"Elina!" panggil Milea pada Elina yang sedang menyapu halaman rumah besar milik Adam. Dalam hati dia terus merutuk, kenapa Adam merekrut pembantu yang masih muda dan memiliki paras cantik seperti Elina. Kenapa bukan yang tua saja seperti Bibi pikirnya.
Elina pun langsung menoleh, seketika itu Milea melambaikan tangan kanannya, meminta Elina untuk mendekat. “Iya, Non,” jawab Elina mengangguk patuh. Ia menghentikan aktivitasnya. Lalu menyimpan sapunya lebih dulu sebelum menghampiri Milea yang berdiri di teras rumah. Milea menatap Elina yang mendekat dengan tatapan penuh arti. "Pakaikan sepatu," suruh Milea seraya menjatuhkan sepasang sepatu dari tangan kirinya, sepatu itu jatuh tepat di hadapan Elina. Setelah itu Milea mendudukan tubuhnya di kursi yang ada dengan wajah terlihat angkuh. Kedua mata Elina terpana, menatap sepasang sepatu warna putih itu dengan hati berdenyut nyeri. Dia benar-benar dijadikan pembantu di rumah suaminya ini. Bahkan, kakak madunya itu tak segan-segan menyuruh dan membentaknya, seperti sekarang ini contohnya. Melihat Elina yang hanya berdiri mematung pun, Milea mendengus kesal. “Aku menyuruhmu, pakaikan sepatu itu! Malah bengong!” sentak Milea dengan wajah terlihat kesal. “Apa kamu tuli?! Sering-sering deh, dikorek itu telangamu!” lanjut Milea dengan ketus. Mendengar itu Elina pun mengerjap. “Ma-maaf, sa-saya akan bantu pakaikan,” balas Elina tergagap. Milea memutar kedua bola matanya dengan malas serta berdecih kesal. Adam yang hendak keluar rumah pun mendengar suara keras Milea. Ia menghentikan langkahnya sejenak, berdiri di dekat pintu keluar mengamati kedua istrinya itu dalam diam tanpa disadari oleh keduanya. Dilihatnya Elina yang membungkuk dengan tangan terulur, hendak maraih sepasang sepatu yang tergeletak di lantai. Hati Adam pun mencleos, tak tega melihat hal itu karena bagaimanapun. Elina bukanlah pembantu, melainkan istri sahnya juga. “Selain aku gak mau menduakan Milea. Ini yang aku gak mau, El,” batin Adam dalam hati. Lelaki itu menghela napas panjang dengan perasaan kasihan terhadap Elina. Hatinya berkata, ia harus melakukan sesuatu untuk istri sirinya itu, agar tak sampai memakaikan sepatu di kaki Milea. “Morning," sapa Adam akhirnya, menarik perhatian keduanya. Lelaki itu melangkah mendekat dengan senyum mengembang. Seketika itu, perhatian Milea langsung terpusat padanya. Wanita itu menoleh dengan wajah ceria, seolah barusan tidak ada yang terjadi. "Morning, Mas. Udah mau berangkat?" tanya Milea seraya bangkit dari tempat duduknya, ia menghampiri Adam dengan tersenyum manja. Reflek Elina menoleh dan kembali berdiri dengan tegak, ia belum sempat meraih sepatu milik Milea. Tatapannya sempat bertemu dengan kedua manik milik Adam. Namun, lelaki itu buru-buru memutuskan kontak mata itu. Adam beralih menatap Milea dengan bibir tersenyum manis. Sungguh, hal itu membuat hati Elina berdenyut sakit, bak diremas-remas kuat di dalam sana. Milea bergelayut manja di lengan kanan Adam. "Aku ikut kamu ke kantor, ya Mas,” kata Milea seraya melepaskan lengan Adam secara perlahan. Lalu kedua tangannya itu beralih, melingkar di pinggang sang suami dengan mesra. Elina segera melengos dengan wajah memerah. Ia sangat cemburu dan tak kuasa melihat kemesraan itu. Dadanya terasa panas dengan hati berdesir perih. Sepertinya, dia tak sanggup berdiri lama diantara keduanya. "Maaf Non, saya kebelet. Permisi,” ucap Elina akhirnya, ia Buru-buru melewati tubuh tegap Adam begitu saja, tanpa menoleh sedikitpun pada lelaki itu. Milea menoleh, menatap punggung Elina yang menjauh dengan wajah tidak suka. "Eh, gak sopan!" serunya dengan nada terdengar ketus. “Kamu aku suruh apa, heh?! Malah pergi gitu aja!” tambah Milea memprotes dengan wajah terlihat marah. Sementara Adam menatap punggung Elina yang berlalu dengan tatapan tak terbaca. Elina mendengar itu, tetapi dirinya memilih