"Serakah!" pekik Airina keras. CIT! Mobil Bentley hitam itu berhenti mendadak, membuat beberapa orang di dalamnya sedikit terguncang. Aron dan Aiden sontak menoleh ke sumber suara. "Nona, ada apa?" tanya keduanya kompak. Airina menghela nafasnya panjang sebelum menjawab pertanyaan. Manik matanya masih tertuju pada ponsel berisi pesan dari Albert. "Bacalah," ucapnya. Sebelah tangannya memberikan ponsel itu pada Aron. Dengan decak kesal, Aiden hanya bisa menatap bengis ke arah Airina. "Nona, ini sudah tanda-tanda tidak benar. Jangan Anda lanjutkan transaksi itu," tutur Aiden dengan tegas."Baiklah, Nona. Saya dan Aron sudah memperingatkan di awal," ucap Aiden pasrah. "Aiden, yang tidak benar itu hanya Albert. Shena dan anak-anak yatim piatu itu butuh bantuan. Jangan halangi aku lagi ya, aku ingin membantu mereka. Dan ya, aku ini anak yatim tahu rasa ...." ucap Airina panjang lebar. Tidak lama dari itu, Aron kembali menarik pedal gas mobil itu. Kembali ke jalanan yang cukup rama
"Aku yakin, Ratu. Kenapa kamu seolah tidak percaya dengan aku?" todong tanya Airina pada Ratu. "Bukan tidak percaya, Nona muda. Tetapi, omset kita bulan ini cukup banyak dan ... bisa dipakai untuk mengganti alat atau membeli alat baru. Memberi sumbangan itu baik, Nona. Tapi ...." Ratu tidak menemukan kalimat yang tepat untuk mencegah Airina. Ia hanya bisa terdiam sejenak dan... "Ratu, aku tidak ada waktu banyak untuk menunggumu berpikir!" seru Airina dengan ketus. Ratu mendongakkan kepalanya, "Nona, saya berkata seperti ini biar Anda tidak terjerumus, tapi kalau Anda sudah merasa yakin. Ya sudah, silakan lakukan apa yang menurut Anda benar!" tegas Ratu dengan menarik buku catatan keuangan itu. "Saya pamit, Nona!" Ratu melangkah ke luar ruangan, tanpa mempertimbangkan apa pun pada Airina. "Ratu siapkan uang untuk kuberikan pada Albert!" seru Airina keras. "Baik, Nona. Tunggu sebentar," ucap Ratu dengan melangkahkan kakinya ke luar. "Terima kasih, Ratu." Suara yang mungkin tid
"Memang gila!" pekik Airina keras, setelah membaca pesan dari Albert. Ia benar-benar harus memutar otak, saat tubuhnya sedang lemah seperti ini. Selalu ada hal diluar nalar terjadi padanya. "Ada apa?" tanya Arsen secara tiba-tiba. Airina terperanjat saat mendengar suara Arsen yang melengking di telinganya. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya, rahasia yang harus tertutup rapat. Sebenarnya, ada ide untuk meminta bantuan pada Arsen. Tetapi belum saatnya pria itu tahu. "Kamu mengatakan itu di hadapanku, apa kamu menghinaku menjadi pria gila?" todong tanya Arsen. Ia mencondongkan tatapannya pada Airina. "Tidak, bukan kamu!" seru Airina keras. "Lalu siapa laki-laki gila yang kau maki itu? Apa kau sedang berselingkuh dengan pria lain?" hardik tanya Arsen dengan menatap tajam Airina. "Kau menuduhku selingkuh? yang benar saja, Arsen!" Airina semakin naik pitam, ia sudah tidak bisa berkata-kata. Pikirannya melayang pada pesan Albert yang membuatnya semakin pusing. [Tuan Albert, maaf
Manik mana Airina membelalakkan lebar saat mendapati pesan dari Shena. Ia benar-benar terkejut saat membaca satu persatu kalimat yang ada. "Albert, di mana?" gumam Airina lirih. Airina berpikir keras hingga kepalanya kembali terasa pusing. Bagaimana tidak Albert membawa uang 20 juta dollar darinya. "Siapa itu Albert?" todong tanya Arsen, tatapannya lekat ke arah Airina. "Stop, sekarang tolong diamlah dulu, jangan banyak tanya!" gertak Airina keras. Airina berjalan menjauh dari Arsen, dengan susah payah ia menelepon Tiwi asistennya. Malam yang sudah cukup larut, bisa saja Tiwi sudah terlelap."Pada ke mana sih! Lalu, ke mana Albert pergi? Apa dia dirampok saat di jalan?" tanya Airina pada dirinya sendiri. Rasanya ingin sekali memaki dirinya yang kurang bertanggung jawab ini. "Airina, ada apa?" tanya Arsen dengan berjalan mendekati Airina. "Tidak ada apa-apa, hanya kesalahan teknis dan ... aku yang gagal dalam bertanggung jawab," jawabnya..Langkahnya kini masuk ke dalam kamar, m
