Sirena menatap beberapa pelayan yang melirik ke arahnya dengan ragu—mereka ingin menolong, namun ini Permaisuri Lister! Mereka takut, jika mereka membela Sirena, maka leher mereka adalah taruhannya.
“Tidak.” Sirena menatap sekeliling. “Mana bisa saya memperlakukan Anda, Ibu Negara ini, dengan sikap kekanak-kanakan saya.”Sruk ....Sirena meletakkan sebuah karangan bunga di atas kepala Permaisuri Lister dan tersenyum melihat wajah kesal dan marahnya."Tapi ini pesta pernikahan saya, Yang Mulia. Bahkan Anda adalah orang yang memberi saya hak untuk mengambil alih semua ini. Jadi ... apakah Anda menyesal melihat apa yang saya lakukan sekarang?" Sirena menatap lekat—tak memberi celah lawannya untuk melihat keburukan dalam dirinya walau dia bersalah.“Benar Ibu,” Putri Elvira mengedipkan satu matanya pada Sirena dan mendekat Ibunya—membantu Sirena membujuknya. “Mari kita lihat sebagus apa pekerjaan Nona Sirena.”Elvira merangkul“Tuan Duke Arsenio Orlan, apakah Anda bersumpah menemani dalam suka dan duka bersama Nona Sirena Egberta Erldin, istri Anda ....” Pendeta mengucap sumpah pernikahan. Arsenio menjawab dengan lihai. Bahkan dia telah menyematkan senyum menawan di wajah tampannya. “Ya.” Pendeta mengulang kalimat sumpah. Kini untuk Sirena jawab. “Nona Sirena Egberta Erldin, apakah Anda bersumpah menemani dalam suka dan duka bersama, Tuan Duke Arsenio Orlan, suami Anda ....” “Ya, saya bersedia.” Setelah menjawab sumpah tersebut. Kedua pengantin bertukar cincin. Arsenio mengecup kening Sirena sebagai ganti kecupan panas di bibirnya. Arsenio tak masalah. Sebelum pernikahan Sirena yang memintanya untuk melakukan itu. Katanya, ciuman di kening melambangkan kasih sayang sementara di bibir hanyalah sebuah hasrat. Karena itu Arsenio mengabulkannya. Pesta perayaan pernikahan di gelar meriah. Permaisuri Lister yang sempat men
“Apa?” Arsenio mengerutkan keningnya dalam. “Tentu saja aku mencintai istriku. Hal gila apa yang coba kamu perbuat sekarang, Duchess?” Arsenio menggelengkan kepalanya ampun. Dia melihat kaki Sirena yang terluka cukup parah. “Kau menari terlalu lama, Duchess. Karena itu, aku harus menggendongmu untuk pergi ke ruang istirahat.” Arsenio mengomel. Dia mengambil biola dari tangan istrinya dan menyerahkan benda itu pada pelayan. “Kalian bisa lanjutkan pestanya. Saya akan mengantar istri saya ke ruang istirahat terlebih dulu.” Arsenio mengangkat Sirena. Namun dengan cepat wanita itu melompat turun dan membuat Arsenio ternganga melihat ketangkasan sang istri. “Saya bisa jalan sendiri.” Sirena berlalu. Dia mengambil sepatunya, memakainya, dan pergi ke arah keluarga Kaisar yang juga tengah memperhatikannya sedari tadi. “Maaf karena pestanya menjadi kacau karena kelakuan tidak berpendidikan saya, Yang Mulia. Saya harap Anda
“Apa yang kamu lamunkan, gadis bodoh?!” Gadis itu berucap. Dia memang berusaha menghentikan Arsenio untuk menyelamatkan tubuhnya. Jiwanya telah mati karena Arion. Kali ini raganya tak boleh di korbankan untuk Arsenio. Dia tak akan membiarkannya! “Aku sudah memanggilmu dengan susah payah! Sekarang kau harus menyelamatkan dirimu untuk memenuhi keinginanku." Gadis itu menangis. Wajahnya yang menyeramkan perlahan berubah menjadi sosok Sirena seutuhnya. ‘Lonie’ menatap dalam. Wajah cantik itu penuh dengan luka sayat. Seakan dia pernah mendapatkan siksaan keji dari seseorang. “Aku tak tahu apa yang sudah terjadi padamu di kehidupan ini sampai wujudmu sangat menyeramkan dan menyedihkan, Sirena.” Lonie berucap. Mereka berdua melakukan telepati. Namun yang Sirena tunjukkan hanya penyesalan mendalam di wajah cantiknya. “Melompatlah.” Hantu Sirena meminta dengan tulus. Dia bahkan menangis. “Tolong selamatkan diriku ... Lonie
