Serr.
Hati Elina berdesir perih ketika Adam meninggalkannya begitu saja tanpa mengucapkan satu kata patah pun.Wanita itu menatap punggung Adam yang menjauh dengan tatapan nanar. Sedetik kemudian ia menelan salivanya dengan perasaan getir.Setelah tubuh Adam sudah tak terlihat dari pandangannya, Elina mengusap perutnya yang masih terlihat rata dengan tersenyum miris. Dia sedang ngidam, tapi apa yang bisa diharapkan dari pernikahan siri yang disembunyikan ini? Tentunya tidak ada. Apalagi sikap Adam akhir-akhir ini begitu dingin padanya.“Apa yang kamu harapkan, El?” lirihnya dengan kedua mata terasa panas.Hhhh. Wanita itu menghela napas panjang. Berharap sesak di dadanya bisa sedikit berkurang. Elina pun kembali ke dapur dengan perasaan kecewa dan juga sedih.“Non El mau Bibi masakkan apa?” tanya Bibi saat melihat ElinaHati Elina berdenyut nyeri saat mendengar pengusiran itu dari sang suami.“Aku harap kamu selalu ingat perjanjian kita,” ucap Adam lagi dengan suara lirih, tapi penuh tekanan dan begitu dingin. Setelah itu ia mengibaskan salah satu tanganya, mengusir Elina untuk kedua kalinya.Napas Elina tertahan beberapa detik dengan mata terpejam. Sedetik kemudian ia membuka mata serta menghela napas panjang. Udara disana benar-benar teramat menyesakkan untuk dirinya. Mengepalkan kedua tangan, Elina menatap Adam dengan mata terasa panas. Namun, sorot matanya kali ini menunjukkan ketegaran dan juga ketegasan. “Baiklah Tuan Adam, saya akan pergi. Permisi.” Setelah mengatakan itu Elina pun segera berbalik badan dan melangkah pergi membawa luka di hatinya.Setelah kepergian Elina Adam memejamkan mata serta menyandarkan kepalanya di sandaran sofa. Entah apa yang sedang lelaki
Butiran bening mengalir dari kedua sudut mata seorang gadis di bawah kungkungan sang kekasih saat menyadari sudah berbuat kesalahan. "Kalau aku hamil bagaimana, Mas?!” lirihnya dengan suara tercekat di tenggorokan. Setelah si lelaki mengeluarkan benih di dalam sana, gadis itu dapat merasakan cairan hangat yang mengalir, membasahi rahimnya. Seketika itu, pikiran-pikiran buruk pun memenuhi isi kepalanya. “Bagaimana, kalau lelaki ini tidak mau tanggung jawab?!” “Bagaimana kalau dia hamil, tapi tanpa seorang suami?!” Pertanyaan-pertanyaan itu muncul memenuhi isi kepala dan dibarengi rasa takut luar biasa. Adam menatap gadis itu dengan wajah penuh kenikmatan. "Kamu tenang saja sayang, aku akan tanggung jawab," ucapnya dengan mata sayu di sela napas yang memburu. Dirinya terus memacu gadis itu hingga mendapatkan pelepasan untuk yang kedua kalinya. “Ahh!” erang Adam dengan suara tertahan. Raut wajahnya menampilkan kepuasan. Kedua matanya terpejam dalam menikmati puncak yang telah sam
“Tapi secara sembunyi-sembunyi. Aku gak mau ada yang tahu soal pernikahan kita. Setelah menikah kamu bisa tinggal di sini bersamaku.” Adam menjeda ucapannya, ia bisa melihat luka itu di kedua mata Elina. “Tapi … kalau Istriku sudah kembali pulang ke rumah ini. Maka bersikaplah seperti layaknya seorang pembantu, dan jangan pernah tunjukkan kalau kita ada hubungan. Aku gak mau pernikahan kita diketahui istri pertamaku, dan membuat hatinya terluka.” Elina meremas kuat ujung sofa dekatnya duduk. Hatinya