Kyaa .... “Nona!!”
Beberapa pelayan wanita berteriak histeris.Mereka baru melihat salah satu Tuan mereka, Nona Sirena Egberta Sharon, melompat dari balkon dan menyelam ke dalam sungai buatan di bawah jendela kamarnya.“Nona Sirena sudah gila!”“Dia melakukan hal itu lagi!”Beberapa pelayan mulai panik. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Sirena di permukaan air walau sudah beberapa saat gadis berusia tujuh belas tahun itu menyelam.“Panggil Mr. Einar! Di mana Nona Senna dan Nona Posy? Apa mereka tidak tahu Nona Sirena melompat dari balkon lagi?!” teriak kepala pelayan kediaman Sharon, Madam Geneva.Dia memerintah beberapa orang pelayan perempuan untuk mencari tiga orang pelayan pribadi Nona Sirena.“Nona! Anda baik-baik saja?!”Madam Geneva berteriak dari tepi sungai.Dia menyusuri permukaan sungai dengan penglihatannya—berharap Nona Sirena segera keluar dari dalam air dengan selamat.Tapi harapannya tidak kunjung terwujud. Yang dia lihat hanya dataran air yang tenang dan dingin.“Madam Geneva, apa yang terjadi?”Count Orlando—kepala keluarga Sharon, berjalan keluar dengan langkah lebar. Di belakangnya ada seorang Duke Muda yang disegani banyak orang.“Tuan Count, Nona Sirena melakukan hal itu lagi. Nona berusaha bunuh diri lagi, Tuan.”Madam Geneva sedikit membungkuk—tak berani menunjukkan muka di depan Tuan Duke atau Tuan Orlando.“Maafkan saya, Tuan Count. Saya tidak bisa menjaga Nona Sirena dengan baik. Tolong hukum saya!” Madam Geneva bersimpuh meminta pengampunan.Namun Duke Arsenio malah mengerutkan keningnya dalam. Dia tidak senang dengan keributan ini.“Sekarang bukan saatnya memberikan hukuman padamu, Madam.”Lelaki muda nan tampan itu berbicara dengan nada menekan. Satu urat di bawah dagunya terlihat menonjol karena harus menahan rasa kesalnya.“Tunanganku belum keluar dari air dan tidak ada seorang pun dari anak buahmu menyelam untuk mencarinya. Apakah seperti ini kediaman Count memperlakukan Putri Tertua mereka?!” marahnya.Tuan Count berkeringat dingin. Perkataan tajam itu bertujuan menyindir dirinya—kepala keluarga Sharon yang tidak becus mengurus cucunya.“Ma-maafkan saya, Tuan Duke. Saya—““Banyak bicara!” Arsenio menyentak.Dia melepaskan jubah kesatrianya dan melompat ke dalam air. Dia menyelam cukup dalam untuk mencari keberadaan Nona Sirena.Tapi yang dia temukan hanya sebuah cahaya terang di dasar sungai. Cahaya itu membungkus sesuatu—itu adalah Nona Sirena yang tertidur lelap di dalam cahaya putih terang yang mirip dengan wujud sihir suci.Tak lama setelah itu, Arsenio melihat wanita itu tersadar dan cahaya putih itu menghilang perlahan-lahan dari sekelilingnya.“Nona Sirena. Anda selalu mencari perhatian saya tiap kali saya berkunjung. Bukankah usaha Anda terlalu berlebihan?"Wanita itu menoleh pada sumber suara. Dia melihat seorang lelaki yang baru saja melakukan telepati padanya.Raut wajah wanita itu terlihat tidak baik. Dia membuat Arsenio menatapnya dingin.“Apa lagi sekarang?” pikir Arsenio sedikit geram.Lelaki itu mendekat. Dia berusaha menggenggam kedua tangan Sirena. Namun wanita itu malah terus memberontak dan kehabisan napas seperti orang bodoh.