Julie terkesiap sejenak, ia menatap ke arah Airina dengan senyum miring. Matanya berbinar seolah ada kesenangan tersendiri dalam dirinya. "Kamu hamil?" tanya Julie. Semua mata tertuju pada Julie, dengan terkejutnya Airina mendengarkan itu. "I-ibu, salah paham! Maksud ayah dan Arsen itu ... aduh, bagaimana sih ini!" Airina mengambil jeda untuk memberikan penjelasan. "Jadi, Arsen dan ayah membahas ingin memiliki cucu ibu, aku belum hamil!" tambahnya. "Oh begitu, ya tidak apa-apa. Tapi sekarang fokus saja pada resepsi pernikahan kalian yang ada di depan mata!" Kembali Julie mengingatkan tentang resepsi, Airina dan Arsen saling menatap. Pusing ke duanya mengingat resepsi pernikahan yang cukup menguras energinya. "Malam ini kalian menginap di sini 'kan? Ini sudah terlalu larut," tanya Julie dengan menatap jam dinding ruang keluarga. Airina mengangguk pelan. "Bagaimana, Airina?" tanya Arsen. Airina yang merasa namanya di panggil hanya mendongakkan kepalanya. Belum lama ia mengangg
Airina masih terisak dalam dekapan Arsen, ia hanya bisa terdiam. Tangisnya kembali pecah saat dekapan Arsen semakin mengerat dalam tubuhnya. "Ada apa, Airin?" lirih suara Arsen melempar tanya. Usapan pelan pada puncak kepala Airina, lembut dengan senyum yang selalu terulas di wajahnya. "Ada apa, Airina?" kembali kalimat tanya yang sama Arsen ulang. "Gemma masih menggangguku," jawab Airina singkat. Tangan kanan Arsen berhasil mengepal dengan geram. Bisa-bisanya mantan tunangannya itu masih berulah saat ke duanya sudah akan menikah secara resmi. "Wanita gila!" pekik Arsen keras. "Hust, aku tidak tahu apa maksud dia menghubungiku, mungkin dia ingin kita segera berpisah ... Apa mungkin dia tahu kalau ...," Airina dengan ragu-ragu mengatakan setiap kalimat yang terlintas di pikirannya. "Hust, tenangkan dirimu, Airina. Jangan hiraukan orang-orang yang ingin mengganggu hubungan kita," Arsen kembali mendekap istrinya dengan lembut. Perlahan tapi pasti, Airina merasa lebih tenang sete
Airina termangu dengan kalimat yang keluar dari mulut Arsen suaminya. Lelaki yang terbiasa irit tentang berbicara itu, kini berubah menjadi pria yang mampu menasehati Airina. "Arsen, terima kasih sudah mengingatkan aku," ucap Airina lirih. "Sama-sama," Arsen tersenyum. Lama ke duanya berbincang dengan asyik, hingga satu telepon dari Tiwi membuat Airina segera mengangkatnya. Di tengah keramaian Jozy Resto, Airina mencoba mendengar suara Tiwi dengan jelas. "Halo," sapa Airina. "Halo, Nona. Apakah Anda akan segera kembali?" tanya Tiwi dengan sedikit gugup. Airina mulai memutar otak, berpikir apa yang terjadi pada asistennya itu. Alih-alih menjawab pertanyaan Tiwi, Airina malah sibuk dengan pikirannya sendiri. Hingga seruan Tiwi membuatnya kembali sadar. "Nona, saya ingin Anda mencoba gaunnya. Maka dari itu, saya tanya apakah nona akan segera kembali?" jelas Tiwi dengan penuh antusias. "Oh iya, aku sudah selesai makan siang. Mungkin akan segera kembali ke butik," jelas Airina, se
Airina tergelak, matanya perlahan mengerjap berulang kali. Ia sangat terkejut saat menatap ke sekeliling ruangan. Masih di dalam kamar, kejadian singkat yang ia alami tadi hanyalah mimpi belaka. "Syukurlah kamu sudah bangun, Airina. Dari setengah jam lalu ibu membangunkanmu," gerutu Julie lirih. "Maafkan aku, Ibu. Aku masih sangat mengantuk," keluhnya. Julie menatap gusar pada calon pengantin itu, semua jendela yang ada sengaja ia buka. Sorot cahaya matahari yang masih ragu-ragu menampakkan dirinya. "MUA-nya sudah datang, ibu harap kamu sudah sadar untuk di make up," ujar Julie. "Baiklah, aku akan segera mandi terlebih dahulu," ucapnya. Airina melenggang begitu saja ke kamar mandi. Terdengar gemericik air yang mengaliri tubuh Airina. "Selamat pagi, Nona muda. Saya Alea, yang akan membantu make up Anda hari ini," sapa Alea yang sudah di sewa Julie. Namanya pernah digaungkan sebagai Make up artis terbaik tahun ini. Sudah pantas jika Julie memilihnya. "Saya masih tidak percaya b