“Pekerjaan yang berat.” Sirena menghela napas lelah, melempar diri untuk di cekik oleh sosok di dalam Arsenio. "Saya kira persoalan kita sudah selesai saat saya melarikan diri. Saya yakin Anda tahu saya memberi ruang Anda untuk mengekang sosok di dalam diri Anda—“ Sirena tersenyum miris. “tapi saya tak tahu jika selama ini Anda sangat pasrah saat sosok itu merebut kewarasan Anda, Tuanku.” Sirena pasrah. Lingkaran ungu tergambar di leher kecil putihnya. Gracio, Posy atau Sir. Einar berusaha membantu Sirena melepaskan cengkeraman Arsenio. “Ya ... bunuh saja. Tak ada orang yang mau tinggal di tempat yang isinya hanya pembenci dan pembunuh gila bersenyum manis. Penjilat keji yang tak tahu adap. Pengisap darah masyarakat yang kaya dan Kaisar gila yang gila hormat. Dan kau ....” Sirena menatap wajah Arsenio lekat-lekat. Dia menunjuk wajah Arsenio dengan lantang. Dia tak pernah semarah ini. Bahkan penjiwaan saat mengumpat di depan wajah sua
Arsenio menggerutu pelan, mengingat cara istri muda—dengan hidung lurus dan mungil—kegirangan melihat pelayannya telah mendapatkan jodoh yang baik. “Ada apa dengan wajah Anda, Tuan?” tanya Sand, bingung melihat raut muram Arsenio sepanjang perjalanan. “Tidak ada,” jawab lelaki pemilik rahang tegas dan mata biru bersurai hitam di depannya. Sand hanya diam dan kembali mengawasi kereta kuda di belakang mereka. Entah kenapa dua Tuannya memilih menggunakan kereta secara terpisah. Banyak hal bisa Sand khawatirkan karena kejadian ini. Pikiran negatif yang menggiring opini ‘hubungan buruk’ antara dua Tuannya. “Jika saya boleh bertanya, apakah Anda memarahi Nyonya Sirena sebelum kita berangkat? Raut wajah Nyonya kurang enak di lihat saat memutuskan pergi secara terpisah.” Sand memberanikan diri untuk melontarkan pertanyaan. Sementara lelaki yang dari tadi hanya melamun sambil menatap langit dari luar jendela, kini melirik tajam ke a
Nirmala membelalakkan mata. Dia terkejut. Begitu pula dengan para pelayan, kepala pelayan dan ksatria kediaman Utara. Namun berbeda dengan Arsenio yang diam, menahan tawa, dan berusaha keras mempertahankan wibawanya agar tak jatuh saat dia ingin tertawa lantang. Wajah Nirmala yang tercengang membuatnya ingin terbahak-bahak. Posy menatap Nirmala dengan dingin. “Beliau adalah Lady Nirmala Tufaila. Putri tunggal Marquess Tufaila. Tunangan Tuan Frederick, adik lelaki Tuan Arsenio.” Sirena mengangguk-angguk paham mendengar penjelasan itu. “Begitu. Jadi dia Adik Ipar Tuanku?” “Benar, Nyonya Duchess.” Sirena kembali mengangguk. Dia tak tertarik dengan suasana menegangkan karena Nirmala tampak marah melihat sikap acuh tak acuhnya. Lebih baik istirahat. “Tuan Arsenio.” Sirena berjalan mendekati suami yang di kerumuni para pelayan. “Di mana kamarku? Kita tak mungkin ada di satu kamar, kan? Aku tak mau tidur deng
