"Non El," panggil Bibi melihat Elina melangkah dengan tatapan kosong.
Bibi menatap Elina dengan wajah cemas. Ia menebak, pasti sudah terjadi sesuatu pada Elina hingga wanita itu terlihat sangat rapuh saat ini. Elina sama sekali tidak menoleh, atau menghentikan langkah kakinya. Namun, dia tetap menjawab panggilan itu. "Aku baik-baik saja," kata Elina dengan suara serak. Kemudian ia mempercepat langkah kakinya untuk menuju kamar. Brak. Elina menutup daun pintu kamarnya sedikit kasar. Air matanya merembes membasahi pipi dengan dada begitu sesak. Bruk. Tubuhnya luruh ke lantai dengan perasaan hancur-sehancurnya. Bugh. Bugh. Bugh. Wanita itu menepuk-nepuk dadanya yang terasa begitu sesak luar biasa. Hatinya sungguh sakit melihat Adam sang suami begitu hobi menyentuh kakak madunya. Sementara pada dirinya … lelaki itu seperti enggan menyentuhnya. "Apa tubuhku gak menarik seperti punya Milea, Mas?" lirihnya dengan suara bergetar dan hati berdesir sakit. Adam bisa melakukan berulang kali bersama Milea. Namun kenapa, dengan dirinya tidak bisa? Sungguh, hati Elina begitu sakit menyadari semua itu. "Ini sakit sekali, Tuhan. Apa aku bisa bertahan?!” ** Setelah bertempur di atas ranjang dengan begitu semangatnya, kini Adam dan Milea sedang menikmati makan malamnya dengan hikmat. "Elina kemana, Bi? Kenapa Bibi kerja sendiri?" tanya Milea saat Bibi menuangkan air putih di gelasnya. Bibi menoleh sekilas pada Milea lalu menjawab, “Elina sedang tidak enak badan, Non," ucap Bibi yang kini menuangkan air putih di gelas Adam. Mendengar itu, pergerakan tangan Adam pun terhenti. Ia menoleh, menatap Bibi dengan serius."Apa suhu tubuhnya naik lagi?" tanyanya spontan. Milea menoleh, menatap suaminya dengan mata menyipit. “Mas tau dia sakit?” tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Ya. Tadi pagi dia demam,” jawab Adam keceplosan. “Mmm, Mas tau dia sakit karena gak sengaja mendengar obrolannya sama Bibi,” lanjut Adam berbohong dengan wajah terlihat gugup. “Terus?!” tanya Milea dengan tatapan menajam. “M-mas antar dia berobat,” jujur Adam pada akhirnya. Mendengar itu, wajah Milea pun berubah seketika. Wanita itu menjatuhkan sendok yang dipegang ke dalam piring dengan kasar, membuat suara dentingan cukup keras. “Mas seperhatian itu pada pembantu?" Glek. Adam menelan saliva saat melihat perubahan wajah istri pertamanya itu. “Mmm, a-aku hanya berusaha tanggung jawab, sayang," balas Adam kemudian. Sebelum Milea menyela, ia kembali melanjutkan ucapannya, "Sebagai majikan, Mas memiliki rasa tanggung jawab, membawa pekerjanya yang sakit untuk pergi berobat,” lanjut Adam beralibi. “Mas bisa suruh supir untuk mengantar dia berobat, kan?!” sambar Milea dengan cepat. “Gak harus Mas juga yang antar dia!” lanjut Milea dengan wajah terlihat masam. Terlihat jelas wanita itu cemburu mendengar suaminya pergi mengantar Elina. Adam meletakkan sendoknya ke dalam piring dengan pelan, lalu tangan itu terulur untuk mengusap lengan sang istri dengan lembut. “Mas tadi sekalian berangkat ke kantor, sayang. Mas juga sama supir,” kata Adam berbohong