Sirena melihat Mr. Sand turun dari kereta kuda dan mendekat. Lelaki itu sedikit membungkuk untuk memberi salam.
"Selamat siang, Nona. Semoga Dewa El selalu memberkati Anda."Dia kembali pada posisi tegap tanpa mengangkat kepala.“Maaf atas keterlambatan kami, Nona. Namun Tuan Duke tidak bisa menepati janji karena ada pekerjaan mendesak.”Lelaki itu berbicara dalam sikap hormat. Dia bahkan tidak berani melirik ke arah Sirena dan Sir. Einar yang terlihat geram.“Jadi begitu.” Sirena membuang napas panjang dan melihat beberapa peti yang di turunkan oleh kusir.Raut wajahnya yang terlihat tenang membuat Sir. Einar berperasangka jika Tuannya sudah tahu hal ini akan terjadi.“Lalu apa yang datang bersamamu, Mr. Sand?” tanya Sirena.“Duke Arsenio merasa tidak enak hati karena tidak bisa menepati janji. Karena itu beliau mengirimkan beberapa hadiah dan sepucuk surat untuk Anda.”“Dasar gila!” Sir. Einar memekik kesal. “Kau tahu berapa lama Nona menunggu kedatangan Tuan Duke?”Mr. Sand sedikit mendongak. Dia melihat raut kemarahan Sir. Einar dengan tatapan bersalah.“Maafkan saya, Sir. Saya—“Sir. Einar bergerak cepat ke arah Mr. Sand. Dia mencengkeram kerah baju Mr. Sand—hendak melayangkan sebuah pukulan.“Sir!” Sirena menggenggam pergelangan tangan Einar. “Lepaskan dia,” perintahnya dengan suara tegas.“Tapi Nona—““Sir, tidakkah kamu harus mendengar perintahku tanpa membantah?” Sirena membuang napas lembut. Dia menatap kesatrianya dengan tajam. “Dan ia adalah ajudan Duke Arsenio, calon Tuanmu. Jangan membuat keributan karena hal kecil.”Sir. Einar meremas kerah pakaian Mr. Sand sambil melayangkan tatapan tajam sebelum akhirnya dia melepaskan cengkeramannya—sesuai perintah Sirena.“Karena Anda tidak mengizinkan saya marah padanya, saya akan minta dengan hormat agar Anda kembali beristirahat.”Sir. Einar mengulurkan tangannya ke arah Sirena. “Tadi pagi Anda masih mimisan, dan sekarang menunggu terlalu lama di bawah sinar matahari bisa membuat tubuh Anda dalam keadaan kritis kembali.”Sirena memberikan tangannya pada Sir. Einar dan mengikuti kesatrianya pergi.“Saya akan meminta pelayan untuk mengambil hadiahnya, Mr. Sand. Terima kasih sudah datang dan memberikan banyak hadiah.”Mr. Sand hanya mengulas senyum masam dan melihat kepergian Sirena dengan sedikit membungkuk hormat.“Semoga lekas sembuh, Nona.” Pintu di ketuk pelan dari luar ruangan. Arsenio yang sedang mengerjakan beberapa berkas sontak mendongak dan melihat ke arah pintu masuk yang letaknya berada lurus di depan meja kerja."Masuklah," pintanya.Mr. Sand masuk ke dalam ruangan. Dia mendekati meja kerja Arsenio dan menunduk hormat beberapa saat sebelum kembali berdiri tegap.“Saya sudah melaksanakan tugas dari Anda, Tuan.”“Hem ... kerja bagus. Bagaimana keadaan wanita itu? Apa dia menungguku dengan menyeduh teh di bawah pohon rindang di taman rumahnya itu?” tanya Arsenio dengan acuh tak acuh.“Maaf jika jawaban saya mengecewakan Anda, Tuan.” Mr. Sand memberi jeda. Dia membuat Arsenio menatapnya dengan tajam.“Kenapa? Dia bahkan tidak menunggu kedatanganku?” tebak Arsenio sedikit emosi. Ia juga terlihat bingung saat melihat ekspresi dingin Mr. Sand saat menatapnya.