Mata Airina berbinar saat membaca pesan yang ditunjukkan Arsen. Sebuah sumber masalah itu telah ditemukan keberadaannya. Tidak ada kata yang mampu keluar dari mulutnya. "Apa yang ingin kamu lakukan pada Albert?" tanya Arsen lirih. "A-aku ... ini benar-benar sebuah jalan keluar. Akhirnya dia tertangkap, aku ingin dia dipenjara. Setelah itu ... aku ingin menemui Shena dan menjelaskan semuanya, Arsen!" serunya dengan tergagap. Buncahan rasa bahagia dalam dadanya tidak bisa dibendung, "Masalah ini menemukan titik terang, terima kasih banyak, Arsen!" ucap Airina dengan memeluk erat tubuh suaminya. "Kamu layak mendapatkan semua ini, perlahan kita perbaiki namamu ya. Aku tidak ingin istriku dikatakan penjahat, padahal jelas-jelas ia adalah wanita terbaik," bisik Arsen dengan senyuman yang merekah pada bibirnya. "Kamu berlebihan, tapi ini memang sebuah kejutan untukku," tutur Airina mengeratkan dekapannya pada Arsen. Lama ke duanya saling merengkuh tubuh masing-masing. Hingga Arsen yang
Arsen menatap nanar ke arah Airina, raut muka wanitanya terlihat sendu. Ada duka yang mendalam dalam hatinya. "Airina, perihal Shena nanti mau memaafkanmu atau tidak, itu sudah hak dia. Terlebih kita sudah membawa bukti," jelas Arsen dengan tutur lembut. "Aku sangat takut, Arsen," ucap Airina lirih. "Dengarkan aku, kita akan menemukan titik terang. Nanti aku akan menginvestasikan sebagian dana untuk panti asuhan itu, tenang saja ya!" ucap Arsen dengan mengoyak tubuh Airina. Airina mendongakkan kepalanya pada Arsen lekat. Dengan penuh keraguan ia menatap lekat manik mata Arsen. "Aku takut!" seru Airina keras. Tangannya menarik Airina dalam dekapan Arsen, dada bidangnya menangkup tubuh ringkih Airina. "Dengarkan aku, akan aku selesaikan semua masalah yang membelenggu hidupmu. Tumpahkan keluhmu padaku, jangan ragu!" bisik Arsen. Selama ia masih menenangkan Airina, Aiser sibuk mempersiapkan diri. Tubuh Albert yang sudah terikat kuat dengan tali di tangannya. "Ayo, Aiser!" ajak Ar
Mata Airina membulat pasi, ia masih tidak menyangka dengan tindakan Arsen secara tiba-tiba. Di depan umum dan di hadapan Yoshi. "A-Arsen, apa kamu mabuk?" tanya Airina lirih. "Tidak, aku hanya tidak ingin orang lain menatapmu penuh cinta. Hanya aku yang berhak akan itu," jawab Arsen dengan menekankan setiap kata yang keluar dari bibirnya. "Iya, sekarang menjauhlah sedikit, Arsen. Aku sangat malu mengaji pusat perhatian banyak orang!" hardik Airina bergidik ngeri. "Hust, aku kan suamimu, Airina. Ayo ...," ajaknya ke sudut cafe yang terlihat kosong. Arsen menarik pinggang Airina untuk berjalan sejajar dengannya. Langkahnya terhenti pada sebuah kursi di sudut cafe. "Aku sangat malu hari ini, bisa-bisanya kamu melakukan itu di depan umum!" seru Airina dengan gerutu kesal. "Jangan mengundang pandangan orang lain, aku tidak suka!" tegas Arsen dengan memberikan tatapan intens. Usai sudah acara makan itu, kini mereka kembali ke Macherie. Menyelesaikan masalah yang masih tersisa, denga