berusaha menenangkan sang istri yang terlihat marah padanya. “Tetap aja aku gak suka, Mas satu mobil sama dia!” ketus Milea dengan wajah marah. “Maaf,” ucap Adam akhirnya. “Mas gak akan ulangi lagi,” lanjut lelaki itu sembari menyentuh wajah Milea dengan lembut. Wanita itu hanya mendengus dengan wajah cemberut. Selesai makan malam keduanya kembali lagi ke kamar. Adam menyelesaikan pekerjaannya yang sempat tertunda di laptopnya. Sedangkan Milea menemani dengan bermainkan ponsel di atas kasur. Jarum jam terus berputar. Tak terasa kini sudah pukul 23.00 malam. Milea sudah tertidur dibalik selimut tebalnya. Sedangkan Adam baru menyelesaikan pekerjaannya. Lelaki itu melepas kacamata radiasinya. Lalu menutup laptop yang sudah mati. Adam berjalan mendekati Milea yang sudah bertemankan dengan mimpi. Lelaki itu menatap wajah Milea sejenak, lalu membenarkan selimut wanita itu yang sedikit tersingkap dibagian kaki. Cup. Adam mengecup kening Milea dengan rasa bersalah karena sudah membohongi wanita itu. "Maafkan aku," gumam Adam sebelum berlalu keluar kamar. Ceklek. Grek. Adam membuka pintu kamar milik Elina. Lalu menutupnya kembali dengan pelan. Dilihatnya tubuh Elina yang meringkuk menghadap dinding. Adam mendekat dan duduk di belakang punggung Elina. Diusapnya kening Elina yang sudah normal suhu tubuhnya. Lalu tangan lelaki itu turun kebawah untuk mengusap perut istri sirinya. Adam tidak mengeluarkan satu kata patah pun. Namun, lelaki itu berdoa dalam hati. Ia berharap, bayinya sehat dan berkembang dengan baik di dalam sana. Sementara itu tubuh Elina menegang, ia tak menyangka Adam akan menghampirinya seperti ini. Namun, tidak dapat dipungkiri, hatinya berdesir nyeri karena perlakuan Adam yang belum bisa berlaku adil padanya. “Mas.” Tiba-tiba Elina membuka mata dan berbalik badan menghadap Adam. “Apa kamu mau tidur di sini malam ini?” tanya Elina tatapannya menghunus kedua manik milik Adam dengan wajah terlihat sayu. “Mmm, ma-maaf El, aku ke sini cuma mau nengokin kamu,” balas Adam sembari menarik tangannya dari perut Elina. “Syukurlah, kamu sudah gak demam lagi. Ya sudah kalau gitu, aku mau istirahat,” lanjut Adam sembari berdiri dari duduknya. Lelaki itu berbalik badan dan hendak melangkah pergi. Namun, suara Elina berhasil menghentikan langkah kakinya. “Milea sudah tidur, kan Mas?! Dia gak akan tau kalau kamu tidur di sini. Aku juga Istrimu.” Tubuh Adam tertahan di tempatnya berdiri dengan perasaan tak nyaman. Lelaki itu terdiam beberapa detik, hingga akhirnya membalas ucapan Elina. “Ingat perjanjian kita, El–”Berkat minum obat dan juga vitamin dari dokter tubuh Elina kini sudah sehat kembali. Wanita itu kini sedang menjalankan perannya sebagai seorang pembantu di rumah besar Adam. Terlihat ia sedang mengepel lantai granit rumah suaminya dengan telaten. Milea keluar dari kamar dengan rambut yang masih sedikit basah. "Elina." Milea menghentikan langkah kakinya saat melihat Elina sedang mengepel anak tangga. Seketika itu Elina mendongak, menatap Milea yang berdiri di atasnya. Posisinya saat ini Milea berdiri di lantai dua ujung tangga. Sementara Elina berdiri di tengah-tengah anak tangga. "Ya Non," sahut Elina dengan hati berdesir perih. Lagi-lagi ia harus melihat banyaknya tanda cinta di tubuh Milea, kakak madunya itu. Milea menatap wajah Elina dengan hati amat kesa