Tok ... tok .... “Tuan, saya Martell. Izin menghadap.” Arsenio melirik ke arah pintu. “Masuk.” Martell membuka pintu. Dia melihat Arsenio tengah duduk di kursi yang tersedia di balkon kamarnya. Lelaki bermata biru dengan surai hitam itu menuang segelas anggur, lalu menikmatinya. “Apa yang ingin kau bicarakan?” Arsenio melirik Martell acuh tak acuh. “Para penjaga menemukan empat orang pelayan terbunuh di perbatasan hutan. Mayatnya hanya di timbun salju sehingga membuat darahnya menggenang di sekitarnya.” Martell menunduk. Tak berani menatap lirikan tajam Arsenio. “Dan mereka adalah empat orang pelayan yang membantu Nyonya Duchess beberapa saat yang lalu.” “Duchess?” Arsenio menaikkan sebelah alisnya. “Lalu? Kau mencurigai istriku yang baru datang itu ... membunuh mereka berempat?” Martell berkeringat dingin. “H-hanya itu petunjuknya, Yang Mulia. Para ksatria tengah menyelidikinya. Ja-jadi—“ “Di mana Duc
Sirena membuka mata. Dia melihat sekeliling dengan datar—mengingat di mana dia terbangun. Dia yakin ini bukan kamarnya. Tak mungkin juga milik Arsenio. Kamar lusuh yang lebih mirip kamar pelayan dari pada kamar penguasa wilayah ini bahkan penuh debu dan usang. Lalu dia tertidur di sini? Setelah mendapat perlakukan sekasar itu dari suaminya? “Dia mengurungku?” gumam Sirena. Dia bangun dari tempat tidur dan membuka jendela. Dia tak mengecek pintu, karena jelas itu terkunci. Benar saja. Sirena di kurung dalam menara tinggi. Yang bisa dia lihat dari tempat itu hanya kamp latihan para ksatria utara yang ramai dan Arsenio yang sedang memberi komando untuk latihan pagi. “Heh, coba kita lihat seberapa cuek lelaki itu!” Sirena tersenyum jahat. Dia memanjat atap dan duduk di ujungnya. Kedua kakinya mengarah ke bawah, dia duduk dengan santai dan bersenandung. Suara merdu yang diliputi sihir ultrasonik sehingga suar
“Nyonya Sirena. Bolehkah saya masuk?” Posy berdiri di depan kamar Sirena dengan membawa nampan berisikan sarapan untuk Nyonyanya. Sementara wanita muda yang berada di dalam kamarnya hanya menunduk dalam tanpa bisa menegakkan punggung dan lehernya dengan baik. Hantu Sirena merasa cemas. Dia tak lagi bisa mengendalikan dirinya. Padahal ini adalah tubuhnya. Namun dia seperti berada di dalam tubuh orang asing yang tak mau menuruti perintahnya. “Tubuh sialan! Milik siapa kau sebenarnya? Aku adalah pemilik aslimu.” Sirena menghardik dalam hati. “Cih, sekarang kau lebih nyaman di isi jiwa wanita kurang ajar itu dari pada diriku? Yang benar saja.” “Nyonya?” Posy mengerutkan kening samar. Dia mendengar seseorang bergumam sendiri di dalam kamar. Dia yakin itu suara Tuannya. Namun jika benar begitu, kenapa Sirena tak menjawab panggilannya? “Apakah Anda membutuhkan bantuan saya?” tanya Posy, sekali lagi. “Letakkan d
“Terima kasih sudah mengantarku.” Pelayan perempuan itu menunduk hormat dan melihat kepergian Ozias beberapa saat, sebelum meninggalkan tempat. Dari kejauhan Ozias bisa melihat lelaki berambut coklat dengan mata biru melihatnya dengan tatapan tertegun. “Ozias?” gumam lelaki itu, senang melihat kawannya. Berbeda dengan lawan bicaranya yang terus menatap dingin—seakan melihat musuh. Melihat itu, Theo paham jika sekarang bukan saatnya berbincang ramah dengan seorang teman. “Aku datang untuk bertemu Kakakku. Dia di dalam, kan?” tanya Ozias, dingin. Theo mengangguk. “Silakan masuk, Tuan. Saya akan mengantar Anda." Ozias hanya mengangguk dan mengikuti langkah Theo yang membawanya masuk ke dalam menara. Mereka menaiki tangga yang akan membawa keduanya ke puncak menara. “Bagaimana keadaan Kakakku?” Nada bicara Ozias melunak. Kini dia tak perlu memasang kewaspadaan tinggi karena hanya ada dirinya dan T
