Arsenio selalu tahu apa yang ingin dia lakukan, dan sekarang yang dia inginkan adalah memukul kepala Arion—putra mahkota kekaisaran Firaz, sekaligus adik sepupu yang telah berani bertindak kurang ajar pada Kakaknya. Terutama karena seorang wanita yang sudah jelas adalah tunangan Arsenio.
“Kamu meninggikan suaramu? Di depanku?” Arsenio menatap geram.“Ya, kenapa memangnya? Aku adalah Putra Mahkota Kekaisaran ini. Memang apa yang tidak bisa aku lakukan? Kau hanya seorang Duke, sementara aku—plak!”Arsenio melalukannya. Dia merasa puas melihat wajah kaget Arion setelah mendapatkan pukulan darinya.“Kau memukulku?!” Arion memelototkan mata. Dia melihat beberapa prajurit mulai memasang wajah garang ke arah Arsenio. “Kau—kau kurang ajar!”Pedang di tarik dari sarungnya. Empat orang prajurit menghunuskan pedang ke arah leher Arsenio.“Apa ini?” Sirena terkejut melihat pemandangan runyam di depannya. Dia baru keluar ruangan untuk berpamitan pulang. Namun apa yang dix lihat sekarang?Dua orang lelaki sedang berseteru. Sementara empat orang prajurit Kekaisaran menodong pedang ke leher Arsenio untuk melindungi Tuannya. Pemandangan runyam di siang hari ini membuat kepala Sirena merasa pening.Sirena mendekati salah seorang prajurit. Dia meletakkan tangan kanannya di depan dada dan sedikit menunduk—menunjukkan sikap anggun dengan sempurna.“Yang Mulia, maafkan kelancangan tunangan saya.” Sirena menggenggam pedang prajurit di sampingnya dengan tangan kiri, lalu menariknya turun. “Mohon redamkan amarah Anda.” “S-Sirena ... apa yang kamu lakukan?” Arion tergagap. Dia menatap darah yang menetes di atas lantai dengan gentar. “Kau terluka.”Arsenio menepis tiga pedang yang masih mengarah di lehernya. Dia mendekati Sirena dengan cepat.“Kau gila?” Dia menggenggam tangan gadis itu dengan cemas. “Baru saja luka yang satu di obati, sekarang kamu membuat luka baru? Sebenarnya apa yang ada di dalam kepalamu, Lady Sirena?!” teriaknya marah.Sirena hanya diam. Wajahnya yang terlihat acuh tak acuh saat bagian tubuhnya terluka, membuat Arsenio tersulut emosi.“Lady, apakah tangan Anda tidak sakit?” Seorang prajurit menatap cemas. Dia melihat tangan Sirena yang terluka karena pedangnya—dengan tatapan bersalah. “Maafkan kelancangan saya. Saya pantas mati, Yang Mulia.”Prajurit itu membungkuk layaknya ksatria. Kepalanya pun menunduk dalam—tak berani menatap tiga orang bangsawan berpangkat tinggi di depannya.“Bangun.” Sirena menepis tangan Arsenio yang menggenggam tangannya dengan cemas. Dia menatap prajurit yang membungkuk di depan mereka dengan tatapan dingin.“Ini bukan salahmu. Yang menggenggam pedang itu adalah aku. Jika kamu bergerak sedikit saja saat aku melakukan hal itu, mungkin pergelangan tanganku bisa putus. Terima kasih karena tetap sigap walau kamu terlihat panik melihat kelakuanku, Sir.” Sirena bertatapan dengan sang prajurit. Dia bisa melihat wajah kebingungan lawan bicaranya.Bahkan tidak hanya prajurit itu. Namun orang-orang yang ada di sekitar Sirena—mereka terlihat bingung dan kaget melihat respons tenang Sirena. Tidak seperti Sirena yang biasanya.