Adam menggendong tubuh Milea dengan langkah tergesa. "Tolong Istri saya!” teriak Adam saat tiba di rumah sakit. Para petugas yang melihat kehadiran Adam bersama Milea dalam gendongannya pun langsung sigap membantu. Tubuh Milea dibaringkan di atas brankar, lalu didorong masuk ke dalam ruang UGD. Milea meringis, meremas perutnya yang terasa sangat sakit dengan wajah banjir keringat. "Sakit Mas. Perutku sakit," lirih Milea di sela isak tangisnya. Sepanjang jalan tadi wanita itu terus menangis dan merintih kesakitan. Membuat Adam semakin panik luar biasa. Adam menatap sang istri dengan wajah cemasnya. "Sabar ya sayang. Dokter akan segera membantu,” kata Adam berusaha menenangkan. Meskipun, dirinya sendiri tengah khawatir saat ini. Ia menggenggam jemari Milea untuk memberikan kekuatan dan sesekali mengecupnya dengan penuh pe
Milea belum dibolehkan pulang, kondisinya masih dalam pantauan dokter karena tadi sempat pendarahan lagi setelah di kuret. Wanita itu, kini sudah dipindahkan ke ruangan VIP yang disewa oleh Adam. Melihat Milea yang sudah tertidur dengan pulas. Adam pun memutuskan untuk pulang ke rumah sebentar, karena seharian ini dia berada di rumah sakit. Baju yang dipakai pun masih baju kantor tadi pagi. Adam merasa tubuhnya lengket dan tidak nyaman dengan pakaiannya saat ini. Adam mengusap pelan ujung kepala Milea penuh perasaan. "Mas pulang sebentar ya sayang. Cuma sebentar," pamit Adam pada Milea yang masih tertidur pulas. Cup. Satu kecupan mendarat di atas dahi Milea begitu lembut. Setelah itu Adam segera meninggalkan ruangan dengan langkah lesu. Selang 30 menit Adam sudah sampai di kediamannya.
Elina menggeleng pelan dengan hati berdesir perih. "Tapi Mas ….” "Sudah lah, El. Kamu gak perlu mengelak!” potong Adam dengan cepat. Setelah itu ia melangkah pergi meninggalkan Elina yang kini diam mematung dengan mata mengembun. Brak. Adam membanting daun pintu kamarnya sangat kuat. Bersamaan dengan itu air mata Elina sudah tidak dapat dibendung lagi. Wanita itu menggelengkan kepala dengan lemah seraya menghapus air matanya yang berjatuhan. "Kenapa jadi seperti ini? Aku gak salah,” lirih Elina dengan suara seraknya. Beberapa saat kemudian. Ceklek. Pintu kamar Adam telah terbuka dari dalam. Lelaki itu keluar dengan wajah lebih segar dan rambut masih basah. Ia juga sudah berganti pakaian, nampaknya lelaki itu habis mandi. Ada