“Nona Sirena menunggu Anda di depan gerbang sampai tungkak kakinya merah. Bahkan wajahnya terlihat tidak baik karena terlalu lama berada di bawah sinar matahari.” Mr. Sand tampak geram. “Dan saya mendengar dari Sir. Einar jika Nona Sirena dalam kondisi tidak sehat pagi ini. Tapi beliau tetap menunggu Anda dalam waktu yang lama.”Kedua mata Arsenio membulat. Dia terkejut jika tunangan yang dingin dan tidak menyukainya, hari ini mau menunggu kedatangannya sangat lama.“Jangan bercanda Mr. Sand. Kamu baru saja mengatakan hal yang tidak mungkin di lakukan oleh Sirena Egberta! Aku tak akan percaya itu.”“Terserah.”Hah?Sudut mata Arsenio berkerut seraya kedua alisnya terangkat dan hampir menyatu di tengah dahi. Dia terlalu terkejut dengan respons ajudan yang selama ini selalu menjaga sopan santun di depannya walau dia sedang marah.“Ada apa denganmu, Sand? Kau tak pernah menyukai Sirena sebelumnya. Tapi kenapa sekarang kamu marah karena aku sedikit memberinya luka?”“Apa sekarang kamu sudah lebih menyukainya?”Mr. Sand menepuk kening. Dia mengusap wajahnya dengan kasar dan berakhir menutupnya sebagian. Dia hanya memperlihatkan kedua mata yang terlihat datar saat mengawasi Tuannya.“Anda harus bertemu dengan Nona Sirena besok pagi.”“Hah? Kenapa aku harus melakukan hal merepotkan itu?” jawab Arsenio secepat kilat.Ekspresi wajah yang terlihat enggan menjawab semua pertanyaan di dalam kepala Mr. Sand tentang kenapa Tuannya ingkar janji pada Nona Sirena.“Ternyata Anda memang berniat mempermainkan Nona Sirena.” Mr. Sand menatap benci. “Keterlaluan sekali. Saya tidak menyangka Anda akan memperlakukan seorang Nona yang lemah dengan buruk seperti Putra Mahkota. Ya, Anda memang sepupunya. Saya paham. Sifat kalian pasti tidak jauh—““Tutup mulutmu, Sand!” Arsenio berteriak lantang.Dia terlihat marah saat Mr. Sand berusaha menyamakan dirinya dan Putra Mahkota Arion—anak pertama dari Pamannya—Raja Kerajaan Firaz, Kaisar Johan de Firaz.Mr. Sand tidak terusik dengan tatapan dingin nan menusuk itu. Dia sudah cukup terbiasa melihat wajah dingin dan kasar Arsenio. Mereka tumbuh bersama sampai ketakutan di dalam diri Sand saat berhadapan dengan Arsenio banyak berkurang dari sebelumnya.“Jika Anda tidak ingin di cap seperti itu, Anda harus bertemu dengan Nona Sirena besok pagi dan ajak dia pergi ke pesta teh Putri Elvira bersama-sama.”Arsenio mengerutkan kening. Dia melipat kedua tangannya di depan dada dan menarik punggungnya ke belakang untuk bersandar.“Elvira mengadakan pesta teh saat dirinya akan Debutante? Dan kamu bilang, Elvira yang seperti itu mengundang Putri Count yang telah bersikap kurang ajar padanya beberapa hari yang lalu?”Mr. Sand mengangguk dengan yakin. “Karena itulah, sebaiknya Anda bertemu dengan Nona Sirena dan menawarkan diri untuk mengantarnya pergi. Bagaimana pun juga, keadaan Nona Sirena tidak begitu baik karena kelakuan kekanak-kanakan Anda hari ini, Tuan.”Menghela napas panjang nan dalam, Arsenio berpikir keras tentang usulan itu.“Jika aku mengantar Sirena ke sana, itu akan membuatnya sedikit aman. Bagaimana pun juga tidak akan ada yang berani menyentuh tunangan seorang Duke,” pikir Arsenio sedikit percaya diri akan powernya.“Tuan, bagaimana? Anda akan melakukannya?” tanya Mr. Sand.Dengan sedikit terpaksa, Arsenio mengangguk dan melihat wajah cerah Mr. Sand setelah mendengar keputusan darinya.“Kalau begitu saya akan mengosongkan jadwal pagi Anda. Tapi Anda harus begadang untuk menyelesaikan pekerjaan besok!”Arsenio menganga. Dia terkejut mendengar kata “begadang” keluar dari mulut ajudan pribadinya itu.