“Bodohnya calon istriku!” hardiknya.Wanita itu membulatkan mata. Dia melihat bibir mereka bertabrakan dan udara mengalir di dalam sana.Sirena terlihat lega. Dia bisa bernapas. Tapi lelaki di depannya terlihat marah. Wajahnya sangat menakutkan sampai membuatnya merinding.Dia berenang ke permukaan—menyelamatkan diri dari tatapan menerkam Arsenio yang seperti ingin membunuhnya.Puahh!“Nona Sirena!!” teriak para pelayan, terkejut.Tuan Einar masuk ke dalam air. Dia membantu mengeluarkan Sirena yang kesulitan bergerak karena gaun yang berat. Dia membiarkan Sirena duduk di atas tanah dalam kondisi basahArsenio menyusul keluar dari air sambil memastikan tunangannya baik-baik saja.“Anda baik-baik saja, Nona?” Senna, wanita berusia dua puluh tiga tahun itu menangis. Dia memeluk Tuannya dengan erat sampai membuat Sirena kembali kesulitan bernapas.“Ugh, napasku—“Sirena menepuk punggung Senna agar dia melepaskan pelukan mereka. Setelah itu, Sirena kembali mengatur napas dengan baik sebelum dia memutuskan berdiri.“Sikap tidak bermoral apa yang kamu lakukan pagi ini, Sirena?!”Count Orlando berjalan mendekati cucunya. Dia menatap Sirena dengan tatapan dingin dan mengintimidasi.Sebagai kepala keluarga Sharon, dia sangat malu mengingat tindakan Sirena pagi ini. Terutama saat Tuan Duke Arsenio berada di kediamannya.Sirena hanya diam. Dia menatap orang-orang di sekelilingnya dengan tatapan asing. Bahkan pada lelaki tua yang sedang memarahinya.“T-tunggu dulu. Biarkan saya berpikir!” Sirena memejamkan mata. Dia berusaha mengingat apa yang terjadi.Namun isi kepalanya benar-benar kosong. Dia tidak mengenal orang-orang itu dan tempat aneh yang dihuni para manusia berpakaian abad pertengahan ini.“Saya ingat tertabrak mobil dan kepala saya terluka cukup parah.” Sirena mengerutkan kening. “Bukankah seharusnya saya mati? Tapi kenapa ... saya di sini?” gumamnya dengan suara kecil.Orlando dan Arsenio mengerutkan kening. Mereka terlihat bingung dan marah. Tapi wajah Sirena yang terlihat linglung membuat mereka terdiam beberapa saat.“D-darah!” Senna menunjuk tengkuk Sirena. “Nona, Anda berdarah. Panggilkan Dokter!”Sirena memejamkan mata. Dia merasa pusing setelah mendengar suara Senna yang melengking. Tubuhnya menjadi tidak seimbang. Dia tidak bisa berdiri dengan benar.“Kau benar-benar terluka sekarang!” sindir Arsenio. Dia menopang tubuh Sirena dari belakang.Keduanya bertatapan beberapa saat sebelum wanita itu kehilangan kesadarannya.“Nona ... Nona ... Anda sudah sadar?”Sirena membuka matanya. Kepalanya terasa berat dan ketat. Tampaknya dokter yang memasang perban untuk lukanya terlalu kasar saat mengikatnya.Wanita itu melihat wajah salah satu pelayan yang berdiri di sisi kiri ranjangnya. Dia mengenali pelayan itu dengan baik—tidak seperti sebelumnya.Wanita cantik berpakaian pelayan itu sedang duduk bersimpuh di bawah ranjang sambil menggenggam tangan Sirena dengan erat.“Posy?”Wanita itu tersenyum senang. Bahkan dia sampai menangis karena terharu. Nona Sirena mengenal dirinya bahkan saat dia tidak bisa mengenal Senna sebelumnya.Ini sungguh sebuah berkat bagi Posy.