Raut wajah Airina dan Aily terlihat sangat kaget, Amelia yang menahan diri untuk tidak berkomentar banyak. Ia hanya mengulas senyum. "Bercanda, hahahaha. Aku sedang ada di kota tadi, kebetulan aku ingat katamu kalau Airina ada di sini. Jadi, aku sekalian mampir," jelas Yoshi dengan kekehan ringan. "Tapi, Airina memang cantik, Yosh. Lihatlah dia yang sekarang, sangat berbeda dengan dia saat kecil. Makan ice cream cemong," celetuk Amelia mengundang tawa Airina dan Aily. "Ibu, jangan membuka kartu seperti itu!"" Airina menggerutu, ia hanya bisa mengulas senyum tipis. Sedangkan Aily sudah mulai meledek kakak sulungnya itu. Sore itu, Amelia di bawa pulang dengan mobil Yoshi, beberapa alat yang harus dibawa sudah tertata rapi di mobil. "Terima kasih ya, Yosh. Aku sangat merepotkanmu hari ini," ucap Airina setibanya di rumah. "Tidak apa-apa, kita satu arah dan aku sudah ada di sana. Mana mungkin aku membiarkan kalian naik taxi untuk pulang," jelas Yoshi Almahera lirih. "Sekali lagi t
Pasca 1 bulan Airina meninggalkan Arsen, kini ia hanya bisa duduk diam di sudut kamar. Menatap lekat langit pagi itu yang cukup cerah. "Aku merindukanmu, Arsen. Tapi ... aku tidak ingin jatuh cinta lebih dalam denganmu," gumamnya. Kilatan mata yang tajam yang membuat Airina teringat jelas raut wajah suami kontraknya. Sialnya ia hanya bisa diam mematung dengan segala kenangan yang ada. Tok tok tok! "Kakak, aku boleh masuk?" suara Aily yang terdengar nyaring di telinga Airina. "Masuk saja, Ai!" seru Airina. Pintu kamar yang terbuka dengan menampakkan sosok adik kandungnya. Raut wajahnya pasi seolah menyimpan kabar atau hal yang mengganjal hatinya. "Ada apa?" singkat kalimat tanya itu keluar dari mulut Airina. Aily terlihat ragu untuk mengucapkan suatu kata, "E ... Kak, ada pesan dari kakak ipar," singkat ucapannya dengan penuh keraguan. "Hm ... Aku sedang tidak ingin berkomunikasi dengannya, katakan saja aku baik-baik saja." Airina terlihat acuh dengan apa yang terjadi saat in
Arsen terbata-bata saat memberikan jawaban pada Julie, tidak ada kalimat yang tepat dalam benaknya. Bahkan ia sedang memikirkan apa alasan yang cukup masuk akal. "Dia kenapa, Arsen? Jangan-jangan sudah terjadi sesuatu padanya?" tuduhan Julie dengan tatapan nyalang dan sangat tajam. "Ti-tidak terjadi apa-apa, sudahlah ... Ibu. Tolong ya, aku akan meeting sore ini. Apa ibu mau aku antar pulang ke rumah?" tanya Arsen dengan lembut. Pria itu kini menggiring ibunya pergi dari kantor, alih-alih merasa senang. Julie malah menatap Arsen dengan penuh kekesalan. "Ibu tidak suka sifat kamu yang seperti ini, selalu saja memaksakan kehendak agar ibu cepat pulang!" serunya dengan ketus. Dari ujung mata, Arsen melirik sedikit ke arah Julie. Hanya ulasan senyum tipis yang sengaja ia sunggingkan. Namun, sebuah cubitan kecil pada pinggang Arsen membuat ia merintih kesakitan. "Ibu, aku bukan anak kecil lagi!" serunya keras. "Karena kamu sudah dewasa, aku tidak lagi menjewermu! Katakan di mana Air
Degup jantung yang tidak beraturan, matanya tidak henti-hentinya menatap wanita yang kini berdiri di hadapan Arsen. "A- Airina ...," rintihnya lirih. Tubuhnya seperti limbung begitu saja, sebuah kenyataan yang ia tunggu kapan akan terjadi. Langkahnya dengan lemas memaksa berlari. "Airina, kenapa kamu pergi terlalu lama!" hardiknya keras. Arsen yang biasa terlihat kuat dan tidak banyak kata, kini ia hanya bisa memeluk erat tubuh wanita yang ia cintai. Sudah tidak ada waktu baginya untuk menutupi rasa gengsinya. "Kenapa kamu baru kembali sekarang? Ke mana kamu selama ini? Apa yang kamu cari, Airina? Sialnya ...," berondong tanya Arsen tanpa henti. "A ... Aku ...," tidak terucap dengan benar kalimat itu dari mulut Airina. "Stop, jangan katakan apa pun sekarang! Tetaplah di sini, jangan pernah pergi lagi. Aku benar-benar mencintaimu, Airina ...," suara lirih nan lembut itu menembus gendang telinga Airina. Dengan penuh keterkejutan, Airina merasa tubuhnya tidak lagi bertumpuan. Lem