“Bagaimana kamu bisa memintaku begadang sehari sebelum kepergianku ke Istana Kaisar? Kamu ingin membunuhku?"Hahahaha ....Mr. Sand tertawa begitu lantang. Raut wajahnya yang terlihat bahagia membuat Arsenio merasa tercekik dengan keadaan. “Saya akan meminta para pelayan untuk menutupi kantung mata Anda dengan riasan. Jadi Anda tak perlu mencemaskan cemoohan para bangsawan di pesta Tuan Putri Elvira nanti.”Mr. Sand membungkuk sejenak sebelum melenggang pergi meninggalkan tempat Arsenio bekerja seharian.“Kalau begitu selamat bekerja, Yang Mulia. Saya akan menyiapkan keperluan Anda untuk keberangkatan besok pagi.”Arsenio mengembuskan napas kasar dan melihat Mr. Sand pergi dengan langkah ringan serta hati gembira dengan tatapan lelah.“Sial.”“Yang Mulia, saya harap Anda tidak lupa janji Anda kemarin.” Tuan Sand tersenyum penuh arti. Sementara lelaki muda berusia dua puluh satu tahun yang baru saja bangun dan langsung di todong dengan fakta menyakitkan itu hanya menguap, lalu menatap datar ajudannya. “Jika kau mengingatkan aku tanpa bergerak, aku akan membuat wanita itu menunggu lama seperti kemarin.” Arsenio beranjak turun dari ranjang. Ia berjalan mendekat meja kecil di samping ranjang dan menuang segelas air untuk dia minum. Tuan Sand tersenyum melihat respons datar tanpa niat itu. “Baik. Saya akan segera panggil pelayan untuk membantu Anda bersiap dan menyiapkan kereta kuda.” Arsenio mengangguk. Dia melihat kepergian Sand dengan acuh tak acuh. “Vian.” Arsenio memanggil. Seorang lelaki berpakaian serba hitam dengan topeng menutup sebagian wajahnya berdiri tepat di balik pintu kaca yang menyekat antara balkon luar dan sisi dalam kamar. “Anda memanggil saya, Tuan?” Lelaki itu menjawab panggilan. Dia berlutut laya
“Nona ....” Posy memanggil. Dia mendekati Sirena seraya suara kereta kuda terdengar. Sirena menoleh pada kereta kediaman Arsenio yang datang dari arah barat menuju gerbang utama rumahnya. Dia segera bangkit. Begitu pula dengan Shafira yang hendak mengantarnya. “Ibu.” Sirena berjalan berdampingan dengan Shafira menuju kereta kediaman Tuan Arsenio di depan pagar. “Maukah Anda minum teh bersama saya, besok?” Shafira menatap ragu. Dia hanya tidak percaya putri tiri yang selama ini waspada kepadanya, mulai membuka hati. Bahkan mengajaknya minum teh lebih dulu. “Aku tak keberatan. Datanglah ke tempatku besok. Aku akan meminta para pelayan menyiapkan jamuan untukmu,” jelas Shafira dengan mengulas senyum lembut. Sirena mengangguk pelan. Dia mengalihkan tatapannya pada Arsenio yang keluar kereta kuda untuk menuntunnya masuk ke dalam kendaraan miliknya. “Hati-hati.” Shafira mengulas senyum lembut ketika dia dan putri tirinya saling bertatapan. Perubahan Sirena tampaknya tidak terlalu bur
Permaisuri Lister kagum dengan kelakuan kurang ajar Sirena yang mengundang kemeriahan dalam pesta teh yang membosankan. Lister tersenyum lembut. Dia melihat tatapan gelap Arsenio mengardh pada Sirena dengan tajam. “Sekarang nikmatilah pestanya. Semoga kamu bisa berbaur dengan baik, Lady Sirena.” Lister meminta keduanya pergi. Sirena dan Arsenio menunduk hormat untuk terakhir kalinya. Mereka berjalan meninggalkan Permaisuri Lister dengan langkah cepat—lebih tepatnya, Arsenio menarik tangan Sirena keluar dari area perjamuan. Mereka masuk ke dalam taman labirin yang ditumbuhi tanaman bunga mawar merah yang menjalar di sepanjang dinding labirin. “Anda mau pergi sejauh apa, Yang Mulia?” Sirena berucap dengan suara gemetar. Tangannya sakit karena di genggam terlalu kuat oleh Arsenio. Namun tak ada rasa bersalah atau ketakutan dalam mata Sirena. Padahal Arsenio tahu jika wanita itu mengerti akan kemarahan dirinya. Tapi kenapa dia tidak gentar dan meminta maaf? Arsenio melempar diri Si
