“Tapi secara sembunyi-sembunyi. Aku gak mau ada yang tahu soal pernikahan kita. Setelah menikah kamu bisa tinggal di sini bersamaku.” Adam menjeda ucapannya, ia bisa melihat luka itu di kedua mata Elina. “Tapi … kalau Istriku sudah kembali pulang ke rumah ini. Maka bersikaplah seperti layaknya seorang pembantu, dan jangan pernah tunjukkan kalau kita ada hubungan. Aku gak mau pernikahan kita diketahui istri pertamaku, dan membuat hatinya terluka.”
Elina meremas kuat ujung sofa dekatnya duduk. Hatinya benar-benar sakit mendengar setiap kata yang Adam ucapkan barusan. Matanya terasa panas dengan dada menyesak, seperti ada yang menghantamnya dengan batu besar. Wanita itu menggigit bibir bawahnya guna menahan tangisnya agar tidak meledak. Sungguh, hatinya hancur dan kecewa. “El, ini adalah keputusan besar. Kamu bisa pikir-pikir dulu. Apa kamu bisa hidup satu atap denganku dan bersama istriku yang lain? Meskipun kamu juga istriku, tapi kamu hanya akan dianggap sebagai pembantu di rumah ini,” lanjut Adam berusaha mempengaruhi pikiran Elina. “Kalau kamu memilih uang, aku akan belikan rumah juga untukmu. Akan kupastikan hidupmu terjamin, kamu bisa membesarkan anak itu dengan baik. Lagian, kamu masih muda El, masih banyak yang mau denganmu.” Elina memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. “Aku ingin kamu tanggung jawab, Adam!” balas Elina pelan tapi menusuk. Suaranya bergetar lantaran menahan tangis dan emosi. “Aku bersedia menikah siri.” Mendengar itu, Adam pun melengos dengan wajah memerah. “Apa kamu yakin itu bayiku?!” tanya Adam kemudian, tanpa menatap Elina. Deg. Elina tak percaya Adam akan meragukan janin yang ada di dalam rahimnya saat ini. “A-apa maksudmu, Mas?! Kamu nggak percaya sama aku?! Aku bahkan cuma melakukan sekali sama kamu! Jahat kamu Mas!” ucap Elina dengan kedua mata berkaca dan wajah memerah lantaran amarah. “Jangan jadi lelaki pengecut, Mas! Kamu yang merayuku! Kamu pula yang berjanji akan bertanggung jawab! Kalau kamu nggak merayu … aku pasti ….” “Cukup!” potong Adam mengangkat tangan ke udara dengan wajah merah padam. Lelaki itu tersinggung dikatain pengecut oleh Elina. “Aku bukan nggak percaya! Aku cuma ragu! Kita cuma melakukannya sekali, El! Mustahil rasanya kalau kamu langsung hamil!” lanjut Adam dingin. “Nyatanya aku hamil, Mas! Nggak ada yang mustahil kalau Tuhan sudah berkehendak!” sabar Elina dengan cepat. Hatinya benar-benar sakit mendapat penyangkalan dari Adam. Adam menghela napas besar dengan perasaan kacau. Tidak pernah terbayangkan olehnya akan berada diposisi seperti ini. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Bahkan, istrinya pun saat ini sedang hamil. Ini benar-benar rumit, hingga kepalanya rasa-rasanya mau pecah memikirkannya. “Ok, kalau kamu ingin aku menikahimu,” kata Adam mengangguk-anggukkan kepala dengan wajah datarnya. “Aku akan menikahimu, El. Meskipun aku masih ragu itu bayiku! Tapi, aku harap kamu bisa cukup sadar diri. Jangan pernah menuntut apapun dariku, karena aku pastinya nggak akan bisa berlaku adil. Di depan istri pertamaku, kamu adalah pembantu di rumah ini!” ** Tiga hari telah berlalu, pernikahan sederhana yang hanya disaksikan oleh keluarga Elina pun akhirnya