“Ya, Nona. Anda benar. Saya Posy. Dayang Anda.” Posy menggenggam tangan Sirena dengan erat dan menangis sambil tersenyum. “Syukurlah Anda mengingat saya. Terima kasih, Nona.”Sirena hanya diam. Dia merasa aneh karena berpindah dimensi setelah kematiannya beberapa saat yang lalu.Bahkan setelah membuka mata untuk kedua kalinya, Lonie Karia yang sekarang telah menempati tubuh cucu perempuan pertama dari keluarga Count Sharon ini dapat mengingat semua memori gadis berusia tujuh belas tahun itu.“Apa yang terjadi padaku?” gumam Sirena pelan.Posy menatap Sirena yang kehilangan semangat dengan tatapan sendu. “Anda sungguh tidak mengingatnya?”Sirena menoleh pada Posy dan tersenyum masam. Padahal dia hanya bicara sendiri, tapi sepertinya dia telah membuat Posy merasa cemas.“Tidak. Lupakan saja,” ucap Sirena diakhiri senyuman lembut.Dia menarik punggungnya ke depan dan bangkit dari posisi tidur. Sirena duduk tegap di atas ranjang dengan tatapan lemah.“Panggilkan Dokter. Aku merasa sangat lemas sekarang.”Posy segera bangkit. “Saya akan segera kembali, Nona.”Klap ....Posy baru saja keluar dengan langkah tergesa. Namun lelaki yang tadi terus berbicara sarkas padanya malah masuk ke dalam kamar dan menemuinya.“Bagaimana keadaanmu?” tanya Arsenio.Lelaki bernama Arsenio Orlan itu adalah tunangannya. Dia seorang Duke Muda yang menjadi kepala keluarga setelah kematian Ayahnya, Duke Oberon, di usia ke tujuh belas tahunnya.Sekarang usia lelaki itu menginjak dua puluh tahun. Inilah alasan Kaisar mendorong Duke Arsenio yang merupakan keponakannya untuk cepat-cepat menikah. Karena usianya sudah masuk ke usia layak menikah.Berdasarkan ingatan dalam tubuh Sirena, hubungan Sirena dan Arsenio tidak baik karena Arsenio tidak suka wanita lemah sepertinya. Terlebih lagi hubungan mereka semakin buruk karena Sirena menyukai Putra Mahkota Kekaisaran Firas yang sama sekali tidak mencintainya.“Kacau.” Sirena menepuk keningnya dan memijit pelipisnya pelan.Arsenio menaikkan kedua alisnya. Tatapan dan gelagat wanita itu sangat berbeda dengan sebelumnya. Dia mulai sedikit curiga dengannya.“Kamu mengatakan hal aneh sebelumnya. Tentang kecelakaan yang merenggut nyawamu.”Sirena menatap lelaki itu dengan intens. Pertanyaan yang diajukan oleh Arsenio membuatnya sedikit cemas.“Apakah kamu tidak berasal dari tempat ini?”‘Jika kamu memberitahunya, kamu akan mati.’ Sirena membulatkan mata. Seseorang baru saja berbicara dengannya. Tapi wujud dari suara wanita yang dia dengar tidak terlihat di mana pun. “Anda mendengarnya?” Sirena menggenggam tangan Arsenio. Dia terlihat waspada dan ketakutan. “Apa yang kamu dengar?” Arsenio menatap sekeliling. Dia ikut waspada melihat gelagat Sirena yang meyakinkan. “Itu, suara wani—“ Sirena diam. Dia tidak lagi berbicara. Dadanya terasa sakit seperti ada sesuatu yang menekan dan mengikatnya sampai kesulitan bernapas. “Nona? Ada apa?” Arsenio menatap Sirena yang kesakitan. Dia menoleh ke arah pintu dengan wajah geram. Sudah beberapa saat yang lalu pelayan Nona Sirena keluar untuk memanggil Dokter, namun kenapa dia tidak kunjung kembali? “Saya akan panggilkan Dokter.” Arsenio melepaskan genggaman Sirena dari tangannya. Dia segera berlari keluar untuk mencari dokter. “Yang Mulia, kenapa Anda berlari di lorong dengan panik? Ada yang bisa saya bantu??” Ozias ada