"Stop, Arsen!" pekik Airina saat Arsen mulai sibuk menggelitik pinggangnya. Aron hanya bisa menjadi saksi keduanya asyik tertawa. Perjalanan itu berhenti tepat di depan butik. Suasana butik yang sudah ramai di luar dugaan Airina. "A-Arsen, siapa mereka yang sudah berbondong-bondong itu? apa mereka wartawan?" tanya Airina tergagap. Manik matanya menyibak ke beberapa sudut, benar saja tidak ada celah untuknya masuk ke dalam. Aron hanya bisa menepuk pelan jidatnya. "Sebentar aku coba hubungi Tiwi, bagaimana bisa wartawan berjajar seperti ini tapi tidak ada pemberitahuan!" Airina menggerutu dengan mengetuk beberapa kali pada ponselnya. Sebuah telepon yang sudah tersambung itu sempat hening. "Halo, Nona," sapa Tiwi. "Tiwi, bagaimana bisa banyak wartawan seperti ini? Apa ada berita baru yang menyangkut diriku?" berondong tanya Airina yang sudah kalang kabut. "Tidak ada, hanya ada satu berita menyeruak pagi tadi. Saya lupa mengabari nona perihal itu, emm saya akan mencari cara agar n
Tanpa basa-basi, Tiwi langsung menghubungi Arsen. Mengatakan keadaan Airina yang secara tiba-tiba drop. Dengan bergegas pria itu menanggapi kabar dari Tiwi. "Airina!" teriak Arsen keras. Matanya menatap lekat keadaan istrinya yang hanya menatap kosong. Tidak ada raut ceria dari wajahnya kini. "Bawa aku ke Mitleburg sekarang!" seru Airina tanpa ekspresi. "Sayang, ada apa? katakan padaku apa yang terjadi?" tanya Arsen dengan lembut. Alih-alih mendapatkan jawaban, Airina semakin memberontak padanya. "Arsen, bawa aku ke Mitleburg sekarang! Aku ti-tidak bisa menjelaskannya di sini. Waktu kita tidak banyak," ujarnya dengan tergagap. Isak tangisnya membasahi pipi ranumnya, matanya yang basah dengan tangan mengepal. Pukulan kecil sampai besar menghujam tubuh Arsen keras. "Arsen, bawa aku ke Mitleburg. Aku mohon!" rintihnya keras. "Iya, kita pergi ke Mitleburg sekarang! Tenangkan dirimu dulu ya," ucap Arsen lembut. Kini ia menginstrupsi Tiwi dan Aron, meminta ke duanya untuk mempersi
Airina masih termangu di koridor rumah sakit, duduk diam di kursi tunggu. Matanya masih menatap kosong ke setiap sudut ruangan. "Airina, ayo kita makan dulu. Semua tentang pemakaman ibu sudah di atur dan dibantu oleh Aron," ajak Arsen pada Airina. "Tidak ... Aku hanya ingin duduk di sini saja," tegas Airina kesal. "Hust ... ayo kita makan dulu, Aily dan Yoshi sudah ada di restoran dekat rumah sakit. Mari kita menyusul mereka," ajak Arsen dengan sedikit memaksa. Tanpa basa-basi Arsen menarik tubuh Airina dengan paksa. Meski kepalanya terbenam dalam dekapan Arsen, isak tangisnya sesekali masih membasahi pipi Airina. "Arsen, akhirnya kamu datang! Aku kira Airina akan menolak makan sore ini," ucap Yoshi setibanya Arsen dan Airina di restoran. "Dia menolak, tapi aku memaksanya. Bagaimana Yosh?" tanya Arsen dengan lembut. "Semua sudah aku urus bersama Aron, mungkin 1 jam lagi jenazahnya akan dibawa pulang. Tentang pemakamannya juga sudah aku atur," tutur Yoshi dengan lembut. Arsen h
Tangan Arsen tercekal yang hendak beranjak keluar kamar. Matanya mendapati sosok Airina yang menatapnya dengan penuh kesenduan. "Iya, aku hanya ke dapur mengambil minum. Sebentar ya," ucap Arsen lirih. "Jangan tinggalkan aku ...," lirih suara Airina membuat Arsen terhenti. Ia tidak bisa mengendalikan dirinya, mengambil duduk di tepi ranjang. Dengan tangan yang setia mengusap pelan kening Airina. "Tidurlah, jangan takut aku akan meninggalkanmu ... Aku akan selalu di sini," bisik Arsen seraya mengusap lembut kening Airina. "Jangan pergi, aku tidak ingin sendiri ...," lirih suara itu terdengar. Arsen hanya bisa tersenyum tipis, mata istrinya perlahan terpejam rapat. Tidak ada tanggapan lagi atas tindakannya, pelan ia beranjak saat dirasa sudah terlelap. Dering ponsel itu terdengar memekakkan telinga. Sedikit beranjak dari ranjang. "Halo," sapanya tanpa melihat siapa peneleponnya. "Halo, Arsen. Bagaimana kabarmu sekarang? Aku dengar-" Sambungan telepon itu terputus, Arsen dengan