Tiga hari telah berlalu. Milea sudah pulang dari rumah sakit. Kondisi wanita itu kini sudah membaik. Ia ingin sekali memecat Elina, hanya saja Adam tak setuju. Adam mengizinkan Milea memberi hukuman pada Elina, tapi tidak memecatnya. Wanita itu pun sedang memikirkan hukuman apa yang akan diberikan pada Elina. “Buatkan aku jus alpukat,” perintah Milea pada Elina dengan wajah juteknya. “Baik, Non,” jawab Elina dengan cepat. “Gak pake lama! Aku tunggu di depan!” ketus Milea setelah itu ia melenggang pergi dari dapur. Beberapa saat kemudian. Sreg. Bruk. Entah apa yang Elina pikirkan, hingga berjalan saja ia sampai terserimpet salah satu kakinya sendiri. Membuat ia terjatuh di pangkuan Milea dan jus yang dibawa menyiram tubuh wanita itu. “Aaaaa!” pekik Milea detik itu juga dengan wajah merah padam. “Sialan!” umpat wanita itu seraya mendorong tubuh Elina dengan kuat. Membuat tubuh Elina tersungkur di lantai. Untung kedua tangannya sigap menahan benturan yang terjadi, kala
Adam memejamkan kedua matanya beberapa detik, untuk menenangkan diri. "Bersihkan semuanya, dan jangan ulangi lagi!" titah Adam kemudian menatap Elina dengan tajam. Mendengar itu Elina hanya mampu tertunduk, menahan air matanya agar tidak lolos dari kelopak. 'Sakit' Adam selalu mempercayai ucapan Milea dan menyalahkan dirinya tanpa mau mendengar penjelasannya atau mencari tahu kebenarannya. Namun, Elina tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima kemarahan Adam. Menjelaskan pun akan percuma karena Adam tidak akan percaya padanya. Adam segera membopong tubuh Milea dan membawanya pergi ke kamar. “Mas, kenapa kita gak penjarakan saja dia?” tanya Milea dengan wajah kecewa. “Mmm, i-itu … Mas kasihan sama Bibi. Elina itu masih keponakan Bibi, kemarin Bibi mohon-mohon sama Mas untuk memberikan hukuman lain pada Elina. Bibi sudah sangat berjasa di keluarga Mas, dia bekerja di sini bertahun
Adam berdiri, menyandar pada daun pintu dengan kedua tangan bersedekap di dada. Sementara kedua matanya menatap Elina dengan tatapan tajam.“Aku peringatkan sekali lagi, El. Sudah cukup kamu menyakiti Mileaku!” desis Adam dengan suara menekan.“Aku tau, kamu pasti sangat membenci Milea karena aku lebih memilih dia, kan? Iya, kan?!” lanjut Adam.Elina pun segera menggelengkan kepala. “Mas, a-aku bisa jelasin-”“Tadi aku gak sengaja, kakiku terserimpet, aku jatuh dan jus yang aku bawa gak sengaja tumpah di badan Milea,” lanjut Elina dengan suara sedikit bergetar menahan tangis.Adam tidak menimpali, tapi tatap matanya sedikit pun tidak lepas dari istri sirinya itu. Tatap mata lelaki itu terlihat muak saat Elina berbicara, mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Terlihat jelas Adam tidak mempercayai ucapan Elina.
Ddrrtt. Ddrrtt. Getar ponsel di atas meja berhasil mengalihkan pandangan Milea dari Elina. Wanita itu segera meraih ponselnya, menjawab panggilan masuk itu. “Ya Dad.” “Lea, kamu datanglah kemari, ada sesuatu yang ingin Daddy sampaikan padamu,” ucap seseorang di seberang sana. “Aku akan segera datang.” Setelah mengatakan itu Milea memutus sambungan telepon. Wanita itu segera bangkit dari tempat duduknya, lalu pergi meninggalkan Elina yang masih terdiam di sana menatap kepergiannya. “Non, tangan Non El merah.” Setelah Milea sudah tak terlihat, Bibi segera menghampiri Elina yang masih terdiam di tempatnya berdiri. Wanita tua itu memegang tangan kiri Elina yang tampak memerah dengan wajah cemasnya. “Ayo sini, ini harus dibasuh dengan air kran yang mengalir, biar panasnya cepat hilang.”
