‘Jika kamu memberitahunya, kamu akan mati.’
Sirena membulatkan mata. Seseorang baru saja berbicara dengannya. Tapi wujud dari suara wanita yang dia dengar tidak terlihat di mana pun.“Anda mendengarnya?”Sirena menggenggam tangan Arsenio. Dia terlihat waspada dan ketakutan.“Apa yang kamu dengar?”Arsenio menatap sekeliling. Dia ikut waspada melihat gelagat Sirena yang meyakinkan.“Itu, suara wani—“ Sirena diam. Dia tidak lagi berbicara. Dadanya terasa sakit seperti ada sesuatu yang menekan dan mengikatnya sampai kesulitan bernapas.“Nona? Ada apa?”Arsenio menatap Sirena yang kesakitan. Dia menoleh ke arah pintu dengan wajah geram. Sudah beberapa saat yang lalu pelayan Nona Sirena keluar untuk memanggil Dokter, namun kenapa dia tidak kunjung kembali?“Saya akan panggilkan Dokter.”Arsenio melepaskan genggaman Sirena dari tangannya. Dia segera berlari keluar untuk mencari dokter.“Yang Mulia, kenapa Anda berlari di lorong dengan panik? Ada yang bisa saya bantu??”Ozias adalah seorang anak lelaki berusia lima belas tahun yang menyandang sebagai anak ketiga dari keluarga Sharon. Dia adalah adik lelaki Sirena.“Dokter. Aku akan mencari Dokter dan kau—pergilah ke kamar Kakakmu dan jaga dia.”Ozias tercekat. Dia segera berlari ke kamar Sirena untuk memastikan keadaannya.Setelah melihat Duke Arsenio yang terkenal sebagai orang yang tenang itu terlihat sangat panik, Ozias yakin Kakak perempuannya tidak dalam kondisi baik.“Kakak!”Ozias berlari ke dalam ruangan. Dia melihat Sirena terjatuh di bawah ranjang sambil terus menangis. Wanita itu mengeluhkan sakit di dadanya.“Sakit.”Sirena meremas kuat dadanya yang berdenyut cepat. Kuku panjang yang dimiliki wanita itu meninggalkan goresan merah dikulit putihnya.“Kakak, kamu tidak boleh mencengkeram dadamu terlalu kuat!”Ozias menahan tangan Kakaknya. Namun wanita itu terus memberontak seakan dia kesulitan bernapas.“Dokter!! Di mana Dokternya.”Ozias berteriak sangat keras, membuat Dokter dan Arsenio yang berada di tengah lorong berlari semakin cepat ke kamar Sirena setelah mendengar suaranya.“Saya datang Tuan Muda—““Cepat! Kenapa kamu lama sekali!!” bentaknya panik.Dokter menyuntikkan sebuah obat tidur untuk menenangkan Sirena lebih dulu. Beberapa saat setelah obat itu masuk, wanita itu terlelap dengan tenang. Baru setelah itu dokter menyuntikkan obat pereda sakit dan lainnya.Tiga orang lelaki yang ada di dalam ruangan menghela napas lega. Mereka bersyukur karena Sirena tidak mengalami hal yang lebih buruk.“Apa yang terjadi kepadanya?” Arsenio mendekati tepi ranjang. Dia melihat Sirena yang berkeringat dingin dan menangis dalam tidurnya. “Dia terlihat tidak baik walau kamu sudah menyuntikkan obatnya. Apa yang terjadi pada tubuhnya?”Arsenio menatap bagian dada Sirena. Terdapat bercak ungu pekat di sepanjang urat wanita itu.Pemandangan itu cukup mengerikan karena bekas kehitaman tersebut mulai merambat ke bagian leher.“Apa ini?” Arsenio terdiam cukup lama setelahnya.Ozias pun tampak diam setelah dia melihat hal yang sama dengan Arsenio dan Dokter.Dia tahu apa yang terjadi. Huruf kuno yang hanya bisa di baca oleh para penyihir. Bercak kehitaman akibat kutukan seusai melakukan ritual sihir hitam. Wajah pucat yang terlihat menahan sakit.“Tuan Muda.” Dokter memanggil. “Apakah Anda tahu apa yang di lakukan Nona Sirena akhir-akhir ini?”Tampaknya lelaki berjas putih itu telah menyadari kejanggalan di tubuh Sirena.Ozias menelan ludah dengan susah. Dia telah melihat Kakaknya, Sirena, melakukan ritual sihir hitam di dalam ruang rahasia yang tersembunyi di dalam kamarnya.