Tok ... tok .... “Tuan, saya Martell. Izin menghadap.” Arsenio melirik ke arah pintu. “Masuk.” Martell membuka pintu. Dia melihat Arsenio tengah duduk di kursi yang tersedia di balkon kamarnya. Lelaki bermata biru dengan surai hitam itu menuang segelas anggur, lalu menikmatinya. “Apa yang ingin kau bicarakan?” Arsenio melirik Martell acuh tak acuh. “Para penjaga menemukan empat orang pelayan terbunuh di perbatasan hutan. Mayatnya hanya di timbun salju sehingga membuat darahnya menggenang di sekitarnya.” Martell menunduk. Tak berani menatap lirikan tajam Arsenio. “Dan mereka adalah empat orang pelayan yang membantu Nyonya Duchess beberapa saat yang lalu.” “Duchess?” Arsenio menaikkan sebelah alisnya. “Lalu? Kau mencurigai istriku yang baru datang itu ... membunuh mereka berempat?” Martell berkeringat dingin. “H-hanya itu petunjuknya, Yang Mulia. Para ksatria tengah menyelidikinya. Ja-jadi—“ “Di mana Duc
Sirena membuka mata. Dia melihat sekeliling dengan datar—mengingat di mana dia terbangun. Dia yakin ini bukan kamarnya. Tak mungkin juga milik Arsenio. Kamar lusuh yang lebih mirip kamar pelayan dari pada kamar penguasa wilayah ini bahkan penuh debu dan usang. Lalu dia tertidur di sini? Setelah mendapat perlakukan sekasar itu dari suaminya? “Dia mengurungku?” gumam Sirena. Dia bangun dari tempat tidur dan membuka jendela. Dia tak mengecek pintu, karena jelas itu terkunci. Benar saja. Sirena di kurung dalam menara tinggi. Yang bisa dia lihat dari tempat itu hanya kamp latihan para ksatria utara yang ramai dan Arsenio yang sedang memberi komando untuk latihan pagi. “Heh, coba kita lihat seberapa cuek lelaki itu!” Sirena tersenyum jahat. Dia memanjat atap dan duduk di ujungnya. Kedua kakinya mengarah ke bawah, dia duduk dengan santai dan bersenandung. Suara merdu yang diliputi sihir ultrasonik sehingga suar
“Yang Mulia, bukankah Anda terlalu kasar pada Tuan Duke?” Posy menatap cemas. Posy mengikuti langkah Sirena yang meninggalkan kastel Orlan hanya dengan Lucas dan dirinya yang menemani. “Terserah. Dia yang memperlakukan aku dengan jahat. Kenapa pula aku harus berbaik hati dengannya?” Sirena menjawab dengan santai. Seakan itu bukan beban baginya. “Anda sangat egois, Nyonya.” Lucas berucap tegas. Sirena menatap ksatria yang tidak di tahu namanya itu dengan wajah datar. Ekspresi mereka yang sama-sama flat saling beradu dengan tatapan sengit. Posy yang berada di tengah-tengah keduanya hanya diam sambil tersenyum masam. Tak ada yang bisa dia lakukan—karena malas bertindak. “Nyonya, kita sudah sampai di desa.” Posy menunjuk gerbang kayu di depan mereka. Banyak penduduk yang mati kedinginan di pinggir jalan. Sementara yang hidup berusaha sekuat tenaga mempertahankan kehangatan, walau harus berpelukan s
Arsenio menatap tajam. “Sirena akan menginap di desa yang penuh penyakit itu? Bagaimana jika istri kecilku itu tertular cacar?" Tuan Sand tersenyum masam. “Nyonya tidak akan tertular karena beliau dan dua pelayannya sudah pernah terkena cacar, Yang Mulia.” Arsenio masih menatap tajam. “Walau begitu, tetap saja akan berbahaya.” Dia bangkit dari tempatnya. “Bagaimana dengan tabib? Apa ada tabib di desa?” Wajah pucat Sand menjelaskan segalanya. Di sana, Arsenio yang terlihat marah, kini semakin marah karena respons tersebut. “Selama ini tidak ada seorang pun tabib di desa?” Sand mengangguk ragu. “Tabib di wilayah kita sedang melakukan studi bersama di wilayah kekaisaran. Tak ada tabib senior, kita hanya memiliki para tabib muda yang sedang haus ilmu.” Arsenio menepuk keningnya ampun. “Lalu tabib yang kemarin membantu Sirena?” Sand menggeleng. “Setelah di telusuri, ternyata beliau bukan tabib, Yang Mulia.” “Lalu?” “Lelaki itu hanya dokter gadungan yang berkeliaran di desa karena m