“Dan untuk pertengkaran kalian berdua.” Gadis itu melihat ke arah Putra Mahkota Arion dan Tuangannya, Arsenio, dengan tegas. “Kami akan menikah satu minggu lagi, Yang Mulia.”Perkataan itu mengarah pada Putra Mahkota Arion.Saat Sirena mendekati Arsenio—Arion terlihat cemas dan geram. Padahal Sirena hanya mengambil inisiatif agar aktingnya terlihat lebih sempurna.Sirena memeluk lengan lelaki itu. Dia menempelkan diri padanya.“Jadi tolong berkati kami saat acara tersebut. Dan ... tolong jangan menyebut Kakak Ipar Anda dengan sebutan ‘kekasih’. Itu tidak sopan ... Yang Mulia,” ucap Sirena di akhiri senyum menawan yang tulus.Arion membulatkan matanya. Wajahnya yang terkejut membuat Arsenio tersenyum jahat—mengejeknya.“Bagaimana kalau kita kembali, Sirena?” Arsenio menghilangkan senyum manisnya. Dia menatap tajam pada wanita itu. “Tampaknya kamu sudah tidak bisa berada di sini terlalu lama. Penampilanmu sangat tidak pantas, Sirena.”Memutar bola matanya malas. Sirena menyeret Arsenio untuk melangkah pergi tanpa mengucap salam perpisahan pada Arion—lelaki yang tak akan pernah mendapatkan kasih sayangya lagi.“Kenapa semua hal yang keluar dari mulut Anda sangat jahat, Tuan Duke? Apakah Anda sangat membenci saya, hem? Keterlaluan sekali.” Sirena mengomel. Dia kesal. Namun dia juga tak melepaskan pelukannya dari Arsenio.Diam-diam lelaki itu tersenyum. Tingkah kurang ajar Sirena yang seperti ini ternyata terlihat menggemaskan baginya.“Aku tidak perlu berbicara dengan sajak manis untuk orang yang suka to the poin seperti kamu, kan? Kamu sendiri yang bilang tidak senang berbicara berbelit-belit, Sirena. Jadi jangan salahkan ak—”“Lady Sirena, apa sekarang kamu ingin pulang sebelum menyapaku?”Arsenio menghentikan kalimatnya. Dia dan Sirena spontan menoleh ke belakang. Mereka melihat seorang wanita berdiri di tengah-tengah lorong sambil menatap mereka dengan wajah masam.“Putri Elvira?” Sirena berjalan mendekatinya. kedua kakinya melangkah mengikuti instingnya.Dia sedikit bergegas begitu melihat wajah Elvira yang sedikit sembab—seperti habis menangis. “Anda baik-baik saja?” Sirena memastikan tubuh wanita itu tak memiliki luka dengan saksama.Arsenio mengerutkan keningnya. Dia baru melihat Sirena sangat khawatir dengan seseorang. Bahkan dengan adik lelakinya saja dia tak pernah khawatir. Namun mengapa dengan Putri Elvira dia terlihat sangat protektif?“Kenapa kamu tidak datang untuk bertemu denganku? Kamu tahu aku sudah menunggu selama dua jam di aula pesta. Tapi kamu tak kunjung datang.” Elvira menangis. Dia mengusap kasar air matanya yang jatuh membasahi pipinya. “Keterlaluan!”“M-maafkan saya.” Sirena memeluk wanita itu dan menepuk punggungnya—berusaha menenangkan.“Saya bersalah, Yang Mulia.” Sirena melepaskan pelukannya dan menundukkan diri. “Saya berhak mendapatkan hukuman, Yang Mulia. Tolong hukum saya.”Elvira menepuk pundak Sirena—memintanya berdiri. “Aku tak mungkin menghukum kamu. Cepat bangun.” Dia menatap pakaian Sirena sedikit kotor di bagian punggung. Bahkan ada luka gores di telapak tangannya yang cukup panjang. “Lady ... kamu terluka?”Sirena menyembunyikan tangannya dari pandangan Elvira. “Maafkan kelancangan saya, Yang Mulia. Saya hendak mengganti pakaian sebelum bertemu dengan Anda. Tapi kita sudah lebih dulu bertemu. Maaf—““Kenapa kamu meminta maaf.” Arsenio menarik mundur Sirena ke belakang punggungnya.Dia mengambil alih posisi Sirena dan langsung berhadapan dengan Putri Elvira secara langsung.