“Sa-saya tidak tahu.”Kegugupan Ozias membuat Arsenio dan Dokter merasa curiga. Wajah anak lelaki yang pucat itu menambah keyakinan keduanya jika ada sesuatu yang berusaha dia sembunyikan.“Jika kamu tidak mengatakannya, kita tidak akan bisa mencari jalan keluar dari masalah ini.” Salah satu otot di bawah rahang Arsenio mengeras, seolah dia sedang menahan ketidaksabarannya. “Jadi katakan apa yang berusaha kamu sembunyikan dari kami. Pikirkan nyawa Kakakmu! Bukankah dia prioritas kita sekarang?”Ozias terdiam, sadar jika dirinya telah bertindak egois.“Maaf, Tuan Duke.” Lelaki itu menatap ke arah lemari besar yang ada di sisi kanan dari posisi ranjang Sirena. “Tapi, bisakah kalian merahasiakannya dari anggota keluarga Sharon? Saya tidak ingin memancing keributan.”Dokter dan Duke Arsenio mengangguk dengan tegas.Ozias mengembuskan napas lembut dan bersiap. Dia menutup pintu kamar Sirena dengan rapat dan menguncinya dari dalam.“Ikut saya.”Arsenio dan Dokter itu berjalan meninggalkan ranjang Sirena. Mereka mengikuti langkah Ozias memasuki sebuah lemari pakaian besar milik Kakaknya.Mereka menembus sebuah dinding sihir pemisah ruang, ketiga orang itu sampai di dalam sebuah ruangan lusuh dengan banyak gambar pola sihir di dinding dan lantainya.“Tempat apa ini?” gumam Dokter terlihat kaget.Arsenio diam, dia menelusuri ruangan itu dengan saksama dan meyakini satu hal. Sirena Egberta adalah seorang penyihir.Tapi kenapa tidak ada yang mengetahui hal ini? Bahkan Putra Mahkota Firas seperti tidak mengetahuinya juga.“Ini adalah benteng.”Dokter dan Arsenio menoleh pada Ozias. Anak lelaki itu terlihat sedih melihat gambar pola sihir dengan rona darah pekat yang hampir menghitam karena usia gambarnya yang telah cukup tua.“Kakak menggunakan ruangan ini untuk memulihkan diri.”“Ruangan lusuh seperti ini? Lalu apa gunanya Dokter di rumah kalian?!” Arsenio tidak menyangka, bahwa ruangan bobrok seperti ini adalah harta bagi gadis angkuh seperti Sirena.“Ya. Ruangan lusuh ini.” Ozias menunduk sedikit dan mengulas senyum masam melihat pola besar yang dia injak. “Tempat yang tidak di tahu oleh siapa pun, bahkan kepala keluarga Sharon ini adalah tempat persembunyiannya.”“Lalu apa hubungannya dengan penyakit Kakakmu? Dia terlihat sekarat karena memakai sihir hitam.”Dokter mengangguk. “Benar Tuan Muda. Seandainya Nona Sirena tidak menggunakan sihir dengan skala besar, dia tidak akan terluka parah seperti sekarang. Hampir semua organ dalamnya terluka. Dan melihat luka di tubuhnya, tampaknya Nona Sirena sudah menggunakan sihir hitam dengan skala besar beberapa kali.”Ozias kehilangan senyumannya. Tebakan Dokter itu benar. Sirena memang sudah menggunakan banyak sihir tingkat tinggi karena dirinya.“Semua ini salah saya,” ucap anak lelaki itu dengan suara lirih.“Apa yang kamu katakan? Nona Sirena bukan orang yang akan mengorbankan diri demi keluarganya. Dia hanya gadis puber yang egois!” hardik Duke Arsenio tajam.“Nyatanya Nona Sirena telah menyelamatkan hidup saya, Tuan Duke. Bahkan berulang kali.”Melihat kedua Tuan Muda yang saling melempar tatapan tajam, Dokter itu terlihat sedikit tertekan.Jika penjelasan Ozias memang benar, berarti orang yang bisa menyembuhkan Sirena hanya pemimpin menara sihir. Tapi kabarnya orang itu telah lama menghilang setelah kematian Putrinya.