“Bagaimana keadaan wanita itu?”
Tuan Orlando menatap Senna dan Posy yang berdiri di depannya dalam sikap hormat dengan tatapan dingin—penuh penekanan.“Nona tidak keluar dari kamarnya sejak insiden Tuan Muda Ozias, Tuan Count.” Senna menjawab dengan patuh.Sementara Posy hanya diam dan memperhatikan ekspresi Orlando. Lelaki tua itu terlihat geram karena perilaku cucunya.“Panggil dia ke sini.” Orlando menatap tegas. “Jika dia tidak mau. Seret saja dia ke sini. Bagaimana pun caranya, bawa anak manja itu ke hadapanku sekarang!”“Baik, Tuan Count.”Senna dan Posy berjalan pergi meninggalkan tempat mereka. Tiga orang pengawal mengikuti mereka sesuai arahan Orlando untuk menyeret Sirena ke hadapannya.Belum sampai di ujung pintu kamar Nona Sirena, mereka melihat wanita itu keluar dengan pakaian tidurnya.Dia hanya menyisir rambut panjangnya agar terlihat lebih rapi dan menutup pundaknya dengan selendang sutra berwarna ungu muda.“Nona, Tuan Count memanggil Anda ke ruangannya,” ucap Sir. Robin menatap Sirena dengan sikap hormat.Kepala ksatria yang hanya tunduk dengan Kakeknya itu menatap Sirena dengan begitu dingin dan angkuh.Namun Sirena tidak terprovokasi dan tetap tenang menghadapi sikap angkuh bawahannya.“Begitukah?” jawab Sirena dengan suara lirih dan lemah. “Kalau begitu bawa aku pada beliau.”Sir. Robin mengulurkan tangannya. Dia berencana menuntun Sirena yang terlihat lemah untuk berjalan santai menuju ruangan Count Orlando.“Terima kasih, Sir. Saya baik-baik saja.”Sirena menolak bantuan itu secara halus sebelum melalui tubuh kekar kepala ksatria kediaman Sharon itu.Sir. Robin dan dua ajudan lainnya mengikuti langkah Sirena dengan patuh—menjaganya dengan baik dari belakang.Langkah Sirena terhenti saat dia melihat hamparan taman bunga Gladius di sisi kanan lorong terbuka yang dia lewati.“Nona?” Sir. Robin menatap wajah sendu Sirena saat melihat hamparan bunga tersebut. “Apakah Anda ingin membawa beberapa tangkai untuk Tuan Orlando? Beliau pasti akan senang.”“Senang?” Sirena menoleh pada kepala ksatria kediaman Sharon itu dengan ekspresi datar. “Bukankah Kakek membenciku?”Para ksatria tercengang. Mereka tidak menyangka jika Nona Sirena yang tidak tahu diri dan terus mengejar cinta Kakeknya, hari ini akan sedikit sadar diri.“T-tentu saja tidak, Nona. Tuan Count sangat menyayangi cucunya,” jelas Sir. Robin berusaha mencairkan suasana canggung itu.Sirena hanya membuang napas lembut secara perlahan dan melanjutkan perjalanannya menuju bangunan utama. Tempat Kakek dan semua keluarganya tinggal.Setelah bangun untuk ketiga kalinya sebagai seorang Sirena Egberta, Lonie Karia sadar jika Sirena adalah anak yang tidak di sayang oleh keluarganya.Walau semua itu terjadi karena sikap Sirena yang menyebalkan. Tapi akar kebencian dan sikap tidak tahu diri Sirena berasal dari sikap acuh keluarganya sendiri.“Sekarang mau menyalahkan siapa? Semua ini berawal dari sikap pilih kasih mereka sendiri,” pikir Sirena berulang kali saat mengingat dia adalah anggota Sharon yang terkucilkan.