benar-benar sakit mendengar setiap kata yang Adam ucapkan barusan. Matanya terasa panas dengan dada menyesak, seperti ada yang menghantamnya dengan batu besar. Wanita itu menggigit bibir bawahnya guna menahan tangisnya agar tidak meledak. Sungguh, hatinya hancur dan kecewa. “El, ini adalah keputusan besar. Kamu bisa pikir-pikir dulu. Apa kamu bisa hidup satu atap denganku dan bersama istriku yang lain? Meskipun kamu juga istriku, tapi kamu hanya akan dianggap sebagai pembantu di rumah
Adam gelagapan mendapat tatapan sang istri penuh selidik dengan wajah terlihat dingin seperti itu. “Mmm, Mas juga nggak tau kalau dia masih muda, sayang. Mas cuma menyuruh Bibi untuk mencari satu orang lagi buat kerja di sini,” kata Adam, terpaksa berbohong. Ia berharap Milea percaya dengan keterangan yang dibuatnya itu. Adam tak mau istrinya menaruh rasa curiga padanya. Milea pun membuang napas kasar. “Ya sudah kalau begitu. Awas kamu kalau berani macam-macam di belakang aku,” ancam Milea dengan wajah tegasnya. “Tidak akan, percaya sama Mas. Mas nggak akan tergoda sama pembantu,” balas Adam dengan cepat. Membuat hati Elina berdenyut nyeri mendengarnya. “Mas sangat mencintaimu, sayang. Mas sangat bersyukur bisa memilikimu. Mana mungkin Mas menduakanmu?! Apalagi sama pembantu, yang jelas-jalas beda level sama kita,” tambah Adam meyakinkan. Mendengar itu Melia pun tersenyum tipis pada akhirnya. Sementara Elina berdiri dengan tubuh menegang. Kata-kata yang terlontar dari mulut suam
"Elina!" panggil Milea pada Elina yang sedang menyapu halaman rumah besar milik Adam. Dalam hati dia terus merutuk, kenapa Adam merekrut pembantu yang masih muda dan memiliki paras cantik seperti Elina. Kenapa bukan yang tua saja seperti Bibi pikirnya. Elina pun langsung menoleh, seketika itu Milea melambaikan tangan kanannya, meminta Elina untuk mendekat. “Iya, Non,” jawab Elina mengangguk patuh. Ia menghentikan aktivitasnya. Lalu menyimpan sapunya lebih dulu sebelum menghampiri Milea yang berdiri di teras rumah. Milea menatap Elina yang mendekat dengan tatapan penuh arti. "Pakaikan sepatu," suruh Milea seraya menjatuhkan sepasang sepatu dari tangan kirinya, sepatu itu jatuh tepat di hadapan Elina. Setelah itu Milea mendudukan tubuhnya di kursi yang ada dengan wajah terlihat angkuh. Kedua mata Elina terpana, menatap sepasang sepatu warna putih itu dengan hati berdenyut nyeri. Dia benar-benar dijadikan pembantu di rumah suaminya ini. Bahkan, kakak madunya itu tak segan-segan me
Elina terdiam dalam kebingungan. “Bukannya tadi Mas Adam sudah pergi, sama Milea?!" batin wanita itu sembari berpikir. Ia juga buru-buru menghapus air matanya dengan cepat karena takut Adam membuka selimutnya. Bukan apa, dia tidak mau terlihat lemah dihadapan lelaki itu. Sementara itu, Adam segera mendekati Elina yang kini terdiam di balik selimut. Ia duduk di tepi ranjang, lalu perlahan membuka selimut yang menutupi wajah Elina dengan gerakan pelan. Tidak dapat dipungkiri, ada perasaan cemas saat mendengar Elina mengaku sedang pusing. "El. Apa kamu sakit?" tanyanya lagi saat melihat kedua mata Elina tengah terpejam. Suaranya itu terdengar khawatir, membuat hati Elina berdesir mendengarnya. Adam menajamkan penglihatannya saat menyadari kedua mata Elina terlihat sembab. Tanpa bertanya pun, dia sudah bisa menyimpulkan, jika wanita itu habis menangis. Lelaki itu pun menghela napas serta menatap wajah Elina dengan perasaan campur aduk. Perlahan tangan kanan Adam terulur, untuk meny
