Sirena hanya menatap dengan tenang kegaduhan yang di buat oleh adik iparnya. Saudara Arsenio itu memiliki tabiat yang lebih buruk dari anjing Chester yang pemarah.
“Frederick Orlan, lepaskan tanganmu dari lehernya!” Arsenio memerintah.Suara berat yang tegas itu telah membuat nyali adik lelakinya menciut. Dia memilih melepaskan Sirena dan membiarkannya.“Aku heran.” Frederick menatap tajam ke arah kedua pengantin baru di dekatnya. “Kalian berdua terlihat akrab. Bukanya harusnya satu mengekang dan satu ketakutan?”Sirena melirik Frederick. Lelaki itu tak pernah menyukainya. Apa pun yang telah dia lakukan.“Saya juga heran—“Sirena memijat lehernya yang sedikit sakit karena cengkeraman Frederick. Namun tatapan tajam tak pernah lepas dari mata Sirena. Tak ada ketakutan di dalam sorot matanya.“Kenapa ada Tuan Muda yang banyak mulut seperti Anda, Tuan Marquess.”Sirena tersenyum sinis.“Apakah saya"Mereka datang." Ivander menatap ke arah gerbang masuk. Suara tapak kaki kuda bergemuruh menuju arah mereka. Namun kening Oriel mengerut seraya suara langkah kuda itu semakin mendekat ke arah mereka. "Nyonya itu tak mungkin membawa pasukan bersamanya." Oriel menatap lurus sosok Ivander dalam kegelapan. Hanya siluet yang bisa dia lihat dari sosok adik lelakinya yang tampan. Suara perempuan itu terdengar yakin. Ivander pun tak mungkin tidak percaya ucapannya. “Lalu siapa mereka?” gumam Ivander. Oriel bangkut dari tempatnya duduk. Dia mendekat ke arah penghalang sihir yang dia buat untuk menyamarkan pondok mereka agar tidak terlihat oleh pihak luar. Wanita berusia sembilan belas tahun itu menempelkan telapak tangannya di sana. Dia merasa aura membunuh yang kuat—bahkan bau darah yang menyengat. “Hanya kawanan bandit dan ksatria yang memiliki aroma ini. Jika mereka assassin seperti pelayan Nyonya Si
Sirena membaca mantra. Tatapan dingin yang terlihat angkuh namun juga elegan itu membuat Oriel merinding saat melihatnya. Rasa sakit mulai menusuk dada. Oriel menangis dalam ketidakberdayaan. Namun suaranya tak boleh keluar—sedikit pun! Sirena melempar sebuah cahaya merah ke arah Oriel. Saat itulah penderitaan yang sesungguhnya di mulai. Cahaya merah menerangi sekeliling mereka. Langit malam yang cerah mulai mendatangkan mendung dan hujan badai yang menakutkan. Tangisan darah dari langit berjatuhan di atas kepala mereka berdua. Namun hanya dalam lingkup lingkaran darah milik Sirena. “Kakak ....” Ivander menatap tak tega. Dia melihat Oriel menangis dengan menutup mulutnya dengan rapat. Sementara di seberang sana, wanita bangsawan muda itu mempertaruhkan nyawa untuk keberhasilan ritual mereka. Dari mulut dan telinga Sirena, darah segar keluar dengan luar biasa—membasahi permukaan tanah yang dia pijak.
“Nyonya ....” Posy mengejar langkah Sirena yang berjalan menjauh. Mereka terus melakukan kejar-kejaran ini sampai akhirnya kedua orang itu sampai di menara kastel tempat Sirena tinggal. “Anda tidak mau menjelaskan pada saya?” Posy mengikuti langkah Sirena dengan cepat—mengusahakan dirinya tidak tertinggal. “Nyonya—“ Sirena berbalik. Posy yang terkejut sontak menghentikan langkahnya dan menatap wanita muda itu dengan nanar. “Tolong jelaskan pada saya.” Posy memelas. “Karena saya orang yang akan menerima apa pun pilihan Anda. Jadi ... tidak bisakah Anda mengatakannya dengan jujur?” Sirena menggeleng dengan tegas. “Tidak!” Dia menatap Posy dengan lantang. “Jika aku menjelaskannya, benar-benar menjelaskan hal ini padamu ... apakah kamu siap melihatku mati?” Posy termangu. Kedua matanya membulat sempurna seperti kelereng. "Apa maksud Anda?" Dia mengepal tangannya dengan kuat. “Kenapa bisa seperti itu?” “Yang Mulia ....”Posy bertekuk lutut di depan kaki Sirena. Kedua tangannya meng