“Bagaimana keadaan wanita itu?” Tuan Orlando menatap Senna dan Posy yang berdiri di depannya dalam sikap hormat dengan tatapan dingin—penuh penekanan. “Nona tidak keluar dari kamarnya sejak insiden Tuan Muda Ozias, Tuan Count.” Senna menjawab dengan patuh. Sementara Posy hanya diam dan memperhatikan ekspresi Orlando. Lelaki tua itu terlihat geram karena perilaku cucunya. “Panggil dia ke sini.” Orlando menatap tegas. “Jika dia tidak mau. Seret saja dia ke sini. Bagaimana pun caranya, bawa anak manja itu ke hadapanku sekarang!” “Baik, Tuan Count.” Senna dan Posy berjalan pergi meninggalkan tempat mereka. Tiga orang pengawal mengikuti mereka sesuai arahan Orlando untuk menyeret Sirena ke hadapannya. Belum sampai di ujung pintu kamar Nona Sirena, mereka melihat wanita itu keluar dengan pakaian tidurnya. Dia hanya menyisir rambut panjangnya agar terlihat lebih rapi dan menutup pundaknya dengan selendang sutra berwarna ungu muda. “Nona, Tuan Count memanggil Anda ke ruangannya,” uca
Sirena memejamkan matanya. Ia benar-benar terlelap dengan nyaman di pangkuan Arsenio. Bahkan lelaki itu ikut tertidur sampai tidak kenal waktu. “Pemandangan langka apa yang aku lihat ini Nona Posy?” Tuan Sand, ajudan pribadi Duke Arsenio berdiri di tepi lorong terbuka yang menghubungkannya pada pemandangan taman bunga Gladius. Dia terpana melihat kedekatan Tuan dan tunangannya di depan sana. Posy yang berdiri di samping Sand, juga menatap ke arah yang sama—dengan tatapan terkejut yang sama. Tuan Duke Arsenio yang tidak pernah akur, atau bahkan tidak ingin berlama-lama menatap Nona Sirena, kini sedang tertidur pulas sambil memangku kepala Nona Sirena sedang tertidur? “Pemandangan yang terlalu langka, Tuan Sand. Saya juga baru pertama kali melihat Nona Sirena dan Tuan Duke sangat akur seperti hari ini. Biasanya, mengharapkan ketenangan saat keduanya bertemu saja saya tidak berani. Tapi sekarang, sepertinya hubungan mereka telah membaik,” sahut Posy. “Bagaimana ini?!” Tuan Sand mel
Sirena melihat Mr. Sand turun dari kereta kuda dan mendekat. Lelaki itu sedikit membungkuk untuk memberi salam. "Selamat siang, Nona. Semoga Dewa El selalu memberkati Anda." Dia kembali pada posisi tegap tanpa mengangkat kepala. “Maaf atas keterlambatan kami, Nona. Namun Tuan Duke tidak bisa menepati janji karena ada pekerjaan mendesak.” Lelaki itu berbicara dalam sikap hormat. Dia bahkan tidak berani melirik ke arah Sirena dan Sir. Einar yang terlihat geram. “Jadi begitu.” Sirena membuang napas panjang dan melihat beberapa peti yang di turunkan oleh kusir. Raut wajahnya yang terlihat tenang membuat Sir. Einar berperasangka jika Tuannya sudah tahu hal ini akan terjadi. “Lalu apa yang datang bersamamu, Mr. Sand?” tanya Sirena. “Duke Arsenio merasa tidak enak hati karena tidak bisa menepati janji. Karena itu beliau mengirimkan beberapa hadiah dan sepucuk surat untuk Anda.” “Dasar gila!” Sir. Einar memekik kesal. “Kau tahu berapa lama Nona menunggu kedatangan Tuan Duke?” Mr. S