“Semuanya menjadi runyam.” Dokter menghela napas kasar.Dia memandang ke arah pintu keluar saat seorang wanita berdiri di sana sambil bersusah payah menopang diri.“Apa yang kalian lakukan di ruanganku?!” Sirena terlihat marah.Ketiga lelaki itu saling mengawasi satu sama lain. Mereka mulai waspada saat melihat tatapan mata Sirena yang terlihat menakutkan.“Nona, kami hanya memastikan—““Tidak ada yang mengizinkan kalian masuk ke sini. KELUAR!!”Sirena berteriak marah. Ketiga orang lelaki itu terpaksa angkat kaki dari dalam ruangan tersebut.“Maafkan—““Pergi.”Sirena memotong perkataan Ozias. Di dalam tatapan matanya mengandung kebencian yang kuat.“Jangan pernah masuk ke dalam kamarku saat aku tidak mengizinkan kalian.”“Nona, saya belum selesai memeriksa—““Kau hanya menyelidikku, Dokter!” Sirena kembali menyela perkataan lawan bicaranya. “Jadi, jangan membuat alasan dan cepat keluar dari sini!” ucapnya dengan suara tegas.“Bagaimana keadaan wanita itu?” Tuan Orlando menatap Senna dan Posy yang berdiri di depannya dalam sikap hormat dengan tatapan dingin—penuh penekanan. “Nona tidak keluar dari kamarnya sejak insiden Tuan Muda Ozias, Tuan Count.” Senna menjawab dengan patuh. Sementara Posy hanya diam dan memperhatikan ekspresi Orlando. Lelaki tua itu terlihat geram karena perilaku cucunya. “Panggil dia ke sini.” Orlando menatap tegas. “Jika dia tidak mau. Seret saja dia ke sini. Bagaimana pun caranya, bawa anak manja itu ke hadapanku sekarang!” “Baik, Tuan Count.” Senna dan Posy berjalan pergi meninggalkan tempat mereka. Tiga orang pengawal mengikuti mereka sesuai arahan Orlando untuk menyeret Sirena ke hadapannya. Belum sampai di ujung pintu kamar Nona Sirena, mereka melihat wanita itu keluar dengan pakaian tidurnya. Dia hanya menyisir rambut panjangnya agar terlihat lebih rapi dan menutup pundaknya dengan selendang sutra berwarna ungu muda. “Nona, Tuan Count memanggil Anda ke ruangannya,” uca
Sirena memejamkan matanya. Ia benar-benar terlelap dengan nyaman di pangkuan Arsenio. Bahkan lelaki itu ikut tertidur sampai tidak kenal waktu. “Pemandangan langka apa yang aku lihat ini Nona Posy?” Tuan Sand, ajudan pribadi Duke Arsenio berdiri di tepi lorong terbuka yang menghubungkannya pada pemandangan taman bunga Gladius. Dia terpana melihat kedekatan Tuan dan tunangannya di depan sana. Posy yang berdiri di samping Sand, juga menatap ke arah yang sama—dengan tatapan terkejut yang sama. Tuan Duke Arsenio yang tidak pernah akur, atau bahkan tidak ingin berlama-lama menatap Nona Sirena, kini sedang tertidur pulas sambil memangku kepala Nona Sirena sedang tertidur? “Pemandangan yang terlalu langka, Tuan Sand. Saya juga baru pertama kali melihat Nona Sirena dan Tuan Duke sangat akur seperti hari ini. Biasanya, mengharapkan ketenangan saat keduanya bertemu saja saya tidak berani. Tapi sekarang, sepertinya hubungan mereka telah membaik,” sahut Posy. “Bagaimana ini?!” Tuan Sand mel
Sirena melihat Mr. Sand turun dari kereta kuda dan mendekat. Lelaki itu sedikit membungkuk untuk memberi salam. "Selamat siang, Nona. Semoga Dewa El selalu memberkati Anda." Dia kembali pada posisi tegap tanpa mengangkat kepala. “Maaf atas keterlambatan kami, Nona. Namun Tuan Duke tidak bisa menepati janji karena ada pekerjaan mendesak.” Lelaki itu berbicara dalam sikap hormat. Dia bahkan tidak berani melirik ke arah Sirena dan Sir. Einar yang terlihat geram. “Jadi begitu.” Sirena membuang napas panjang dan melihat beberapa peti yang di turunkan oleh kusir. Raut wajahnya yang terlihat tenang membuat Sir. Einar berperasangka jika Tuannya sudah tahu hal ini akan terjadi. “Lalu apa yang datang bersamamu, Mr. Sand?” tanya Sirena. “Duke Arsenio merasa tidak enak hati karena tidak bisa menepati janji. Karena itu beliau mengirimkan beberapa hadiah dan sepucuk surat untuk Anda.” “Dasar gila!” Sir. Einar memekik kesal. “Kau tahu berapa lama Nona menunggu kedatangan Tuan Duke?” Mr. S
