Sirena tersenyum miring. “Aku hanya menduga, ternyata anak manja itu benar-benar anak kesayangan Dewa, ya? Walau begitu, dia hanya berpangku tangan selama rakyat Utara terlihat kesulitan ... sungguh tidak terpuji.”
Posy menghela napas lega. Kedua wanita itu berbicara dengan normal. Tak ada yang perlu dia khawatirkan.“Maafkan kelancangan saya, Lady Riel. Bisakah Anda meminjamkan dapur? Saya akan menyiapkan jamuan kecil untuk menemani obrolan Anda berdua,” sela Posy, menunduk hormat pada Tuan Rumah.Lady Riel mengangguk. “Cavan akan membantu Anda mengetahui tempatnya.”Seorang lelaki yang tampak tak asing untuk Posy atau Sirena keluar dari dalam salah satu pintu di rumah itu.Wajah lelaki itu cukup menawan. Dia memiliki rambut yang sama dengan Riel. Di tambah, dia terlihat lelah dan terus menguap tanpa sungkan di depan kedua tamunya—seperti seseorang anak yang tak tahu sopan santun.Mata berwarna biru muda itu membuat sosokCavan menatap lekat. Dia tak henti memandang Sirena yang memakan beberapa biji kenari yang berhasil di buat manisan oleh pelayannya. Sirena sedikit menengok, menatap pemuda di sampingnya. “Ada apa?” Sirena mengusap kedua sudut bibirnya dengan gusar. “Apa ada yang tertinggal di sekitar sini?” tanyanya. Pemuda itu menggeleng pelan. “Saya tidak melihat ke sana, Nyonya.” “Lalu?” Sirena memiringkan kepala, menatap bingung wajah Cavan yang masih serius memandanginya. “Binar mata Anda ... terlihat hangat.” “Ya?” Sirena menarik mundur wajahnya yang sempat maju beberapa sentimeter saat Cavan memberi jawaban. “Apa yang kamu bicarakan?” “Maaf atas tindakan tidak sopan adik lelaki saya, Yang Mulia. Dia memang senang mengamati sesuatu,” jelas Oriel, membela. “Tidak masalah. Dia hanya mengamati wajahku saja.” Sirena menatap mangkuknya yang kosong, lalu bersinggungan dengan Posy di belakangnya. “Mari pergi. Hari semaki
Sand, Lucas dan para ksatria kaget mendengar pertanyaan gamblang itu. Tak pernah ada Nyonya Bangsawan yang melontarkan pertanyaan seperti itu walaupun mereka menginginkan kehangatan ranjang. Sand menatap canggung ke arah wanita berambut pirang itu. “Nyonya ... pertanyaan Anda sedikit—“ “Kau ingin tidur denganku?” Arsenio menyela perkataan Sand. Dia ikut campur begitu melihat raut wajah polos istri kecil yang seakan mengharapkan hal dewasa itu. Kini mata biru Arsenio dan mata kuning Sirena bertatapan dengan intens. Keduanya menunjukkan emosi yang berbeda, namun sama-sama mendebarkan. “Kau kan suamiku?” Sirena memiringkan kepala. Dia menatap setengah bingung. “Bukannya wajar kalau kita tidur satu kamar?” Arsenio mengusap wajahnya kasar. Ya, Sirena masih remaja. Mungkin saja dia tidak mengerti arti pernikahan bisnis. Tapi tidur seranjang? Itu juga sangat berbahaya untuk ‘Arsenio’. “Kau tidak taku
Arsenio menatap tajam. “Jika kau tak mau memberikan benda itu kepadaku … jangan salahkan aku yang merebutnya!” Sirena tersenyum. “Kasar sekali.” Pedang di dalam genggaman tangan cantiknya itu berayun beberapa kali sebelum ujung runcingnya sampai di depan dagu Arsenio. “Yang Mulia?!” Sand dan Lucas bersiap—menarik pedang mereka dan menebas leher pengkhianat. Arsenio mengangkat tangan kanannya—mengarah kepada dua ksatria yang memasang kuda-kuda. Dia menghentikan keduanya untuk tidak bertindak gegabah. “Kita baru menikah.” Arsenio menatap waspada sorot mata Sirena yang terlihat berbeda. “Apakah membunuh mempelai setelah satu minggu upacara pernikahannya berlangsung adalah gaya orang kekaisaran, Istriku?” Sirena berkedip. Mata merah yang sempat menatap Arsenio itu menghilang dalam sekejap. Sorot mata Sirena kembali seperti semula—seakan beberapa saat yang lalu wanita itu sedang di rasuki sesuatu. “Sirena ….” Arsenio memanggil dengan suara lembut—masih berhati-hati jika gadis di dep