"Non El," panggil Bibi melihat Elina melangkah dengan tatapan kosong. Bibi menatap Elina dengan wajah cemas. Ia menebak, pasti sudah terjadi sesuatu pada Elina hingga wanita itu terlihat sangat rapuh saat ini. Elina sama sekali tidak menoleh, atau menghentikan langkah kakinya. Namun, dia tetap menjawab panggilan itu. "Aku baik-baik saja," kata Elina dengan suara serak. Kemudian ia mempercepat langkah kakinya untuk menuju kamar. Brak. Elina menutup daun pintu kamarnya sedikit kasar. Air matanya merembes membasahi pipi dengan dada begitu sesak. Bruk. Tubuhnya luruh ke lantai dengan perasaan hancur-sehancurnya. Bugh. Bugh. Bugh. Wanita itu menepuk-nepuk dadanya yang terasa begitu sesak luar biasa. Hatinya sungguh sakit melihat Adam sang suami begitu hobi menyentuh kakak madunya. Sementara pada dirinya … lelaki itu seperti enggan menyentuhnya. "Apa tubuhku gak menarik seperti punya Milea, Mas?" lirihnya dengan suara bergetar dan hati berdesir sakit. Adam bisa melak
Berkat minum obat dan juga vitamin dari dokter tubuh Elina kini sudah sehat kembali. Wanita itu kini sedang menjalankan perannya sebagai seorang pembantu di rumah besar Adam. Terlihat ia sedang mengepel lantai granit rumah suaminya dengan telaten. Milea keluar dari kamar dengan rambut yang masih sedikit basah. "Elina." Milea menghentikan langkah kakinya saat melihat Elina sedang mengepel anak tangga. Seketika itu Elina mendongak, menatap Milea yang berdiri di atasnya. Posisinya saat ini Milea berdiri di lantai dua ujung tangga. Sementara Elina berdiri di tengah-tengah anak tangga. "Ya Non," sahut Elina dengan hati berdesir perih. Lagi-lagi ia harus melihat banyaknya tanda cinta di tubuh Milea, kakak madunya itu. Milea menatap wajah Elina dengan hati amat kesa
Hati Elina berdenyut nyeri saat mendengar pengusiran itu dari sang suami.“Aku harap kamu selalu ingat perjanjian kita,” ucap Adam lagi dengan suara lirih, tapi penuh tekanan dan begitu dingin. Setelah itu ia mengibaskan salah satu tanganya, mengusir Elina untuk kedua kalinya.Napas Elina tertahan beberapa detik dengan mata terpejam. Sedetik kemudian ia membuka mata serta menghela napas panjang. Udara disana benar-benar teramat menyesakkan untuk dirinya. Mengepalkan kedua tangan, Elina menatap Adam dengan mata terasa panas. Namun, sorot matanya kali ini menunjukkan ketegaran dan juga ketegasan. “Baiklah Tuan Adam, saya akan pergi. Permisi.” Setelah mengatakan itu Elina pun segera berbalik badan dan melangkah pergi membawa luka di hatinya.Setelah kepergian Elina Adam memejamkan mata serta menyandarkan kepalanya di sandaran sofa. Entah apa yang sedang lelaki
