“Kamu meninggalkan rumah terlalu cepat, apa keluarga Sharon tidak mempermasalahkannya? Bahkan maharnya belum tiba di kediaman kalian, kan?” tanya Arsenio. Wanita di depannya hanya diam dengan kedua tangan yang dilipat di depan dada. Kedua matanya juga terpejam rapat-tampak seperti tertidur, hanya saja Arsenio tahu wanita itu masih sadar. “Lady, jangan mengacuhkan suamimu!” tegur Arsenio sedikit kesal. Sirena membuka mata. Dia melihat lelaki di depannya dengan tampang lelah. Kantung mata yang semakin hitam karena tak bisa tidur dengan nyenyak membuat wajahnya tampak lesu. “Tidak. Nenek sudah mengizinkannya. Kita juga tak akan pergi jauh dari rumah kediaman Count Sharon. Tak ada yang perlu di permasalahkan.” Sirena menjelaskan dengan singkat. Setelah itu wanita tersebut kembali memejamkan mata dan terlelap—kali ini memang tertidur, maka Arsenio pun tidak mengganggunya. “Tuan, kita sudah sampai di kediaman Ibu Kota.” Sand menu
Vian menoleh ke arah lorong setelah mendengar suara roda lemari besi berisikan makanan terdengar. Dia melihat Posy, dayang pribadi Sirena dari kediaman Sharon, berjalan mendekat dengan langkah anggun. “Lady Posy!” Vian bergegas mendekat. Posy yang melihat raut wajahnya yang getir, seketika paham dan berlari ke arah ruang mandi. Brak! Tanpa banyak bicara pintu itu telah di rusak oleh kaki kecil pelayan perempuan yang terlihat cemas akan keadaan Tuannya. Namun Vian tak sempat memuji kehebatan itu karena suara teriakan Posy membuatnya terkejut. “Nona!!” Posy berteriak nyaring. Dia segera berlari mendekati bak mandi ketika melihat tubuh Sirena mengambang di atasnya dengan wajah membiru dari kejauhan. Posy menceburkan diri ke air dengan membawa handuk. Dia membungkus tubuh telanjang Sirena dengan benda itu dan membawanya keluar air. Vian tertegun melihat Sirena kembali tertimpa musibah. Melihat itu,
Sirena menatap beberapa pelayan yang melirik ke arahnya dengan ragu—mereka ingin menolong, namun ini Permaisuri Lister! Mereka takut, jika mereka membela Sirena, maka leher mereka adalah taruhannya. “Tidak.” Sirena menatap sekeliling. “Mana bisa saya memperlakukan Anda, Ibu Negara ini, dengan sikap kekanak-kanakan saya.” Sruk .... Sirena meletakkan sebuah karangan bunga di atas kepala Permaisuri Lister dan tersenyum melihat wajah kesal dan marahnya. "Tapi ini pesta pernikahan saya, Yang Mulia. Bahkan Anda adalah orang yang memberi saya hak untuk mengambil alih semua ini. Jadi ... apakah Anda menyesal melihat apa yang saya lakukan sekarang?" Sirena menatap lekat—tak memberi celah lawannya untuk melihat keburukan dalam dirinya walau dia bersalah. “Benar Ibu,” Putri Elvira mengedipkan satu matanya pada Sirena dan mendekat Ibunya—membantu Sirena membujuknya. “Mari kita lihat sebagus apa pekerjaan Nona Sirena.” Elvira merangkul
“Tuan Duke Arsenio Orlan, apakah Anda bersumpah menemani dalam suka dan duka bersama Nona Sirena Egberta Erldin, istri Anda ....” Pendeta mengucap sumpah pernikahan. Arsenio menjawab dengan lihai. Bahkan dia telah menyematkan senyum menawan di wajah tampannya. “Ya.” Pendeta mengulang kalimat sumpah. Kini untuk Sirena jawab. “Nona Sirena Egberta Erldin, apakah Anda bersumpah menemani dalam suka dan duka bersama, Tuan Duke Arsenio Orlan, suami Anda ....” “Ya, saya bersedia.” Setelah menjawab sumpah tersebut. Kedua pengantin bertukar cincin. Arsenio mengecup kening Sirena sebagai ganti kecupan panas di bibirnya. Arsenio tak masalah. Sebelum pernikahan Sirena yang memintanya untuk melakukan itu. Katanya, ciuman di kening melambangkan kasih sayang sementara di bibir hanyalah sebuah hasrat. Karena itu Arsenio mengabulkannya. Pesta perayaan pernikahan di gelar meriah. Permaisuri Lister yang sempat men