"Maksudmu?" tanya Airina. Ia sempat terhenyak tidak paham dengan kalimat tanya Arsen. Entah maksud apa yang tersirat dari kalimat tanya itu. "Kenapa kita tidak dari dulu saja memulai hubungan dengan serius?" ulang tanya Arsen. Airina mengangguk paham, "Oh ini, iya juga ya. Aku dulu hanya memenuhi permintaanmu sebagai tanda maaf dan rasa kasihan," tutur Airina lirih. "Kasihan?" kalimat tanya menggantung itu berhasil terlontar. "Iya, tapi itu dulu, Arsen. Sekarang sudah berubah ... Apalagi setelah aku diculik dan hidup cukup lama bersamamu," tutur Airina dengan lembut. Pupil matanya melebar saat Arsen menatapnya lekat tanpa jeda. Pria di hadapannya kini hanya berjarak satu jengkal. "Kenapa kamu mendekat seperti itu?" todong tanya Airina keras. "Tidak apa-apa, aku hanya sedang mencari celah pada dirimu ... Bagaimana bisa orang sepertimu tidak ada celanya?" dengan kekehan kecil Arsen mengulas tawa renyah. "Kamu ingin mengatakan apa, Airina?" tanya Arsen lirih. Airina terdiam sej
Airina semakin mendongakkan kepalanya saat Arsen menatapnya dekat lekat. Tubuhnya yang sudah tertindih tubuh kekar Arsen hanya bisa terdiam. “Hust, tidurlah dengan lelap. Besok kita kembali bercerita,” bisik Arsen saat mendekap tubuh Airina. “Tidak ... aku ingin kamu memasak untukku malam ini!” todong Airina tegas. “Ya, baiklah. Aku akan memasak khusus untukmu sayang,” Arsen beranjak dari ranjang dengan menampakkan tubuh yang terbalut kemeja. Tubuh dengan otot kerasnya itu terbungkus rapi yang kini sedikit terbuka. Manik mata Airina yang tidak beralih sama sekali dari fokusnya. “Bahkan kamu masih dengan tatapan canggungmu itu, Airina? Siapa yang kamu tatap saat kamu pergi dari sisiku?” celetuk tanya Arsen secara tiba-tiba. Sontak, manik mata itu menajam, “Tidak ada siapa pun yang aku tatap sedemikian rupa, Arsen. Hanya kau!” hardiknya keras. “Hahaha, aku bercanda, Airina. Siapa tahu ada laki-laki yang mendekatimu selama aku tidak ada di sisimu ...,” ledeknya. “Yoshi menemaniku
Mata Airina berbinar saat membaca pesan yang ditunjukkan Arsen. Sebuah sumber masalah itu telah ditemukan keberadaannya. Tidak ada kata yang mampu keluar dari mulutnya. "Apa yang ingin kamu lakukan pada Albert?" tanya Arsen lirih. "A-aku ... ini benar-benar sebuah jalan keluar. Akhirnya dia tertangkap, aku ingin dia dipenjara. Setelah itu ... aku ingin menemui Shena dan menjelaskan semuanya, Arsen!" serunya dengan tergagap. Buncahan rasa bahagia dalam dadanya tidak bisa dibendung, "Masalah ini menemukan titik terang, terima kasih banyak, Arsen!" ucap Airina dengan memeluk erat tubuh suaminya. "Kamu layak mendapatkan semua ini, perlahan kita perbaiki namamu ya. Aku tidak ingin istriku dikatakan penjahat, padahal jelas-jelas ia adalah wanita terbaik," bisik Arsen dengan senyuman yang merekah pada bibirnya. "Kamu berlebihan, tapi ini memang sebuah kejutan untukku," tutur Airina mengeratkan dekapannya pada Arsen. Lama ke duanya saling merengkuh tubuh masing-masing. Hingga Arsen yang
Arsen menatap nanar ke arah Airina, raut muka wanitanya terlihat sendu. Ada duka yang mendalam dalam hatinya. "Airina, perihal Shena nanti mau memaafkanmu atau tidak, itu sudah hak dia. Terlebih kita sudah membawa bukti," jelas Arsen dengan tutur lembut. "Aku sangat takut, Arsen," ucap Airina lirih. "Dengarkan aku, kita akan menemukan titik terang. Nanti aku akan menginvestasikan sebagian dana untuk panti asuhan itu, tenang saja ya!" ucap Arsen dengan mengoyak tubuh Airina. Airina mendongakkan kepalanya pada Arsen lekat. Dengan penuh keraguan ia menatap lekat manik mata Arsen. "Aku takut!" seru Airina keras. Tangannya menarik Airina dalam dekapan Arsen, dada bidangnya menangkup tubuh ringkih Airina. "Dengarkan aku, akan aku selesaikan semua masalah yang membelenggu hidupmu. Tumpahkan keluhmu padaku, jangan ragu!" bisik Arsen. Selama ia masih menenangkan Airina, Aiser sibuk mempersiapkan diri. Tubuh Albert yang sudah terikat kuat dengan tali di tangannya. "Ayo, Aiser!" ajak Ar