Sirena menatap beberapa pelayan yang mulai membicarakannya dengan keras. Mereka menyebut nama ‘Sirena’ dengan jelas, merendahkannya dan menuduhnya melakukan perselingkuhan. “Baru kemarin pestaku selesai, sekarang rumor apa lagi yang sedang panas di kediaman Duke ini?” gumam Sirena, berlalu tanpa menghiraukan pandangan tajam para pelayan kediaman Orlan. “Benarkah itu?” Suara Nirmala terdengar lantang dari ujung lorong tempat Sirena berada. “Duchess berselingkuh dengan adiknya?” ucap wanita bersurai gelap itu cukup lantang. Sirena menaikkan sebelah alisnya. “Aku dengan Ozias?” dia memiringkan kepala—berpikir keras tentang hal yang tak masuk akal itu. “Bagaimana bisa ada rumor gila yang menyebar seperti itu? Hanya orang bodoh yang tidak tahu jika aku sangat menyayangi adik lelakiku!” lantang Sirena, pada kalimat terakhirnya. Setelah membalas tuduhan Nirmala dengan cara yang sama itu, Sirena tersenyum miring melihat
Sirena hanya menatap dengan tenang kegaduhan yang di buat oleh adik iparnya. Saudara Arsenio itu memiliki tabiat yang lebih buruk dari anjing Chester yang pemarah. “Frederick Orlan, lepaskan tanganmu dari lehernya!” Arsenio memerintah. Suara berat yang tegas itu telah membuat nyali adik lelakinya menciut. Dia memilih melepaskan Sirena dan membiarkannya. “Aku heran.” Frederick menatap tajam ke arah kedua pengantin baru di dekatnya. “Kalian berdua terlihat akrab. Bukanya harusnya satu mengekang dan satu ketakutan?” Sirena melirik Frederick. Lelaki itu tak pernah menyukainya. Apa pun yang telah dia lakukan. “Saya juga heran—“ Sirena memijat lehernya yang sedikit sakit karena cengkeraman Frederick. Namun tatapan tajam tak pernah lepas dari mata Sirena. Tak ada ketakutan di dalam sorot matanya. “Kenapa ada Tuan Muda yang banyak mulut seperti Anda, Tuan Marquess.” Sirena tersenyum sinis. “Apakah saya
"Mereka datang." Ivander menatap ke arah gerbang masuk. Suara tapak kaki kuda bergemuruh menuju arah mereka. Namun kening Oriel mengerut seraya suara langkah kuda itu semakin mendekat ke arah mereka. "Nyonya itu tak mungkin membawa pasukan bersamanya." Oriel menatap lurus sosok Ivander dalam kegelapan. Hanya siluet yang bisa dia lihat dari sosok adik lelakinya yang tampan. Suara perempuan itu terdengar yakin. Ivander pun tak mungkin tidak percaya ucapannya. “Lalu siapa mereka?” gumam Ivander. Oriel bangkut dari tempatnya duduk. Dia mendekat ke arah penghalang sihir yang dia buat untuk menyamarkan pondok mereka agar tidak terlihat oleh pihak luar. Wanita berusia sembilan belas tahun itu menempelkan telapak tangannya di sana. Dia merasa aura membunuh yang kuat—bahkan bau darah yang menyengat. “Hanya kawanan bandit dan ksatria yang memiliki aroma ini. Jika mereka assassin seperti pelayan Nyonya Si
Sirena membaca mantra. Tatapan dingin yang terlihat angkuh namun juga elegan itu membuat Oriel merinding saat melihatnya. Rasa sakit mulai menusuk dada. Oriel menangis dalam ketidakberdayaan. Namun suaranya tak boleh keluar—sedikit pun! Sirena melempar sebuah cahaya merah ke arah Oriel. Saat itulah penderitaan yang sesungguhnya di mulai. Cahaya merah menerangi sekeliling mereka. Langit malam yang cerah mulai mendatangkan mendung dan hujan badai yang menakutkan. Tangisan darah dari langit berjatuhan di atas kepala mereka berdua. Namun hanya dalam lingkup lingkaran darah milik Sirena. “Kakak ....” Ivander menatap tak tega. Dia melihat Oriel menangis dengan menutup mulutnya dengan rapat. Sementara di seberang sana, wanita bangsawan muda itu mempertaruhkan nyawa untuk keberhasilan ritual mereka. Dari mulut dan telinga Sirena, darah segar keluar dengan luar biasa—membasahi permukaan tanah yang dia pijak.
“Nyonya ....” Posy mengejar langkah Sirena yang berjalan menjauh. Mereka terus melakukan kejar-kejaran ini sampai akhirnya kedua orang itu sampai di menara kastel tempat Sirena tinggal. “Anda tidak mau menjelaskan pada saya?” Posy mengikuti langkah Sirena dengan cepat—mengusahakan dirinya tidak tertinggal. “Nyonya—“ Sirena berbalik. Posy yang terkejut sontak menghentikan langkahnya dan menatap wanita muda itu dengan nanar. “Tolong jelaskan pada saya.” Posy memelas. “Karena saya orang yang akan menerima apa pun pilihan Anda. Jadi ... tidak bisakah Anda mengatakannya dengan jujur?” Sirena menggeleng dengan tegas. “Tidak!” Dia menatap Posy dengan lantang. “Jika aku menjelaskannya, benar-benar menjelaskan hal ini padamu ... apakah kamu siap melihatku mati?” Posy termangu. Kedua matanya membulat sempurna seperti kelereng. "Apa maksud Anda?" Dia mengepal tangannya dengan kuat. “Kenapa bisa seperti itu?” “Yang Mulia ....”Posy bertekuk lutut di depan kaki Sirena. Kedua tangannya meng