Hanya sebuah senyum tipis yang ia tunjukkan pada Arsen. Di hadapannya sendiri, perlahan pria yang menjadi suaminya sudah menggendong tubuh ramping Airina. Membawanya pergi ke kamar dengan langkah pelan. "Sangat manja!" seru Arsen meledek.."Kamu kira aku manja hanya saat bersamamu," ujar Airina. Cup! Kecupan manis melayang di pipi kanan Arsen, pria itu terdiam sejenak. Tubuhnya perlahan terangsang! "Airina, hari ini kita masih banyak agenda, jangan lakukan itu." Dengan sedikit berlari, Arsen membawa Airina segera ke kamar hotel. Menurunkan tubuh Airina di atas ranjang. Matanya masih terpaku pada manik mata cantik Airina. "A-Arsen, apa yang akan kamu lakukan padaku? ini siang hari dan ... ah, jangan lakukan itu sekarang!" Airina memekik dengan ragu. Suaranya tercekat saat Arsen mulai membelai setiap lekuk tubuhnya. Tangannya yang sangat tidak sopan itu menggerayangi tubuh Airina. "Arsen, stop!" teriak Airina. Alih-alih mendengarkan teriakan istrinya, Arsen masih asik dengan su
Arsen berdecih, istrinya malah asyik menertawakan dirinya. Dengan rasa kesal yang ia tahan, senyum perlahan ia tunjukkan pada wanita di hadapannya. "Tidak ada, jangan lakukan itu di pesta seperti ini. Lakukan itu kalau kita sedang berdua saja," bisik Arsen lirih. "Hahaha, baiklah!" Airina dan Arsen melanjutkan berdansa, mengikuti iringan musik romantis yang tidak ada hentinya. "Huh, akhirnya selesai!" seru Airina menghela nafasnya gusar. Semua rentetan resepsi pernikahan telah selesai, Arsen dan Airina kini duduk termangu di atas ranjang. "Aku sangat lelah, Arsen. Di luar dugaan, aku kira ibu hanya mengadakan resepsi di pagi hari dan selesai," keluh Airina dengan resah. "Jelas berbeda, Airin. Kita mandi saja lalu tidur," ajak Arsen. "Mandilah dulu, aku masih harus menghapus make up di wajahku," elak Airina, pelan langkahnya menuju meja rias. "Kita mandi bersama!" seru Arsen dengan tegas. Airina yang duduk di depan kaca kini menoleh secepatnya. Matanya membelalak lebar dan pe
Airina berlari pada Arsen yang merentangkan tangan, tubuhnya limbung dalam pelukan hangat suaminya. Dekapan yang selalu ia rindukan. "Hari ini kita harus bersenang-senang, tidak ada yang boleh mengganggu kita!" seru Arsen keras. Hari sudah sore, langit di Medoza sangat mendukung sepasang kekasih yang dimabuk asmara itu. Untuk pertama kalinya, Airina melihat laut dengan mudahnya. "Sangat cantik," ucap Airina lirih. "Iya, sepertimu," Arsen menambahkan. Senyumnya merekah tanpa ragu, pipinya merah layaknya tomat. Siapa pun akan jatuh cinta padanya! "Kamu ingin menikmati pemandangan laut dari sini atau ... kita bisa pergi ke bukit itu," tunjuk Arsen, terlihat jauh dari pandangan mata Airina. "Itu ...?" Airina menunjuk sebuah bukit. "Iya, cukup dekat dari homestay ini. Kita hanya berjalan 2 km," jawab Arsen dengan antusias. Airina menganggukkan kepalanya, tidak peduli Arsen jujur atau berbohong dengan jarak yang ia katakan. "Ayo!" Arsen mengambil beberapa perlengkapan yang harus i
Airina terpaku dengan pipi yang memanas, ia mampu merasakan pipinya merona sekarang. Ia menolehkan kepalanya ke samping, menghindari tatapan Arsen. "Ada apa, Airina? Lihatlah bulannya malam ini sangat cantik," ucapnya. "Bulan akan selalu cantik, apalagi jika para bintang ada di sekitarnya. Langit seolah menampakkan keindahannya yang tiada tara," timpal Airina. "Aku ingin memiliki anak kembar, satu kuberi nama Tara dan Tora," celetuk Arsen lirih. Matanya menelisik ke wanita di sampingnya, hanya satu yang ia dapatkan saat itu. Tatapan aneh dari Airina. "Memangnya ...?" Airina menggantungkan ucapannya. "Memangnya apa? Kita bisa memiliki anak kembar, percayalah padaku," tutur Arsen dengan tangan yang mengusap wajah istrinya. Airina tidak lagi menanggapi ucapan Arsen, baginya itu mustahil namun siapa yang tahu jalan takdir? Matanya menyipit menatap ombak laut, deruan ombak yang berisik namun menenangkan. "Arsen, ayo kembali ke homestay. Aku sangat mengantuk," ajaknya. "Ayo!" Ars