untuk pura-pura tidak mendengar. Hatinya tak sanggup melihat kemesraan suaminya bersama kakak madunya itu. Ia tetap melanjutkan langkah kakinya dengan tergesa. Elina masuk ke dalam kamarnya dengan mata terasa panas. Perlahan cairan bening pun merembes, membasahi kedua pipinya dengan dada begitu sesak. Sakit, sangat sakit saat tak sengaja melihat leher Adam ada banyak tanda merahnya. Entah pria itu menyadarinya atau tidak. Akan tetapi Elina sudah melihatnya, dan itu sangat menyakitkan sekali. Semalam Elina tidak bisa tidur, berharap tengah malam Adam menyelinap masuk ke dalam kamarnya. Bahkan, pintu kamarnya pun tidak dikunci dari dalam, karena berharap Adam akan menghampiri dirinya, walau hanya menengok barang sebentar. Hingga pagi tiba, Elina hanya bisa menelan rasa kecewa karena nyatanya, lelaki itu tidak mendatangi kamarnya sama sekali. “Apa, rasa itu benar-benar sudah gak ada, Mas?! Atau, memang nggak pernah ada, untukku?! Semalaman aku menunggumu, tapi ternyata … kamu lagi-lagi sedang asyik memadu kasih dengan istri pertamamu,” gumam Elina dengan dada begitu sesak. Wanita itu menjatuhkan diri di atas tempat tidur dengan gerakan sedikit kasar. Sesaat kemudian, terdengar deru mobil meninggalkan halaman rumah. Elina pun hanya menyimpulkan, mungkin itu Adam dan Milea sudah pergi ke kantor. Elina mengusap air matanya dengan kasar. Lalu menarik selimut sampai menutupi ujung kepalanya. Istri kedua Adam itu pun tergugu di dalam selimut dengan posisi meringkuk. “Sakit, Tuhan ….” lirihnya sembari memegangi dadanya yang terasa begitu sesak. Ceklek. Grek. Tiba-tiba ada yang membuka pintu kamar dari luar. Setelahnya, Elina mendengar langkah kaki yang mendekat. Namun, dirinya sama sekali tidak mempedulikan siapa orang itu. Mungkin itu bibi, pembantu Adam pikirnya. "Maaf Bi, aku belum bisa bantu-bantu. Kepalaku sedikit pusing, aku ingin istirahat sebentar," ucap Elina akhirnya buka suara tanpa membuka selimutnya, ia masih berada di posisi yang sama. Suaranya terdengar begitu serak dan sedikit bergetar, membuat seseorang yang masuk ke dalam kamarnya itu mengerutkan dahi. Hening, tidak ada jawaban dari bibi. Namun, Elina dapat merasakan seseorang mendekat ke arahnya. Wanita itu pun kembali bersuara pada akhirnya. "Tolong Bibi keluar saja. Maaf, bukan aku ingin mengusir, tapi aku … ingin istirahat sebentar saja,” kata Elina sembari menggigit bibir bawahnya guna menahan suara isak tangisnya. "Kamu sakit?" Suara bariton itu mampu membuat Elina yang sedang tergugu di dalam selimut terlonjak kaget. Wanita itu langsung mengatupkan bibir serta mengernyit bingung. “Mas Adam ...."Elina terdiam dalam kebingungan. “Bukannya tadi Mas Adam sudah pergi, sama Milea?!" batin wanita itu sembari berpikir. Ia juga buru-buru menghapus air matanya dengan cepat karena takut Adam membuka selimutnya. Bukan apa, dia tidak mau terlihat lemah dihadapan lelaki itu. Sementara itu, Adam segera mendekati Elina yang kini terdiam di balik selimut. Ia duduk di tepi ranjang, lalu perlahan membuka selimut yang menutupi wajah Elina dengan gerakan pelan. Tidak dapat dipungkiri, ada perasaan cemas saat mendengar Elina mengaku sedang pusing. "El. Apa kamu sakit?" tanyanya lagi saat melihat kedua mata Elina tengah terpejam. Suaranya itu terdengar khawatir, membuat hati Elina berdesir mendengarnya. Adam menajamkan penglihatannya saat menyadari kedua mata Elina terlihat sembab. Tanpa bertanya pun, dia sudah bisa menyimpulkan, jika wanita itu habis menangis. Lelaki itu pun menghela napas serta menatap wajah Elina dengan perasaan campur aduk. Perlahan tangan kanan Adam terulur, untuk meny