Para pelayan membulatkan mata. Sirena menghilang di depan mata mereka. Semua orang berteriak panik melihat itu. Mereka bergegas menyusul Sirena ke danau. Hampir sepuluh orang pelayan berdiri di tepi, melihat ke dalam air tenang itu dengan gelisah—berharap Nyonya Duchess mereka baik-baik saja. “Sir ....” Seorang pelayan wanita memandang ke arah Lucas dengan gelisah. Wajah pucat para pelayan wanita itu menandakan sesuatu yang buruk. Lucas membulatkan mata—tersadar dari lamunan panjang karena efek kejut sikap nekat Sirena. Dia segera melepas jubah dan berlari masuk ke dalam danau—menyusul Sirena yang tenggelam. Serta beberapa orang pelayan lelaki serempak menceburkan diri, membantu Lucas mencari Sirena. Namun hal yang paling gila dapat mereka lihat di permukaan air. Setelah beberapa saat menghilang di dalam air, Sirena mengambang dengan posisi telentang menghadap ke langit. Bahkan sambil menunjukk
Darah berdesir di dalam tubuh Bolton. Dia terlihat marah saat Sirena menyayat lengan kirinya, membiarkan darah menetes dan membasahi salju putih di bawah kaki mereka. “Apakah saya bisa menyebut ini sebagai pengkhianatan?” Bolton mengepalkan tangannya erat. Dia menatap geram wanita cantik yang tersenyum meremehkannya. “Jika itu yang ingin aku lakukan, harusnya saya langsung menusuk jantung atau memenggal kepala Anda, Sir.” Sirena menatap ke dalam hutan dengan posisi kuda-kuda yang sempurna. “Namun ini bukan saatnya.” “Pergilah pada Tuanmu.” Sirena menatap Bolton sekilas. “Katakan padanya jika ada Siluman yang berlari ke sini.” Lelaki bersuai perak dengan mata gelap itu membulatkan mata terkejut. Dia tak mau percaya, namun dia tak boleh terlambat jika sampai hal ini kenyataan. “Bagaimana dengan Anda?” Bolton bergegas menarik kuda dan naik di atasnya. Sirena tersenyum miring, menatap Bolton dengan tatapan meremehka
Arsenio menatap Sirena cukup lama, seakan berusaha membaca apa yang tengah di pikirkan wanita muda di hadapannya. Tak ada yang di temukan olehnya. Hanya ada tatapan tulus yang menyebalkan. Arsenio menghela napas panjang—mengalah. “Kau tidak apa?” Sirena mengangguk. Dia menatap kaki kanannya yang cukup bengkak dengan warna biru keunguan. “Saya akan baik-baik saja.” Lelaki bermata biru itu mengangguk. Dia memalingkan pandangan dari Sirena, melihat kekacauan di depan sana dan bergumam lelah. “Aku akan segera kembali.” Arsenio menatap Sirena lekat. “Jangan ke mana-mana dan tetap di sini apa pun yang terjadi.” Sirena mengangguk. Arsenio menarik bilah pedang. Namun dia urungkan saat melihat Sirena masih menggenggam senjata berlumuran darah monster. “Berikan ini padaku. Bawa yang ini!” Arsenio memberikan pedangnya yang masih bersih dan membawa milik Sirena untuk bertempur. Wanita bersurai pi
Syat! Arsenio memenggal kepala Monster Rubah. Semua orang bersorak bahagia. Dari atas langit, hujan salju turun dengan indah. Semua orang tersenyum, menyemarakkan kebebasan mereka dengan senyuman tulus. Namun satu hal yang tak membuat Arsenio bahagia kala itu. Saat dia ingin menyombongkan diri kepada Sirena, dia melihat wanita muda itu tertidur di atas salju dengan tubuh dingin dan wajah yang pucat. Bolton, Lucas dan para prajurit menghentikan sorakan mereka. Tak ada seorang pun yang kembali tersenyum saat melihat Arsenio memacu lari kudanya kembali ke kediaman Utara dengan wajah panik dengan membawa Sirena dalam pelukannya. “Posy!” Arsenio berteriak. Posy yang berada di dalam kamar Sirena, di lantai dua, langsung melongok turun ke bawah dan membulatkan mata. Wanita berusia dua puluh tahun itu melompat dari balkon, mendarat dengan sempurna, dan berlari mendekati Arsenio yang panik. “Nyonya!” Po