“Yang Mulia, saya harap Anda tidak lupa janji Anda kemarin.” Tuan Sand tersenyum penuh arti. Sementara lelaki muda berusia dua puluh satu tahun yang baru saja bangun dan langsung di todong dengan fakta menyakitkan itu hanya menguap, lalu menatap datar ajudannya. “Jika kau mengingatkan aku tanpa bergerak, aku akan membuat wanita itu menunggu lama seperti kemarin.” Arsenio beranjak turun dari ranjang. Ia berjalan mendekat meja kecil di samping ranjang dan menuang segelas air untuk dia minum. Tuan Sand tersenyum melihat respons datar tanpa niat itu. “Baik. Saya akan segera panggil pelayan untuk membantu Anda bersiap dan menyiapkan kereta kuda.” Arsenio mengangguk. Dia melihat kepergian Sand dengan acuh tak acuh. “Vian.” Arsenio memanggil. Seorang lelaki berpakaian serba hitam dengan topeng menutup sebagian wajahnya berdiri tepat di balik pintu kaca yang menyekat antara balkon luar dan sisi dalam kamar. “Anda memanggil saya, Tuan?” Lelaki itu menjawab panggilan. Dia berlutut laya
“Nona ....” Posy memanggil. Dia mendekati Sirena seraya suara kereta kuda terdengar. Sirena menoleh pada kereta kediaman Arsenio yang datang dari arah barat menuju gerbang utama rumahnya. Dia segera bangkit. Begitu pula dengan Shafira yang hendak mengantarnya. “Ibu.” Sirena berjalan berdampingan dengan Shafira menuju kereta kediaman Tuan Arsenio di depan pagar. “Maukah Anda minum teh bersama saya, besok?” Shafira menatap ragu. Dia hanya tidak percaya putri tiri yang selama ini waspada kepadanya, mulai membuka hati. Bahkan mengajaknya minum teh lebih dulu. “Aku tak keberatan. Datanglah ke tempatku besok. Aku akan meminta para pelayan menyiapkan jamuan untukmu,” jelas Shafira dengan mengulas senyum lembut. Sirena mengangguk pelan. Dia mengalihkan tatapannya pada Arsenio yang keluar kereta kuda untuk menuntunnya masuk ke dalam kendaraan miliknya. “Hati-hati.” Shafira mengulas senyum lembut ketika dia dan putri tirinya saling bertatapan. Perubahan Sirena tampaknya tidak terlalu bur
Permaisuri Lister kagum dengan kelakuan kurang ajar Sirena yang mengundang kemeriahan dalam pesta teh yang membosankan. Lister tersenyum lembut. Dia melihat tatapan gelap Arsenio mengardh pada Sirena dengan tajam. “Sekarang nikmatilah pestanya. Semoga kamu bisa berbaur dengan baik, Lady Sirena.” Lister meminta keduanya pergi. Sirena dan Arsenio menunduk hormat untuk terakhir kalinya. Mereka berjalan meninggalkan Permaisuri Lister dengan langkah cepat—lebih tepatnya, Arsenio menarik tangan Sirena keluar dari area perjamuan. Mereka masuk ke dalam taman labirin yang ditumbuhi tanaman bunga mawar merah yang menjalar di sepanjang dinding labirin. “Anda mau pergi sejauh apa, Yang Mulia?” Sirena berucap dengan suara gemetar. Tangannya sakit karena di genggam terlalu kuat oleh Arsenio. Namun tak ada rasa bersalah atau ketakutan dalam mata Sirena. Padahal Arsenio tahu jika wanita itu mengerti akan kemarahan dirinya. Tapi kenapa dia tidak gentar dan meminta maaf? Arsenio melempar diri Si
