Arsen terdiam sejenak, pertanyaan Airina yang secara tiba-tiba menyeruak dalam dirinya. Seperti hantaman benda tajam pada tubuhnya. "Kenapa kamu bertanya demikian?" tanya Arsen lirih. "Jika kamu percaya aku layak, harusnya kamu tidak perlu bertanya kenapa," ketus Airina tanpa ragu. "Kamu layak, Airina. Apa lagi yang harus kamu pertanyakan padaku?" tanya Arsen dengan menatap tajam wanita yang duduk di kursi kerjanya. Wanita yang kini hanya bisa menatap sekilas ke raut Arsen. Sudah tercetak jelas dari wajahnya, jika bukan jawaban itu yang ia mau. "Apa kamu berpikir karena keluargaku kaya dan keluargamu sederhana itu adalah halangannya?" todong tanya Arsen secara tiba-tiba. "Bahkan, aku tidak peduli dengan itu. Kamu tahu itu," tambahnya. "Sudahlah, kita bahas lain kali saja," ujar Airina dan kembali pada posisi duduknya. Arsen berdiri dari posisi duduknya, kini ia berjalan menuju meja kerja. Dengan menatap lekat ke arah Airina tanpa ragu, sorot matanya yang tajam dan jernih. "Ka
"Apakah ada masalah?" tanya Arsen dengan penuh kecemasan. Tatapan matanya lekat pada Airina yang kini duduk di hadapannya. Mata itu tidak beralih dari raut Airina yang terlihat lebih ceria. "Tidak ada apa-apa, aku hanya terharu saja. Hahaha, wajahmu sangat menggemaskan," ujar Airina dengan kekehan ringan. "Dasar kamu ya!" Arsen meringkuk tubuh Airina dalam dekapannya, menggelitik pinggang istri kontraknya sampai ia berteriak kencang. "Arsen, stop! Maafkan aku ... Arsen berhenti!" teriak Airina tidak ada hentinya. "Kamu sendiri yang berulah, Airina. Jadi rasakan saja," ujar Arsen dengan kekehan. "Arsen, aku mohon ...," rintih Airina lirih. Sontak Arsen melepaskan dekapannya dari wanita ini, dengan senyuman tipis ia menatap Airina. Tangan kanannya membelai pelan puncak kepala istri kontraknya. "Kamu tahu, Airina. Aku sekarang sudah lapar, jadi bagaimana kalau kita makan saja sekarang," ajak Arsen dengan lembut. Ia mendudukkan pantatnya pada kursi, menikmati setiap makanan yang
"Maksudmu apa, Airina!" pekik Arsen keras. "Aku tidak pernah bisa mengikhlaskanmu pergi dengan pria lain, jangan coba-coba menjauh dariku!" teriak Arsen keras. Suara itu menggema dengan sangat keras, sebuah pintu yang perlahan menelan tubuh Airina. Tetes demi tetes air mata itu mengaliri pipi Arsen. "Arsen, bangun!" "Arsen, apa yang terjadi padamu?" tanya Airina lirih, dengan mengoyak tubuh Arsen yang masih terbaring. Beberapa waktu lalu, Airina mendengar suara teriakan yang sangat keras di sampingnya. Arsen yang masih terlelap itu berteriak, entah apa yang terjadi dalam mimpinya malam itu. Matanya yang perlahan terbuka itu membuat Airina sedikit lebih lega."Arsen, apa kamu sudah mendengarku?" tanya Airina dengan lembut. Sontak, ia memeluk erat tubuh Airina. Dengan sisa air mata yang mengaliri pipinya, lelaki itu hanya mendekap erat tubuh Airina. Tanpa ada kalimat apa pun, hanya sebuah pelukan yang enggan untuk dilepaskan. "Arsen, apa yang terjadi padamu? Mimpi buruk ya?" ta
Airina dan Arsen saling melempar tanya lewat tatapan mata, semakin ciut niat Arsen dan Airina menemui Jorge Dassault. "Emm, Arsen ... lebih baik aku ke butik saja," ucap Airina."Tidak-tidak, kamu harus ikut denganku menemui keluarga Dassault. Tenang ada aku di sana," tukas Arsen dengan tegas. "Kamu tahu sendiri seperti apa Gemma memperlakukan aku, masa iya kamu masih memaksa aku untuk ada di sana?" Kalimat panjang Airina mampu membuat Arsen terdiam. Lelaki yang kini hanya bisa berpikir keras atas apa yang diucapkan Airina. "Airin ... Kalau kamu tidak ikut, akan semakin runyam nanti. Jadi, bagaimana kalau kamu ikut saja? Apalagi ada ayah dan ibu nanti di sana," jelas Arsen dengan lembut dan penuh penekanan kata 'ayah dan ibu'. Dengan menghela nafas panjang, "Baiklah, demi ayah dan ibu aku datang," ucap Airina dengan penuh rasa ragu. Perjalanan menuju kantor Arsen terasa lebih cepat dari biasanya. Mobil Bentley hitam itu sudah terparkir rapi di jajaran mobil di parkiran. "Selama
