Para pelayan membulatkan mata. Sirena menghilang di depan mata mereka. Semua orang berteriak panik melihat itu. Mereka bergegas menyusul Sirena ke danau. Hampir sepuluh orang pelayan berdiri di tepi, melihat ke dalam air tenang itu dengan gelisah—berharap Nyonya Duchess mereka baik-baik saja. “Sir ....” Seorang pelayan wanita memandang ke arah Lucas dengan gelisah. Wajah pucat para pelayan wanita itu menandakan sesuatu yang buruk. Lucas membulatkan mata—tersadar dari lamunan panjang karena efek kejut sikap nekat Sirena. Dia segera melepas jubah dan berlari masuk ke dalam danau—menyusul Sirena yang tenggelam. Serta beberapa orang pelayan lelaki serempak menceburkan diri, membantu Lucas mencari Sirena. Namun hal yang paling gila dapat mereka lihat di permukaan air. Setelah beberapa saat menghilang di dalam air, Sirena mengambang dengan posisi telentang menghadap ke langit. Bahkan sambil menunjukk
Darah berdesir di dalam tubuh Bolton. Dia terlihat marah saat Sirena menyayat lengan kirinya, membiarkan darah menetes dan membasahi salju putih di bawah kaki mereka. “Apakah saya bisa menyebut ini sebagai pengkhianatan?” Bolton mengepalkan tangannya erat. Dia menatap geram wanita cantik yang tersenyum meremehkannya. “Jika itu yang ingin aku lakukan, harusnya saya langsung menusuk jantung atau memenggal kepala Anda, Sir.” Sirena menatap ke dalam hutan dengan posisi kuda-kuda yang sempurna. “Namun ini bukan saatnya.” “Pergilah pada Tuanmu.” Sirena menatap Bolton sekilas. “Katakan padanya jika ada Siluman yang berlari ke sini.” Lelaki bersuai perak dengan mata gelap itu membulatkan mata terkejut. Dia tak mau percaya, namun dia tak boleh terlambat jika sampai hal ini kenyataan. “Bagaimana dengan Anda?” Bolton bergegas menarik kuda dan naik di atasnya. Sirena tersenyum miring, menatap Bolton dengan tatapan meremehka
Arsenio menatap Sirena cukup lama, seakan berusaha membaca apa yang tengah di pikirkan wanita muda di hadapannya. Tak ada yang di temukan olehnya. Hanya ada tatapan tulus yang menyebalkan. Arsenio menghela napas panjang—mengalah. “Kau tidak apa?” Sirena mengangguk. Dia menatap kaki kanannya yang cukup bengkak dengan warna biru keunguan. “Saya akan baik-baik saja.” Lelaki bermata biru itu mengangguk. Dia memalingkan pandangan dari Sirena, melihat kekacauan di depan sana dan bergumam lelah. “Aku akan segera kembali.” Arsenio menatap Sirena lekat. “Jangan ke mana-mana dan tetap di sini apa pun yang terjadi.” Sirena mengangguk. Arsenio menarik bilah pedang. Namun dia urungkan saat melihat Sirena masih menggenggam senjata berlumuran darah monster. “Berikan ini padaku. Bawa yang ini!” Arsenio memberikan pedangnya yang masih bersih dan membawa milik Sirena untuk bertempur. Wanita bersurai pi
Syat! Arsenio memenggal kepala Monster Rubah. Semua orang bersorak bahagia. Dari atas langit, hujan salju turun dengan indah. Semua orang tersenyum, menyemarakkan kebebasan mereka dengan senyuman tulus. Namun satu hal yang tak membuat Arsenio bahagia kala itu. Saat dia ingin menyombongkan diri kepada Sirena, dia melihat wanita muda itu tertidur di atas salju dengan tubuh dingin dan wajah yang pucat. Bolton, Lucas dan para prajurit menghentikan sorakan mereka. Tak ada seorang pun yang kembali tersenyum saat melihat Arsenio memacu lari kudanya kembali ke kediaman Utara dengan wajah panik dengan membawa Sirena dalam pelukannya. “Posy!” Arsenio berteriak. Posy yang berada di dalam kamar Sirena, di lantai dua, langsung melongok turun ke bawah dan membulatkan mata. Wanita berusia dua puluh tahun itu melompat dari balkon, mendarat dengan sempurna, dan berlari mendekati Arsenio yang panik. “Nyonya!” Po