Airina termangu dengan menunggu jawaban Tiwi, notifikasi di ponsel genggamnya menyiratkan sebuah pesan singkat. [Selamat kasusmu selesai, Airina. Hahaha.] "Siapa? nomor asing!" pekik Airina keras. "Ada apa, Nona? Mengapa Anda terlihat sangat cemas?" tanya Tiwi dengan penuh kepanikan. "Nomor asing yang suka menghubungiku secara tiba-tiba, siapa dia?" Airina bertanya-tanya. Namun, naasnya ia tidak bisa mengingat siapa pemilik nomor itu. "Nona memiliki musuh? Atau mungkin orang yang tidak mau bisnis nona naik," Tiwi melempar tanya pada Airina. Dengan tidak yakin, ia beranjak dari sofa. Berjalan pelan ke arah dekat jendela, matanya menelisik saat mendapati sosok Arsen sudah ada di sana. "Katanya rapat, tapi sudah kembali lagi ke sini," gumam Airina lirih. "Tiwi, lupakan tentang siapa pengirim pesan itu, aku akan pergi bersama Arsen. Ada kain yang harus aku beli sendiri," tuturnya dengan lembut. "Baik, Nona muda. Saya akan menyiapkan keperluan Anda," pamit Tiwi dengan beranjak men
"Tera Fillmoore Pinault!" seru seorang pria dengan tubuh tinggi dengan jas yang melekat pada tubuhnya. "Om Yoshi!" seru Tera. "Happy wedding ya, Om, Aunty!" ucap Tera dengan senyum ramah. Pagi itu, Tera dan Tora diminta menjadi Bridesmaids dan Groomsmen di acara pernikahan Aily dan Yoshi. Di tepi pantai Medoza, ke duanya resmi menikah. Airina dan Arsen hanya mengulas senyum tipis, tatkala sepasang pengantin itu terlihat bahagia di atas pelaminan. "Cie, udah nggak jomblo nih!" ledek Airina. "Diam!" seru Yoshi. Gelak tawa terdengar nyaring, acara pernikahan yang diadakan dengan sederhana. Membuat suasana intimade wedding itu kian kental terasa. "Curang sekali kamu, Yosh. Bisa-bisanya menikahi adikku sendiri," ucap Airina. Ia yang sedari tadi menahan air mata, kini ia benar-benar menumpahkannya di dada Arsen. Usapan pelan pada pundak Airina, membuat ia air matanya semakin pecah. "Aku hanya ingin melindungi adik sekaligus istriku ini, Airin. Lagi pula, kamu sudah mengenal aku c
Aily dan Yoshi saling melempar senyuman tipis. "Aku ingin melamar adikmu, Airin," ucap Yoshi lembut. DegJantung Airina seperti berhenti berdetak sepersekian detik, kaget dan campur aduk. Di hadapan keluarga Arsen, Yoshi dengan entengnya mengatakan kalimat itu tanpa ragu. "Yosh ...? Kamu serius?" tanya Arsen lirih. Yoshi menganggukkan kepalanya membenarkan ucapannya. Membuat Airina dan Arsen semakin terdiam kaku. "Entah restu seperti apa yang harus aku berikan padamu, Yosh. Tapi ... Aku tidak bisa memaksa adikku untuk mengikuti jejakku, aku membiarkan adikku memilih jalannya sendiri. Jadi, apa pun yang diinginkan Aily, aku setuju," tutur Airina lembut. Aily berseru dengan bahagia, setelah selesai pendidikannya. Ia berniat melanjutkan kuliah terlebih dahulu. "Terima kasih, Kak!" Aily memeluk erat tubuh Airina. Malam tahun baru itu membawa rona bahagia pada semuanya. Airina dan Arsen yang cintanya semakin kuat, dalam dekapannya Tora dan Tera tersenyum menggelitik. **** 5 tahu