Arsenio selalu tahu apa yang ingin dia lakukan, dan sekarang yang dia inginkan adalah memukul kepala Arion—putra mahkota kekaisaran Firaz, sekaligus adik sepupu yang telah berani bertindak kurang ajar pada Kakaknya. Terutama karena seorang wanita yang sudah jelas adalah tunangan Arsenio. “Kamu meninggikan suaramu? Di depanku?” Arsenio menatap geram. “Ya, kenapa memangnya? Aku adalah Putra Mahkota Kekaisaran ini. Memang apa yang tidak bisa aku lakukan? Kau hanya seorang Duke, sementara aku—plak!” Arsenio melalukannya. Dia merasa puas melihat wajah kaget Arion setelah mendapatkan pukulan darinya. “Kau memukulku?!” Arion memelototkan mata. Dia melihat beberapa prajurit mulai memasang wajah garang ke arah Arsenio. “Kau—kau kurang ajar!” Pedang di tarik dari sarungnya. Empat orang prajurit menghunuskan pedang ke arah leher Arsenio. “Apa ini?” Sirena terkejut melihat pemandangan runyam di depannya. Dia baru keluar ruangan untuk berpamitan pulang. Namun apa yang dix lihat sekarang? Du
“Anda tidak bisa melakukannya, kan?" Arsenio tersenyum penuh kemenangan. Melihat wajah kebingungan Elvira membuatnya sangat bahagia. “Karena Anda tak bisa menghukum Putra Mahkota negeri ini, jadi saya akan pamit lebih dulu bersama dengan tunangan saya.” Arsenio menunduk sejenak. “Semoga berkat Dewa Zeus menyertai bintang kekaisaran.” Setelah mengucap hal itu, Arsenio membalik tubuhnya dan mengajak Sirena pergi meninggalkan lorong utama bangunan paviliun bulan—tempat perjamuan teh milik Putri Elvira di adakan. “Bukannya Anda terlalu keras pada Putri Evira? Bagaimana pun juga, dia masih belum dewasa.” Sirena berusaha membela dan mencari simpatik Arsenio. Setelah mereka keluar dari bangunan perjamuan, wajah Arsenio benar-benar berubah menjadi flat seakan dia tak memiliki emosi. “Umurmu dan Putri Elvira itu selaras. Jika kamu bisa bertindak dewasa, harusnya dia juga bisa melakukan hal yang sama.” Arsenio membantah dengan pandai. Dia bahkan mematahkan semangat Sirena untuk menyatukan
Sirena merasakan tarikan kuat diujung rambutnya. Dia yang semula tertidur pulas sontak membuka mata lebar melihat seorang anak kecil tanpa bola mata terkikik menertawakan wajah terkejutnya. Oh, ini pertama kalinya baik “Lonie” atau tubuh Sirena melihat hal mengerikan. Biasanya tak pernah. Bukan! Tapi memang tak bisa melihat hal mengerikan seperti “hantu” ini. “A-akkhhhhhh ....” Brak! Sir. Einar dan dua orang penjaga bawahannya masuk dengan wajah setengah sadar. Mereka yang tak sengaja tertidur seketika itu sadar setelah mendengar teriakan Sirena yang lantang. Bahkan setelah tiga pengawal itu masuk, kini Gracio dan Ozias menyusul masuk dengan wajah panik. “Kenapa?” Gracio menatap Sirena yang duduk di atas ranjang dengan wajah pucat. Meringkuk memeluk tubuhnya yang gemetar ketakutan. Sirena menatap lima orang lelaki yang berdiri di depan pintu kamar bagian dalam. Melihat wajah mereka yang murni khawatir pada dir