“Yang Mulia, saya harap Anda tidak lupa janji Anda kemarin.” Tuan Sand tersenyum penuh arti. Sementara lelaki muda berusia dua puluh satu tahun yang baru saja bangun dan langsung di todong dengan fakta menyakitkan itu hanya menguap, lalu menatap datar ajudannya. “Jika kau mengingatkan aku tanpa bergerak, aku akan membuat wanita itu menunggu lama seperti kemarin.” Arsenio beranjak turun dari ranjang. Ia berjalan mendekat meja kecil di samping ranjang dan menuang segelas air untuk dia minum. Tuan Sand tersenyum melihat respons datar tanpa niat itu. “Baik. Saya akan segera panggil pelayan untuk membantu Anda bersiap dan menyiapkan kereta kuda.” Arsenio mengangguk. Dia melihat kepergian Sand dengan acuh tak acuh. “Vian.” Arsenio memanggil. Seorang lelaki berpakaian serba hitam dengan topeng menutup sebagian wajahnya berdiri tepat di balik pintu kaca yang menyekat antara balkon luar dan sisi dalam kamar. “Anda memanggil saya, Tuan?” Lelaki itu menjawab panggilan. Dia berlutut laya
“Nona ....” Posy memanggil. Dia mendekati Sirena seraya suara kereta kuda terdengar. Sirena menoleh pada kereta kediaman Arsenio yang datang dari arah barat menuju gerbang utama rumahnya. Dia segera bangkit. Begitu pula dengan Shafira yang hendak mengantarnya. “Ibu.” Sirena berjalan berdampingan dengan Shafira menuju kereta kediaman Tuan Arsenio di depan pagar. “Maukah Anda minum teh bersama saya, besok?” Shafira menatap ragu. Dia hanya tidak percaya putri tiri yang selama ini waspada kepadanya, mulai membuka hati. Bahkan mengajaknya minum teh lebih dulu. “Aku tak keberatan. Datanglah ke tempatku besok. Aku akan meminta para pelayan menyiapkan jamuan untukmu,” jelas Shafira dengan mengulas senyum lembut. Sirena mengangguk pelan. Dia mengalihkan tatapannya pada Arsenio yang keluar kereta kuda untuk menuntunnya masuk ke dalam kendaraan miliknya. “Hati-hati.” Shafira mengulas senyum lembut ketika dia dan putri tirinya saling bertatapan. Perubahan Sirena tampaknya tidak terlalu bur
Permaisuri Lister kagum dengan kelakuan kurang ajar Sirena yang mengundang kemeriahan dalam pesta teh yang membosankan. Lister tersenyum lembut. Dia melihat tatapan gelap Arsenio mengardh pada Sirena dengan tajam. “Sekarang nikmatilah pestanya. Semoga kamu bisa berbaur dengan baik, Lady Sirena.” Lister meminta keduanya pergi. Sirena dan Arsenio menunduk hormat untuk terakhir kalinya. Mereka berjalan meninggalkan Permaisuri Lister dengan langkah cepat—lebih tepatnya, Arsenio menarik tangan Sirena keluar dari area perjamuan. Mereka masuk ke dalam taman labirin yang ditumbuhi tanaman bunga mawar merah yang menjalar di sepanjang dinding labirin. “Anda mau pergi sejauh apa, Yang Mulia?” Sirena berucap dengan suara gemetar. Tangannya sakit karena di genggam terlalu kuat oleh Arsenio. Namun tak ada rasa bersalah atau ketakutan dalam mata Sirena. Padahal Arsenio tahu jika wanita itu mengerti akan kemarahan dirinya. Tapi kenapa dia tidak gentar dan meminta maaf? Arsenio melempar diri Si