Airina meyakinkan dirinya sendiri, pernikahan kontraknya akan segera segera berakhir. Sudah saatnya ia memberi jarak pada Arsen. "Ya, aku harus segera menjauhinya, agar orang-orang yang berusaha mengusik ketenanganku. Tidak ikut mengusik ketenangan Arsen, dia layak lebih bahagia dengan wanita pilihannya," gumam Airina lirih. Tok tok tok! "Nona, saya Tiwi ijin masuk ke ruangan!" seru Tiwi keras dari luar ruangan. "Masuklah!" Airina hanya menatap ke arah pintu, raut wajah Tiwi terlihat berbeda dari biasanya. Apa yang ia sembunyikan rapat-rapat kali ini. "Ada apa?" tanya Airina tanpa basa-basi. "Sa-saya minta maaf, Nona. Anda bisa melihat ini," Tiwi menyerahkan ponselnya pada Airina. Sontak lemas tubuhnya dibuat membawa berita terbaru dari instagrom lambe dower itu. Sebuah akun dengan berita paling hot sampai paling jadul ada di sana. Nama Airina terpampang jelas dengan judul seorang pemilik butik sekaligus istri Arsen Pinault tidak ikhlas menyumbang pada panti asuhan little hom
Tatapannya nanar ke arah Arsen, mulutnya bungkam seribu bahasa. Tidak ada kata bahkan kalimat yang keluar dari sana. Hanya ada keraguan yang bersarang pada hatinya. "Tiwi, katakan padaku di mana Airina?" dengan suara sedikit memekakkan telinga, Arsen mulai frustasi dengan asisten pribadi istrinya. "Tiwi, apa kamu tidak ingin menjawab pertanyaanku?"Sekali lagi Arsen melempar tanya, namun nihil! Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut asisten pribadi Airina. Hanya tersisa kilatan sendu dari tatapan matanya. Arsen berdecih! "Kenapa para wartawan itu tidak kunjung pergi? Apa kamu hanya berniat berdiri di situ, Tiwi?" todong tanya Arsen dengan melempar tatapan tajam. "Saya akan menemui wartawan itu, Tuan muda. Maafkan saya yang tidak bisa mengatakan keberadaan nona muda pada Anda," pungkasnya. "Tiwi, aku tau kamu lebih menuruti ucapan Airina, tapi ini tentang kesehatannya dan ... sudahlah, terserah!" Arsen kehilangan kalimat yang ingin ia ucapkan, setelahnya Tiwi beranjak meningga
Airina hanya menatap nanar ke arah ponsel genggamnya, sudah dipastikan bahwa banyak wartawan datang ke butik. Seperti saat itu, namun Airina yakin Tiwi dan Arsen akan menyelesaikannya dengan baik. "Kak, apa kamu baik-baik saja?" tanya Aily, ia menoleh ke arah Airina dengan tatapan penuh tanya. "Kakak baik-baik saja, Aily. Hanya ada beberapa hal yang sedang menghantui kepalaku." Airina mengulas senyum tipis, ia menatap lekat ke arah Aily saat ini. Helaan nafas panjang itu sudah menggambarkan betapa ia sangat lelah. "Kakak datang sendiri? Ke mana para bodyguard atau kakak ipar?" celetuk tanya Aily dengan lembut.Deg! "Mereka tidak ikut bersamaku, ada urusan lain yang lebih penting ... Jadi, aku pergi sendiri ke Mitleburg," jelas Airina dengan ragu. "Wah, parah sih kakak ipar! Nanti aku harus menghubunginya, bisa-bisanya kakakku pergi jauh sendirian tanpa sopir bahkan pengawal!" Aily mengerucutkan bibirnya sembari menggerutu. Airina sontak menoleh, ia merampas ponsel Aily segera.
