Airina terpaku dengan pipi yang memanas, ia mampu merasakan pipinya merona sekarang. Ia menolehkan kepalanya ke samping, menghindari tatapan Arsen. "Ada apa, Airina? Lihatlah bulannya malam ini sangat cantik," ucapnya. "Bulan akan selalu cantik, apalagi jika para bintang ada di sekitarnya. Langit seolah menampakkan keindahannya yang tiada tara," timpal Airina. "Aku ingin memiliki anak kembar, satu kuberi nama Tara dan Tora," celetuk Arsen lirih. Matanya menelisik ke wanita di sampingnya, hanya satu yang ia dapatkan saat itu. Tatapan aneh dari Airina. "Memangnya ...?" Airina menggantungkan ucapannya. "Memangnya apa? Kita bisa memiliki anak kembar, percayalah padaku," tutur Arsen dengan tangan yang mengusap wajah istrinya. Airina tidak lagi menanggapi ucapan Arsen, baginya itu mustahil namun siapa yang tahu jalan takdir? Matanya menyipit menatap ombak laut, deruan ombak yang berisik namun menenangkan. "Arsen, ayo kembali ke homestay. Aku sangat mengantuk," ajaknya. "Ayo!" Ars
Airina hanya diam, terpaku dalam perasaannya sendiri. Salah tingkah hingga canggung, membuatnya tidak bisa berkutik selain menatap suaminya dengan penuh cinta. "Ada saja, memangnya aku secantik itu untuk diabadikan bersama senja," celetuk Airina lirih. Gelak tawa Arsen membuat Airina terdiam, sirna sudah perasaannya begitu saja. "Kamu sangat cantik, kenapa masih melempar tanya seperti demikian?" tanya Arsen, tangannya mengusap pelan pipi Airina. "Aku hanya wanita biasa yang harus bersanding dengan tuan muda sepertimu. Bahkan saat ini aku sudah menjadi yatim piatu," Airina mulai merasa rendah diri, entah angin apa yang membuat dirinya kehilangan rasa percaya.Terlebih ia hanyalah wanita yang awalnya dibantu Arsen dengan sebuah kontrak pernikahan. Siapa yang menyangka ke duanya akan terikat janji suci yang sebenarnya?"Jangan katakan itu, aku cukup sakit mendengarkannya. Kalau kamu tahu, bahkan aku menyukaimu lebih dulu. Tidak peduli kamu lahir dari keluarga seperti apa," jelas Arse
Arsen membuka matanya tatkala mendengar ketukan pintu. Pelan ia melepaskan Airina dari dekapannya dengan sangat lembut. Ia sangat takut jika istrinya terbangun. "Ada apa?" todong tanya Arsen. "Maaf mengganggu istirahat tuan, sudah saatnya sarapan. Kami sudah menyiapkan masakan terbaik untuk Tuan dan Nona muda. Oh ya, semalam tuan dan Nona melewatkan jam makan malam," tutur seorang pelayan homestay itu. "Aku akan segera sarapan, terima kasih informasinya," Arsen melambaikan tangan, membiarkan wanita itu beranjak meninggalkan dirinya. Arsen menguap berulang kali, rasa kantuknya masih menguasai dirinya. Sayup-sayup ia membangunkan Airina, tangannya mengoyak pelan tubuh istrinya yang kini meringkuk. "Airin, bangun yuk!" ajaknya. Perlahan mata itu terbuka lebar, menyipit menatap Arsen dengan lekat. Pria di sampingnya terlihat samar. "Airina, ayo bangun! Sudah siang," bisiknya lirih. "Jam berapa?" tanya Airina lirih. "Jam 9 pagi, sudah saatnya kita bangun. Ayo!" Arsen mengoyak tub
Arsen dengan kepanikannya mengetuk pintu kamar secara berulang. Namun, Airina tidak kunjung memberikan jawaban padanya. "Airina, jangan ada di depan pintu, aku akan mendobraknya!" seru Arsen keras. Mendengar suara itu, Airina langsung mendekati pintu. Merasakan pintu kamar itu mulai hendak goyah, enggan terjadi sesuatu yang fatal. "Arsen!" teriak Airina keras. Dengan sengaja ia membuka pintu kamar, membuat kejadian sepersekon detik itu bak angin lalu. Kini, tubuh Arsen sudah menindih tubuh ringkih Airina. Dua pasang mata yang saling menatap intens, manik mata Airina mengerjap beberapa kali. Deg! Detak jantungnya tidak dapat terelakkan begitu cepat. Hingga salah satu dari ke duanya memilih sadar. "Airina, maafkan aku. Kamu tidak apa-apa 'kan?" tanya Arsen dengan penuh kecemasan. "Aku tidak apa-apa, bukannya kamu yang seharusnya aku tanya demikian. Tanganmu yang menumpu tubuhku agar tidak langsung jatuh ke lantai," todong kata Airina. "Aku baik-baik saja," ucap Arsen lirih. K