“Tuan Count sudah menunggu Anda di dalam, Nona Sirena.”Madam Geneva menyambut kedatangan Sirena dengan wajah ketus serta nada bicara yang terdengar sarkas. Wanita itu sama sekali tidak menghormati Sirena dan itu sangat wajar karena Sirena adalah anggota keluarga yang terbuang.“Tuan Count, Nona Sirena telah tiba,” seru Madam Geneva dari luar pintu.“Suruh dia masuk!”Madam Geneva membuka pintu. Dia membiarkan Sirena masuk ke dalam ruangan seorang diri.“Saya datang, Kakek.”Sirena memberi salam. Dia menunduk layaknya seorang putri dengan sikap sempurna.Orlando sedikit terkejut melihat sikapnya. Padahal wanita itu tidak pernah melakukan hal tersebut sebelumnya. Lalu ada apa dengannya hari ini?“Kemarilah dan terima ini.”Orlando memberikan sebuah surat dan undangan pesta dari kekaisaran. Lebih tepatnya, pesta teh yang di gelar oleh Tuan Putri Elvira.“Aku dengar kamu selalu mengikuti Putri Ke empat dengan baik. Kali ini undangan ini datang darinya.” Orlando menatap Sirena yang tampak tenang saat membaca isi surat tersebut. “Walau kesehatanmu kurang baik, tapi kamu tetap harus datang demi keluarga kita.”“Ya, mencari nama memang penting,” gumam Sirena lirih.“Apa kau bilang?!” teriak Tuan Orlando murka.Namun Sirena hanya menatap Kakeknya dengan ekspresi datar tanpa gemetar ketakutan walau sudah di bentak lantang seperti itu.“Tidak. Saya akan datang ke pesta teh Tuan Putri.” Sirena menunduk hormat. “Kalau begitu saya pergi sekarang, Kakek. Selamat menikmati sisa hari Anda.”Setelah mengucap hal tersebut Sirena membalik tubuhnya dan berjalan pergi meninggalkan ruang kerja Tuan Orlando dengan tenang.Bahkan langkah anggun dan sikap dewasa itu meninggalkan kesan mendalam pada Kepala Keluarga Sharon yang terus tercengang di buatnya.“Ada apa dengan anak itu?” Orlando menopang kedua sikunya di atas meja dan menyatukan tangannya di depan dagu. “Dia aneh.”“Madam Geneva.”Wanita berusia empat puluh tahun itu segera masuk ke dalam ruangan untuk bertemu pemilik kediaman Sharon.“Ya, Tuan Count.”“Awasi Sirena dengan baik. Tempatkan seorang dayang di kediamannya untuk mengawasi cucuku.”Madam Geneva diam-diam melirik tajam pada Tuan Orlando yang terlihat peduli pada Sirena. Ada kecurigaan dan ketidaksenangan muncul di dalam hatinya.Namun yang bisa dia lakukan hanya patuh pada perintah lelaki tua itu tanpa membangkang.“Baik, Tuan.”Setelah pergi ke ruang kerja Orlando, kini Sirena kembali ke taman bunga Gladius. Dia ingin menikmati angin sejuk di bawah pohon Lilac yang ada di tengah-tengah taman bunga Gladius tersebut.“Nona, Anda ingin pergi memetik—““Kamu boleh kembali Sir. Robin. Aku akan di sini sebentar untuk mencari angin.” Sirena menatap lelaki itu beberapa saat. “Aku akan kembali ke kamarku setelah cukup beristirahat.”Sir. Robin diam di tempat. Dia tidak mengikuti Sirena, melainkan hanya melihatnya menjauh dalam diam.“Komandan, bukankah Nona Sirena sedikit aneh? Saya tidak pernah melihatnya begitu tenang seperti hari ini.” Salah seorang ksatria yang ada di belakang punggungnya berucap dengan nada lirih.Lelaki bermata kuning dengan surai merah cepat yang sedikit menutup bagian alisnya itu terlihat penasaran.