“Apa yang kamu lamunkan, gadis bodoh?!” Gadis itu berucap. Dia memang berusaha menghentikan Arsenio untuk menyelamatkan tubuhnya.
Jiwanya telah mati karena Arion. Kali ini raganya tak boleh di korbankan untuk Arsenio. Dia tak akan membiarkannya!“Aku sudah memanggilmu dengan susah payah! Sekarang kau harus menyelamatkan dirimu untuk memenuhi keinginanku." Gadis itu menangis.Wajahnya yang menyeramkan perlahan berubah menjadi sosok Sirena seutuhnya.‘Lonie’ menatap dalam. Wajah cantik itu penuh dengan luka sayat. Seakan dia pernah mendapatkan siksaan keji dari seseorang.“Aku tak tahu apa yang sudah terjadi padamu di kehidupan ini sampai wujudmu sangat menyeramkan dan menyedihkan, Sirena.” Lonie berucap. Mereka berdua melakukan telepati.Namun yang Sirena tunjukkan hanya penyesalan mendalam di wajah cantiknya.“Melompatlah.” Hantu Sirena meminta dengan tulus. Dia bahkan menangis. “Tolong selamatkan diriku ... Lonie“Pekerjaan yang berat.” Sirena menghela napas lelah, melempar diri untuk di cekik oleh sosok di dalam Arsenio. "Saya kira persoalan kita sudah selesai saat saya melarikan diri. Saya yakin Anda tahu saya memberi ruang Anda untuk mengekang sosok di dalam diri Anda—“ Sirena tersenyum miris. “tapi saya tak tahu jika selama ini Anda sangat pasrah saat sosok itu merebut kewarasan Anda, Tuanku.” Sirena pasrah. Lingkaran ungu tergambar di leher kecil putihnya. Gracio, Posy atau Sir. Einar berusaha membantu Sirena melepaskan cengkeraman Arsenio. “Ya ... bunuh saja. Tak ada orang yang mau tinggal di tempat yang isinya hanya pembenci dan pembunuh gila bersenyum manis. Penjilat keji yang tak tahu adap. Pengisap darah masyarakat yang kaya dan Kaisar gila yang gila hormat. Dan kau ....” Sirena menatap wajah Arsenio lekat-lekat. Dia menunjuk wajah Arsenio dengan lantang. Dia tak pernah semarah ini. Bahkan penjiwaan saat mengumpat di depan wajah sua
Arsenio menggerutu pelan, mengingat cara istri muda—dengan hidung lurus dan mungil—kegirangan melihat pelayannya telah mendapatkan jodoh yang baik. “Ada apa dengan wajah Anda, Tuan?” tanya Sand, bingung melihat raut muram Arsenio sepanjang perjalanan. “Tidak ada,” jawab lelaki pemilik rahang tegas dan mata biru bersurai hitam di depannya. Sand hanya diam dan kembali mengawasi kereta kuda di belakang mereka. Entah kenapa dua Tuannya memilih menggunakan kereta secara terpisah. Banyak hal bisa Sand khawatirkan karena kejadian ini. Pikiran negatif yang menggiring opini ‘hubungan buruk’ antara dua Tuannya. “Jika saya boleh bertanya, apakah Anda memarahi Nyonya Sirena sebelum kita berangkat? Raut wajah Nyonya kurang enak di lihat saat memutuskan pergi secara terpisah.” Sand memberanikan diri untuk melontarkan pertanyaan. Sementara lelaki yang dari tadi hanya melamun sambil menatap langit dari luar jendela, kini melirik tajam ke a
Nirmala membelalakkan mata. Dia terkejut. Begitu pula dengan para pelayan, kepala pelayan dan ksatria kediaman Utara. Namun berbeda dengan Arsenio yang diam, menahan tawa, dan berusaha keras mempertahankan wibawanya agar tak jatuh saat dia ingin tertawa lantang. Wajah Nirmala yang tercengang membuatnya ingin terbahak-bahak. Posy menatap Nirmala dengan dingin. “Beliau adalah Lady Nirmala Tufaila. Putri tunggal Marquess Tufaila. Tunangan Tuan Frederick, adik lelaki Tuan Arsenio.” Sirena mengangguk-angguk paham mendengar penjelasan itu. “Begitu. Jadi dia Adik Ipar Tuanku?” “Benar, Nyonya Duchess.” Sirena kembali mengangguk. Dia tak tertarik dengan suasana menegangkan karena Nirmala tampak marah melihat sikap acuh tak acuhnya. Lebih baik istirahat. “Tuan Arsenio.” Sirena berjalan mendekati suami yang di kerumuni para pelayan. “Di mana kamarku? Kita tak mungkin ada di satu kamar, kan? Aku tak mau tidur deng
Tok ... tok .... “Tuan, saya Martell. Izin menghadap.” Arsenio melirik ke arah pintu. “Masuk.” Martell membuka pintu. Dia melihat Arsenio tengah duduk di kursi yang tersedia di balkon kamarnya. Lelaki bermata biru dengan surai hitam itu menuang segelas anggur, lalu menikmatinya. “Apa yang ingin kau bicarakan?” Arsenio melirik Martell acuh tak acuh. “Para penjaga menemukan empat orang pelayan terbunuh di perbatasan hutan. Mayatnya hanya di timbun salju sehingga membuat darahnya menggenang di sekitarnya.” Martell menunduk. Tak berani menatap lirikan tajam Arsenio. “Dan mereka adalah empat orang pelayan yang membantu Nyonya Duchess beberapa saat yang lalu.” “Duchess?” Arsenio menaikkan sebelah alisnya. “Lalu? Kau mencurigai istriku yang baru datang itu ... membunuh mereka berempat?” Martell berkeringat dingin. “H-hanya itu petunjuknya, Yang Mulia. Para ksatria tengah menyelidikinya. Ja-jadi—“ “Di mana Duc