"Arsen ...," Julie mengoyak tubuh anak laki-lakinya, teriakannya cukup keras. Membuat ia yang duduk di ruang tunggu mampu mendengar suaranya. Lama Arsen hanya mengubah posisi tidurnya, entah apa yang ia rasakan di alam mimpi. "Arsen!" gertak Julie. "Arghhh!" Matanya menyipit sebelum benar-benar sadar dari tidur singkatnya. Matanya mengerjap perlahan. "Ibu ... bagaimana bisa ibu ada di sini?" tanya Arsen dengan tergagap. "Kamu mimpi apa? Sangat berisik, ibu takut Airina terganggu," tanya Julie. "Rasanya aku tidak bermimpi, namun ada sesuatu yang mengganjal dalam tubuhku. Maaf ibu," Arsen mengacak rambutnya kasar. "Sudah tidak apa-apa, tenangkan dirimu sebelum kembali tidur. Kasihan Airina jika terganggu," peringat Julie. Arsen akhirnya melangkahkan kakinya ke luar ruang inap, sekilas ia melihat anak kembarnya di ruang bayi. Ia hampir lengah dengan penjagaan di sana. "Aron, panggilkan beberapa orang untuk menjaga ruang bayi!" titahnya. Setelahnya, Arsen hanya duduk di kursi
Mata itu perlahan mengerjap hingga sepenuhnya ia mampu menatap sekeliling ruangan. Dengan nuansa biru lautnya, ruangan yang terlihat luas hanya menyisakan dirinya dan Arsen. Dengan perlahan matanya terbuka dengan lebar, ia mengerjapkan matanya berulang. Pukul 10 malam, setelah pagi hari ia berjuang untuk nyawa dua bayi. Kini, ia kembali siuman setelah tertidur entah berapa lama. "A-Arsen," lirih suaranya samar memanggil nama Arsen di sampingnya. Pria itu menundukkan kepalanya dalam, seolah tidak memiliki harapan besar atas istrinya. Setelah mendengar suara tangisan ke dua kalinya, ia tidak lagi ingat apa yang terjadi padanya. "Airin, kamu sudah siuman? A-aku akan memanggil dokter segera!" ucapnya terbata. Arsen berusaha berlari menuju pintu, namun tangannya tercekal. Airina menahan pergelangan tangan Arsen dengan kuat. "Jangan pergi dulu, bagaimana kabar anak kita?" tanya Airina lirih. "Anak kita sehat, Airina. Dia ada di ruang bayi, kalau kamu sudah sepenuhnya pulih. Kita ak
"Hah?" beo Airina kebingungan. "Kamu tahu dari mana?" tanya Airina pada adik bungsunya. Tatapan mata yang lekat pada adiknya itu menyelidik. Bahkan ia terlihat sudah tahu bagaimana ceritanya kejadian itu terjadi pada kakaknya. "Bu Julie cerita ke aku, Kak. Awalnya aku juga tidak percaya, tapi setahuku memang Nona Gemma tidak pernah menyukaimu 'kan?" tutur Aily lirih. "Aily, kamu tidak perlu sampai seperti itu. Tidak perlu membenci orang lain seperti itu, Aily. Lihatlah kakak baik-baik saja loh," ucap Airina dengan menatap lembut adik bungsunya. "Kakak memang baik-baik saja, jika Kakak tidak baik setelah kejadian itu. Apa kakak bisa mengatakan kalimat barusan?" tanya Aily dengan menekan kalimat demi kalimatnya. Deg! Sifat ke duanya sangat bertolak belakang. Aily membiarkan Airina sibuk dengan pikirannya, ia beranjak meninggalkan ruang tamu. "Aku mau istirahat dulu, Kak. Lelah sekali perjalanan hari ini," keluhnya. Airina hanya bisa melihat adiknya melenggang begitu saja. Hanya
Arsen terperanjat, ia dengan sigap menopang tubuh Airina agar tidak terjatuh. Sayup-sayup Anne berlari dari lawan arah. Membantu Arsen menopang tubuh Airina, tanpa sadar itu adalah salah Anne. Akhirnya, dengan degup jantung yang tidak beraturan, Airina masih selamat. "Terima kasih, Arsen, Anne," lirih ucap Airina. Dengan perasaan penuh kekalutan, Airina memilih duduk di sofa. Membiarkan jantungnya berdegup normal kembali. Dengan segelas air putih ia berusaha menetralkan dirinya sendiri meski cukup sulit. Ada ketakutan dalam dirinya yang cukup kuat. "Anne, bagaimana bisa kamu mengepel dan masih sangat basah seperti itu?" tanya Arsen dengan nada yang cukup keras. Sedangkan pembantunya hanya bisa diam dengan menatap lantai di hadapannya. "Maafkan saya, Tuan. Saya tadi sempat mengambil air bersih, karena mema-" ucapannya terhenti. Arsen tidak lagi mengomel, ia berjalan mendekati Airina. Ia memastikan keadaan istrinya baik-baik saja. "Jangan marah pada Anne, itu akan membuatnya t
