dia memandang beberapa pengemis yang sedari tadi menarik perhatiannya. “Anda yang bergerak. Jadi ‘kesalahan’ itu adalah kesalahan Anda.” Usai mengucap hal tersebut, Sirena pergi ke arah para pengemis di ikuti Tuan Sand yang melangkah dengan tergesa untuk mengejar langkahnya. Sementara Arsenio masih termangu di tempatnya sambil menatap takjub pada sikap Sirena yang tenang walau sudah membuatnya berdebar. “Wah, lihat wajahnya yang tersenyum.” Arsenio berucap dalam hati. “Cant
Mendengar teriakan Arion, Sirena yang tadinya meringis kesakitan, kini langsung menepis kasar tangan besar yang mengekang pergelangan tangannya. “Anda tidak waras?” Sirena menatap geram. Pergelangan tangannya merah, nyaris lebam. Rasanya lebih sakit karena tubuh “Sirena” sangat lemah untuk sekarang. “Anda marah untuk apa? Aih, lelaki gila!” pekiknya jengkel dalam keadaan sadar. Bahkan gaun pernikahannya yang indah kini telah sedikit sobek. Sayang sekali, itu gaun yang Sirena suka walau bagian belakangnya sedikit terbuka. Lalu yang paling membuat Sirena marah adalah lukisannya—kacau balau dengan sobekkan besar di bagian tengahnya. “Kau!” Sirena mengeratkan kedua kepalan tangannya. Dia menatap Arion dengan geram—aura membunuh menyeruak dalam dirinya. Arion tercekat. Sirena terlihat mengerikan. Lalu, juga terlihat asing baginya. Tatapan penuh kebencian yang selama ini selalu di tunjukkan pada Arsenio seorang, kini malah mengarah padanya—bahkan ta
Arion dan Arsenio membulatkan matanya. “Kau berpikir terlalu jauh!” Arsenio tampak marah. Begitu pula dengan Arion. “Jangan mengatakan hal buruk. Kamu pikir aku akan membiarkanmu pergi begitu saja?” Arsenio mendekat—semakin mengikis jarak mereka. Dia memeluk wanitanya dengan erat. Bahkan tatapan yang tampak dalam itu bisa membuat wanita mana pun mabuk akan pesonanya. “Jangan pernah berpikir pergi tanpa seizinku, Lady ... pernikahan ini berlangsung karena keluargamu—menjual putrinya pada Duke Utara yang kaya tapi kejam! Bahkan setelah mendengar tentangku yang buruk ... mereka masih mendorongmu ke sisiku.” “Tak ingatkah kamu, inilah alasan kamu berusaha keras untuk mati berulang kali?!” tegas Arsenio, mengancam. Sirena diam. Dia yang membuat suasananya menjadi keruh. Namun dia juga yang bingung harus bagaimana menghadapinya. Terlebih lagi, saat melihat tatapan Sir. Einar yang kecewa membuat hatinya lebih ngilu. Sire
Sir. Einar menatap ragu. Melihat betapa teguhnya tekat Posy untuk menghalangi mereka masuk membuatnya menyadari niat membunuhnya. “Kami hanya akan melihatnya. Tak akan ada yang terjadi.” Lelaki bersurai gelap itu mengulas senyum masam—dia berusaha tenang walau cukup khawatir dengan keselamatan lehernya. Wanita yang berdiri di depannya ini bukan sekedar pembunuh bayaran kelas teri. Sebab Sirena memungutnya di perbatasan hutan iblis, duduk di tumpukan monster yang berhasil dia bunuh dengan tangan kecilnya. “Lancang sekali dirimu.” Arion maju selangkah. Namun tampaknya kekuasaan yang dia punya tak memiliki arti di mata pelayan wanita berparas menawan itu. Mata hijau bagai rubi itu berkilat tajam begitu mendengarnya berbicara. Arion kembali mundur. Tiga langkah di belakang sir. Einar dan selangkah di belakang Arsenio. “Nona, apakah Anda tak percaya pada Sir. Einar?” Arsenio membuka mulutnya. Sejak tadi dia diam sebab melihat so
“Gracio! Sampai kapan kamu hanya melihat dan bengong? Bantu Ayahmu!” Shafira kembali berteriak. Lelaki berusia dua puluh tahun yang sedari tadi terus terdiam dengan wajah bingung dan kaget, segera tersadar saat Ozias menginjak kakinya dengan keras. Gracio tak sempat marah atas tindakan kurang ajar adik lelakinya itu. Namun dia sudah di sibukkan dengan fakta bahwa dia harus membantu Ayah angkatnya, Rajad, untuk menenangkan adik tirinya, Sirena. Gracio mendekat dan hendak membantu Rajad menenangkan adik perempuannya. Namun kedua lelaki itu terpental oleh sihir yang cukup kuat sampai melempar mereka sepanjang setengah meter dari posisi semula. “Sirena!” Saat suara Shafira memekakkan telinga mereka, Ozias berlari mendekati Kakaknya, memeluknya erat—mencoba menghentikan apa yang berusaha dia lakukan. “Lepas Ozias. Aku harus segera sadar karena wanita setan ini sangat kuat. Jangan biarkan aku menyakiti kalian!” Ozias
“A-apa yang terjadi?” Sirena menepuk punggung Arsenio beberapa kali, menenangkan tunangannya seperti menenangkan rekan prajurit se-perjuangannya. ‘Lonie’ memang bukan tipe orang yang tahu soal percintaan. Dia hanya tahu kesetiaan dan cara memojokkan serta membunuh lawannya. Selebihnya ‘Lonie’ tak akan mengerti walau lawannya menyatakan cinta dengan cara yang romantis. “Apa yang terjadi?” Sirena mendorong Arsenio, melihat wajah suram dan cekungan mata yang membuatnya terlihat letih. “Anda sampai dengan sangat cepat, saya kira Anda menggunakan bantuan penyihir wilayah Utara ... ternyata Anda berkuda tanpa istirahat seharian ya?” Arsenio menghela napas lelah. Dia tak tahu sejak kapan kepedulian akan Sirena tumbuh di dalam hatinya. Namun dia bisa memastikan jika dirinya telah jatuh cinta pada gadis itu begitu melihat wajahnya yang terluka. “Ada apa dengan wajahmu—ah, kenapa aku bertanya padahal aku sudah mendengarnya dari Ozias.” Dia menghela napas lelah. “Itu pasti sangat menyakitkan.
“Kamu meninggalkan rumah terlalu cepat, apa keluarga Sharon tidak mempermasalahkannya? Bahkan maharnya belum tiba di kediaman kalian, kan?” tanya Arsenio. Wanita di depannya hanya diam dengan kedua tangan yang dilipat di depan dada. Kedua matanya juga terpejam rapat-tampak seperti tertidur, hanya saja Arsenio tahu wanita itu masih sadar. “Lady, jangan mengacuhkan suamimu!” tegur Arsenio sedikit kesal. Sirena membuka mata. Dia melihat lelaki di depannya dengan tampang lelah. Kantung mata yang semakin hitam karena tak bisa tidur dengan nyenyak membuat wajahnya tampak lesu. “Tidak. Nenek sudah mengizinkannya. Kita juga tak akan pergi jauh dari rumah kediaman Count Sharon. Tak ada yang perlu di permasalahkan.” Sirena menjelaskan dengan singkat. Setelah itu wanita tersebut kembali memejamkan mata dan terlelap—kali ini memang tertidur, maka Arsenio pun tidak mengganggunya. “Tuan, kita sudah sampai di kediaman Ibu Kota.” Sand menu