[Airina, lihatlah dua karyawanmu. Mereka sedih karena kamu menghilang begitu saja. Katakan padaku, kamu di mana?] Satu pesan yang menguris hati Airina, ia kembali menutup ponsel itu. Helaan nafas panjang dengan sedikit ulasan senyum tipis. "Tiwi, Ratu, maafkan aku yang merepotkan kalian," gumam Airina lirih. Sebuah sentuhan lembut dari Amelia membuat Airina mendongak. "Nak, kapan ibu boleh pulang? Di rumah sakit sangatlah membosankan. Kamu jadi repot di sini, ibu sangat merepotkanmu ya," ucap Amelia lirih, tatapannya sendu seolah malu pada anak sulungnya. "Tidak, Ibu. Ini sudah menjadi tugasku untuk menemani ibu di sini, aku juga tidak merasa kerepotan sama sekali. Yang penting ibu sehat ya!" ucap Airina lembut pada wanita yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. "Ibu malu, Nak. Kamu harus bekerja keras sampai menikah kontrak, sedangkan ibu hanya bisa menjadi bebanmu. Tidak bekerja malah menghabiskan uang tabunganmu untuk biaya pengobatan," tutur lirih dari Amelia yang
"Tera Fillmoore Pinault!" seru seorang pria dengan tubuh tinggi dengan jas yang melekat pada tubuhnya. "Om Yoshi!" seru Tera. "Happy wedding ya, Om, Aunty!" ucap Tera dengan senyum ramah. Pagi itu, Tera dan Tora diminta menjadi Bridesmaids dan Groomsmen di acara pernikahan Aily dan Yoshi. Di tepi pantai Medoza, ke duanya resmi menikah. Airina dan Arsen hanya mengulas senyum tipis, tatkala sepasang pengantin itu terlihat bahagia di atas pelaminan. "Cie, udah nggak jomblo nih!" ledek Airina. "Diam!" seru Yoshi. Gelak tawa terdengar nyaring, acara pernikahan yang diadakan dengan sederhana. Membuat suasana intimade wedding itu kian kental terasa. "Curang sekali kamu, Yosh. Bisa-bisanya menikahi adikku sendiri," ucap Airina. Ia yang sedari tadi menahan air mata, kini ia benar-benar menumpahkannya di dada Arsen. Usapan pelan pada pundak Airina, membuat ia air matanya semakin pecah. "Aku hanya ingin melindungi adik sekaligus istriku ini, Airin. Lagi pula, kamu sudah mengenal aku c
Aily dan Yoshi saling melempar senyuman tipis. "Aku ingin melamar adikmu, Airin," ucap Yoshi lembut. DegJantung Airina seperti berhenti berdetak sepersekian detik, kaget dan campur aduk. Di hadapan keluarga Arsen, Yoshi dengan entengnya mengatakan kalimat itu tanpa ragu. "Yosh ...? Kamu serius?" tanya Arsen lirih. Yoshi menganggukkan kepalanya membenarkan ucapannya. Membuat Airina dan Arsen semakin terdiam kaku. "Entah restu seperti apa yang harus aku berikan padamu, Yosh. Tapi ... Aku tidak bisa memaksa adikku untuk mengikuti jejakku, aku membiarkan adikku memilih jalannya sendiri. Jadi, apa pun yang diinginkan Aily, aku setuju," tutur Airina lembut. Aily berseru dengan bahagia, setelah selesai pendidikannya. Ia berniat melanjutkan kuliah terlebih dahulu. "Terima kasih, Kak!" Aily memeluk erat tubuh Airina. Malam tahun baru itu membawa rona bahagia pada semuanya. Airina dan Arsen yang cintanya semakin kuat, dalam dekapannya Tora dan Tera tersenyum menggelitik. **** 5 tahu