“Aku juga heran." Sir. Robin menghela napas gundah. Tapi ini bukan hal buruk, jadi biarkan saja. Sebaiknya kamu beri tahu dayang Nona Sirena tentang keberadaannya. Sementara aku akan kembali lebih dulu.”“Baik, Komandan.”Sirena duduk di bawah pohon Lilac dan memejamkan matanya. Angin yang berembus lembut menyapu permukaan kulitnya terasa sangat menenangkan.“Damai. Inilah kedamaian,” gumamnya lirih sambil mengulas senyum lembut yang tampak puas.“Tapi—“Sirena membuka mata dan melihat Tuan Arsenio berdiri di depannya dengan tatapan sarkas—entah dari mana datangnya lelaki itu.“Ketenangan saya hancur karena tatapan intimidasi Anda, Tuan Duke!” keluhnya sambil membuang napas kasar nan panjang.Arsenio tidak kunjung memberikan dalih. Lelaki itu hanya diam dan mengamati Sirena dengan tatapan intens.“Anda sakit, bukan?” Arsenio beranjak duduk di samping Sirena. “Bukannya angin kencang ini tidak baik untuk tubuhmu?”Sirena kembali memejamkan mata, tampak tidak terganggu dengan tatapan sinis Arsenio.“Oho! Kamu mengacuhkan aku?”“Fuhh ... terlalu lama berada di dalam kamar juga tidak baik untuk kesehatan. Karena itu, tidak bisakah Anda pergi? Saya ingin sendirian menikmati ketenangan.”Arsenio tidak beranjak dari posisinya. Dia malah menarik bahu Sirena sampai gadis itu tertidur di atas pahanya.“Apa yang Anda—““Aku tidak akan berisik.”Arsenio menyela perkataan wanita itu. Dia menatap lembut pada Sirena yang melempar tatapan permusuhan.“Jadi jangan memintaku pergi, mengerti?”Sirena memejamkan matanya. Ia benar-benar terlelap dengan nyaman di pangkuan Arsenio. Bahkan lelaki itu ikut tertidur sampai tidak kenal waktu. “Pemandangan langka apa yang aku lihat ini Nona Posy?” Tuan Sand, ajudan pribadi Duke Arsenio berdiri di tepi lorong terbuka yang menghubungkannya pada pemandangan taman bunga Gladius. Dia terpana melihat kedekatan Tuan dan tunangannya di depan sana. Posy yang berdiri di samping Sand, juga menatap ke arah yang sama—dengan tatapan terkejut yang sama. Tuan Duke Arsenio yang tidak pernah akur, atau bahkan tidak ingin berlama-lama menatap Nona Sirena, kini sedang tertidur pulas sambil memangku kepala Nona Sirena sedang tertidur? “Pemandangan yang terlalu langka, Tuan Sand. Saya juga baru pertama kali melihat Nona Sirena dan Tuan Duke sangat akur seperti hari ini. Biasanya, mengharapkan ketenangan saat keduanya bertemu saja saya tidak berani. Tapi sekarang, sepertinya hubungan mereka telah membaik,” sahut Posy. “Bagaimana ini?!” Tuan Sand mel
Sirena melihat Mr. Sand turun dari kereta kuda dan mendekat. Lelaki itu sedikit membungkuk untuk memberi salam. "Selamat siang, Nona. Semoga Dewa El selalu memberkati Anda." Dia kembali pada posisi tegap tanpa mengangkat kepala. “Maaf atas keterlambatan kami, Nona. Namun Tuan Duke tidak bisa menepati janji karena ada pekerjaan mendesak.” Lelaki itu berbicara dalam sikap hormat. Dia bahkan tidak berani melirik ke arah Sirena dan Sir. Einar yang terlihat geram. “Jadi begitu.” Sirena membuang napas panjang dan melihat beberapa peti yang di turunkan oleh kusir. Raut wajahnya yang terlihat tenang membuat Sir. Einar berperasangka jika Tuannya sudah tahu hal ini akan terjadi. “Lalu apa yang datang bersamamu, Mr. Sand?” tanya Sirena. “Duke Arsenio merasa tidak enak hati karena tidak bisa menepati janji. Karena itu beliau mengirimkan beberapa hadiah dan sepucuk surat untuk Anda.” “Dasar gila!” Sir. Einar memekik kesal. “Kau tahu berapa lama Nona menunggu kedatangan Tuan Duke?” Mr. S