Posy berjalan dengan tergesa. Kereta kuda Duke Arsenio sudah standby di depan pintu gerbang kediamannya. Sementara si Tuan pemilik kereta itu sedang berjalan memasuki kediaman Sharon—tempat kamar Tunangannya berada. “Nona Posy, kenapa Anda terlihat terburu-buru?” Arsenio mengerutkan kening. Dia melihat pelayan Sirena tampak bingung melihat Tuannya tak ada di tempat yang seharusnya. Bahkan tak ada seorang pun pengawal di sekitar kamar tersebut. “Apakah Sirena sudah pergi?” tanya Arsenio, hanya menebak. Posy menggeleng kuat. “Tidak, Tuan. Saya yakin Nona tidak akan pergi sangat pagi. Dia sangat pemalas ... eh, maksud saya ... Nona tidak akan bisa bangun jika saya tidak membantunya di pagi hari. Jadi, tidak mungkin Nona meninggalkan tempat tidurnya sebelum itu.” Arsenio menatap kamar Sirena yang sedikit berantakan di bagian ranjang—seakan wanita itu sudah meninggalkannya dalam waktu yang lama. “Apakah tidak ada anggota keluarg
Sirena terdiam beberapa saat. Dia menatap wajah Arsenio yang tersenyum mengejek dengan mata menyipit. “Kamu tidak—“ Cup .... Bukan pipi. Namun bibir Arsenio-lah yang mendapatkan kecupan. Itu karena Arsenio yang tidak sabaran, sudah bergerak secara tidak sengaja dan membuat Sirena tak bisa menghentikan kesalahan fatal yang dia perbuat. Arsenio membulatkan mata. Dia terkejut. Namun juga canggung melihat Sirena yang tampak tak keberatan dengan “kesalahan” itu. “Jangan salahkan saya.” Sirena menarik napas dalam. Dia memandang beberapa pengemis yang sedari tadi menarik perhatiannya. “Anda yang bergerak. Jadi ‘kesalahan’ itu adalah kesalahan Anda.” Usai mengucap hal tersebut, Sirena pergi ke arah para pengemis di ikuti Tuan Sand yang melangkah dengan tergesa untuk mengejar langkahnya. Sementara Arsenio masih termangu di tempatnya sambil menatap takjub pada sikap Sirena yang tenang walau sudah membuatnya berdebar. “Wah, lihat wajahnya yang tersenyum.” Arsenio berucap dalam hati. “Cant
“Nyonya Sirena. Bolehkah saya masuk?” Posy berdiri di depan kamar Sirena dengan membawa nampan berisikan sarapan untuk Nyonyanya. Sementara wanita muda yang berada di dalam kamarnya hanya menunduk dalam tanpa bisa menegakkan punggung dan lehernya dengan baik. Hantu Sirena merasa cemas. Dia tak lagi bisa mengendalikan dirinya. Padahal ini adalah tubuhnya. Namun dia seperti berada di dalam tubuh orang asing yang tak mau menuruti perintahnya. “Tubuh sialan! Milik siapa kau sebenarnya? Aku adalah pemilik aslimu.” Sirena menghardik dalam hati. “Cih, sekarang kau lebih nyaman di isi jiwa wanita kurang ajar itu dari pada diriku? Yang benar saja.” “Nyonya?” Posy mengerutkan kening samar. Dia mendengar seseorang bergumam sendiri di dalam kamar. Dia yakin itu suara Tuannya. Namun jika benar begitu, kenapa Sirena tak menjawab panggilannya? “Apakah Anda membutuhkan bantuan saya?” tanya Posy, sekali lagi. “Letakkan d
“Terima kasih sudah mengantarku.” Pelayan perempuan itu menunduk hormat dan melihat kepergian Ozias beberapa saat, sebelum meninggalkan tempat. Dari kejauhan Ozias bisa melihat lelaki berambut coklat dengan mata biru melihatnya dengan tatapan tertegun. “Ozias?” gumam lelaki itu, senang melihat kawannya. Berbeda dengan lawan bicaranya yang terus menatap dingin—seakan melihat musuh. Melihat itu, Theo paham jika sekarang bukan saatnya berbincang ramah dengan seorang teman. “Aku datang untuk bertemu Kakakku. Dia di dalam, kan?” tanya Ozias, dingin. Theo mengangguk. “Silakan masuk, Tuan. Saya akan mengantar Anda." Ozias hanya mengangguk dan mengikuti langkah Theo yang membawanya masuk ke dalam menara. Mereka menaiki tangga yang akan membawa keduanya ke puncak menara. “Bagaimana keadaan Kakakku?” Nada bicara Ozias melunak. Kini dia tak perlu memasang kewaspadaan tinggi karena hanya ada dirinya dan T