Arsenio selalu tahu apa yang ingin dia lakukan, dan sekarang yang dia inginkan adalah memukul kepala Arion—putra mahkota kekaisaran Firaz, sekaligus adik sepupu yang telah berani bertindak kurang ajar pada Kakaknya. Terutama karena seorang wanita yang sudah jelas adalah tunangan Arsenio. “Kamu meninggikan suaramu? Di depanku?” Arsenio menatap geram. “Ya, kenapa memangnya? Aku adalah Putra Mahkota Kekaisaran ini. Memang apa yang tidak bisa aku lakukan? Kau hanya seorang Duke, sementara aku—plak!” Arsenio melalukannya. Dia merasa puas melihat wajah kaget Arion setelah mendapatkan pukulan darinya. “Kau memukulku?!” Arion memelototkan mata. Dia melihat beberapa prajurit mulai memasang wajah garang ke arah Arsenio. “Kau—kau kurang ajar!” Pedang di tarik dari sarungnya. Empat orang prajurit menghunuskan pedang ke arah leher Arsenio. “Apa ini?” Sirena terkejut melihat pemandangan runyam di depannya. Dia baru keluar ruangan untuk berpamitan pulang. Namun apa yang dix lihat sekarang? Du
“Anda tidak bisa melakukannya, kan?" Arsenio tersenyum penuh kemenangan. Melihat wajah kebingungan Elvira membuatnya sangat bahagia. “Karena Anda tak bisa menghukum Putra Mahkota negeri ini, jadi saya akan pamit lebih dulu bersama dengan tunangan saya.” Arsenio menunduk sejenak. “Semoga berkat Dewa Zeus menyertai bintang kekaisaran.” Setelah mengucap hal itu, Arsenio membalik tubuhnya dan mengajak Sirena pergi meninggalkan lorong utama bangunan paviliun bulan—tempat perjamuan teh milik Putri Elvira di adakan. “Bukannya Anda terlalu keras pada Putri Evira? Bagaimana pun juga, dia masih belum dewasa.” Sirena berusaha membela dan mencari simpatik Arsenio. Setelah mereka keluar dari bangunan perjamuan, wajah Arsenio benar-benar berubah menjadi flat seakan dia tak memiliki emosi. “Umurmu dan Putri Elvira itu selaras. Jika kamu bisa bertindak dewasa, harusnya dia juga bisa melakukan hal yang sama.” Arsenio membantah dengan pandai. Dia bahkan mematahkan semangat Sirena untuk menyatukan
“Nyonya Sirena. Bolehkah saya masuk?” Posy berdiri di depan kamar Sirena dengan membawa nampan berisikan sarapan untuk Nyonyanya. Sementara wanita muda yang berada di dalam kamarnya hanya menunduk dalam tanpa bisa menegakkan punggung dan lehernya dengan baik. Hantu Sirena merasa cemas. Dia tak lagi bisa mengendalikan dirinya. Padahal ini adalah tubuhnya. Namun dia seperti berada di dalam tubuh orang asing yang tak mau menuruti perintahnya. “Tubuh sialan! Milik siapa kau sebenarnya? Aku adalah pemilik aslimu.” Sirena menghardik dalam hati. “Cih, sekarang kau lebih nyaman di isi jiwa wanita kurang ajar itu dari pada diriku? Yang benar saja.” “Nyonya?” Posy mengerutkan kening samar. Dia mendengar seseorang bergumam sendiri di dalam kamar. Dia yakin itu suara Tuannya. Namun jika benar begitu, kenapa Sirena tak menjawab panggilannya? “Apakah Anda membutuhkan bantuan saya?” tanya Posy, sekali lagi. “Letakkan d
“Terima kasih sudah mengantarku.” Pelayan perempuan itu menunduk hormat dan melihat kepergian Ozias beberapa saat, sebelum meninggalkan tempat. Dari kejauhan Ozias bisa melihat lelaki berambut coklat dengan mata biru melihatnya dengan tatapan tertegun. “Ozias?” gumam lelaki itu, senang melihat kawannya. Berbeda dengan lawan bicaranya yang terus menatap dingin—seakan melihat musuh. Melihat itu, Theo paham jika sekarang bukan saatnya berbincang ramah dengan seorang teman. “Aku datang untuk bertemu Kakakku. Dia di dalam, kan?” tanya Ozias, dingin. Theo mengangguk. “Silakan masuk, Tuan. Saya akan mengantar Anda." Ozias hanya mengangguk dan mengikuti langkah Theo yang membawanya masuk ke dalam menara. Mereka menaiki tangga yang akan membawa keduanya ke puncak menara. “Bagaimana keadaan Kakakku?” Nada bicara Ozias melunak. Kini dia tak perlu memasang kewaspadaan tinggi karena hanya ada dirinya dan T