“Apa?” Arsenio mengerutkan keningnya dalam. “Tentu saja aku mencintai istriku. Hal gila apa yang coba kamu perbuat sekarang, Duchess?” Arsenio menggelengkan kepalanya ampun. Dia melihat kaki Sirena yang terluka cukup parah. “Kau menari terlalu lama, Duchess. Karena itu, aku harus menggendongmu untuk pergi ke ruang istirahat.” Arsenio mengomel. Dia mengambil biola dari tangan istrinya dan menyerahkan benda itu pada pelayan. “Kalian bisa lanjutkan pestanya. Saya akan mengantar istri saya ke ruang istirahat terlebih dulu.” Arsenio mengangkat Sirena. Namun dengan cepat wanita itu melompat turun dan membuat Arsenio ternganga melihat ketangkasan sang istri. “Saya bisa jalan sendiri.” Sirena berlalu. Dia mengambil sepatunya, memakainya, dan pergi ke arah keluarga Kaisar yang juga tengah memperhatikannya sedari tadi. “Maaf karena pestanya menjadi kacau karena kelakuan tidak berpendidikan saya, Yang Mulia. Saya harap Anda
“Apa yang kamu lamunkan, gadis bodoh?!” Gadis itu berucap. Dia memang berusaha menghentikan Arsenio untuk menyelamatkan tubuhnya. Jiwanya telah mati karena Arion. Kali ini raganya tak boleh di korbankan untuk Arsenio. Dia tak akan membiarkannya! “Aku sudah memanggilmu dengan susah payah! Sekarang kau harus menyelamatkan dirimu untuk memenuhi keinginanku." Gadis itu menangis. Wajahnya yang menyeramkan perlahan berubah menjadi sosok Sirena seutuhnya. ‘Lonie’ menatap dalam. Wajah cantik itu penuh dengan luka sayat. Seakan dia pernah mendapatkan siksaan keji dari seseorang. “Aku tak tahu apa yang sudah terjadi padamu di kehidupan ini sampai wujudmu sangat menyeramkan dan menyedihkan, Sirena.” Lonie berucap. Mereka berdua melakukan telepati. Namun yang Sirena tunjukkan hanya penyesalan mendalam di wajah cantiknya. “Melompatlah.” Hantu Sirena meminta dengan tulus. Dia bahkan menangis. “Tolong selamatkan diriku ... Lonie
“Pekerjaan yang berat.” Sirena menghela napas lelah, melempar diri untuk di cekik oleh sosok di dalam Arsenio. "Saya kira persoalan kita sudah selesai saat saya melarikan diri. Saya yakin Anda tahu saya memberi ruang Anda untuk mengekang sosok di dalam diri Anda—“ Sirena tersenyum miris. “tapi saya tak tahu jika selama ini Anda sangat pasrah saat sosok itu merebut kewarasan Anda, Tuanku.” Sirena pasrah. Lingkaran ungu tergambar di leher kecil putihnya. Gracio, Posy atau Sir. Einar berusaha membantu Sirena melepaskan cengkeraman Arsenio. “Ya ... bunuh saja. Tak ada orang yang mau tinggal di tempat yang isinya hanya pembenci dan pembunuh gila bersenyum manis. Penjilat keji yang tak tahu adap. Pengisap darah masyarakat yang kaya dan Kaisar gila yang gila hormat. Dan kau ....” Sirena menatap wajah Arsenio lekat-lekat. Dia menunjuk wajah Arsenio dengan lantang. Dia tak pernah semarah ini. Bahkan penjiwaan saat mengumpat di depan wajah sua
Arsenio menggerutu pelan, mengingat cara istri muda—dengan hidung lurus dan mungil—kegirangan melihat pelayannya telah mendapatkan jodoh yang baik. “Ada apa dengan wajah Anda, Tuan?” tanya Sand, bingung melihat raut muram Arsenio sepanjang perjalanan. “Tidak ada,” jawab lelaki pemilik rahang tegas dan mata biru bersurai hitam di depannya. Sand hanya diam dan kembali mengawasi kereta kuda di belakang mereka. Entah kenapa dua Tuannya memilih menggunakan kereta secara terpisah. Banyak hal bisa Sand khawatirkan karena kejadian ini. Pikiran negatif yang menggiring opini ‘hubungan buruk’ antara dua Tuannya. “Jika saya boleh bertanya, apakah Anda memarahi Nyonya Sirena sebelum kita berangkat? Raut wajah Nyonya kurang enak di lihat saat memutuskan pergi secara terpisah.” Sand memberanikan diri untuk melontarkan pertanyaan. Sementara lelaki yang dari tadi hanya melamun sambil menatap langit dari luar jendela, kini melirik tajam ke a