Arsenio selalu tahu apa yang ingin dia lakukan, dan sekarang yang dia inginkan adalah memukul kepala Arion—putra mahkota kekaisaran Firaz, sekaligus adik sepupu yang telah berani bertindak kurang ajar pada Kakaknya. Terutama karena seorang wanita yang sudah jelas adalah tunangan Arsenio. “Kamu meninggikan suaramu? Di depanku?” Arsenio menatap geram. “Ya, kenapa memangnya? Aku adalah Putra Mahkota Kekaisaran ini. Memang apa yang tidak bisa aku lakukan? Kau hanya seorang Duke, sementara aku—plak!” Arsenio melalukannya. Dia merasa puas melihat wajah kaget Arion setelah mendapatkan pukulan darinya. “Kau memukulku?!” Arion memelototkan mata. Dia melihat beberapa prajurit mulai memasang wajah garang ke arah Arsenio. “Kau—kau kurang ajar!” Pedang di tarik dari sarungnya. Empat orang prajurit menghunuskan pedang ke arah leher Arsenio. “Apa ini?” Sirena terkejut melihat pemandangan runyam di depannya. Dia baru keluar ruangan untuk berpamitan pulang. Namun apa yang dix lihat sekarang? Du
“Nyonya Sirena. Bolehkah saya masuk?” Posy berdiri di depan kamar Sirena dengan membawa nampan berisikan sarapan untuk Nyonyanya. Sementara wanita muda yang berada di dalam kamarnya hanya menunduk dalam tanpa bisa menegakkan punggung dan lehernya dengan baik. Hantu Sirena merasa cemas. Dia tak lagi bisa mengendalikan dirinya. Padahal ini adalah tubuhnya. Namun dia seperti berada di dalam tubuh orang asing yang tak mau menuruti perintahnya. “Tubuh sialan! Milik siapa kau sebenarnya? Aku adalah pemilik aslimu.” Sirena menghardik dalam hati. “Cih, sekarang kau lebih nyaman di isi jiwa wanita kurang ajar itu dari pada diriku? Yang benar saja.” “Nyonya?” Posy mengerutkan kening samar. Dia mendengar seseorang bergumam sendiri di dalam kamar. Dia yakin itu suara Tuannya. Namun jika benar begitu, kenapa Sirena tak menjawab panggilannya? “Apakah Anda membutuhkan bantuan saya?” tanya Posy, sekali lagi. “Letakkan d
“Terima kasih sudah mengantarku.” Pelayan perempuan itu menunduk hormat dan melihat kepergian Ozias beberapa saat, sebelum meninggalkan tempat. Dari kejauhan Ozias bisa melihat lelaki berambut coklat dengan mata biru melihatnya dengan tatapan tertegun. “Ozias?” gumam lelaki itu, senang melihat kawannya. Berbeda dengan lawan bicaranya yang terus menatap dingin—seakan melihat musuh. Melihat itu, Theo paham jika sekarang bukan saatnya berbincang ramah dengan seorang teman. “Aku datang untuk bertemu Kakakku. Dia di dalam, kan?” tanya Ozias, dingin. Theo mengangguk. “Silakan masuk, Tuan. Saya akan mengantar Anda." Ozias hanya mengangguk dan mengikuti langkah Theo yang membawanya masuk ke dalam menara. Mereka menaiki tangga yang akan membawa keduanya ke puncak menara. “Bagaimana keadaan Kakakku?” Nada bicara Ozias melunak. Kini dia tak perlu memasang kewaspadaan tinggi karena hanya ada dirinya dan T