“Maaf, Putri. Namun saya harus membawa tunangan saya kembali ke kediaman karena kondisinya memburuk. Dia bukan ingin mengganti pakian dan kembali lagi ke Istana. Tapi memang hendak pulang!” Arsenio menjelaskan dengan tegas.Dia tak memberikan celah pada lawan bicaranya untuk menyela.“Apa maksudmu, Duke Arsenio? Apakah Lady Sirena terluka saat pesta tehku berlangsung?” Putri Elvira menatap wajah masam Sirena dan merasa getir.“Siapa yang melakukannya?” Elvira merasa geram. “Sebagai penyelenggara pesta, ini adalah tanggung jawabku. Saya minta maaf Lady Sirena, tampaknya banyak tikus yang datang ke pesta saya. Saya akan menghukum mereka begitu menemukan pelakunya,” ucapnya dalam posisi menunduk hormat.“Anda yakin akan menghukumnya?” Arsenio menatap sinis.Elvira tak mau kalah. Dia menatap lelaki itu penuh tekad. “Ya. Saya akan menghukumnya. Katakan pada saya siapa yang melukai teman baik saya, Duke.”Arsenio tersenyum miring. Dia melipat kedua tangannya di depan dada. Dia menunjukkan tatapan permusuhan dengan jelas. “Baik. Kalau begitu silakan hukum Kakak lelaki Anda. Putra Mahkota Arion. Dia adalah dalang semua ini.” Dia menyindir. “Mampukah Anda melakukannya, Yang Mulia Putri?”Elvira mundur selangkah. Dia menatap lelaki di depannya dengan wajah ragu dan setengah takut. “K-kak Arion yang melakukannya?”“Anda tidak bisa melakukannya, kan?" Arsenio tersenyum penuh kemenangan. Melihat wajah kebingungan Elvira membuatnya sangat bahagia. “Karena Anda tak bisa menghukum Putra Mahkota negeri ini, jadi saya akan pamit lebih dulu bersama dengan tunangan saya.” Arsenio menunduk sejenak. “Semoga berkat Dewa Zeus menyertai bintang kekaisaran.” Setelah mengucap hal itu, Arsenio membalik tubuhnya dan mengajak Sirena pergi meninggalkan lorong utama bangunan paviliun bulan—tempat perjamuan teh milik Putri Elvira di adakan. “Bukannya Anda terlalu keras pada Putri Evira? Bagaimana pun juga, dia masih belum dewasa.” Sirena berusaha membela dan mencari simpatik Arsenio. Setelah mereka keluar dari bangunan perjamuan, wajah Arsenio benar-benar berubah menjadi flat seakan dia tak memiliki emosi. “Umurmu dan Putri Elvira itu selaras. Jika kamu bisa bertindak dewasa, harusnya dia juga bisa melakukan hal yang sama.” Arsenio membantah dengan pandai. Dia bahkan mematahkan semangat Sirena untuk menyatukan