BRAK! Arsenio menghantam meja. Beberapa puing kayu kokoh itu rontok ke atas karpet berbulu. Martell menatap takut. Dia tak pernah melihat Arsenio semarah ini selama satu tahun terakhir. Melihatnya kembali temperamental, tampaknya Nyonya Duchess yang baru selalu berhasil mengendalikan Duke mereka yang pandai mengontrol emosi. “Bisa-bisanya wanita itu membuatku kesal.” Arsenio mengepalkan tangannya semakin kencang. Dua urat menonjol di bawah dagu Arsenio membuat Martell menelan ludahnya susah—dia sangat tegang sekarang. “Yang Mulia, Tuan Frederick akan pergi ke desa untuk mencari informasi kemunculan pada monster.” Martell berusaha mengalihkan topik. Dia berharap Arsenio melupakan masalah Sirena dan fokus pada pekerjaan saja. Setidaknya itu lebih baik dari pada mengingat kenangan buruk yang membuat Tuannya menjadi emosional. “Aku sudah tahu. Frederick menyampaikannya padaku kemarin. Lalu, bagaimana dengan
Posy terdiam beberapa saat. Melihat reaksi Vian dan Cavan yang cukup kebingungan, tampaknya hanya Theo yang bisa melihat sosok menyeramkan itu. “Anda, bisa melihatnya?” tanya Posy, terlihat cukup terusik. Lelaki bermata biru laut itu menganggukkan kepala. “Dari awal. Dalam wujud yang nyata.” Dia melirik ke arah sudut ruangan. “Bahkan sekarang, dia ada di sini—mengawasi kita.” Posy menatap ke beberapa sudut, termasuk sudut yang di lihat oleh Theo dengan tatapan waspada. Sayangnya, dia tidak bisa melihat wanita itu kecuali wanita itu menampakkan diri di hadapannya. “Besok saya akan mengaturkan pertemuan Anda dengan Nyonya.” Posy menatap waspada. “Yang bisa melihat wanita itu secara berkala hanya Nyonya ... jadi, bisakah Anda membicarakan hal ini kembali bersama dengan Nyonya besok?” Theo mengangguk. “Baiklah.” “Nyonya.” Posy membuka gorden dan membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam kamar. Na
Sirena berjalan masuk ke dalam menara tempatnya tinggal dengan langkah sempoyongan. Seperti yang dia duga, Arsenio telah menempatkan banyak pengawal untuk mengawasinya. Bahkan mereka bukanlah pengawal biasa. Karena baik Sirena atau Posy dapat merasakan kekuatan besar di dalam tiga lelaki berpakaian serba hitam itu. “Yang Mulia, Anda kembali?” Vian bergegas mendekat. Sayangnya, langkah Vian harus berhenti saat Posy menghalanginya dari Sirena. “Apa yang Anda lakukan di sini, Tuan Vian?” Posy menatap tajam. Dia terlihat waspada. “Apa Anda di tugaskan menjaga Nyonya Duchess?” Vian menatap dalam diam beberapa saat. Lalu dia tersenyum setelah mengetahui pikiran lawannya. “Ya. Tuan Duke memerintahkan kami—“ “Posy. Sudahlah. Jangan berdebat.” Sirena memijat pelipisnya. “Pergilah ... kamu ingin bertemu dengan Lucas, kan?” Posy menatap ragu. Meninggalkan Tuannya sendirian dalam pengawasan tiga serigala cukup membu