BRAK! Arsenio menghantam meja. Beberapa puing kayu kokoh itu rontok ke atas karpet berbulu. Martell menatap takut. Dia tak pernah melihat Arsenio semarah ini selama satu tahun terakhir. Melihatnya kembali temperamental, tampaknya Nyonya Duchess yang baru selalu berhasil mengendalikan Duke mereka yang pandai mengontrol emosi. “Bisa-bisanya wanita itu membuatku kesal.” Arsenio mengepalkan tangannya semakin kencang. Dua urat menonjol di bawah dagu Arsenio membuat Martell menelan ludahnya susah—dia sangat tegang sekarang. “Yang Mulia, Tuan Frederick akan pergi ke desa untuk mencari informasi kemunculan pada monster.” Martell berusaha mengalihkan topik. Dia berharap Arsenio melupakan masalah Sirena dan fokus pada pekerjaan saja. Setidaknya itu lebih baik dari pada mengingat kenangan buruk yang membuat Tuannya menjadi emosional. “Aku sudah tahu. Frederick menyampaikannya padaku kemarin. Lalu, bagaimana dengan
Posy terdiam beberapa saat. Melihat reaksi Vian dan Cavan yang cukup kebingungan, tampaknya hanya Theo yang bisa melihat sosok menyeramkan itu. “Anda, bisa melihatnya?” tanya Posy, terlihat cukup terusik. Lelaki bermata biru laut itu menganggukkan kepala. “Dari awal. Dalam wujud yang nyata.” Dia melirik ke arah sudut ruangan. “Bahkan sekarang, dia ada di sini—mengawasi kita.” Posy menatap ke beberapa sudut, termasuk sudut yang di lihat oleh Theo dengan tatapan waspada. Sayangnya, dia tidak bisa melihat wanita itu kecuali wanita itu menampakkan diri di hadapannya. “Besok saya akan mengaturkan pertemuan Anda dengan Nyonya.” Posy menatap waspada. “Yang bisa melihat wanita itu secara berkala hanya Nyonya ... jadi, bisakah Anda membicarakan hal ini kembali bersama dengan Nyonya besok?” Theo mengangguk. “Baiklah.” “Nyonya.” Posy membuka gorden dan membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam kamar. Na
Sirena berjalan masuk ke dalam menara tempatnya tinggal dengan langkah sempoyongan. Seperti yang dia duga, Arsenio telah menempatkan banyak pengawal untuk mengawasinya. Bahkan mereka bukanlah pengawal biasa. Karena baik Sirena atau Posy dapat merasakan kekuatan besar di dalam tiga lelaki berpakaian serba hitam itu. “Yang Mulia, Anda kembali?” Vian bergegas mendekat. Sayangnya, langkah Vian harus berhenti saat Posy menghalanginya dari Sirena. “Apa yang Anda lakukan di sini, Tuan Vian?” Posy menatap tajam. Dia terlihat waspada. “Apa Anda di tugaskan menjaga Nyonya Duchess?” Vian menatap dalam diam beberapa saat. Lalu dia tersenyum setelah mengetahui pikiran lawannya. “Ya. Tuan Duke memerintahkan kami—“ “Posy. Sudahlah. Jangan berdebat.” Sirena memijat pelipisnya. “Pergilah ... kamu ingin bertemu dengan Lucas, kan?” Posy menatap ragu. Meninggalkan Tuannya sendirian dalam pengawasan tiga serigala cukup membu
Sirena menatap kaget tumpukan mayat di depan mereka. Begitu pula dengan Posy yang memperlihatkan reaksi yang sama. “Para pelayan mengatakan, bahwa di desa ini terkena wabah hitam. Tiap malam satu keluarga akan mati. Mayat mereka berlumuran darah walau tidak di temukan luka di tubuh mereka,” jelas Posy. Wanita berambut coklat tua dengan mata hijau itu menatap nanar tumpukan mayat manusia dengan bau yang menyengat. “Sungguh aneh,” gumamnya, tidak habis pikir. Suara langkah kaku seseorang membuat kedua wanita muda itu menoleh ke arah sumber suara. Mereka melihat lelaki bertudung hitam ada di dekat tumpukan orang-orang, seakan bersiap membakar mayat-mayat itu dengan obor di tangannya. “Ternyata ada penonton yang datang.” Lelaki berjubah hitam itu menoleh. Dia memperlihatkan wajah tampannya dengan berani. Bahkan tersenyum lembut pada Posy dan Sirena. Posy maju selangkah, menghalangi pandangan lelaki itu dari