BRAK! Arsenio menghantam meja. Beberapa puing kayu kokoh itu rontok ke atas karpet berbulu. Martell menatap takut. Dia tak pernah melihat Arsenio semarah ini selama satu tahun terakhir. Melihatnya kembali temperamental, tampaknya Nyonya Duchess yang baru selalu berhasil mengendalikan Duke mereka yang pandai mengontrol emosi. “Bisa-bisanya wanita itu membuatku kesal.” Arsenio mengepalkan tangannya semakin kencang. Dua urat menonjol di bawah dagu Arsenio membuat Martell menelan ludahnya susah—dia sangat tegang sekarang. “Yang Mulia, Tuan Frederick akan pergi ke desa untuk mencari informasi kemunculan pada monster.” Martell berusaha mengalihkan topik. Dia berharap Arsenio melupakan masalah Sirena dan fokus pada pekerjaan saja. Setidaknya itu lebih baik dari pada mengingat kenangan buruk yang membuat Tuannya menjadi emosional. “Aku sudah tahu. Frederick menyampaikannya padaku kemarin. Lalu, bagaimana dengan
Posy terdiam beberapa saat. Melihat reaksi Vian dan Cavan yang cukup kebingungan, tampaknya hanya Theo yang bisa melihat sosok menyeramkan itu. “Anda, bisa melihatnya?” tanya Posy, terlihat cukup terusik. Lelaki bermata biru laut itu menganggukkan kepala. “Dari awal. Dalam wujud yang nyata.” Dia melirik ke arah sudut ruangan. “Bahkan sekarang, dia ada di sini—mengawasi kita.” Posy menatap ke beberapa sudut, termasuk sudut yang di lihat oleh Theo dengan tatapan waspada. Sayangnya, dia tidak bisa melihat wanita itu kecuali wanita itu menampakkan diri di hadapannya. “Besok saya akan mengaturkan pertemuan Anda dengan Nyonya.” Posy menatap waspada. “Yang bisa melihat wanita itu secara berkala hanya Nyonya ... jadi, bisakah Anda membicarakan hal ini kembali bersama dengan Nyonya besok?” Theo mengangguk. “Baiklah.” “Nyonya.” Posy membuka gorden dan membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam kamar. Na
Sirena berjalan masuk ke dalam menara tempatnya tinggal dengan langkah sempoyongan. Seperti yang dia duga, Arsenio telah menempatkan banyak pengawal untuk mengawasinya. Bahkan mereka bukanlah pengawal biasa. Karena baik Sirena atau Posy dapat merasakan kekuatan besar di dalam tiga lelaki berpakaian serba hitam itu. “Yang Mulia, Anda kembali?” Vian bergegas mendekat. Sayangnya, langkah Vian harus berhenti saat Posy menghalanginya dari Sirena. “Apa yang Anda lakukan di sini, Tuan Vian?” Posy menatap tajam. Dia terlihat waspada. “Apa Anda di tugaskan menjaga Nyonya Duchess?” Vian menatap dalam diam beberapa saat. Lalu dia tersenyum setelah mengetahui pikiran lawannya. “Ya. Tuan Duke memerintahkan kami—“ “Posy. Sudahlah. Jangan berdebat.” Sirena memijat pelipisnya. “Pergilah ... kamu ingin bertemu dengan Lucas, kan?” Posy menatap ragu. Meninggalkan Tuannya sendirian dalam pengawasan tiga serigala cukup membu