"Arsen ...," Julie mengoyak tubuh anak laki-lakinya, teriakannya cukup keras. Membuat ia yang duduk di ruang tunggu mampu mendengar suaranya. Lama Arsen hanya mengubah posisi tidurnya, entah apa yang ia rasakan di alam mimpi. "Arsen!" gertak Julie. "Arghhh!" Matanya menyipit sebelum benar-benar sadar dari tidur singkatnya. Matanya mengerjap perlahan. "Ibu ... bagaimana bisa ibu ada di sini?" tanya Arsen dengan tergagap. "Kamu mimpi apa? Sangat berisik, ibu takut Airina terganggu," tanya Julie. "Rasanya aku tidak bermimpi, namun ada sesuatu yang mengganjal dalam tubuhku. Maaf ibu," Arsen mengacak rambutnya kasar. "Sudah tidak apa-apa, tenangkan dirimu sebelum kembali tidur. Kasihan Airina jika terganggu," peringat Julie. Arsen akhirnya melangkahkan kakinya ke luar ruang inap, sekilas ia melihat anak kembarnya di ruang bayi. Ia hampir lengah dengan penjagaan di sana. "Aron, panggilkan beberapa orang untuk menjaga ruang bayi!" titahnya. Setelahnya, Arsen hanya duduk di kursi
Mata itu perlahan mengerjap hingga sepenuhnya ia mampu menatap sekeliling ruangan. Dengan nuansa biru lautnya, ruangan yang terlihat luas hanya menyisakan dirinya dan Arsen. Dengan perlahan matanya terbuka dengan lebar, ia mengerjapkan matanya berulang. Pukul 10 malam, setelah pagi hari ia berjuang untuk nyawa dua bayi. Kini, ia kembali siuman setelah tertidur entah berapa lama. "A-Arsen," lirih suaranya samar memanggil nama Arsen di sampingnya. Pria itu menundukkan kepalanya dalam, seolah tidak memiliki harapan besar atas istrinya. Setelah mendengar suara tangisan ke dua kalinya, ia tidak lagi ingat apa yang terjadi padanya. "Airin, kamu sudah siuman? A-aku akan memanggil dokter segera!" ucapnya terbata. Arsen berusaha berlari menuju pintu, namun tangannya tercekal. Airina menahan pergelangan tangan Arsen dengan kuat. "Jangan pergi dulu, bagaimana kabar anak kita?" tanya Airina lirih. "Anak kita sehat, Airina. Dia ada di ruang bayi, kalau kamu sudah sepenuhnya pulih. Kita ak
"Hah?" beo Airina kebingungan. "Kamu tahu dari mana?" tanya Airina pada adik bungsunya. Tatapan mata yang lekat pada adiknya itu menyelidik. Bahkan ia terlihat sudah tahu bagaimana ceritanya kejadian itu terjadi pada kakaknya. "Bu Julie cerita ke aku, Kak. Awalnya aku juga tidak percaya, tapi setahuku memang Nona Gemma tidak pernah menyukaimu 'kan?" tutur Aily lirih. "Aily, kamu tidak perlu sampai seperti itu. Tidak perlu membenci orang lain seperti itu, Aily. Lihatlah kakak baik-baik saja loh," ucap Airina dengan menatap lembut adik bungsunya. "Kakak memang baik-baik saja, jika Kakak tidak baik setelah kejadian itu. Apa kakak bisa mengatakan kalimat barusan?" tanya Aily dengan menekan kalimat demi kalimatnya. Deg! Sifat ke duanya sangat bertolak belakang. Aily membiarkan Airina sibuk dengan pikirannya, ia beranjak meninggalkan ruang tamu. "Aku mau istirahat dulu, Kak. Lelah sekali perjalanan hari ini," keluhnya. Airina hanya bisa melihat adiknya melenggang begitu saja. Hanya
Arsen terperanjat, ia dengan sigap menopang tubuh Airina agar tidak terjatuh. Sayup-sayup Anne berlari dari lawan arah. Membantu Arsen menopang tubuh Airina, tanpa sadar itu adalah salah Anne. Akhirnya, dengan degup jantung yang tidak beraturan, Airina masih selamat. "Terima kasih, Arsen, Anne," lirih ucap Airina. Dengan perasaan penuh kekalutan, Airina memilih duduk di sofa. Membiarkan jantungnya berdegup normal kembali. Dengan segelas air putih ia berusaha menetralkan dirinya sendiri meski cukup sulit. Ada ketakutan dalam dirinya yang cukup kuat. "Anne, bagaimana bisa kamu mengepel dan masih sangat basah seperti itu?" tanya Arsen dengan nada yang cukup keras. Sedangkan pembantunya hanya bisa diam dengan menatap lantai di hadapannya. "Maafkan saya, Tuan. Saya tadi sempat mengambil air bersih, karena mema-" ucapannya terhenti. Arsen tidak lagi mengomel, ia berjalan mendekati Airina. Ia memastikan keadaan istrinya baik-baik saja. "Jangan marah pada Anne, itu akan membuatnya t