Sirena merasakan tarikan kuat diujung rambutnya. Dia yang semula tertidur pulas sontak membuka mata lebar melihat seorang anak kecil tanpa bola mata terkikik menertawakan wajah terkejutnya. Oh, ini pertama kalinya baik “Lonie” atau tubuh Sirena melihat hal mengerikan. Biasanya tak pernah. Bukan! Tapi memang tak bisa melihat hal mengerikan seperti “hantu” ini. “A-akkhhhhhh ....” Brak! Sir. Einar dan dua orang penjaga bawahannya masuk dengan wajah setengah sadar. Mereka yang tak sengaja tertidur seketika itu sadar setelah mendengar teriakan Sirena yang lantang. Bahkan setelah tiga pengawal itu masuk, kini Gracio dan Ozias menyusul masuk dengan wajah panik. “Kenapa?” Gracio menatap Sirena yang duduk di atas ranjang dengan wajah pucat. Meringkuk memeluk tubuhnya yang gemetar ketakutan. Sirena menatap lima orang lelaki yang berdiri di depan pintu kamar bagian dalam. Melihat wajah mereka yang murni khawatir pada dir
Posy berjalan dengan tergesa. Kereta kuda Duke Arsenio sudah standby di depan pintu gerbang kediamannya. Sementara si Tuan pemilik kereta itu sedang berjalan memasuki kediaman Sharon—tempat kamar Tunangannya berada. “Nona Posy, kenapa Anda terlihat terburu-buru?” Arsenio mengerutkan kening. Dia melihat pelayan Sirena tampak bingung melihat Tuannya tak ada di tempat yang seharusnya. Bahkan tak ada seorang pun pengawal di sekitar kamar tersebut. “Apakah Sirena sudah pergi?” tanya Arsenio, hanya menebak. Posy menggeleng kuat. “Tidak, Tuan. Saya yakin Nona tidak akan pergi sangat pagi. Dia sangat pemalas ... eh, maksud saya ... Nona tidak akan bisa bangun jika saya tidak membantunya di pagi hari. Jadi, tidak mungkin Nona meninggalkan tempat tidurnya sebelum itu.” Arsenio menatap kamar Sirena yang sedikit berantakan di bagian ranjang—seakan wanita itu sudah meninggalkannya dalam waktu yang lama. “Apakah tidak ada anggota keluarg
Sirena terdiam beberapa saat. Dia menatap wajah Arsenio yang tersenyum mengejek dengan mata menyipit. “Kamu tidak—“ Cup .... Bukan pipi. Namun bibir Arsenio-lah yang mendapatkan kecupan. Itu karena Arsenio yang tidak sabaran, sudah bergerak secara tidak sengaja dan membuat Sirena tak bisa menghentikan kesalahan fatal yang dia perbuat. Arsenio membulatkan mata. Dia terkejut. Namun juga canggung melihat Sirena yang tampak tak keberatan dengan “kesalahan” itu. “Jangan salahkan saya.” Sirena menarik napas dalam. Dia memandang beberapa pengemis yang sedari tadi menarik perhatiannya. “Anda yang bergerak. Jadi ‘kesalahan’ itu adalah kesalahan Anda.” Usai mengucap hal tersebut, Sirena pergi ke arah para pengemis di ikuti Tuan Sand yang melangkah dengan tergesa untuk mengejar langkahnya. Sementara Arsenio masih termangu di tempatnya sambil menatap takjub pada sikap Sirena yang tenang walau sudah membuatnya berdebar. “Wah, lihat wajahnya yang tersenyum.” Arsenio berucap dalam hati. “Cant
Mendengar teriakan Arion, Sirena yang tadinya meringis kesakitan, kini langsung menepis kasar tangan besar yang mengekang pergelangan tangannya. “Anda tidak waras?” Sirena menatap geram. Pergelangan tangannya merah, nyaris lebam. Rasanya lebih sakit karena tubuh “Sirena” sangat lemah untuk sekarang. “Anda marah untuk apa? Aih, lelaki gila!” pekiknya jengkel dalam keadaan sadar. Bahkan gaun pernikahannya yang indah kini telah sedikit sobek. Sayang sekali, itu gaun yang Sirena suka walau bagian belakangnya sedikit terbuka. Lalu yang paling membuat Sirena marah adalah lukisannya—kacau balau dengan sobekkan besar di bagian tengahnya. “Kau!” Sirena mengeratkan kedua kepalan tangannya. Dia menatap Arion dengan geram—aura membunuh menyeruak dalam dirinya. Arion tercekat. Sirena terlihat mengerikan. Lalu, juga terlihat asing baginya. Tatapan penuh kebencian yang selama ini selalu di tunjukkan pada Arsenio seorang, kini malah mengarah padanya—bahkan ta