Sirena menatap kaget tumpukan mayat di depan mereka. Begitu pula dengan Posy yang memperlihatkan reaksi yang sama. “Para pelayan mengatakan, bahwa di desa ini terkena wabah hitam. Tiap malam satu keluarga akan mati. Mayat mereka berlumuran darah walau tidak di temukan luka di tubuh mereka,” jelas Posy. Wanita berambut coklat tua dengan mata hijau itu menatap nanar tumpukan mayat manusia dengan bau yang menyengat. “Sungguh aneh,” gumamnya, tidak habis pikir. Suara langkah kaku seseorang membuat kedua wanita muda itu menoleh ke arah sumber suara. Mereka melihat lelaki bertudung hitam ada di dekat tumpukan orang-orang, seakan bersiap membakar mayat-mayat itu dengan obor di tangannya. “Ternyata ada penonton yang datang.” Lelaki berjubah hitam itu menoleh. Dia memperlihatkan wajah tampannya dengan berani. Bahkan tersenyum lembut pada Posy dan Sirena. Posy maju selangkah, menghalangi pandangan lelaki itu dari
“Sepertinya Anda harus bermalam di sini, Nona Posy. Langit mendung tidak mendukung. Jika Anda keluar sekerang, takutnya ... hujan akan turun di tengah jalan.” Oriel berucap dengan cemas. Dia menatap wanita bermata hijau itu naik ke atas kuda sambil memeluk Tuannya yang selesai mendapat pengobatan—walau dia belum sadar sepenuhnya. “Tidak.” Posy menjawab dengan tegas. Dia menatap lembut pada wanita muda berusia satu tahun lebih muda darinya. Lantas tersenyum. “Duke akan mencari kami jika seperti itu ... dan bisa saja, kalian dalam bahaya setelahnya.” Oriel tidak memaksa. Keadaannya memang tidak terlalu baik setelah dia memaksakan diri menyembuhkan Sirena dalam satu waktu. “Kalau begitu, izinkan saya mengantar Anda sampai keluar Hutan.” Ivander keluar dari dalam dengan membawa tombak. “Saat malam, hutan ini akan tetap berbahaya untuk seorang wanita yang cukup kuat. ” Posy tidak membantah. Saat bahaya menimpa, dia tid
“Ke mana kau akan membawanya?” Sosok wanita bersurai pirang dengan mata hitam mengikuti laju kuda Posy dengan kaki melayang. Sosok menyeramkan itu kembali menampakkan diri. Lagi-lagi juga terlihat perhatian pada Sirena. “Kenapa Anda selalu menunjukkan perasaan khawatir?” Posy tak menatapnya. Dia takut. Tapi juga penasaran dengan identitasnya. Hantu bukan hal yang mudah di percaya. Namun setelah melihatnya beberapa kali, Posy yakin jika mereka memang ada—hidup berdampingan dengan kita—seperti yang pernah di katakan oleh Sirena kecil enam tahun yang lalu. “Karena aku mengkhawatirkannya.” Wanita itu menjawab dengan nada serak—suaranya tidak terlalu jelas, namun Posy masih mengerti apa yang sedang dia katakan. “Begitukah?” Posy menatapnya beberapa saat—dengan harapan hantu itu tidak menoleh dan menampakkan wajahnya. “Kenapa Anda memiliki perasaan seperti itu pada Nyonya?” Hantu perempuan itu tertawa. Tawa ya
Ivander mendengar tapak kaki kuda dari kejauhan. Kali ini dia sedang memungut kayu untuk membuat kayu bakar dan memasak. Namun saat dia mendengar suara tak kaki kuda yang mendekat ke arahnya, dia segera memasang posisi bertarung—mengarahkan belati yang dia genggam ke arah depan. “Nona Posy?” Ivander bergumam saat melihat wanita itu melewatinya dengan wajah muram. Wanita muda itu tampak tergesa. Dia memacu kudanya sangat kencang sampai mendatangkan badai debu di sepanjang jalan yang telah dia lalui. “Apa yang membuatnya seperti itu?” gumam Ivander, bergegas mengumpulkan kayu dan menyusul Posy. “Tampaknya dia datang untuk bertemu Kakak,” gumam Ivander, mempercepat langkahnya. Sesampainya di pondok, Ivander melihat dua wanita muda itu tampak tergesa-gesa menyiapkan beberapa barang dan hendak pergi meninggalkan tempat. Ivander menatap keduanya dengan tatapan bertanya-tanya. “Apa yang kalian lakukan? Apa kalian ingin p