Butiran bening mengalir dari kedua sudut mata seorang gadis di bawah kungkungan sang kekasih saat menyadari sudah berbuat kesalahan. "Kalau aku hamil bagaimana, Mas?!” lirihnya dengan suara tercekat di tenggorokan. Setelah si lelaki mengeluarkan benih di dalam sana, gadis itu dapat merasakan cairan hangat yang mengalir, membasahi rahimnya. Seketika itu, pikiran-pikiran buruk pun memenuhi isi kepalanya. “Bagaimana, kalau lelaki ini tidak mau tanggung jawab?!” “Bagaimana kalau dia hamil, tapi tanpa seorang suami?!” Pertanyaan-pertanyaan itu muncul memenuhi isi kepala dan dibarengi rasa takut luar biasa. Adam menatap gadis itu dengan wajah penuh kenikmatan. "Kamu tenang saja sayang, aku akan tanggung jawab," ucapnya dengan mata sayu di sela napas yang memburu. Dirinya terus memacu gadis itu hingga mendapatkan pelepasan untuk yang kedua kalinya. “Ahh!” erang Adam dengan suara tertahan. Raut wajahnya menampilkan kepuasan. Kedua matanya terpejam dalam menikmati puncak yang telah sam
“Tapi secara sembunyi-sembunyi. Aku gak mau ada yang tahu soal pernikahan kita. Setelah menikah kamu bisa tinggal di sini bersamaku.” Adam menjeda ucapannya, ia bisa melihat luka itu di kedua mata Elina. “Tapi … kalau Istriku sudah kembali pulang ke rumah ini. Maka bersikaplah seperti layaknya seorang pembantu, dan jangan pernah tunjukkan kalau kita ada hubungan. Aku gak mau pernikahan kita diketahui istri pertamaku, dan membuat hatinya terluka.” Elina meremas kuat ujung sofa dekatnya duduk. Hatinya benar-benar sakit mendengar setiap kata yang Adam ucapkan barusan. Matanya terasa panas dengan dada menyesak, seperti ada yang menghantamnya dengan batu besar. Wanita itu menggigit bibir bawahnya guna menahan tangisnya agar tidak meledak. Sungguh, hatinya hancur dan kecewa. “El, ini adalah keputusan besar. Kamu bisa pikir-pikir dulu. Apa kamu bisa hidup satu atap denganku dan bersama istriku yang lain? Meskipun kamu juga istriku, tapi kamu hanya akan dianggap sebagai pembantu di rumah
Adam gelagapan mendapat tatapan sang istri penuh selidik dengan wajah terlihat dingin seperti itu. “Mmm, Mas juga nggak tau kalau dia masih muda, sayang. Mas cuma menyuruh Bibi untuk mencari satu orang lagi buat kerja di sini,” kata Adam, terpaksa berbohong. Ia berharap Milea percaya dengan keterangan yang dibuatnya itu. Adam tak mau istrinya menaruh rasa curiga padanya. Milea pun membuang napas kasar. “Ya sudah kalau begitu. Awas kamu kalau berani macam-macam di belakang aku,” ancam Milea dengan wajah tegasnya. “Tidak akan, percaya sama Mas. Mas nggak akan tergoda sama pembantu,” balas Adam dengan cepat. Membuat hati Elina berdenyut nyeri mendengarnya. “Mas sangat mencintaimu, sayang. Mas sangat bersyukur bisa memilikimu. Mana mungkin Mas menduakanmu?! Apalagi sama pembantu, yang jelas-jalas beda level sama kita,” tambah Adam meyakinkan. Mendengar itu Melia pun tersenyum tipis pada akhirnya. Sementara Elina berdiri dengan tubuh menegang. Kata-kata yang terlontar dari mulut suam
Elina terdiam dalam kebingungan. “Bukannya tadi Mas Adam sudah pergi, sama Milea?!" batin wanita itu sembari berpikir. Ia juga buru-buru menghapus air matanya dengan cepat karena takut Adam membuka selimutnya. Bukan apa, dia tidak mau terlihat lemah dihadapan lelaki itu. Sementara itu, Adam segera mendekati Elina yang kini terdiam di balik selimut. Ia duduk di tepi ranjang, lalu perlahan membuka selimut yang menutupi wajah Elina dengan gerakan pelan. Tidak dapat dipungkiri, ada perasaan cemas saat mendengar Elina mengaku sedang pusing. "El. Apa kamu sakit?" tanyanya lagi saat melihat kedua mata Elina tengah terpejam. Suaranya itu terdengar khawatir, membuat hati Elina berdesir mendengarnya. Adam menajamkan penglihatannya saat menyadari kedua mata Elina terlihat sembab. Tanpa bertanya pun, dia sudah bisa menyimpulkan, jika wanita itu habis menangis. Lelaki itu pun menghela napas serta menatap wajah Elina dengan perasaan campur aduk. Perlahan tangan kanan Adam terulur, untuk meny