Arsen dengan segera memeluk erat tubuh Airina, meredakan setiap kepanikan dan ketakutan dalam dirinya. Tidak ingin membiarkan istrinya begitu kalut dalam rasa takutnya. "Hust, sudah, itu tidak akan terjadi, Airina. Aku ada di sini menemanimu," ucap Arsen. Ia mengecup beberapa kali kening Airina tanpa ragu. Membiarkan istrinya itu lebih tenang dengan adanya dirinya. Tidak berselang lama, Julie masuk dalam ruang inap. Raut wajah paniknya sesaat sudah berubah dengan rasa lega. "Sayang, kamu sudah siuman. Bagaiaman keadaan tubuhmu?" tanya Julie lirih. "Aku baik, Ibu. Rasanya juga sudah lebih baik daripada tadi saat aku jatuh. Ibu ... Maaf sekali aku lalai," ucap Airina lirih. Rasa bersalah dalam dirinya seolah membuat Airina tertekan. Tidak nyaman dengan apa yang terjadi dengan dirinya sendiri. "Airina, kamu selamat saja ibu sudah senang. Tidak perlu mengatakan itu, kamu mau minta maaf atas apa? Gara-gara ada seseorang menabrakmu sampai jatuh? Tidak-tidak, kamu tidak salah dalam ha
Dokter terlihat kalut dengan keadaan pasiennya, Arsen sudah pasrah. Mulutnya hanya bisa merapal doa agar istrinya baik-baik saja. "Dokter, katakan bagaiaman keadaan menantu saya?" tanya Julie dengan tatapan tajam. Dengan berat hati dokter membuka suara, dengan bergetar suara itu terdengar. Setiap kalimat yang ia utarakan seolah akan membuat semua anggota keluarga tercengang. "Sebelumnya saya meminta maaf, awalnya saya tidak yakin Nona Airina akan melalui masa kritis ini. Sempat terjadi pendarahan yang cukup menegangkan," jelasnya. Arsen dan Julie saling menatap, wajahnya mulai pucat tidak siap dengan apa yang akan di utarakan dokter. "Lalu, Dok?" Arsen menggantungkan tanyanya. Helaan nafas cukup panjang diambil begitu saja oleh dokter, "Saya sempat terkejut saat Nona Airina dan bayi dalam kandungannya berhasil melewati masa kritisnya. Sekarang biarkan ia istirahat terlebih dahulu," tambah dokter. Julie memeluk erat tubuh Arsen, dengan perasaan campur aduk. Akhirnya ia dan anak
Namun, bagi Airina itu masih kurang sedikit. Ya, selera ke duanya memang cukup berbeda, maka dari itu rasanya Airina ingin menambahkan sedikit diantara kata itu. Masih diam dengan isi kepalanya, Arsen mulai menatapnya lekat tanpa celah. "Apa kamu tidak suka dengan nama itu?" tanya Arsen dengan tatapan penuh tanya. "Bu-bukan tidak suka, bagiku itu masih kurang sedikit. Nanti bisa kita pikirkan ya," elak Airina dengan senyum manis di bibirnya. Kini mereka sudah kembali sibuk dengan urusannya masing-masing. Bergelut dengan isi kepalanya yang mulai bersahutan, salah dengan banyaknya ide dan nama yang harus diberikan. Ini anak pertama Airina dan Arsen, jadi akan menjadi sebuah hal baru bagi ke duanya. "Sudah, tidak perlu dipikirkan. Nanti bisa kita diskusikan lagi, Airina." Arsen kini menatap istrinya lekat, menunjukkan padanya bahwa mereka sudah tiba di mall terbesar di Macherie. Agatto Mall yang ada di pusat kota Macherie. Langkah ke duanya pelan memasuki mall. Dengan tangan ya