Erenn segera naik ke atas kuda dan pergi untuk bertemu Arsenio di gedung utama. Jaraknya cukup jauh jika berjalan kaki. Yang tak bisa di pikirkan Erenn adalah kenapa Arsenio meletakkan kamar istrinya sangat jauh dari kediaman utama? Seperti sedang mengasingkan seseorang. Padahal jika melihat kedua pasangan suami istri itu, semua orang pasti tahu jika mereka memiliki hubungan yang baik dan cukup tulus dalam memperlakukan satu sama lain. Erenn kembali menghela napas. “Putra Mahkota atau pun Duke Arsenio adalah orang yang aneh. Hahh ... tak ada seorang pun di kekaisaran ini yang benar-benar normal ...,” keluhnya. Setelah sampai di kediaman utama, orang yang menyambut kedatangannya adalah kepala pelayan rumah itu. Lelaki berambut putih panjang dengan warna mata coklat pekat dan bentuk wajah yang mirip dengan wakil ksatria Orlan, Ksatria Lucas. “Selamat datang Tuan Erenn, bisakah saya tahu apa tujuan Anda datang ke tempat Tuan Duke? Saya dengar dari Tuan Sand, Anda dan Putra Mahkota
Ivander mendengar tapak kaki kuda dari kejauhan. Kali ini dia sedang memungut kayu untuk membuat kayu bakar dan memasak. Namun saat dia mendengar suara tak kaki kuda yang mendekat ke arahnya, dia segera memasang posisi bertarung—mengarahkan belati yang dia genggam ke arah depan. “Nona Posy?” Ivander bergumam saat melihat wanita itu melewatinya dengan wajah muram. Wanita muda itu tampak tergesa. Dia memacu kudanya sangat kencang sampai mendatangkan badai debu di sepanjang jalan yang telah dia lalui. “Apa yang membuatnya seperti itu?” gumam Ivander, bergegas mengumpulkan kayu dan menyusul Posy. “Tampaknya dia datang untuk bertemu Kakak,” gumam Ivander, mempercepat langkahnya. Sesampainya di pondok, Ivander melihat dua wanita muda itu tampak tergesa-gesa menyiapkan beberapa barang dan hendak pergi meninggalkan tempat. Ivander menatap keduanya dengan tatapan bertanya-tanya. “Apa yang kalian lakukan? Apa kalian ingin p
“Ke mana kau akan membawanya?” Sosok wanita bersurai pirang dengan mata hitam mengikuti laju kuda Posy dengan kaki melayang. Sosok menyeramkan itu kembali menampakkan diri. Lagi-lagi juga terlihat perhatian pada Sirena. “Kenapa Anda selalu menunjukkan perasaan khawatir?” Posy tak menatapnya. Dia takut. Tapi juga penasaran dengan identitasnya. Hantu bukan hal yang mudah di percaya. Namun setelah melihatnya beberapa kali, Posy yakin jika mereka memang ada—hidup berdampingan dengan kita—seperti yang pernah di katakan oleh Sirena kecil enam tahun yang lalu. “Karena aku mengkhawatirkannya.” Wanita itu menjawab dengan nada serak—suaranya tidak terlalu jelas, namun Posy masih mengerti apa yang sedang dia katakan. “Begitukah?” Posy menatapnya beberapa saat—dengan harapan hantu itu tidak menoleh dan menampakkan wajahnya. “Kenapa Anda memiliki perasaan seperti itu pada Nyonya?” Hantu perempuan itu tertawa. Tawa ya
“Sepertinya Anda harus bermalam di sini, Nona Posy. Langit mendung tidak mendukung. Jika Anda keluar sekerang, takutnya ... hujan akan turun di tengah jalan.” Oriel berucap dengan cemas. Dia menatap wanita bermata hijau itu naik ke atas kuda sambil memeluk Tuannya yang selesai mendapat pengobatan—walau dia belum sadar sepenuhnya. “Tidak.” Posy menjawab dengan tegas. Dia menatap lembut pada wanita muda berusia satu tahun lebih muda darinya. Lantas tersenyum. “Duke akan mencari kami jika seperti itu ... dan bisa saja, kalian dalam bahaya setelahnya.” Oriel tidak memaksa. Keadaannya memang tidak terlalu baik setelah dia memaksakan diri menyembuhkan Sirena dalam satu waktu. “Kalau begitu, izinkan saya mengantar Anda sampai keluar Hutan.” Ivander keluar dari dalam dengan membawa tombak. “Saat malam, hutan ini akan tetap berbahaya untuk seorang wanita yang cukup kuat. ” Posy tidak membantah. Saat bahaya menimpa, dia tid
Sirena menatap kaget tumpukan mayat di depan mereka. Begitu pula dengan Posy yang memperlihatkan reaksi yang sama. “Para pelayan mengatakan, bahwa di desa ini terkena wabah hitam. Tiap malam satu keluarga akan mati. Mayat mereka berlumuran darah walau tidak di temukan luka di tubuh mereka,” jelas Posy. Wanita berambut coklat tua dengan mata hijau itu menatap nanar tumpukan mayat manusia dengan bau yang menyengat. “Sungguh aneh,” gumamnya, tidak habis pikir. Suara langkah kaku seseorang membuat kedua wanita muda itu menoleh ke arah sumber suara. Mereka melihat lelaki bertudung hitam ada di dekat tumpukan orang-orang, seakan bersiap membakar mayat-mayat itu dengan obor di tangannya. “Ternyata ada penonton yang datang.” Lelaki berjubah hitam itu menoleh. Dia memperlihatkan wajah tampannya dengan berani. Bahkan tersenyum lembut pada Posy dan Sirena. Posy maju selangkah, menghalangi pandangan lelaki itu dari