Serr.Hati Elina berdesir perih ketika Adam meninggalkannya begitu saja tanpa mengucapkan satu kata patah pun.Wanita itu menatap punggung Adam yang menjauh dengan tatapan nanar. Sedetik kemudian ia menelan salivanya dengan perasaan getir. Setelah tubuh Adam sudah tak terlihat dari pandangannya, Elina mengusap perutnya yang masih terlihat rata dengan tersenyum miris. Dia sedang ngidam, tapi apa yang bisa diharapkan dari pernikahan siri yang disembunyikan ini? Tentunya tidak ada. Apalagi sikap Adam akhir-akhir ini begitu dingin padanya.“Apa yang kamu harapkan, El?” lirihnya dengan kedua mata terasa panas.Hhhh. Wanita itu menghela napas panjang. Berharap sesak di dadanya bisa sedikit berkurang. Elina pun kembali ke dapur dengan perasaan kecewa dan juga sedih. “Non El mau Bibi masakkan apa?” tanya Bibi saat melihat Elina
Ddrrtt. Ddrrtt. Getar ponsel di atas meja berhasil mengalihkan pandangan Milea dari Elina. Wanita itu segera meraih ponselnya, menjawab panggilan masuk itu. “Ya Dad.” “Lea, kamu datanglah kemari, ada sesuatu yang ingin Daddy sampaikan padamu,” ucap seseorang di seberang sana. “Aku akan segera datang.” Setelah mengatakan itu Milea memutus sambungan telepon. Wanita itu segera bangkit dari tempat duduknya, lalu pergi meninggalkan Elina yang masih terdiam di sana menatap kepergiannya. “Non, tangan Non El merah.” Setelah Milea sudah tak terlihat, Bibi segera menghampiri Elina yang masih terdiam di tempatnya berdiri. Wanita tua itu memegang tangan kiri Elina yang tampak memerah dengan wajah cemasnya. “Ayo sini, ini harus dibasuh dengan air kran yang mengalir, biar panasnya cepat hilang.”
Adam berdiri, menyandar pada daun pintu dengan kedua tangan bersedekap di dada. Sementara kedua matanya menatap Elina dengan tatapan tajam.“Aku peringatkan sekali lagi, El. Sudah cukup kamu menyakiti Mileaku!” desis Adam dengan suara menekan.“Aku tau, kamu pasti sangat membenci Milea karena aku lebih memilih dia, kan? Iya, kan?!” lanjut Adam.Elina pun segera menggelengkan kepala. “Mas, a-aku bisa jelasin-”“Tadi aku gak sengaja, kakiku terserimpet, aku jatuh dan jus yang aku bawa gak sengaja tumpah di badan Milea,” lanjut Elina dengan suara sedikit bergetar menahan tangis.Adam tidak menimpali, tapi tatap matanya sedikit pun tidak lepas dari istri sirinya itu. Tatap mata lelaki itu terlihat muak saat Elina berbicara, mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Terlihat jelas Adam tidak mempercayai ucapan Elina.
Adam memejamkan kedua matanya beberapa detik, untuk menenangkan diri. "Bersihkan semuanya, dan jangan ulangi lagi!" titah Adam kemudian menatap Elina dengan tajam. Mendengar itu Elina hanya mampu tertunduk, menahan air matanya agar tidak lolos dari kelopak. 'Sakit' Adam selalu mempercayai ucapan Milea dan menyalahkan dirinya tanpa mau mendengar penjelasannya atau mencari tahu kebenarannya. Namun, Elina tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima kemarahan Adam. Menjelaskan pun akan percuma karena Adam tidak akan percaya padanya. Adam segera membopong tubuh Milea dan membawanya pergi ke kamar. “Mas, kenapa kita gak penjarakan saja dia?” tanya Milea dengan wajah kecewa. “Mmm, i-itu … Mas kasihan sama Bibi. Elina itu masih keponakan Bibi, kemarin Bibi mohon-mohon sama Mas untuk memberikan hukuman lain pada Elina. Bibi sudah sangat berjasa di keluarga Mas, dia bekerja di sini bertahun