terlaksana juga. Pernikahan itu, diselenggarakan di kediaman bibi Elina beberapa jam yang lalu. Kini, Adam dan Elina sudah sah menjadi suami istri. Dan Adam pun langsung memboyong Elina ke kediamannya. "Istirahatlah. Kamu pasti capek," ucap Adam setelah sampai di rumahnya. Adam menatap barang-barang bawaan Elina lalu berkata. "Bawa barang-barangmu ke kamar belakang. Ada kamar kosong bersebelahan dengan kamar Bibi," beritahu Adam menatap wajah Elina sekilas. Tak ayal, kata-katanya itu berhasil membuat hati Elina berdenyut nyeri. Dia dirumah suaminya hanya dianggap sebagai seorang pembantu. "Maaf, aku nggak bisa bantu, aku buru-buru mau pergi ke kantor," lanjut Adam seraya melihat arloji yang melingkar di tangan kirinya. Seolah dia sedang diburu-buru oleh waktu. Elina menatap wajah Adam dengan perasaan sedih. "Ya Mas. Gak papa kok, aku bisa sendiri," balas Elina dengan tersenyum getir. Tidak dapat dipungkiri dadanya terasa sesak, seperti terhimpit sesuatu. Tetapi karena semua ini adalah keputusannya sendiri, Elina pun berusaha untuk lapang dada. Adam pun naik ke lantai dua untuk berganti pakaian. Sedangkan Elina menyeret kopernya menuju kamar sesuai petunjuk Adam dengan hati teriris. “Sabar El, sabar. Demi bayimu kamu harus kuat,” lirih Elina dalam hati dengan perasaan sedih luar biasa. Bahkan, kedua matanya sudah terasa panas, siap meluncurkan cairan bening. Akan tetapi, dia menahannya sekuat tenaga agar tidak terus-menerus menangisi nasibnya yang sangat menyedihkan itu. Sore harinya, terdengar deru mobil yang berhenti di garasi. Elina pun segera keluar untuk menyambut kedatangan Adam. Namun, langkah kaki wanita itu langsung terhenti, ketika menyadari kedatangan Adam tidak sendiri, ia bersama seorang wanita cantik menggandeng lengannya. Elina berdiri mematung di dekat sofa ruang tamu dengan tatapan nanar dan hati berdenyut nyeri. Wanita cantik dengan balutan dres warna hijau botol sepanjang lutut, memiliki lengan pendek balon. Kini tengah menggandeng lengan Adam dengan wajah ceria. Namun, wajahnya langsung berubah saat menyadari keberadaan Elina di rumah itu. "Siapa dia Mas?" Wanita itu menoleh, menatap Adam untuk meminta penjelasan. Deg. Adam menelan salivanya melihat Elina ada di ruang tamu dan langsung mendapat pertanyaan itu dari wanita cantik di sebelahnya. Lelaki itu pun mendadak gugup. “Di-dia … pekerja baru. Ya, pekerja baru,” bohong Adam dengan kedua mata yang tak sengaja beradu pandang dengan Elina. Wanita itu terlihat tengah meremas sisi baju yang dikenakan saat ini. Sedetik kemudian Adam menoleh, menatap wanita cantik di sebelahnya dengan bibir tersenyum lebar untuk menutupi kegugupannya. “Mas nambah asisten rumah tangga untuk bantu-bantu Bibi, sayang. Kasihan Bibi kerja sendiri,” lanjut Adam beralibi. Wanita itu sempat mengernyitkan dahi dengan wajah berpikir. Lalu menoleh, menatap Elina dengan mata menyipit. “Siapa namamu?” tanyanya dengan wajah mengintrogasi. “E-Elina,” jawab Elina gugup seraya menundukkan kepala. “Pantas Mas Adam lebih memilih dia, dia begitu sangat cantik, dan tubuhnya begitu terawat,” batin Elina dalam hati. Mendadak ia pun merasa insecure. "Aku Istrinya Mas Adam! Aku adalah Nyonya di rumah ini," ucap wanita