"Maaf, Nona Airina. Saya lepas kendali, jadi apakah Anda berniat investasi atau memberi sumbangan untuk panti asuhan saya?" tanya Albert mengulangi lagi ucapannya. "Nanti akan aku pikirkan, Tuan Albert. Untuk saat ini aku belum bisa menentukan," jawab Airina. "Sialan, ternyata Anda ini memang wanita pelit!" pekiknya. Dengan tidak sopan Albert keluar dari butik, langkahnya terburu-buru bahkan tanpa berpamitan dengan sopan. Alih-alih mendapatkan hasil, ia malah terlihat seperti pria arogan yang tidak tahu malu. "Nona, apakah Anda baik-baik saja? Apa pria itu melukai, Nona?" tanya Tiwi selepas Albert keluar butik. "Ti-tidak, Tiwi. Aku baik-baik saja, dan lupakan saja kejadian sore ini. Jangan katakan pada Arsen atau siapa pun itu!" titah Airina, ia memijat pelipisnya yang terasa sedikit pusing. "Dasar laki-laki gila!" pekiknya lirih. Airina kembali melangkahkan kakinya di ruang kerjanya, menatap ke arah jendela. Sebuah mobil Bentley hitam terlihat sudah parkir di depan butik. "It
"Seharusnya memang seperti itu, jadi lebih baik besok aku ke bank. Emm ... Iya, begitu saja!" ucap Airina lirih. Kini ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang, tubuh lelahnya itu memenuhi ranjangnya itu. Mata yang fokus menatap langit-langit kamar, ada hal membuatnya masih berpikir keras. "Bagaimana ya?" tanya Airina pada dirinya sendiri. Terlalu kalut dalam pikirannya, Airina secara tidak sengaja tertidur pulas. Mata yang sudah terpejam rapat. Pada sebuah ruangan dengan pencahayaan minim. Airina berjalan sendirian, langkahnya pelan namun dengan penuh keraguan. "Halo, apa ada orang?" tanya Airina pada orang di sekitarnya. "Sepertinya aku mengenal ruangan ini, tidak asing tapi aku masih ragu ...." gumam Airina dalam benaknya. Tok tok tok! Airina terperanjat, matanya terbuka lebar. Dengan degup jantung yang berdetak lebih kencang. Airina mengelus dadanya berulang. "Itu hanya mimpi!" ucapnya lirih. "Siapa?" tanya Airina lirih pada seseorang yang mengetuk pintu. "Arsen, kamu kena
"Arsen, aku pamit ya!" pamitnya pada Arsen yang berdiri di samping mobil Bentle hitam. "Aron, Aiden. Jaga istriku baik-baik, jangan sampai ia terluka sedikit pun!" tegas Arsen pada dua bawahannya. "Baik, Tuan muda." Mobil itu melaju saat Aron menarik pedal gas, dengan kecepatan yang standar. Pagi-pagi sekali Airina pergi ke Mitleburg, bukan untuk menemui ibunya. melainkan untuk tugas lain yang menurutnya mulia. "Aron, nanti ikuti share lokasi yang aku kirim ya," ucap Airina lirih. "Ba-baik, Nona." Aron mengangguk paham, ia melajukan mobil dengan cepat. Menembus kabut pagi yang cukup tebal dan menghalangi jarak pandang. Setelah 2 jam perjalanan, tibalah mereka di sebuah panti asuhan bernama Little home. "Apa benar alamatnya ini, Nona?" tanya Aron memastikan. "Iya, benar ini. Kalian tunggu di sini saja ya, aku akan masuk sebentar," ujar Airina tanpa ragu. "Maaf, Nona. Saya harus ikut masuk mengawasi Anda, emm bukan apa-apa. Tapi ini sudah tugas saya," elak Aiden dengan tegas.
"Serakah!" pekik Airina keras. CIT! Mobil Bentley hitam itu berhenti mendadak, membuat beberapa orang di dalamnya sedikit terguncang. Aron dan Aiden sontak menoleh ke sumber suara. "Nona, ada apa?" tanya keduanya kompak. Airina menghela nafasnya panjang sebelum menjawab pertanyaan. Manik matanya masih tertuju pada ponsel berisi pesan dari Albert. "Bacalah," ucapnya. Sebelah tangannya memberikan ponsel itu pada Aron. Dengan decak kesal, Aiden hanya bisa menatap bengis ke arah Airina. "Nona, ini sudah tanda-tanda tidak benar. Jangan Anda lanjutkan transaksi itu," tutur Aiden dengan tegas."Baiklah, Nona. Saya dan Aron sudah memperingatkan di awal," ucap Aiden pasrah. "Aiden, yang tidak benar itu hanya Albert. Shena dan anak-anak yatim piatu itu butuh bantuan. Jangan halangi aku lagi ya, aku ingin membantu mereka. Dan ya, aku ini anak yatim tahu rasa ...." ucap Airina panjang lebar. Tidak lama dari itu, Aron kembali menarik pedal gas mobil itu. Kembali ke jalanan yang cukup rama