Sirena menatap kaget tumpukan mayat di depan mereka. Begitu pula dengan Posy yang memperlihatkan reaksi yang sama. “Para pelayan mengatakan, bahwa di desa ini terkena wabah hitam. Tiap malam satu keluarga akan mati. Mayat mereka berlumuran darah walau tidak di temukan luka di tubuh mereka,” jelas Posy. Wanita berambut coklat tua dengan mata hijau itu menatap nanar tumpukan mayat manusia dengan bau yang menyengat. “Sungguh aneh,” gumamnya, tidak habis pikir. Suara langkah kaku seseorang membuat kedua wanita muda itu menoleh ke arah sumber suara. Mereka melihat lelaki bertudung hitam ada di dekat tumpukan orang-orang, seakan bersiap membakar mayat-mayat itu dengan obor di tangannya. “Ternyata ada penonton yang datang.” Lelaki berjubah hitam itu menoleh. Dia memperlihatkan wajah tampannya dengan berani. Bahkan tersenyum lembut pada Posy dan Sirena. Posy maju selangkah, menghalangi pandangan lelaki itu dari
“Sepertinya Anda harus bermalam di sini, Nona Posy. Langit mendung tidak mendukung. Jika Anda keluar sekerang, takutnya ... hujan akan turun di tengah jalan.” Oriel berucap dengan cemas. Dia menatap wanita bermata hijau itu naik ke atas kuda sambil memeluk Tuannya yang selesai mendapat pengobatan—walau dia belum sadar sepenuhnya. “Tidak.” Posy menjawab dengan tegas. Dia menatap lembut pada wanita muda berusia satu tahun lebih muda darinya. Lantas tersenyum. “Duke akan mencari kami jika seperti itu ... dan bisa saja, kalian dalam bahaya setelahnya.” Oriel tidak memaksa. Keadaannya memang tidak terlalu baik setelah dia memaksakan diri menyembuhkan Sirena dalam satu waktu. “Kalau begitu, izinkan saya mengantar Anda sampai keluar Hutan.” Ivander keluar dari dalam dengan membawa tombak. “Saat malam, hutan ini akan tetap berbahaya untuk seorang wanita yang cukup kuat. ” Posy tidak membantah. Saat bahaya menimpa, dia tid
“Ke mana kau akan membawanya?” Sosok wanita bersurai pirang dengan mata hitam mengikuti laju kuda Posy dengan kaki melayang. Sosok menyeramkan itu kembali menampakkan diri. Lagi-lagi juga terlihat perhatian pada Sirena. “Kenapa Anda selalu menunjukkan perasaan khawatir?” Posy tak menatapnya. Dia takut. Tapi juga penasaran dengan identitasnya. Hantu bukan hal yang mudah di percaya. Namun setelah melihatnya beberapa kali, Posy yakin jika mereka memang ada—hidup berdampingan dengan kita—seperti yang pernah di katakan oleh Sirena kecil enam tahun yang lalu. “Karena aku mengkhawatirkannya.” Wanita itu menjawab dengan nada serak—suaranya tidak terlalu jelas, namun Posy masih mengerti apa yang sedang dia katakan. “Begitukah?” Posy menatapnya beberapa saat—dengan harapan hantu itu tidak menoleh dan menampakkan wajahnya. “Kenapa Anda memiliki perasaan seperti itu pada Nyonya?” Hantu perempuan itu tertawa. Tawa ya
Ivander mendengar tapak kaki kuda dari kejauhan. Kali ini dia sedang memungut kayu untuk membuat kayu bakar dan memasak. Namun saat dia mendengar suara tak kaki kuda yang mendekat ke arahnya, dia segera memasang posisi bertarung—mengarahkan belati yang dia genggam ke arah depan. “Nona Posy?” Ivander bergumam saat melihat wanita itu melewatinya dengan wajah muram. Wanita muda itu tampak tergesa. Dia memacu kudanya sangat kencang sampai mendatangkan badai debu di sepanjang jalan yang telah dia lalui. “Apa yang membuatnya seperti itu?” gumam Ivander, bergegas mengumpulkan kayu dan menyusul Posy. “Tampaknya dia datang untuk bertemu Kakak,” gumam Ivander, mempercepat langkahnya. Sesampainya di pondok, Ivander melihat dua wanita muda itu tampak tergesa-gesa menyiapkan beberapa barang dan hendak pergi meninggalkan tempat. Ivander menatap keduanya dengan tatapan bertanya-tanya. “Apa yang kalian lakukan? Apa kalian ingin p