itu saat Elina masih terdiam di tempatnya berdiri. "Namaku Milea. Panggil aku Nona Lea, atau Nyonya Adam," lanjut Milea atau yang sering dipanggil Lea. Wanita itu menunjukkan wajah tak suka pada Elina karena pembantu itu memiliki paras cantik dan masih muda. Mendengar itu, Elina hanya mampu mengangguk pelan. Tatapan Milea menajam pada Elina yang masih menunduk, lalu ia kembali berkata, “kelihatannya kamu masih sangat muda, kenapa nggak cari pekerjaan lain saja?! Parasmu juga lumayan, bila melamar di toko-toko pasti akan diterima," kata Milea dingin. Pandangannya itu tidak lepas sedikitpun dari Elina. Hal itu membuat Elina semakin menundukkan wajahnya saja karena kegugupannya bertambah. Ia merasa seperti tengah diinterogasi oleh Milea. “Ingat ya, kamu di sini adalah pembantu! Meskipun parasmu lumayan cantik, tapi awas saja kalau kamu bersikap genit sama suami aku!” lanjut Milea dengan suara begitu tegas. Glek. Adam menelan saliva mendengar peringatan keras Milea pada Elina. Sementara Elina semakin menundukkan wajah, wanita itu menatap lantai dengan hati berdenyut sakit. “Kamu juga, Mas. Cari pembantu kok yang masih muda!” cetus Milea sembari menatap Adam dengan tatapan penuh selidik. “Banyak kasus di luar sana, majikan laki-laki punya skandal dengan pembantunya. Awas aja kalau kamu begitu!” lanjut Milea.Adam gelagapan mendapat tatapan sang istri penuh selidik dengan wajah terlihat dingin seperti itu. “Mmm, Mas juga nggak tau kalau dia masih muda, sayang. Mas cuma menyuruh Bibi untuk mencari satu orang lagi buat kerja di sini,” kata Adam, terpaksa berbohong. Ia berharap Milea percaya dengan keterangan yang dibuatnya itu. Adam tak mau istrinya menaruh rasa curiga padanya. Milea pun membuang napas kasar. “Ya sudah kalau begitu. Awas kamu kalau berani macam-macam di belakang aku,” ancam Milea dengan wajah tegasnya. “Tidak akan, percaya sama Mas. Mas nggak akan tergoda sama pembantu,” balas Adam dengan cepat. Membuat hati Elina berdenyut nyeri mendengarnya. “Mas sangat mencintaimu, sayang. Mas sangat bersyukur bisa memilikimu. Mana mungkin Mas menduakanmu?! Apalagi sama pembantu, yang jelas-jalas beda level sama kita,” tambah Adam meyakinkan. Mendengar itu Melia pun tersenyum tipis pada akhirnya. Sementara Elina berdiri dengan tubuh menegang. Kata-kata yang terlontar dari mulut suam
"Elina!" panggil Milea pada Elina yang sedang menyapu halaman rumah besar milik Adam. Dalam hati dia terus merutuk, kenapa Adam merekrut pembantu yang masih muda dan memiliki paras cantik seperti Elina. Kenapa bukan yang tua saja seperti Bibi pikirnya. Elina pun langsung menoleh, seketika itu Milea melambaikan tangan kanannya, meminta Elina untuk mendekat. “Iya, Non,” jawab Elina mengangguk patuh. Ia menghentikan aktivitasnya. Lalu menyimpan sapunya lebih dulu sebelum menghampiri Milea yang berdiri di teras rumah. Milea menatap Elina yang mendekat dengan tatapan penuh arti. "Pakaikan sepatu," suruh Milea seraya menjatuhkan sepasang sepatu dari tangan kirinya, sepatu itu jatuh tepat di hadapan Elina. Setelah itu Milea mendudukan tubuhnya di kursi yang ada dengan wajah terlihat angkuh. Kedua mata Elina terpana, menatap sepasang sepatu warna putih itu dengan hati berdenyut nyeri. Dia benar-benar dijadikan pembantu di rumah suaminya ini. Bahkan, kakak madunya itu tak segan-segan me