BRAK! Arsenio menghantam meja. Beberapa puing kayu kokoh itu rontok ke atas karpet berbulu. Martell menatap takut. Dia tak pernah melihat Arsenio semarah ini selama satu tahun terakhir. Melihatnya kembali temperamental, tampaknya Nyonya Duchess yang baru selalu berhasil mengendalikan Duke mereka yang pandai mengontrol emosi. “Bisa-bisanya wanita itu membuatku kesal.” Arsenio mengepalkan tangannya semakin kencang. Dua urat menonjol di bawah dagu Arsenio membuat Martell menelan ludahnya susah—dia sangat tegang sekarang. “Yang Mulia, Tuan Frederick akan pergi ke desa untuk mencari informasi kemunculan pada monster.” Martell berusaha mengalihkan topik. Dia berharap Arsenio melupakan masalah Sirena dan fokus pada pekerjaan saja. Setidaknya itu lebih baik dari pada mengingat kenangan buruk yang membuat Tuannya menjadi emosional. “Aku sudah tahu. Frederick menyampaikannya padaku kemarin. Lalu, bagaimana dengan
Posy terdiam beberapa saat. Melihat reaksi Vian dan Cavan yang cukup kebingungan, tampaknya hanya Theo yang bisa melihat sosok menyeramkan itu. “Anda, bisa melihatnya?” tanya Posy, terlihat cukup terusik. Lelaki bermata biru laut itu menganggukkan kepala. “Dari awal. Dalam wujud yang nyata.” Dia melirik ke arah sudut ruangan. “Bahkan sekarang, dia ada di sini—mengawasi kita.” Posy menatap ke beberapa sudut, termasuk sudut yang di lihat oleh Theo dengan tatapan waspada. Sayangnya, dia tidak bisa melihat wanita itu kecuali wanita itu menampakkan diri di hadapannya. “Besok saya akan mengaturkan pertemuan Anda dengan Nyonya.” Posy menatap waspada. “Yang bisa melihat wanita itu secara berkala hanya Nyonya ... jadi, bisakah Anda membicarakan hal ini kembali bersama dengan Nyonya besok?” Theo mengangguk. “Baiklah.” “Nyonya.” Posy membuka gorden dan membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam kamar. Na
Sirena berjalan masuk ke dalam menara tempatnya tinggal dengan langkah sempoyongan. Seperti yang dia duga, Arsenio telah menempatkan banyak pengawal untuk mengawasinya. Bahkan mereka bukanlah pengawal biasa. Karena baik Sirena atau Posy dapat merasakan kekuatan besar di dalam tiga lelaki berpakaian serba hitam itu. “Yang Mulia, Anda kembali?” Vian bergegas mendekat. Sayangnya, langkah Vian harus berhenti saat Posy menghalanginya dari Sirena. “Apa yang Anda lakukan di sini, Tuan Vian?” Posy menatap tajam. Dia terlihat waspada. “Apa Anda di tugaskan menjaga Nyonya Duchess?” Vian menatap dalam diam beberapa saat. Lalu dia tersenyum setelah mengetahui pikiran lawannya. “Ya. Tuan Duke memerintahkan kami—“ “Posy. Sudahlah. Jangan berdebat.” Sirena memijat pelipisnya. “Pergilah ... kamu ingin bertemu dengan Lucas, kan?” Posy menatap ragu. Meninggalkan Tuannya sendirian dalam pengawasan tiga serigala cukup membu
