"Stop, Arsen!" pekik Airina saat Arsen mulai sibuk menggelitik pinggangnya. Aron hanya bisa menjadi saksi keduanya asyik tertawa. Perjalanan itu berhenti tepat di depan butik. Suasana butik yang sudah ramai di luar dugaan Airina. "A-Arsen, siapa mereka yang sudah berbondong-bondong itu? apa mereka wartawan?" tanya Airina tergagap. Manik matanya menyibak ke beberapa sudut, benar saja tidak ada celah untuknya masuk ke dalam. Aron hanya bisa menepuk pelan jidatnya. "Sebentar aku coba hubungi Tiwi, bagaimana bisa wartawan berjajar seperti ini tapi tidak ada pemberitahuan!" Airina menggerutu dengan mengetuk beberapa kali pada ponselnya. Sebuah telepon yang sudah tersambung itu sempat hening. "Halo, Nona," sapa Tiwi. "Tiwi, bagaimana bisa banyak wartawan seperti ini? Apa ada berita baru yang menyangkut diriku?" berondong tanya Airina yang sudah kalang kabut. "Tidak ada, hanya ada satu berita menyeruak pagi tadi. Saya lupa mengabari nona perihal itu, emm saya akan mencari cara agar n
Tanpa basa-basi, Tiwi langsung menghubungi Arsen. Mengatakan keadaan Airina yang secara tiba-tiba drop. Dengan bergegas pria itu menanggapi kabar dari Tiwi. "Airina!" teriak Arsen keras. Matanya menatap lekat keadaan istrinya yang hanya menatap kosong. Tidak ada raut ceria dari wajahnya kini. "Bawa aku ke Mitleburg sekarang!" seru Airina tanpa ekspresi. "Sayang, ada apa? katakan padaku apa yang terjadi?" tanya Arsen dengan lembut. Alih-alih mendapatkan jawaban, Airina semakin memberontak padanya. "Arsen, bawa aku ke Mitleburg sekarang! Aku ti-tidak bisa menjelaskannya di sini. Waktu kita tidak banyak," ujarnya dengan tergagap. Isak tangisnya membasahi pipi ranumnya, matanya yang basah dengan tangan mengepal. Pukulan kecil sampai besar menghujam tubuh Arsen keras. "Arsen, bawa aku ke Mitleburg. Aku mohon!" rintihnya keras. "Iya, kita pergi ke Mitleburg sekarang! Tenangkan dirimu dulu ya," ucap Arsen lembut. Kini ia menginstrupsi Tiwi dan Aron, meminta ke duanya untuk mempersi
Airina masih termangu di koridor rumah sakit, duduk diam di kursi tunggu. Matanya masih menatap kosong ke setiap sudut ruangan. "Airina, ayo kita makan dulu. Semua tentang pemakaman ibu sudah di atur dan dibantu oleh Aron," ajak Arsen pada Airina. "Tidak ... Aku hanya ingin duduk di sini saja," tegas Airina kesal. "Hust ... ayo kita makan dulu, Aily dan Yoshi sudah ada di restoran dekat rumah sakit. Mari kita menyusul mereka," ajak Arsen dengan sedikit memaksa. Tanpa basa-basi Arsen menarik tubuh Airina dengan paksa. Meski kepalanya terbenam dalam dekapan Arsen, isak tangisnya sesekali masih membasahi pipi Airina. "Arsen, akhirnya kamu datang! Aku kira Airina akan menolak makan sore ini," ucap Yoshi setibanya Arsen dan Airina di restoran. "Dia menolak, tapi aku memaksanya. Bagaimana Yosh?" tanya Arsen dengan lembut. "Semua sudah aku urus bersama Aron, mungkin 1 jam lagi jenazahnya akan dibawa pulang. Tentang pemakamannya juga sudah aku atur," tutur Yoshi dengan lembut. Arsen h
Tangan Arsen tercekal yang hendak beranjak keluar kamar. Matanya mendapati sosok Airina yang menatapnya dengan penuh kesenduan. "Iya, aku hanya ke dapur mengambil minum. Sebentar ya," ucap Arsen lirih. "Jangan tinggalkan aku ...," lirih suara Airina membuat Arsen terhenti. Ia tidak bisa mengendalikan dirinya, mengambil duduk di tepi ranjang. Dengan tangan yang setia mengusap pelan kening Airina. "Tidurlah, jangan takut aku akan meninggalkanmu ... Aku akan selalu di sini," bisik Arsen seraya mengusap lembut kening Airina. "Jangan pergi, aku tidak ingin sendiri ...," lirih suara itu terdengar. Arsen hanya bisa tersenyum tipis, mata istrinya perlahan terpejam rapat. Tidak ada tanggapan lagi atas tindakannya, pelan ia beranjak saat dirasa sudah terlelap. Dering ponsel itu terdengar memekakkan telinga. Sedikit beranjak dari ranjang. "Halo," sapanya tanpa melihat siapa peneleponnya. "Halo, Arsen. Bagaimana kabarmu sekarang? Aku dengar-" Sambungan telepon itu terputus, Arsen dengan