Elina terdiam dalam kebingungan. “Bukannya tadi Mas Adam sudah pergi, sama Milea?!" batin wanita itu sembari berpikir. Ia juga buru-buru menghapus air matanya dengan cepat karena takut Adam membuka selimutnya. Bukan apa, dia tidak mau terlihat lemah dihadapan lelaki itu. Sementara itu, Adam segera mendekati Elina yang kini terdiam di balik selimut. Ia duduk di tepi ranjang, lalu perlahan membuka selimut yang menutupi wajah Elina dengan gerakan pelan. Tidak dapat dipungkiri, ada perasaan cemas saat mendengar Elina mengaku sedang pusing. "El. Apa kamu sakit?" tanyanya lagi saat melihat kedua mata Elina tengah terpejam. Suaranya itu terdengar khawatir, membuat hati Elina berdesir mendengarnya. Adam menajamkan penglihatannya saat menyadari kedua mata Elina terlihat sembab. Tanpa bertanya pun, dia sudah bisa menyimpulkan, jika wanita itu habis menangis. Lelaki itu pun menghela napas serta menatap wajah Elina dengan perasaan campur aduk. Perlahan tangan kanan Adam terulur, untuk meny
"Non El," panggil Bibi melihat Elina melangkah dengan tatapan kosong. Bibi menatap Elina dengan wajah cemas. Ia menebak, pasti sudah terjadi sesuatu pada Elina hingga wanita itu terlihat sangat rapuh saat ini. Elina sama sekali tidak menoleh, atau menghentikan langkah kakinya. Namun, dia tetap menjawab panggilan itu. "Aku baik-baik saja," kata Elina dengan suara serak. Kemudian ia mempercepat langkah kakinya untuk menuju kamar. Brak. Elina menutup daun pintu kamarnya sedikit kasar. Air matanya merembes membasahi pipi dengan dada begitu sesak. Bruk. Tubuhnya luruh ke lantai dengan perasaan hancur-sehancurnya. Bugh. Bugh. Bugh. Wanita itu menepuk-nepuk dadanya yang terasa begitu sesak luar biasa. Hatinya sungguh sakit melihat Adam sang suami begitu hobi menyentuh kakak madunya. Sementara pada dirinya … lelaki itu seperti enggan menyentuhnya. "Apa tubuhku gak menarik seperti punya Milea, Mas?" lirihnya dengan suara bergetar dan hati berdesir sakit. Adam bisa melak
Berkat minum obat dan juga vitamin dari dokter tubuh Elina kini sudah sehat kembali. Wanita itu kini sedang menjalankan perannya sebagai seorang pembantu di rumah besar Adam. Terlihat ia sedang mengepel lantai granit rumah suaminya dengan telaten. Milea keluar dari kamar dengan rambut yang masih sedikit basah. "Elina." Milea menghentikan langkah kakinya saat melihat Elina sedang mengepel anak tangga. Seketika itu Elina mendongak, menatap Milea yang berdiri di atasnya. Posisinya saat ini Milea berdiri di lantai dua ujung tangga. Sementara Elina berdiri di tengah-tengah anak tangga. "Ya Non," sahut Elina dengan hati berdesir perih. Lagi-lagi ia harus melihat banyaknya tanda cinta di tubuh Milea, kakak madunya itu. Milea menatap wajah Elina dengan hati amat kesa