Arion dan Arsenio membulatkan matanya. “Kau berpikir terlalu jauh!” Arsenio tampak marah. Begitu pula dengan Arion. “Jangan mengatakan hal buruk. Kamu pikir aku akan membiarkanmu pergi begitu saja?” Arsenio mendekat—semakin mengikis jarak mereka. Dia memeluk wanitanya dengan erat. Bahkan tatapan yang tampak dalam itu bisa membuat wanita mana pun mabuk akan pesonanya. “Jangan pernah berpikir pergi tanpa seizinku, Lady ... pernikahan ini berlangsung karena keluargamu—menjual putrinya pada Duke Utara yang kaya tapi kejam! Bahkan setelah mendengar tentangku yang buruk ... mereka masih mendorongmu ke sisiku.” “Tak ingatkah kamu, inilah alasan kamu berusaha keras untuk mati berulang kali?!” tegas Arsenio, mengancam. Sirena diam. Dia yang membuat suasananya menjadi keruh. Namun dia juga yang bingung harus bagaimana menghadapinya. Terlebih lagi, saat melihat tatapan Sir. Einar yang kecewa membuat hatinya lebih ngilu. Sire
Sir. Einar menatap ragu. Melihat betapa teguhnya tekat Posy untuk menghalangi mereka masuk membuatnya menyadari niat membunuhnya. “Kami hanya akan melihatnya. Tak akan ada yang terjadi.” Lelaki bersurai gelap itu mengulas senyum masam—dia berusaha tenang walau cukup khawatir dengan keselamatan lehernya. Wanita yang berdiri di depannya ini bukan sekedar pembunuh bayaran kelas teri. Sebab Sirena memungutnya di perbatasan hutan iblis, duduk di tumpukan monster yang berhasil dia bunuh dengan tangan kecilnya. “Lancang sekali dirimu.” Arion maju selangkah. Namun tampaknya kekuasaan yang dia punya tak memiliki arti di mata pelayan wanita berparas menawan itu. Mata hijau bagai rubi itu berkilat tajam begitu mendengarnya berbicara. Arion kembali mundur. Tiga langkah di belakang sir. Einar dan selangkah di belakang Arsenio. “Nona, apakah Anda tak percaya pada Sir. Einar?” Arsenio membuka mulutnya. Sejak tadi dia diam sebab melihat so
“Gracio! Sampai kapan kamu hanya melihat dan bengong? Bantu Ayahmu!” Shafira kembali berteriak. Lelaki berusia dua puluh tahun yang sedari tadi terus terdiam dengan wajah bingung dan kaget, segera tersadar saat Ozias menginjak kakinya dengan keras. Gracio tak sempat marah atas tindakan kurang ajar adik lelakinya itu. Namun dia sudah di sibukkan dengan fakta bahwa dia harus membantu Ayah angkatnya, Rajad, untuk menenangkan adik tirinya, Sirena. Gracio mendekat dan hendak membantu Rajad menenangkan adik perempuannya. Namun kedua lelaki itu terpental oleh sihir yang cukup kuat sampai melempar mereka sepanjang setengah meter dari posisi semula. “Sirena!” Saat suara Shafira memekakkan telinga mereka, Ozias berlari mendekati Kakaknya, memeluknya erat—mencoba menghentikan apa yang berusaha dia lakukan. “Lepas Ozias. Aku harus segera sadar karena wanita setan ini sangat kuat. Jangan biarkan aku menyakiti kalian!” Ozias