Syat!
Arsenio memenggal kepala Monster Rubah. Semua orang bersorak bahagia.Dari atas langit, hujan salju turun dengan indah. Semua orang tersenyum, menyemarakkan kebebasan mereka dengan senyuman tulus.Namun satu hal yang tak membuat Arsenio bahagia kala itu.Saat dia ingin menyombongkan diri kepada Sirena, dia melihat wanita muda itu tertidur di atas salju dengan tubuh dingin dan wajah yang pucat.Bolton, Lucas dan para prajurit menghentikan sorakan mereka. Tak ada seorang pun yang kembali tersenyum saat melihat Arsenio memacu lari kudanya kembali ke kediaman Utara dengan wajah panik dengan membawa Sirena dalam pelukannya.“Posy!” Arsenio berteriak.Posy yang berada di dalam kamar Sirena, di lantai dua, langsung melongok turun ke bawah dan membulatkan mata.Wanita berusia dua puluh tahun itu melompat dari balkon, mendarat dengan sempurna, dan berlari mendekati Arsenio yang panik.“Nyonya!” PoSirena dan Posy terdiam ketika memasuki kamar kosong. Mereka sudah melakukan kesalahan sebanyak dua kali dalam kedua kejadian. “Lelaki itu masih di luar?” tanya Sirena. Posy mengintip dari pintu dan mengangguk. “Ya. Beliau masih di luar, Nyonya.” Sirena menghela napas kasar. “Kita tak boleh keluar sekarang. Aku tidak siap menanggung malunya!” Posy kembali mengangguk. Bahkan lebih antusias dari Sirena. “Benar. Mari tunggu sampai mereka pergi.” Dua gadis itu sepakat. Mereka yang memiliki harga diri tinggi dan cukup pelupa tak mungkin mau mempermalukan dirinya dengan keluar kamar itu sekarang karena salah kamar. Di luar sana, Arsenio bisa menertawakan keduanya. “Laporkan keadaan desa lebih rinci,” pinta Sirena. Wanita bersurai pirang itu berjalan ke balkon dan menatap keadaan desa yang cukup terang. Kini pemukiman itu tidak lagi di selimuti kabut hitam seperti saat awal Sirena menginjakkan kaki di
“Nyonya ....” Posy menatap Sirena menunggang kuda dengan cepat di bawah sana. “Apakah kita harus pergi lebih jauh?” Sirena mendongak, menatap Posy yang melompat dari pohon ke pohon seperti seorang ninja. Bahkan wanita bersurai hitam itu sangat lihai walau dia mengenakan gaun dengan sedikit ruang di bagian bawah. “Sebentar lagi.” Sirena kembali menatap ke depan. Dia merasa mereka memang masuk cukup jauh ke dalam hutan untuk menemukan gubuk yang di maksud Hantu Sirena. “Apa Anda yakin kita pergi ke arah yang benar?” Posy kembali bertanya. Wajahnya terlihat cukup gelisah. “Saya tidak menemukan tanda-tanda kehidupan di dalam hutan ini, Yang Mulia.” Sirena menatap sekeliling. Fokusnya tak sengaja terbagi sampai dia tak tahu di depan adalah jurang curam. “Nyonya!” Posy berteriak sambil melemparkan sihir ke arah wanita itu. Sirena menarik tali kekang kudanya, menghentikan langkah kuda yang dia tunggangi tepat d
Sirena tersenyum miring. “Aku hanya menduga, ternyata anak manja itu benar-benar anak kesayangan Dewa, ya? Walau begitu, dia hanya berpangku tangan selama rakyat Utara terlihat kesulitan ... sungguh tidak terpuji.” Posy menghela napas lega. Kedua wanita itu berbicara dengan normal. Tak ada yang perlu dia khawatirkan. “Maafkan kelancangan saya, Lady Riel. Bisakah Anda meminjamkan dapur? Saya akan menyiapkan jamuan kecil untuk menemani obrolan Anda berdua,” sela Posy, menunduk hormat pada Tuan Rumah. Lady Riel mengangguk. “Cavan akan membantu Anda mengetahui tempatnya.” Seorang lelaki yang tampak tak asing untuk Posy atau Sirena keluar dari dalam salah satu pintu di rumah itu. Wajah lelaki itu cukup menawan. Dia memiliki rambut yang sama dengan Riel. Di tambah, dia terlihat lelah dan terus menguap tanpa sungkan di depan kedua tamunya—seperti seseorang anak yang tak tahu sopan santun. Mata berwarna biru muda itu membuat sosok
Cavan menatap lekat. Dia tak henti memandang Sirena yang memakan beberapa biji kenari yang berhasil di buat manisan oleh pelayannya. Sirena sedikit menengok, menatap pemuda di sampingnya. “Ada apa?” Sirena mengusap kedua sudut bibirnya dengan gusar. “Apa ada yang tertinggal di sekitar sini?” tanyanya. Pemuda itu menggeleng pelan. “Saya tidak melihat ke sana, Nyonya.” “Lalu?” Sirena memiringkan kepala, menatap bingung wajah Cavan yang masih serius memandanginya. “Binar mata Anda ... terlihat hangat.” “Ya?” Sirena menarik mundur wajahnya yang sempat maju beberapa sentimeter saat Cavan memberi jawaban. “Apa yang kamu bicarakan?” “Maaf atas tindakan tidak sopan adik lelaki saya, Yang Mulia. Dia memang senang mengamati sesuatu,” jelas Oriel, membela. “Tidak masalah. Dia hanya mengamati wajahku saja.” Sirena menatap mangkuknya yang kosong, lalu bersinggungan dengan Posy di belakangnya. “Mari pergi. Hari semaki