Adam menggendong tubuh Milea dengan langkah tergesa. "Tolong Istri saya!” teriak Adam saat tiba di rumah sakit. Para petugas yang melihat kehadiran Adam bersama Milea dalam gendongannya pun langsung sigap membantu. Tubuh Milea dibaringkan di atas brankar, lalu didorong masuk ke dalam ruang UGD. Milea meringis, meremas perutnya yang terasa sangat sakit dengan wajah banjir keringat. "Sakit Mas. Perutku sakit," lirih Milea di sela isak tangisnya. Sepanjang jalan tadi wanita itu terus menangis dan merintih kesakitan. Membuat Adam semakin panik luar biasa. Adam menatap sang istri dengan wajah cemasnya. "Sabar ya sayang. Dokter akan segera membantu,” kata Adam berusaha menenangkan. Meskipun, dirinya sendiri tengah khawatir saat ini. Ia menggenggam jemari Milea untuk memberikan kekuatan dan sesekali mengecupnya dengan penuh pe
Milea belum dibolehkan pulang, kondisinya masih dalam pantauan dokter karena tadi sempat pendarahan lagi setelah di kuret. Wanita itu, kini sudah dipindahkan ke ruangan VIP yang disewa oleh Adam. Melihat Milea yang sudah tertidur dengan pulas. Adam pun memutuskan untuk pulang ke rumah sebentar, karena seharian ini dia berada di rumah sakit. Baju yang dipakai pun masih baju kantor tadi pagi. Adam merasa tubuhnya lengket dan tidak nyaman dengan pakaiannya saat ini. Adam mengusap pelan ujung kepala Milea penuh perasaan. "Mas pulang sebentar ya sayang. Cuma sebentar," pamit Adam pada Milea yang masih tertidur pulas. Cup. Satu kecupan mendarat di atas dahi Milea begitu lembut. Setelah itu Adam segera meninggalkan ruangan dengan langkah lesu. Selang 30 menit Adam sudah sampai di kediamannya.
Elina menggeleng pelan dengan hati berdesir perih. "Tapi Mas ….” "Sudah lah, El. Kamu gak perlu mengelak!” potong Adam dengan cepat. Setelah itu ia melangkah pergi meninggalkan Elina yang kini diam mematung dengan mata mengembun. Brak. Adam membanting daun pintu kamarnya sangat kuat. Bersamaan dengan itu air mata Elina sudah tidak dapat dibendung lagi. Wanita itu menggelengkan kepala dengan lemah seraya menghapus air matanya yang berjatuhan. "Kenapa jadi seperti ini? Aku gak salah,” lirih Elina dengan suara seraknya. Beberapa saat kemudian. Ceklek. Pintu kamar Adam telah terbuka dari dalam. Lelaki itu keluar dengan wajah lebih segar dan rambut masih basah. Ia juga sudah berganti pakaian, nampaknya lelaki itu habis mandi. Ada
Hati Elina berdenyut nyeri saat mendengar pengusiran itu dari sang suami.“Aku harap kamu selalu ingat perjanjian kita,” ucap Adam lagi dengan suara lirih, tapi penuh tekanan dan begitu dingin. Setelah itu ia mengibaskan salah satu tanganya, mengusir Elina untuk kedua kalinya.Napas Elina tertahan beberapa detik dengan mata terpejam. Sedetik kemudian ia membuka mata serta menghela napas panjang. Udara disana benar-benar teramat menyesakkan untuk dirinya. Mengepalkan kedua tangan, Elina menatap Adam dengan mata terasa panas. Namun, sorot matanya kali ini menunjukkan ketegaran dan juga ketegasan. “Baiklah Tuan Adam, saya akan pergi. Permisi.” Setelah mengatakan itu Elina pun segera berbalik badan dan melangkah pergi membawa luka di hatinya.Setelah kepergian Elina Adam memejamkan mata serta menyandarkan kepalanya di sandaran sofa. Entah apa yang sedang lelaki