“Sepertinya Anda harus bermalam di sini, Nona Posy. Langit mendung tidak mendukung. Jika Anda keluar sekerang, takutnya ... hujan akan turun di tengah jalan.” Oriel berucap dengan cemas. Dia menatap wanita bermata hijau itu naik ke atas kuda sambil memeluk Tuannya yang selesai mendapat pengobatan—walau dia belum sadar sepenuhnya. “Tidak.” Posy menjawab dengan tegas. Dia menatap lembut pada wanita muda berusia satu tahun lebih muda darinya. Lantas tersenyum. “Duke akan mencari kami jika seperti itu ... dan bisa saja, kalian dalam bahaya setelahnya.” Oriel tidak memaksa. Keadaannya memang tidak terlalu baik setelah dia memaksakan diri menyembuhkan Sirena dalam satu waktu. “Kalau begitu, izinkan saya mengantar Anda sampai keluar Hutan.” Ivander keluar dari dalam dengan membawa tombak. “Saat malam, hutan ini akan tetap berbahaya untuk seorang wanita yang cukup kuat. ” Posy tidak membantah. Saat bahaya menimpa, dia tid
“Ke mana kau akan membawanya?” Sosok wanita bersurai pirang dengan mata hitam mengikuti laju kuda Posy dengan kaki melayang. Sosok menyeramkan itu kembali menampakkan diri. Lagi-lagi juga terlihat perhatian pada Sirena. “Kenapa Anda selalu menunjukkan perasaan khawatir?” Posy tak menatapnya. Dia takut. Tapi juga penasaran dengan identitasnya. Hantu bukan hal yang mudah di percaya. Namun setelah melihatnya beberapa kali, Posy yakin jika mereka memang ada—hidup berdampingan dengan kita—seperti yang pernah di katakan oleh Sirena kecil enam tahun yang lalu. “Karena aku mengkhawatirkannya.” Wanita itu menjawab dengan nada serak—suaranya tidak terlalu jelas, namun Posy masih mengerti apa yang sedang dia katakan. “Begitukah?” Posy menatapnya beberapa saat—dengan harapan hantu itu tidak menoleh dan menampakkan wajahnya. “Kenapa Anda memiliki perasaan seperti itu pada Nyonya?” Hantu perempuan itu tertawa. Tawa ya
Ivander mendengar tapak kaki kuda dari kejauhan. Kali ini dia sedang memungut kayu untuk membuat kayu bakar dan memasak. Namun saat dia mendengar suara tak kaki kuda yang mendekat ke arahnya, dia segera memasang posisi bertarung—mengarahkan belati yang dia genggam ke arah depan. “Nona Posy?” Ivander bergumam saat melihat wanita itu melewatinya dengan wajah muram. Wanita muda itu tampak tergesa. Dia memacu kudanya sangat kencang sampai mendatangkan badai debu di sepanjang jalan yang telah dia lalui. “Apa yang membuatnya seperti itu?” gumam Ivander, bergegas mengumpulkan kayu dan menyusul Posy. “Tampaknya dia datang untuk bertemu Kakak,” gumam Ivander, mempercepat langkahnya. Sesampainya di pondok, Ivander melihat dua wanita muda itu tampak tergesa-gesa menyiapkan beberapa barang dan hendak pergi meninggalkan tempat. Ivander menatap keduanya dengan tatapan bertanya-tanya. “Apa yang kalian lakukan? Apa kalian ingin p