Hati Elina berdenyut nyeri saat mendengar pengusiran itu dari sang suami.“Aku harap kamu selalu ingat perjanjian kita,” ucap Adam lagi dengan suara lirih, tapi penuh tekanan dan begitu dingin. Setelah itu ia mengibaskan salah satu tanganya, mengusir Elina untuk kedua kalinya.Napas Elina tertahan beberapa detik dengan mata terpejam. Sedetik kemudian ia membuka mata serta menghela napas panjang. Udara disana benar-benar teramat menyesakkan untuk dirinya. Mengepalkan kedua tangan, Elina menatap Adam dengan mata terasa panas. Namun, sorot matanya kali ini menunjukkan ketegaran dan juga ketegasan. “Baiklah Tuan Adam, saya akan pergi. Permisi.” Setelah mengatakan itu Elina pun segera berbalik badan dan melangkah pergi membawa luka di hatinya.Setelah kepergian Elina Adam memejamkan mata serta menyandarkan kepalanya di sandaran sofa. Entah apa yang sedang lelaki
Serr.Hati Elina berdesir perih ketika Adam meninggalkannya begitu saja tanpa mengucapkan satu kata patah pun.Wanita itu menatap punggung Adam yang menjauh dengan tatapan nanar. Sedetik kemudian ia menelan salivanya dengan perasaan getir. Setelah tubuh Adam sudah tak terlihat dari pandangannya, Elina mengusap perutnya yang masih terlihat rata dengan tersenyum miris. Dia sedang ngidam, tapi apa yang bisa diharapkan dari pernikahan siri yang disembunyikan ini? Tentunya tidak ada. Apalagi sikap Adam akhir-akhir ini begitu dingin padanya.“Apa yang kamu harapkan, El?” lirihnya dengan kedua mata terasa panas.Hhhh. Wanita itu menghela napas panjang. Berharap sesak di dadanya bisa sedikit berkurang. Elina pun kembali ke dapur dengan perasaan kecewa dan juga sedih. “Non El mau Bibi masakkan apa?” tanya Bibi saat melihat Elina
Ddrrtt. Ddrrtt. Getar ponsel di atas meja berhasil mengalihkan pandangan Milea dari Elina. Wanita itu segera meraih ponselnya, menjawab panggilan masuk itu. “Ya Dad.” “Lea, kamu datanglah kemari, ada sesuatu yang ingin Daddy sampaikan padamu,” ucap seseorang di seberang sana. “Aku akan segera datang.” Setelah mengatakan itu Milea memutus sambungan telepon. Wanita itu segera bangkit dari tempat duduknya, lalu pergi meninggalkan Elina yang masih terdiam di sana menatap kepergiannya. “Non, tangan Non El merah.” Setelah Milea sudah tak terlihat, Bibi segera menghampiri Elina yang masih terdiam di tempatnya berdiri. Wanita tua itu memegang tangan kiri Elina yang tampak memerah dengan wajah cemasnya. “Ayo sini, ini harus dibasuh dengan air kran yang mengalir, biar panasnya cepat hilang.”
Adam berdiri, menyandar pada daun pintu dengan kedua tangan bersedekap di dada. Sementara kedua matanya menatap Elina dengan tatapan tajam.“Aku peringatkan sekali lagi, El. Sudah cukup kamu menyakiti Mileaku!” desis Adam dengan suara menekan.“Aku tau, kamu pasti sangat membenci Milea karena aku lebih memilih dia, kan? Iya, kan?!” lanjut Adam.Elina pun segera menggelengkan kepala. “Mas, a-aku bisa jelasin-”“Tadi aku gak sengaja, kakiku terserimpet, aku jatuh dan jus yang aku bawa gak sengaja tumpah di badan Milea,” lanjut Elina dengan suara sedikit bergetar menahan tangis.Adam tidak menimpali, tapi tatap matanya sedikit pun tidak lepas dari istri sirinya itu. Tatap mata lelaki itu terlihat muak saat Elina berbicara, mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Terlihat jelas Adam tidak mempercayai ucapan Elina.