Serr.Hati Elina berdesir perih ketika Adam meninggalkannya begitu saja tanpa mengucapkan satu kata patah pun.Wanita itu menatap punggung Adam yang menjauh dengan tatapan nanar. Sedetik kemudian ia menelan salivanya dengan perasaan getir. Setelah tubuh Adam sudah tak terlihat dari pandangannya, Elina mengusap perutnya yang masih terlihat rata dengan tersenyum miris. Dia sedang ngidam, tapi apa yang bisa diharapkan dari pernikahan siri yang disembunyikan ini? Tentunya tidak ada. Apalagi sikap Adam akhir-akhir ini begitu dingin padanya.“Apa yang kamu harapkan, El?” lirihnya dengan kedua mata terasa panas.Hhhh. Wanita itu menghela napas panjang. Berharap sesak di dadanya bisa sedikit berkurang. Elina pun kembali ke dapur dengan perasaan kecewa dan juga sedih. “Non El mau Bibi masakkan apa?” tanya Bibi saat melihat Elina
Ddrrtt. Ddrrtt. Getar ponsel di atas meja berhasil mengalihkan pandangan Milea dari Elina. Wanita itu segera meraih ponselnya, menjawab panggilan masuk itu. “Ya Dad.” “Lea, kamu datanglah kemari, ada sesuatu yang ingin Daddy sampaikan padamu,” ucap seseorang di seberang sana. “Aku akan segera datang.” Setelah mengatakan itu Milea memutus sambungan telepon. Wanita itu segera bangkit dari tempat duduknya, lalu pergi meninggalkan Elina yang masih terdiam di sana menatap kepergiannya. “Non, tangan Non El merah.” Setelah Milea sudah tak terlihat, Bibi segera menghampiri Elina yang masih terdiam di tempatnya berdiri. Wanita tua itu memegang tangan kiri Elina yang tampak memerah dengan wajah cemasnya. “Ayo sini, ini harus dibasuh dengan air kran yang mengalir, biar panasnya cepat hilang.”
Adam berdiri, menyandar pada daun pintu dengan kedua tangan bersedekap di dada. Sementara kedua matanya menatap Elina dengan tatapan tajam.“Aku peringatkan sekali lagi, El. Sudah cukup kamu menyakiti Mileaku!” desis Adam dengan suara menekan.“Aku tau, kamu pasti sangat membenci Milea karena aku lebih memilih dia, kan? Iya, kan?!” lanjut Adam.Elina pun segera menggelengkan kepala. “Mas, a-aku bisa jelasin-”“Tadi aku gak sengaja, kakiku terserimpet, aku jatuh dan jus yang aku bawa gak sengaja tumpah di badan Milea,” lanjut Elina dengan suara sedikit bergetar menahan tangis.Adam tidak menimpali, tapi tatap matanya sedikit pun tidak lepas dari istri sirinya itu. Tatap mata lelaki itu terlihat muak saat Elina berbicara, mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Terlihat jelas Adam tidak mempercayai ucapan Elina.
Adam memejamkan kedua matanya beberapa detik, untuk menenangkan diri. "Bersihkan semuanya, dan jangan ulangi lagi!" titah Adam kemudian menatap Elina dengan tajam. Mendengar itu Elina hanya mampu tertunduk, menahan air matanya agar tidak lolos dari kelopak. 'Sakit' Adam selalu mempercayai ucapan Milea dan menyalahkan dirinya tanpa mau mendengar penjelasannya atau mencari tahu kebenarannya. Namun, Elina tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima kemarahan Adam. Menjelaskan pun akan percuma karena Adam tidak akan percaya padanya. Adam segera membopong tubuh Milea dan membawanya pergi ke kamar. “Mas, kenapa kita gak penjarakan saja dia?” tanya Milea dengan wajah kecewa. “Mmm, i-itu … Mas kasihan sama Bibi. Elina itu masih keponakan Bibi, kemarin Bibi mohon-mohon sama Mas untuk memberikan hukuman lain pada Elina. Bibi sudah sangat berjasa di keluarga Mas, dia bekerja di sini bertahun