Arsen dengan segera memeluk erat tubuh Airina, meredakan setiap kepanikan dan ketakutan dalam dirinya. Tidak ingin membiarkan istrinya begitu kalut dalam rasa takutnya. "Hust, sudah, itu tidak akan terjadi, Airina. Aku ada di sini menemanimu," ucap Arsen. Ia mengecup beberapa kali kening Airina tanpa ragu. Membiarkan istrinya itu lebih tenang dengan adanya dirinya. Tidak berselang lama, Julie masuk dalam ruang inap. Raut wajah paniknya sesaat sudah berubah dengan rasa lega. "Sayang, kamu sudah siuman. Bagaiaman keadaan tubuhmu?" tanya Julie lirih. "Aku baik, Ibu. Rasanya juga sudah lebih baik daripada tadi saat aku jatuh. Ibu ... Maaf sekali aku lalai," ucap Airina lirih. Rasa bersalah dalam dirinya seolah membuat Airina tertekan. Tidak nyaman dengan apa yang terjadi dengan dirinya sendiri. "Airina, kamu selamat saja ibu sudah senang. Tidak perlu mengatakan itu, kamu mau minta maaf atas apa? Gara-gara ada seseorang menabrakmu sampai jatuh? Tidak-tidak, kamu tidak salah dalam ha
Dokter terlihat kalut dengan keadaan pasiennya, Arsen sudah pasrah. Mulutnya hanya bisa merapal doa agar istrinya baik-baik saja. "Dokter, katakan bagaiaman keadaan menantu saya?" tanya Julie dengan tatapan tajam. Dengan berat hati dokter membuka suara, dengan bergetar suara itu terdengar. Setiap kalimat yang ia utarakan seolah akan membuat semua anggota keluarga tercengang. "Sebelumnya saya meminta maaf, awalnya saya tidak yakin Nona Airina akan melalui masa kritis ini. Sempat terjadi pendarahan yang cukup menegangkan," jelasnya. Arsen dan Julie saling menatap, wajahnya mulai pucat tidak siap dengan apa yang akan di utarakan dokter. "Lalu, Dok?" Arsen menggantungkan tanyanya. Helaan nafas cukup panjang diambil begitu saja oleh dokter, "Saya sempat terkejut saat Nona Airina dan bayi dalam kandungannya berhasil melewati masa kritisnya. Sekarang biarkan ia istirahat terlebih dahulu," tambah dokter. Julie memeluk erat tubuh Arsen, dengan perasaan campur aduk. Akhirnya ia dan anak
Namun, bagi Airina itu masih kurang sedikit. Ya, selera ke duanya memang cukup berbeda, maka dari itu rasanya Airina ingin menambahkan sedikit diantara kata itu. Masih diam dengan isi kepalanya, Arsen mulai menatapnya lekat tanpa celah. "Apa kamu tidak suka dengan nama itu?" tanya Arsen dengan tatapan penuh tanya. "Bu-bukan tidak suka, bagiku itu masih kurang sedikit. Nanti bisa kita pikirkan ya," elak Airina dengan senyum manis di bibirnya. Kini mereka sudah kembali sibuk dengan urusannya masing-masing. Bergelut dengan isi kepalanya yang mulai bersahutan, salah dengan banyaknya ide dan nama yang harus diberikan. Ini anak pertama Airina dan Arsen, jadi akan menjadi sebuah hal baru bagi ke duanya. "Sudah, tidak perlu dipikirkan. Nanti bisa kita diskusikan lagi, Airina." Arsen kini menatap istrinya lekat, menunjukkan padanya bahwa mereka sudah tiba di mall terbesar di Macherie. Agatto Mall yang ada di pusat kota Macherie. Langkah ke duanya pelan memasuki mall. Dengan tangan ya