Sirena menatap kaget tumpukan mayat di depan mereka. Begitu pula dengan Posy yang memperlihatkan reaksi yang sama. “Para pelayan mengatakan, bahwa di desa ini terkena wabah hitam. Tiap malam satu keluarga akan mati. Mayat mereka berlumuran darah walau tidak di temukan luka di tubuh mereka,” jelas Posy. Wanita berambut coklat tua dengan mata hijau itu menatap nanar tumpukan mayat manusia dengan bau yang menyengat. “Sungguh aneh,” gumamnya, tidak habis pikir. Suara langkah kaku seseorang membuat kedua wanita muda itu menoleh ke arah sumber suara. Mereka melihat lelaki bertudung hitam ada di dekat tumpukan orang-orang, seakan bersiap membakar mayat-mayat itu dengan obor di tangannya. “Ternyata ada penonton yang datang.” Lelaki berjubah hitam itu menoleh. Dia memperlihatkan wajah tampannya dengan berani. Bahkan tersenyum lembut pada Posy dan Sirena. Posy maju selangkah, menghalangi pandangan lelaki itu dari
“Sepertinya Anda harus bermalam di sini, Nona Posy. Langit mendung tidak mendukung. Jika Anda keluar sekerang, takutnya ... hujan akan turun di tengah jalan.” Oriel berucap dengan cemas. Dia menatap wanita bermata hijau itu naik ke atas kuda sambil memeluk Tuannya yang selesai mendapat pengobatan—walau dia belum sadar sepenuhnya. “Tidak.” Posy menjawab dengan tegas. Dia menatap lembut pada wanita muda berusia satu tahun lebih muda darinya. Lantas tersenyum. “Duke akan mencari kami jika seperti itu ... dan bisa saja, kalian dalam bahaya setelahnya.” Oriel tidak memaksa. Keadaannya memang tidak terlalu baik setelah dia memaksakan diri menyembuhkan Sirena dalam satu waktu. “Kalau begitu, izinkan saya mengantar Anda sampai keluar Hutan.” Ivander keluar dari dalam dengan membawa tombak. “Saat malam, hutan ini akan tetap berbahaya untuk seorang wanita yang cukup kuat. ” Posy tidak membantah. Saat bahaya menimpa, dia tid
“Ke mana kau akan membawanya?” Sosok wanita bersurai pirang dengan mata hitam mengikuti laju kuda Posy dengan kaki melayang. Sosok menyeramkan itu kembali menampakkan diri. Lagi-lagi juga terlihat perhatian pada Sirena. “Kenapa Anda selalu menunjukkan perasaan khawatir?” Posy tak menatapnya. Dia takut. Tapi juga penasaran dengan identitasnya. Hantu bukan hal yang mudah di percaya. Namun setelah melihatnya beberapa kali, Posy yakin jika mereka memang ada—hidup berdampingan dengan kita—seperti yang pernah di katakan oleh Sirena kecil enam tahun yang lalu. “Karena aku mengkhawatirkannya.” Wanita itu menjawab dengan nada serak—suaranya tidak terlalu jelas, namun Posy masih mengerti apa yang sedang dia katakan. “Begitukah?” Posy menatapnya beberapa saat—dengan harapan hantu itu tidak menoleh dan menampakkan wajahnya. “Kenapa Anda memiliki perasaan seperti itu pada Nyonya?” Hantu perempuan itu tertawa. Tawa ya
Ivander mendengar tapak kaki kuda dari kejauhan. Kali ini dia sedang memungut kayu untuk membuat kayu bakar dan memasak. Namun saat dia mendengar suara tak kaki kuda yang mendekat ke arahnya, dia segera memasang posisi bertarung—mengarahkan belati yang dia genggam ke arah depan. “Nona Posy?” Ivander bergumam saat melihat wanita itu melewatinya dengan wajah muram. Wanita muda itu tampak tergesa. Dia memacu kudanya sangat kencang sampai mendatangkan badai debu di sepanjang jalan yang telah dia lalui. “Apa yang membuatnya seperti itu?” gumam Ivander, bergegas mengumpulkan kayu dan menyusul Posy. “Tampaknya dia datang untuk bertemu Kakak,” gumam Ivander, mempercepat langkahnya. Sesampainya di pondok, Ivander melihat dua wanita muda itu tampak tergesa-gesa menyiapkan beberapa barang dan hendak pergi meninggalkan tempat. Ivander menatap keduanya dengan tatapan bertanya-tanya. “Apa yang kalian lakukan? Apa kalian ingin p