“Yang Mulia, saya harap Anda tidak lupa janji Anda kemarin.” Tuan Sand tersenyum penuh arti. Sementara lelaki muda berusia dua puluh satu tahun yang baru saja bangun dan langsung di todong dengan fakta menyakitkan itu hanya menguap, lalu menatap datar ajudannya. “Jika kau mengingatkan aku tanpa bergerak, aku akan membuat wanita itu menunggu lama seperti kemarin.” Arsenio beranjak turun dari ranjang. Ia berjalan mendekat meja kecil di samping ranjang dan menuang segelas air untuk dia minum. Tuan Sand tersenyum melihat respons datar tanpa niat itu. “Baik. Saya akan segera panggil pelayan untuk membantu Anda bersiap dan menyiapkan kereta kuda.” Arsenio mengangguk. Dia melihat kepergian Sand dengan acuh tak acuh. “Vian.” Arsenio memanggil. Seorang lelaki berpakaian serba hitam dengan topeng menutup sebagian wajahnya berdiri tepat di balik pintu kaca yang menyekat antara balkon luar dan sisi dalam kamar. “Anda memanggil saya, Tuan?” Lelaki itu menjawab panggilan. Dia berlutut laya
“Nona ....” Posy memanggil. Dia mendekati Sirena seraya suara kereta kuda terdengar. Sirena menoleh pada kereta kediaman Arsenio yang datang dari arah barat menuju gerbang utama rumahnya. Dia segera bangkit. Begitu pula dengan Shafira yang hendak mengantarnya. “Ibu.” Sirena berjalan berdampingan dengan Shafira menuju kereta kediaman Tuan Arsenio di depan pagar. “Maukah Anda minum teh bersama saya, besok?” Shafira menatap ragu. Dia hanya tidak percaya putri tiri yang selama ini waspada kepadanya, mulai membuka hati. Bahkan mengajaknya minum teh lebih dulu. “Aku tak keberatan. Datanglah ke tempatku besok. Aku akan meminta para pelayan menyiapkan jamuan untukmu,” jelas Shafira dengan mengulas senyum lembut. Sirena mengangguk pelan. Dia mengalihkan tatapannya pada Arsenio yang keluar kereta kuda untuk menuntunnya masuk ke dalam kendaraan miliknya. “Hati-hati.” Shafira mengulas senyum lembut ketika dia dan putri tirinya saling bertatapan. Perubahan Sirena tampaknya tidak terlalu bur
Permaisuri Lister kagum dengan kelakuan kurang ajar Sirena yang mengundang kemeriahan dalam pesta teh yang membosankan. Lister tersenyum lembut. Dia melihat tatapan gelap Arsenio mengardh pada Sirena dengan tajam. “Sekarang nikmatilah pestanya. Semoga kamu bisa berbaur dengan baik, Lady Sirena.” Lister meminta keduanya pergi. Sirena dan Arsenio menunduk hormat untuk terakhir kalinya. Mereka berjalan meninggalkan Permaisuri Lister dengan langkah cepat—lebih tepatnya, Arsenio menarik tangan Sirena keluar dari area perjamuan. Mereka masuk ke dalam taman labirin yang ditumbuhi tanaman bunga mawar merah yang menjalar di sepanjang dinding labirin. “Anda mau pergi sejauh apa, Yang Mulia?” Sirena berucap dengan suara gemetar. Tangannya sakit karena di genggam terlalu kuat oleh Arsenio. Namun tak ada rasa bersalah atau ketakutan dalam mata Sirena. Padahal Arsenio tahu jika wanita itu mengerti akan kemarahan dirinya. Tapi kenapa dia tidak gentar dan meminta maaf? Arsenio melempar diri Si