Tiga hari telah berlalu. Milea sudah pulang dari rumah sakit. Kondisi wanita itu kini sudah membaik. Ia ingin sekali memecat Elina, hanya saja Adam tak setuju. Adam mengizinkan Milea memberi hukuman pada Elina, tapi tidak memecatnya. Wanita itu pun sedang memikirkan hukuman apa yang akan diberikan pada Elina. “Buatkan aku jus alpukat,” perintah Milea pada Elina dengan wajah juteknya. “Baik, Non,” jawab Elina dengan cepat. “Gak pake lama! Aku tunggu di depan!” ketus Milea setelah itu ia melenggang pergi dari dapur. Beberapa saat kemudian. Sreg. Bruk. Entah apa yang Elina pikirkan, hingga berjalan saja ia sampai terserimpet salah satu kakinya sendiri. Membuat ia terjatuh di pangkuan Milea dan jus yang dibawa menyiram tubuh wanita itu. “Aaaaa!” pekik Milea detik itu juga dengan wajah merah padam. “Sialan!” umpat wanita itu seraya mendorong tubuh Elina dengan kuat. Membuat tubuh Elina tersungkur di lantai. Untung kedua tangannya sigap menahan benturan yang terjadi, kala
Elina menggeleng pelan dengan hati berdesir perih. "Tapi Mas ….” "Sudah lah, El. Kamu gak perlu mengelak!” potong Adam dengan cepat. Setelah itu ia melangkah pergi meninggalkan Elina yang kini diam mematung dengan mata mengembun. Brak. Adam membanting daun pintu kamarnya sangat kuat. Bersamaan dengan itu air mata Elina sudah tidak dapat dibendung lagi. Wanita itu menggelengkan kepala dengan lemah seraya menghapus air matanya yang berjatuhan. "Kenapa jadi seperti ini? Aku gak salah,” lirih Elina dengan suara seraknya. Beberapa saat kemudian. Ceklek. Pintu kamar Adam telah terbuka dari dalam. Lelaki itu keluar dengan wajah lebih segar dan rambut masih basah. Ia juga sudah berganti pakaian, nampaknya lelaki itu habis mandi. Ada
Milea belum dibolehkan pulang, kondisinya masih dalam pantauan dokter karena tadi sempat pendarahan lagi setelah di kuret. Wanita itu, kini sudah dipindahkan ke ruangan VIP yang disewa oleh Adam. Melihat Milea yang sudah tertidur dengan pulas. Adam pun memutuskan untuk pulang ke rumah sebentar, karena seharian ini dia berada di rumah sakit. Baju yang dipakai pun masih baju kantor tadi pagi. Adam merasa tubuhnya lengket dan tidak nyaman dengan pakaiannya saat ini. Adam mengusap pelan ujung kepala Milea penuh perasaan. "Mas pulang sebentar ya sayang. Cuma sebentar," pamit Adam pada Milea yang masih tertidur pulas. Cup. Satu kecupan mendarat di atas dahi Milea begitu lembut. Setelah itu Adam segera meninggalkan ruangan dengan langkah lesu. Selang 30 menit Adam sudah sampai di kediamannya.
Adam menggendong tubuh Milea dengan langkah tergesa. "Tolong Istri saya!” teriak Adam saat tiba di rumah sakit. Para petugas yang melihat kehadiran Adam bersama Milea dalam gendongannya pun langsung sigap membantu. Tubuh Milea dibaringkan di atas brankar, lalu didorong masuk ke dalam ruang UGD. Milea meringis, meremas perutnya yang terasa sangat sakit dengan wajah banjir keringat. "Sakit Mas. Perutku sakit," lirih Milea di sela isak tangisnya. Sepanjang jalan tadi wanita itu terus menangis dan merintih kesakitan. Membuat Adam semakin panik luar biasa. Adam menatap sang istri dengan wajah cemasnya. "Sabar ya sayang. Dokter akan segera membantu,” kata Adam berusaha menenangkan. Meskipun, dirinya sendiri tengah khawatir saat ini. Ia menggenggam jemari Milea untuk memberikan kekuatan dan sesekali mengecupnya dengan penuh pe