Sirena membuka mata. Dia melihat sekeliling dengan datar—mengingat di mana dia terbangun. Dia yakin ini bukan kamarnya. Tak mungkin juga milik Arsenio. Kamar lusuh yang lebih mirip kamar pelayan dari pada kamar penguasa wilayah ini bahkan penuh debu dan usang. Lalu dia tertidur di sini? Setelah mendapat perlakukan sekasar itu dari suaminya? “Dia mengurungku?” gumam Sirena. Dia bangun dari tempat tidur dan membuka jendela. Dia tak mengecek pintu, karena jelas itu terkunci. Benar saja. Sirena di kurung dalam menara tinggi. Yang bisa dia lihat dari tempat itu hanya kamp latihan para ksatria utara yang ramai dan Arsenio yang sedang memberi komando untuk latihan pagi. “Heh, coba kita lihat seberapa cuek lelaki itu!” Sirena tersenyum jahat. Dia memanjat atap dan duduk di ujungnya. Kedua kakinya mengarah ke bawah, dia duduk dengan santai dan bersenandung. Suara merdu yang diliputi sihir ultrasonik sehingga suar
“Yang Mulia, bukankah Anda terlalu kasar pada Tuan Duke?” Posy menatap cemas. Posy mengikuti langkah Sirena yang meninggalkan kastel Orlan hanya dengan Lucas dan dirinya yang menemani. “Terserah. Dia yang memperlakukan aku dengan jahat. Kenapa pula aku harus berbaik hati dengannya?” Sirena menjawab dengan santai. Seakan itu bukan beban baginya. “Anda sangat egois, Nyonya.” Lucas berucap tegas. Sirena menatap ksatria yang tidak di tahu namanya itu dengan wajah datar. Ekspresi mereka yang sama-sama flat saling beradu dengan tatapan sengit. Posy yang berada di tengah-tengah keduanya hanya diam sambil tersenyum masam. Tak ada yang bisa dia lakukan—karena malas bertindak. “Nyonya, kita sudah sampai di desa.” Posy menunjuk gerbang kayu di depan mereka. Banyak penduduk yang mati kedinginan di pinggir jalan. Sementara yang hidup berusaha sekuat tenaga mempertahankan kehangatan, walau harus berpelukan s
Arsenio menatap tajam. “Sirena akan menginap di desa yang penuh penyakit itu? Bagaimana jika istri kecilku itu tertular cacar?" Tuan Sand tersenyum masam. “Nyonya tidak akan tertular karena beliau dan dua pelayannya sudah pernah terkena cacar, Yang Mulia.” Arsenio masih menatap tajam. “Walau begitu, tetap saja akan berbahaya.” Dia bangkit dari tempatnya. “Bagaimana dengan tabib? Apa ada tabib di desa?” Wajah pucat Sand menjelaskan segalanya. Di sana, Arsenio yang terlihat marah, kini semakin marah karena respons tersebut. “Selama ini tidak ada seorang pun tabib di desa?” Sand mengangguk ragu. “Tabib di wilayah kita sedang melakukan studi bersama di wilayah kekaisaran. Tak ada tabib senior, kita hanya memiliki para tabib muda yang sedang haus ilmu.” Arsenio menepuk keningnya ampun. “Lalu tabib yang kemarin membantu Sirena?” Sand menggeleng. “Setelah di telusuri, ternyata beliau bukan tabib, Yang Mulia.” “Lalu?” “Lelaki itu hanya dokter gadungan yang berkeliaran di desa karena m
Para pelayan membulatkan mata. Sirena menghilang di depan mata mereka. Semua orang berteriak panik melihat itu. Mereka bergegas menyusul Sirena ke danau. Hampir sepuluh orang pelayan berdiri di tepi, melihat ke dalam air tenang itu dengan gelisah—berharap Nyonya Duchess mereka baik-baik saja. “Sir ....” Seorang pelayan wanita memandang ke arah Lucas dengan gelisah. Wajah pucat para pelayan wanita itu menandakan sesuatu yang buruk. Lucas membulatkan mata—tersadar dari lamunan panjang karena efek kejut sikap nekat Sirena. Dia segera melepas jubah dan berlari masuk ke dalam danau—menyusul Sirena yang tenggelam. Serta beberapa orang pelayan lelaki serempak menceburkan diri, membantu Lucas mencari Sirena. Namun hal yang paling gila dapat mereka lihat di permukaan air. Setelah beberapa saat menghilang di dalam air, Sirena mengambang dengan posisi telentang menghadap ke langit. Bahkan sambil menunjukk