"Elina!" panggil Milea pada Elina yang sedang menyapu halaman rumah besar milik Adam. Dalam hati dia terus merutuk, kenapa Adam merekrut pembantu yang masih muda dan memiliki paras cantik seperti Elina. Kenapa bukan yang tua saja seperti Bibi pikirnya. Elina pun langsung menoleh, seketika itu Milea melambaikan tangan kanannya, meminta Elina untuk mendekat. “Iya, Non,” jawab Elina mengangguk patuh. Ia menghentikan aktivitasnya. Lalu menyimpan sapunya lebih dulu sebelum menghampiri Milea yang berdiri di teras rumah. Milea menatap Elina yang mendekat dengan tatapan penuh arti. "Pakaikan sepatu," suruh Milea seraya menjatuhkan sepasang sepatu dari tangan kirinya, sepatu itu jatuh tepat di hadapan Elina. Setelah itu Milea mendudukan tubuhnya di kursi yang ada dengan wajah terlihat angkuh. Kedua mata Elina terpana, menatap sepasang sepatu warna putih itu dengan hati berdenyut nyeri. Dia benar-benar dijadikan pembantu di rumah suaminya ini. Bahkan, kakak madunya itu tak segan-segan me
Adam gelagapan mendapat tatapan sang istri penuh selidik dengan wajah terlihat dingin seperti itu. “Mmm, Mas juga nggak tau kalau dia masih muda, sayang. Mas cuma menyuruh Bibi untuk mencari satu orang lagi buat kerja di sini,” kata Adam, terpaksa berbohong. Ia berharap Milea percaya dengan keterangan yang dibuatnya itu. Adam tak mau istrinya menaruh rasa curiga padanya. Milea pun membuang napas kasar. “Ya sudah kalau begitu. Awas kamu kalau berani macam-macam di belakang aku,” ancam Milea dengan wajah tegasnya. “Tidak akan, percaya sama Mas. Mas nggak akan tergoda sama pembantu,” balas Adam dengan cepat. Membuat hati Elina berdenyut nyeri mendengarnya. “Mas sangat mencintaimu, sayang. Mas sangat bersyukur bisa memilikimu. Mana mungkin Mas menduakanmu?! Apalagi sama pembantu, yang jelas-jalas beda level sama kita,” tambah Adam meyakinkan. Mendengar itu Melia pun tersenyum tipis pada akhirnya. Sementara Elina berdiri dengan tubuh menegang. Kata-kata yang terlontar dari mulut suam
“Tapi secara sembunyi-sembunyi. Aku gak mau ada yang tahu soal pernikahan kita. Setelah menikah kamu bisa tinggal di sini bersamaku.” Adam menjeda ucapannya, ia bisa melihat luka itu di kedua mata Elina. “Tapi … kalau Istriku sudah kembali pulang ke rumah ini. Maka bersikaplah seperti layaknya seorang pembantu, dan jangan pernah tunjukkan kalau kita ada hubungan. Aku gak mau pernikahan kita diketahui istri pertamaku, dan membuat hatinya terluka.” Elina meremas kuat ujung sofa dekatnya duduk. Hatinya benar-benar sakit mendengar setiap kata yang Adam ucapkan barusan. Matanya terasa panas dengan dada menyesak, seperti ada yang menghantamnya dengan batu besar. Wanita itu menggigit bibir bawahnya guna menahan tangisnya agar tidak meledak. Sungguh, hatinya hancur dan kecewa. “El, ini adalah keputusan besar. Kamu bisa pikir-pikir dulu. Apa kamu bisa hidup satu atap denganku dan bersama istriku yang lain? Meskipun kamu juga istriku, tapi kamu hanya akan dianggap sebagai pembantu di rumah
Butiran bening mengalir dari kedua sudut mata seorang gadis di bawah kungkungan sang kekasih saat menyadari sudah berbuat kesalahan. "Kalau aku hamil bagaimana, Mas?!” lirihnya dengan suara tercekat di tenggorokan. Setelah si lelaki mengeluarkan benih di dalam sana, gadis itu dapat merasakan cairan hangat yang mengalir, membasahi rahimnya. Seketika itu, pikiran-pikiran buruk pun memenuhi isi kepalanya. “Bagaimana, kalau lelaki ini tidak mau tanggung jawab?!” “Bagaimana kalau dia hamil, tapi tanpa seorang suami?!” Pertanyaan-pertanyaan itu muncul memenuhi isi kepala dan dibarengi rasa takut luar biasa. Adam menatap gadis itu dengan wajah penuh kenikmatan. "Kamu tenang saja sayang, aku akan tanggung jawab," ucapnya dengan mata sayu di sela napas yang memburu. Dirinya terus memacu gadis itu hingga mendapatkan pelepasan untuk yang kedua kalinya. “Ahh!” erang Adam dengan suara tertahan. Raut wajahnya menampilkan kepuasan. Kedua matanya terpejam dalam menikmati puncak yang telah sam