Ratu menegakkan kepalanya, menatap nanar atasannya dengan penuh rasa takut. Matanya tidak mengerjap sama sekali, ia benar-benar ada di situasi yang cukup genting. Tok tok tok! Sebuah ketukan pintu membuatnya menghela nafas panjang. Setidaknya ia sedikit terselamatkan dari situasi genting itu. "Selamat pagi, Sayang," sapa Arsen yang tiba-tiba datang. "Pagi, Arsen." Airina masih diam, ia menatap Ratu dengan tatapan tajam. "Maafkan saya, Nona. Saya akan mengembalikan tata ruang seperti sebelumnya," ucap Ratu dengan pasrah. "Ada apa, Airina?" Arsen bertanya-tanya. Senyum itu tersungging cerah di wajah cantiknya, kekehan ringan membuat dua orang itu tidak paham."Ratu, kamu akan mendapatkan bonus dariku. Ambil ini," Airina menyerahkan satu amplop putih pada Ratu. "No-nona, ini ...?" "Kamu sudah membuat butik menjadi lebih cantik dari sebelumnya. Aku suka, ambilah dan keluarlah!" tutur Airina dengan lembut. "Te-terima kasih, Nona muda. Saya permisi." Sepeninggalan Ratu, Airina m
Tangan Arsen mulai membelai lembut pipi Airina, sesekali ia menyibakkan rambut Airina yang terurai. Tatapannya intens tanpa ragu. "A-Arsen, jangan lakukan di sini!" bisik Airina dengan tatapan mengintimidasi. Arsen menatap Airina dengan tatapan yang lebih intens. Seolah ia siap melayani istrinya di mana pun dan kapan pun. "Arsen, maaf! Aku merasa tidak nyaman jika melakukan itu di sini ...," Airina mengulang ucapannya. "Tidak, mari kita pulang saja!" ajaknya. Kepalang tanggung! Menatap lekat bibir Airina, rasanya Arsen tidak lagi mampu menahan dirinya. "Hah?" Airina membeo. Belum lama ia datang ke kantor Arsen, dan kini pria di hadapannya sudah mengajaknya kembali pulang. Gila! "Kamu masih harus bekerja, jangan lalai dalam pekerjaanmu, Arsen!" tegas Airina pada prianya. "Iya, baiklah." Arsen kembali duduk di kursi kehormatannya, menatap beberapa dokumen yang sempat ia abaikan. Selama itu, Airina hanya diam menatap suaminya bekerja. "Jangan menatapku seperti itu, kamu ingi
Rasa bahagia itu tidak hanya di rasakan sepasang suami istri itu. Di seberang Julie langsung mengalihkan panggilan telepon ke video call. Raut wajahnya yang terharu tercetak jelas, air matanya menitik perlahan ke pipinya. "Ibu turut bahagia dengan kabar ini, apa Airina baik-baik saja?" tanya Julie lirih. "Hanya mual, Bu. Tapi selebihnya aku baik-baik saja," tutur Airina lirih. Suaranya masih lemas, karena isi perutnya terlalu kosong. Hingga tidak menyisakan banyak makanan untuk dicerna sebagai tenaga. "Ibu akan lebih sering datang ke apartemen, jangan berangkat bekerja hari ini!" seru Julie dengan tegas. "Tapi ... Bu? Hari ini akan ada tamu spesial mengepas gaun," Airina mengatakan itu dengan terbata. "Tidak! Sudahlah kamu diam saja di rumah hari ini, ibu akan segera ke sana." Sambungan telepon itu terputus, Arsen menatap Airina tajam."Siapa tamu spesialnya?" tanya Arsen menelisik. "Rafaella, gaunnya sudah selesai saatnya fitting. Apa iya aku melewatkan itu?" Airina melempar
Hari-hari berlalu begitu cepat, Airina menjalani kehamilan di 7 Minggu. Pagi-pagi sekali Arsen sudah menyiapkan beberapa persiapan. Mulai dari sarapan hingga beberapa hal yang harus disiapkan untuk cek up ke dokter kandungan. Huek! Suara yang menjadi hiasan setiap pagi hari, selama trimester pertama Airina sering mulai dan muntah. "Arsen, tolong!" teriaknya keras. Tubuhnya sudah lemas, jam tidurnya terganggu dengan rasa tidak nyaman pada tubuhnya. Huek! "Sayang, ada apa lagi?" tanya Arsen sayup-sayup berjalan mendekati istrinya. Tangannya memijat tengkuk Airina, membantunya agar rasa mualnya segera hilang. Alih-alih hilang, rasa mual itu selalu datang hilang semaunya. "Aku sangat lemas, Arsen. Gara-gara kamu mengganti parfum kamar," ujarnya. Arsen hanya menatap kikuk istrinya, parfum ruangan berbau vanilla yang ia minta kapan hari. Menjadi alasan ia mual-mual di pagi hari. "Aku akan menggantinya lagi, bagaiamana sekarang?" tanya Arsen. Tangannya membopong Airina kembali ke