Sand, Lucas dan para ksatria kaget mendengar pertanyaan gamblang itu. Tak pernah ada Nyonya Bangsawan yang melontarkan pertanyaan seperti itu walaupun mereka menginginkan kehangatan ranjang. Sand menatap canggung ke arah wanita berambut pirang itu. “Nyonya ... pertanyaan Anda sedikit—“ “Kau ingin tidur denganku?” Arsenio menyela perkataan Sand. Dia ikut campur begitu melihat raut wajah polos istri kecil yang seakan mengharapkan hal dewasa itu. Kini mata biru Arsenio dan mata kuning Sirena bertatapan dengan intens. Keduanya menunjukkan emosi yang berbeda, namun sama-sama mendebarkan. “Kau kan suamiku?” Sirena memiringkan kepala. Dia menatap setengah bingung. “Bukannya wajar kalau kita tidur satu kamar?” Arsenio mengusap wajahnya kasar. Ya, Sirena masih remaja. Mungkin saja dia tidak mengerti arti pernikahan bisnis. Tapi tidur seranjang? Itu juga sangat berbahaya untuk ‘Arsenio’. “Kau tidak taku
Arsenio menatap tajam. “Jika kau tak mau memberikan benda itu kepadaku … jangan salahkan aku yang merebutnya!” Sirena tersenyum. “Kasar sekali.” Pedang di dalam genggaman tangan cantiknya itu berayun beberapa kali sebelum ujung runcingnya sampai di depan dagu Arsenio. “Yang Mulia?!” Sand dan Lucas bersiap—menarik pedang mereka dan menebas leher pengkhianat. Arsenio mengangkat tangan kanannya—mengarah kepada dua ksatria yang memasang kuda-kuda. Dia menghentikan keduanya untuk tidak bertindak gegabah. “Kita baru menikah.” Arsenio menatap waspada sorot mata Sirena yang terlihat berbeda. “Apakah membunuh mempelai setelah satu minggu upacara pernikahannya berlangsung adalah gaya orang kekaisaran, Istriku?” Sirena berkedip. Mata merah yang sempat menatap Arsenio itu menghilang dalam sekejap. Sorot mata Sirena kembali seperti semula—seakan beberapa saat yang lalu wanita itu sedang di rasuki sesuatu. “Sirena ….” Arsenio memanggil dengan suara lembut—masih berhati-hati jika gadis di dep
Sirena menatap beberapa pelayan yang mulai membicarakannya dengan keras. Mereka menyebut nama ‘Sirena’ dengan jelas, merendahkannya dan menuduhnya melakukan perselingkuhan. “Baru kemarin pestaku selesai, sekarang rumor apa lagi yang sedang panas di kediaman Duke ini?” gumam Sirena, berlalu tanpa menghiraukan pandangan tajam para pelayan kediaman Orlan. “Benarkah itu?” Suara Nirmala terdengar lantang dari ujung lorong tempat Sirena berada. “Duchess berselingkuh dengan adiknya?” ucap wanita bersurai gelap itu cukup lantang. Sirena menaikkan sebelah alisnya. “Aku dengan Ozias?” dia memiringkan kepala—berpikir keras tentang hal yang tak masuk akal itu. “Bagaimana bisa ada rumor gila yang menyebar seperti itu? Hanya orang bodoh yang tidak tahu jika aku sangat menyayangi adik lelakiku!” lantang Sirena, pada kalimat terakhirnya. Setelah membalas tuduhan Nirmala dengan cara yang sama itu, Sirena tersenyum miring melihat
Sirena hanya menatap dengan tenang kegaduhan yang di buat oleh adik iparnya. Saudara Arsenio itu memiliki tabiat yang lebih buruk dari anjing Chester yang pemarah. “Frederick Orlan, lepaskan tanganmu dari lehernya!” Arsenio memerintah. Suara berat yang tegas itu telah membuat nyali adik lelakinya menciut. Dia memilih melepaskan Sirena dan membiarkannya. “Aku heran.” Frederick menatap tajam ke arah kedua pengantin baru di dekatnya. “Kalian berdua terlihat akrab. Bukanya harusnya satu mengekang dan satu ketakutan?” Sirena melirik Frederick. Lelaki itu tak pernah menyukainya. Apa pun yang telah dia lakukan. “Saya juga heran—“ Sirena memijat lehernya yang sedikit sakit karena cengkeraman Frederick. Namun tatapan tajam tak pernah lepas dari mata Sirena. Tak ada ketakutan di dalam sorot matanya. “Kenapa ada Tuan Muda yang banyak mulut seperti Anda, Tuan Marquess.” Sirena tersenyum sinis. “Apakah saya