Tiga hari telah berlalu. Milea sudah pulang dari rumah sakit. Kondisi wanita itu kini sudah membaik. Ia ingin sekali memecat Elina, hanya saja Adam tak setuju. Adam mengizinkan Milea memberi hukuman pada Elina, tapi tidak memecatnya. Wanita itu pun sedang memikirkan hukuman apa yang akan diberikan pada Elina. “Buatkan aku jus alpukat,” perintah Milea pada Elina dengan wajah juteknya. “Baik, Non,” jawab Elina dengan cepat. “Gak pake lama! Aku tunggu di depan!” ketus Milea setelah itu ia melenggang pergi dari dapur. Beberapa saat kemudian. Sreg. Bruk. Entah apa yang Elina pikirkan, hingga berjalan saja ia sampai terserimpet salah satu kakinya sendiri. Membuat ia terjatuh di pangkuan Milea dan jus yang dibawa menyiram tubuh wanita itu. “Aaaaa!” pekik Milea detik itu juga dengan wajah merah padam. “Sialan!” umpat wanita itu seraya mendorong tubuh Elina dengan kuat. Membuat tubuh Elina tersungkur di lantai. Untung kedua tangannya sigap menahan benturan yang terjadi, kala
Elina menggeleng pelan dengan hati berdesir perih. "Tapi Mas ….” "Sudah lah, El. Kamu gak perlu mengelak!” potong Adam dengan cepat. Setelah itu ia melangkah pergi meninggalkan Elina yang kini diam mematung dengan mata mengembun. Brak. Adam membanting daun pintu kamarnya sangat kuat. Bersamaan dengan itu air mata Elina sudah tidak dapat dibendung lagi. Wanita itu menggelengkan kepala dengan lemah seraya menghapus air matanya yang berjatuhan. "Kenapa jadi seperti ini? Aku gak salah,” lirih Elina dengan suara seraknya. Beberapa saat kemudian. Ceklek. Pintu kamar Adam telah terbuka dari dalam. Lelaki itu keluar dengan wajah lebih segar dan rambut masih basah. Ia juga sudah berganti pakaian, nampaknya lelaki itu habis mandi. Ada
Milea belum dibolehkan pulang, kondisinya masih dalam pantauan dokter karena tadi sempat pendarahan lagi setelah di kuret. Wanita itu, kini sudah dipindahkan ke ruangan VIP yang disewa oleh Adam. Melihat Milea yang sudah tertidur dengan pulas. Adam pun memutuskan untuk pulang ke rumah sebentar, karena seharian ini dia berada di rumah sakit. Baju yang dipakai pun masih baju kantor tadi pagi. Adam merasa tubuhnya lengket dan tidak nyaman dengan pakaiannya saat ini. Adam mengusap pelan ujung kepala Milea penuh perasaan. "Mas pulang sebentar ya sayang. Cuma sebentar," pamit Adam pada Milea yang masih tertidur pulas. Cup. Satu kecupan mendarat di atas dahi Milea begitu lembut. Setelah itu Adam segera meninggalkan ruangan dengan langkah lesu. Selang 30 menit Adam sudah sampai di kediamannya.
Adam menggendong tubuh Milea dengan langkah tergesa. "Tolong Istri saya!” teriak Adam saat tiba di rumah sakit. Para petugas yang melihat kehadiran Adam bersama Milea dalam gendongannya pun langsung sigap membantu. Tubuh Milea dibaringkan di atas brankar, lalu didorong masuk ke dalam ruang UGD. Milea meringis, meremas perutnya yang terasa sangat sakit dengan wajah banjir keringat. "Sakit Mas. Perutku sakit," lirih Milea di sela isak tangisnya. Sepanjang jalan tadi wanita itu terus menangis dan merintih kesakitan. Membuat Adam semakin panik luar biasa. Adam menatap sang istri dengan wajah cemasnya. "Sabar ya sayang. Dokter akan segera membantu,” kata Adam berusaha menenangkan. Meskipun, dirinya sendiri tengah khawatir saat ini. Ia menggenggam jemari Milea untuk memberikan kekuatan dan sesekali mengecupnya dengan penuh pe