Adam memejamkan kedua matanya beberapa detik, untuk menenangkan diri. "Bersihkan semuanya, dan jangan ulangi lagi!" titah Adam kemudian menatap Elina dengan tajam. Mendengar itu Elina hanya mampu tertunduk, menahan air matanya agar tidak lolos dari kelopak. 'Sakit' Adam selalu mempercayai ucapan Milea dan menyalahkan dirinya tanpa mau mendengar penjelasannya atau mencari tahu kebenarannya. Namun, Elina tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima kemarahan Adam. Menjelaskan pun akan percuma karena Adam tidak akan percaya padanya. Adam segera membopong tubuh Milea dan membawanya pergi ke kamar. “Mas, kenapa kita gak penjarakan saja dia?” tanya Milea dengan wajah kecewa. “Mmm, i-itu … Mas kasihan sama Bibi. Elina itu masih keponakan Bibi, kemarin Bibi mohon-mohon sama Mas untuk memberikan hukuman lain pada Elina. Bibi sudah sangat berjasa di keluarga Mas, dia bekerja di sini bertahun
Tiga hari telah berlalu. Milea sudah pulang dari rumah sakit. Kondisi wanita itu kini sudah membaik. Ia ingin sekali memecat Elina, hanya saja Adam tak setuju. Adam mengizinkan Milea memberi hukuman pada Elina, tapi tidak memecatnya. Wanita itu pun sedang memikirkan hukuman apa yang akan diberikan pada Elina. “Buatkan aku jus alpukat,” perintah Milea pada Elina dengan wajah juteknya. “Baik, Non,” jawab Elina dengan cepat. “Gak pake lama! Aku tunggu di depan!” ketus Milea setelah itu ia melenggang pergi dari dapur. Beberapa saat kemudian. Sreg. Bruk. Entah apa yang Elina pikirkan, hingga berjalan saja ia sampai terserimpet salah satu kakinya sendiri. Membuat ia terjatuh di pangkuan Milea dan jus yang dibawa menyiram tubuh wanita itu. “Aaaaa!” pekik Milea detik itu juga dengan wajah merah padam. “Sialan!” umpat wanita itu seraya mendorong tubuh Elina dengan kuat. Membuat tubuh Elina tersungkur di lantai. Untung kedua tangannya sigap menahan benturan yang terjadi, kala
Elina menggeleng pelan dengan hati berdesir perih. "Tapi Mas ….” "Sudah lah, El. Kamu gak perlu mengelak!” potong Adam dengan cepat. Setelah itu ia melangkah pergi meninggalkan Elina yang kini diam mematung dengan mata mengembun. Brak. Adam membanting daun pintu kamarnya sangat kuat. Bersamaan dengan itu air mata Elina sudah tidak dapat dibendung lagi. Wanita itu menggelengkan kepala dengan lemah seraya menghapus air matanya yang berjatuhan. "Kenapa jadi seperti ini? Aku gak salah,” lirih Elina dengan suara seraknya. Beberapa saat kemudian. Ceklek. Pintu kamar Adam telah terbuka dari dalam. Lelaki itu keluar dengan wajah lebih segar dan rambut masih basah. Ia juga sudah berganti pakaian, nampaknya lelaki itu habis mandi. Ada
Milea belum dibolehkan pulang, kondisinya masih dalam pantauan dokter karena tadi sempat pendarahan lagi setelah di kuret. Wanita itu, kini sudah dipindahkan ke ruangan VIP yang disewa oleh Adam. Melihat Milea yang sudah tertidur dengan pulas. Adam pun memutuskan untuk pulang ke rumah sebentar, karena seharian ini dia berada di rumah sakit. Baju yang dipakai pun masih baju kantor tadi pagi. Adam merasa tubuhnya lengket dan tidak nyaman dengan pakaiannya saat ini. Adam mengusap pelan ujung kepala Milea penuh perasaan. "Mas pulang sebentar ya sayang. Cuma sebentar," pamit Adam pada Milea yang masih tertidur pulas. Cup. Satu kecupan mendarat di atas dahi Milea begitu lembut. Setelah itu Adam segera meninggalkan ruangan dengan langkah lesu. Selang 30 menit Adam sudah sampai di kediamannya.
Adam menggendong tubuh Milea dengan langkah tergesa. "Tolong Istri saya!” teriak Adam saat tiba di rumah sakit. Para petugas yang melihat kehadiran Adam bersama Milea dalam gendongannya pun langsung sigap membantu. Tubuh Milea dibaringkan di atas brankar, lalu didorong masuk ke dalam ruang UGD. Milea meringis, meremas perutnya yang terasa sangat sakit dengan wajah banjir keringat. "Sakit Mas. Perutku sakit," lirih Milea di sela isak tangisnya. Sepanjang jalan tadi wanita itu terus menangis dan merintih kesakitan. Membuat Adam semakin panik luar biasa. Adam menatap sang istri dengan wajah cemasnya. "Sabar ya sayang. Dokter akan segera membantu,” kata Adam berusaha menenangkan. Meskipun, dirinya sendiri tengah khawatir saat ini. Ia menggenggam jemari Milea untuk memberikan kekuatan dan sesekali mengecupnya dengan penuh pe