Sirena dan Posy terdiam ketika memasuki kamar kosong. Mereka sudah melakukan kesalahan sebanyak dua kali dalam kedua kejadian. “Lelaki itu masih di luar?” tanya Sirena. Posy mengintip dari pintu dan mengangguk. “Ya. Beliau masih di luar, Nyonya.” Sirena menghela napas kasar. “Kita tak boleh keluar sekarang. Aku tidak siap menanggung malunya!” Posy kembali mengangguk. Bahkan lebih antusias dari Sirena. “Benar. Mari tunggu sampai mereka pergi.” Dua gadis itu sepakat. Mereka yang memiliki harga diri tinggi dan cukup pelupa tak mungkin mau mempermalukan dirinya dengan keluar kamar itu sekarang karena salah kamar. Di luar sana, Arsenio bisa menertawakan keduanya. “Laporkan keadaan desa lebih rinci,” pinta Sirena. Wanita bersurai pirang itu berjalan ke balkon dan menatap keadaan desa yang cukup terang. Kini pemukiman itu tidak lagi di selimuti kabut hitam seperti saat awal Sirena menginjakkan kaki di
“Nyonya ....” Posy menatap Sirena menunggang kuda dengan cepat di bawah sana. “Apakah kita harus pergi lebih jauh?” Sirena mendongak, menatap Posy yang melompat dari pohon ke pohon seperti seorang ninja. Bahkan wanita bersurai hitam itu sangat lihai walau dia mengenakan gaun dengan sedikit ruang di bagian bawah. “Sebentar lagi.” Sirena kembali menatap ke depan. Dia merasa mereka memang masuk cukup jauh ke dalam hutan untuk menemukan gubuk yang di maksud Hantu Sirena. “Apa Anda yakin kita pergi ke arah yang benar?” Posy kembali bertanya. Wajahnya terlihat cukup gelisah. “Saya tidak menemukan tanda-tanda kehidupan di dalam hutan ini, Yang Mulia.” Sirena menatap sekeliling. Fokusnya tak sengaja terbagi sampai dia tak tahu di depan adalah jurang curam. “Nyonya!” Posy berteriak sambil melemparkan sihir ke arah wanita itu. Sirena menarik tali kekang kudanya, menghentikan langkah kuda yang dia tunggangi tepat d
Sirena tersenyum miring. “Aku hanya menduga, ternyata anak manja itu benar-benar anak kesayangan Dewa, ya? Walau begitu, dia hanya berpangku tangan selama rakyat Utara terlihat kesulitan ... sungguh tidak terpuji.” Posy menghela napas lega. Kedua wanita itu berbicara dengan normal. Tak ada yang perlu dia khawatirkan. “Maafkan kelancangan saya, Lady Riel. Bisakah Anda meminjamkan dapur? Saya akan menyiapkan jamuan kecil untuk menemani obrolan Anda berdua,” sela Posy, menunduk hormat pada Tuan Rumah. Lady Riel mengangguk. “Cavan akan membantu Anda mengetahui tempatnya.” Seorang lelaki yang tampak tak asing untuk Posy atau Sirena keluar dari dalam salah satu pintu di rumah itu. Wajah lelaki itu cukup menawan. Dia memiliki rambut yang sama dengan Riel. Di tambah, dia terlihat lelah dan terus menguap tanpa sungkan di depan kedua tamunya—seperti seseorang anak yang tak tahu sopan santun. Mata berwarna biru muda itu membuat sosok
Cavan menatap lekat. Dia tak henti memandang Sirena yang memakan beberapa biji kenari yang berhasil di buat manisan oleh pelayannya. Sirena sedikit menengok, menatap pemuda di sampingnya. “Ada apa?” Sirena mengusap kedua sudut bibirnya dengan gusar. “Apa ada yang tertinggal di sekitar sini?” tanyanya. Pemuda itu menggeleng pelan. “Saya tidak melihat ke sana, Nyonya.” “Lalu?” Sirena memiringkan kepala, menatap bingung wajah Cavan yang masih serius memandanginya. “Binar mata Anda ... terlihat hangat.” “Ya?” Sirena menarik mundur wajahnya yang sempat maju beberapa sentimeter saat Cavan memberi jawaban. “Apa yang kamu bicarakan?” “Maaf atas tindakan tidak sopan adik lelaki saya, Yang Mulia. Dia memang senang mengamati sesuatu,” jelas Oriel, membela. “Tidak masalah. Dia hanya mengamati wajahku saja.” Sirena menatap mangkuknya yang kosong, lalu bersinggungan dengan Posy di belakangnya. “Mari pergi. Hari semaki