Airina termangu dengan menunggu jawaban Tiwi, notifikasi di ponsel genggamnya menyiratkan sebuah pesan singkat. [Selamat kasusmu selesai, Airina. Hahaha.] "Siapa? nomor asing!" pekik Airina keras. "Ada apa, Nona? Mengapa Anda terlihat sangat cemas?" tanya Tiwi dengan penuh kepanikan. "Nomor asing yang suka menghubungiku secara tiba-tiba, siapa dia?" Airina bertanya-tanya. Namun, naasnya ia tidak bisa mengingat siapa pemilik nomor itu. "Nona memiliki musuh? Atau mungkin orang yang tidak mau bisnis nona naik," Tiwi melempar tanya pada Airina. Dengan tidak yakin, ia beranjak dari sofa. Berjalan pelan ke arah dekat jendela, matanya menelisik saat mendapati sosok Arsen sudah ada di sana. "Katanya rapat, tapi sudah kembali lagi ke sini," gumam Airina lirih. "Tiwi, lupakan tentang siapa pengirim pesan itu, aku akan pergi bersama Arsen. Ada kain yang harus aku beli sendiri," tuturnya dengan lembut. "Baik, Nona muda. Saya akan menyiapkan keperluan Anda," pamit Tiwi dengan beranjak men
Airina tertegun melihat sebuah cincin berlian menyala dengan indah di hadapannya. Bulir bening itu luruh tanpa aba-aba. Seorang pria yang dulu memintanya menikah kontrak, kini melamarnya dengan sungguh-sungguh. "A-Arsen ... Kamu serius?" tanya Airina lirih. "Aku serius, Airina. Jadi ... apa kamu mau menikah denganku?" Arsen mengulang pertanyaannya pada Airina. "Aku mau!" seru Airina keras. Arsen menyematkan cincin berlian itu pada jari manis Airina. Ke dua pasang mata itu bertemu pada poros yang sama. Sebuah rentangan tangan berbalas dekapan hangat. "Terima kasih banyak, Arsen ..., Aku tidak bisa berkata-kata lagi," ucap Airina terbata. Pelan tangannya mengusap kening istrinya, "Aku sudah berjanji akan menjagamu dengan baik. Kita juga sudah berjanji di hadapan Tuhan untuk tetap bersama, jadi aku tidak akan pernah mengkhianati itu, Sayang," bisik Arsen lembut. tangis itu pecah membasahi pipi ke duanya, beberapa pelayan yang melihat proses itu ikut terharu. Ketulusan Arsen yang t
" Apa kali ini kamu sudah merasa mampu?" celetuk tanya Airina menanggapi ucapan Arsen. "Sudah, aku sudah memiliki usaha yang cukup untuk menghidupimu. Nanti kita beli rumah di Mitleburg ya," dengan mengusap pelan pipi Airina. "Hah?" Airina membeo mendengar ucapan Arsen. Arsen hanya terdiam dengan menatap Airina, perjalanan itu terasa lebih cepat. Dengan membuka pintu mobil Arsen mengulas senyum. "Kita sudah tiba, istriku ...," ucap Arsen dengan mengulurkan tangan kanannya. Airina melongokkan kepalanya sedikit mendongak, menatap manik mata Arsen dengan lekat. Membiarkan pria itu menerima tangan kirinya. Langkah kakinya mengayun lembut masuk ke dalam apartemen. "Kamu sangat manis sekali hari ini, apa yang kamu inginkan, sayang?" tanya Airina lirih. "Aku mau kamu seutuhnya untukku ... apa kamu akan mengabulkannya malam ini?" Alih-alih memberikan jawaban, Arsen asyik membalikkan tanya hingga Airina tergelak. Tingkah laku Arsen berhasil membuatnya terdiam pasi. "Jangan malam ini,
Suara Airina tidak membuat Arsen berhenti mengungkung istrinya. Tangannya sibuk membelai lembut rambut Airina hingga ke area sensitifnya. Malam itu menjadi malam panas yang tidak terkira di antara ke duanya. "Ar-Arsen, berhenti!" seru Airina lirih. Alih-alih mendengarkan Airina, pria yang masih sibuk dengan tubuh mungil istrinya itu mempercepat iramanya. Membuat suara desis nyaring terdengar. " ..., A-Arsen," rintihan Airina terdengar lirih nyaris tercekat. Setibanya di puncak permainan, Arsen hanya bisa mempercepat lajunya. Nafasnya yang mulai terengah-engah, hingga ia mampu melepaskan dirinya. Cup! Sebuah kecupan melayang pada kening Airina. "Terima kasih, Sayang!" bisik Arsen yang kini limbung di samping Airina. Hanya senyum tipis yang bisa Airina berikan, rasa sakit pada sekujur tubuhnya mulai menjalar. Setelah kepergiannya ke Mitleburg beberapa bulan, hingga sengaja menghilang dari Arsen. Membuat tubuhnya kaku! "Selamat tidur, Arsen ...," lirih bisik Airina. Dalam dek