Arsenio selalu tahu apa yang ingin dia lakukan, dan sekarang yang dia inginkan adalah memukul kepala Arion—putra mahkota kekaisaran Firaz, sekaligus adik sepupu yang telah berani bertindak kurang ajar pada Kakaknya. Terutama karena seorang wanita yang sudah jelas adalah tunangan Arsenio. “Kamu meninggikan suaramu? Di depanku?” Arsenio menatap geram. “Ya, kenapa memangnya? Aku adalah Putra Mahkota Kekaisaran ini. Memang apa yang tidak bisa aku lakukan? Kau hanya seorang Duke, sementara aku—plak!” Arsenio melalukannya. Dia merasa puas melihat wajah kaget Arion setelah mendapatkan pukulan darinya. “Kau memukulku?!” Arion memelototkan mata. Dia melihat beberapa prajurit mulai memasang wajah garang ke arah Arsenio. “Kau—kau kurang ajar!” Pedang di tarik dari sarungnya. Empat orang prajurit menghunuskan pedang ke arah leher Arsenio. “Apa ini?” Sirena terkejut melihat pemandangan runyam di depannya. Dia baru keluar ruangan untuk berpamitan pulang. Namun apa yang dix lihat sekarang? Du
“Anda tidak bisa melakukannya, kan?" Arsenio tersenyum penuh kemenangan. Melihat wajah kebingungan Elvira membuatnya sangat bahagia. “Karena Anda tak bisa menghukum Putra Mahkota negeri ini, jadi saya akan pamit lebih dulu bersama dengan tunangan saya.” Arsenio menunduk sejenak. “Semoga berkat Dewa Zeus menyertai bintang kekaisaran.” Setelah mengucap hal itu, Arsenio membalik tubuhnya dan mengajak Sirena pergi meninggalkan lorong utama bangunan paviliun bulan—tempat perjamuan teh milik Putri Elvira di adakan. “Bukannya Anda terlalu keras pada Putri Evira? Bagaimana pun juga, dia masih belum dewasa.” Sirena berusaha membela dan mencari simpatik Arsenio. Setelah mereka keluar dari bangunan perjamuan, wajah Arsenio benar-benar berubah menjadi flat seakan dia tak memiliki emosi. “Umurmu dan Putri Elvira itu selaras. Jika kamu bisa bertindak dewasa, harusnya dia juga bisa melakukan hal yang sama.” Arsenio membantah dengan pandai. Dia bahkan mematahkan semangat Sirena untuk menyatukan
Sirena merasakan tarikan kuat diujung rambutnya. Dia yang semula tertidur pulas sontak membuka mata lebar melihat seorang anak kecil tanpa bola mata terkikik menertawakan wajah terkejutnya. Oh, ini pertama kalinya baik “Lonie” atau tubuh Sirena melihat hal mengerikan. Biasanya tak pernah. Bukan! Tapi memang tak bisa melihat hal mengerikan seperti “hantu” ini. “A-akkhhhhhh ....” Brak! Sir. Einar dan dua orang penjaga bawahannya masuk dengan wajah setengah sadar. Mereka yang tak sengaja tertidur seketika itu sadar setelah mendengar teriakan Sirena yang lantang. Bahkan setelah tiga pengawal itu masuk, kini Gracio dan Ozias menyusul masuk dengan wajah panik. “Kenapa?” Gracio menatap Sirena yang duduk di atas ranjang dengan wajah pucat. Meringkuk memeluk tubuhnya yang gemetar ketakutan. Sirena menatap lima orang lelaki yang berdiri di depan pintu kamar bagian dalam. Melihat wajah mereka yang murni khawatir pada dir