Airina berlari pada Arsen yang merentangkan tangan, tubuhnya limbung dalam pelukan hangat suaminya. Dekapan yang selalu ia rindukan. "Hari ini kita harus bersenang-senang, tidak ada yang boleh mengganggu kita!" seru Arsen keras. Hari sudah sore, langit di Medoza sangat mendukung sepasang kekasih yang dimabuk asmara itu. Untuk pertama kalinya, Airina melihat laut dengan mudahnya. "Sangat cantik," ucap Airina lirih. "Iya, sepertimu," Arsen menambahkan. Senyumnya merekah tanpa ragu, pipinya merah layaknya tomat. Siapa pun akan jatuh cinta padanya! "Kamu ingin menikmati pemandangan laut dari sini atau ... kita bisa pergi ke bukit itu," tunjuk Arsen, terlihat jauh dari pandangan mata Airina. "Itu ...?" Airina menunjuk sebuah bukit. "Iya, cukup dekat dari homestay ini. Kita hanya berjalan 2 km," jawab Arsen dengan antusias. Airina menganggukkan kepalanya, tidak peduli Arsen jujur atau berbohong dengan jarak yang ia katakan. "Ayo!" Arsen mengambil beberapa perlengkapan yang harus i
Airina terpaku dengan pipi yang memanas, ia mampu merasakan pipinya merona sekarang. Ia menolehkan kepalanya ke samping, menghindari tatapan Arsen. "Ada apa, Airina? Lihatlah bulannya malam ini sangat cantik," ucapnya. "Bulan akan selalu cantik, apalagi jika para bintang ada di sekitarnya. Langit seolah menampakkan keindahannya yang tiada tara," timpal Airina. "Aku ingin memiliki anak kembar, satu kuberi nama Tara dan Tora," celetuk Arsen lirih. Matanya menelisik ke wanita di sampingnya, hanya satu yang ia dapatkan saat itu. Tatapan aneh dari Airina. "Memangnya ...?" Airina menggantungkan ucapannya. "Memangnya apa? Kita bisa memiliki anak kembar, percayalah padaku," tutur Arsen dengan tangan yang mengusap wajah istrinya. Airina tidak lagi menanggapi ucapan Arsen, baginya itu mustahil namun siapa yang tahu jalan takdir? Matanya menyipit menatap ombak laut, deruan ombak yang berisik namun menenangkan. "Arsen, ayo kembali ke homestay. Aku sangat mengantuk," ajaknya. "Ayo!" Ars
Airina hanya diam, terpaku dalam perasaannya sendiri. Salah tingkah hingga canggung, membuatnya tidak bisa berkutik selain menatap suaminya dengan penuh cinta. "Ada saja, memangnya aku secantik itu untuk diabadikan bersama senja," celetuk Airina lirih. Gelak tawa Arsen membuat Airina terdiam, sirna sudah perasaannya begitu saja. "Kamu sangat cantik, kenapa masih melempar tanya seperti demikian?" tanya Arsen, tangannya mengusap pelan pipi Airina. "Aku hanya wanita biasa yang harus bersanding dengan tuan muda sepertimu. Bahkan saat ini aku sudah menjadi yatim piatu," Airina mulai merasa rendah diri, entah angin apa yang membuat dirinya kehilangan rasa percaya.Terlebih ia hanyalah wanita yang awalnya dibantu Arsen dengan sebuah kontrak pernikahan. Siapa yang menyangka ke duanya akan terikat janji suci yang sebenarnya?"Jangan katakan itu, aku cukup sakit mendengarkannya. Kalau kamu tahu, bahkan aku menyukaimu lebih dulu. Tidak peduli kamu lahir dari keluarga seperti apa," jelas Arse
Arsen membuka matanya tatkala mendengar ketukan pintu. Pelan ia melepaskan Airina dari dekapannya dengan sangat lembut. Ia sangat takut jika istrinya terbangun. "Ada apa?" todong tanya Arsen. "Maaf mengganggu istirahat tuan, sudah saatnya sarapan. Kami sudah menyiapkan masakan terbaik untuk Tuan dan Nona muda. Oh ya, semalam tuan dan Nona melewatkan jam makan malam," tutur seorang pelayan homestay itu. "Aku akan segera sarapan, terima kasih informasinya," Arsen melambaikan tangan, membiarkan wanita itu beranjak meninggalkan dirinya. Arsen menguap berulang kali, rasa kantuknya masih menguasai dirinya. Sayup-sayup ia membangunkan Airina, tangannya mengoyak pelan tubuh istrinya yang kini meringkuk. "Airin, bangun yuk!" ajaknya. Perlahan mata itu terbuka lebar, menyipit menatap Arsen dengan lekat. Pria di sampingnya terlihat samar. "Airina, ayo bangun! Sudah siang," bisiknya lirih. "Jam berapa?" tanya Airina lirih. "Jam 9 pagi, sudah saatnya kita bangun. Ayo!" Arsen mengoyak tub
Arsen dengan kepanikannya mengetuk pintu kamar secara berulang. Namun, Airina tidak kunjung memberikan jawaban padanya. "Airina, jangan ada di depan pintu, aku akan mendobraknya!" seru Arsen keras. Mendengar suara itu, Airina langsung mendekati pintu. Merasakan pintu kamar itu mulai hendak goyah, enggan terjadi sesuatu yang fatal. "Arsen!" teriak Airina keras. Dengan sengaja ia membuka pintu kamar, membuat kejadian sepersekon detik itu bak angin lalu. Kini, tubuh Arsen sudah menindih tubuh ringkih Airina. Dua pasang mata yang saling menatap intens, manik mata Airina mengerjap beberapa kali. Deg! Detak jantungnya tidak dapat terelakkan begitu cepat. Hingga salah satu dari ke duanya memilih sadar. "Airina, maafkan aku. Kamu tidak apa-apa 'kan?" tanya Arsen dengan penuh kecemasan. "Aku tidak apa-apa, bukannya kamu yang seharusnya aku tanya demikian. Tanganmu yang menumpu tubuhku agar tidak langsung jatuh ke lantai," todong kata Airina. "Aku baik-baik saja," ucap Arsen lirih. K
Ratu menegakkan kepalanya, menatap nanar atasannya dengan penuh rasa takut. Matanya tidak mengerjap sama sekali, ia benar-benar ada di situasi yang cukup genting. Tok tok tok! Sebuah ketukan pintu membuatnya menghela nafas panjang. Setidaknya ia sedikit terselamatkan dari situasi genting itu. "Selamat pagi, Sayang," sapa Arsen yang tiba-tiba datang. "Pagi, Arsen." Airina masih diam, ia menatap Ratu dengan tatapan tajam. "Maafkan saya, Nona. Saya akan mengembalikan tata ruang seperti sebelumnya," ucap Ratu dengan pasrah. "Ada apa, Airina?" Arsen bertanya-tanya. Senyum itu tersungging cerah di wajah cantiknya, kekehan ringan membuat dua orang itu tidak paham."Ratu, kamu akan mendapatkan bonus dariku. Ambil ini," Airina menyerahkan satu amplop putih pada Ratu. "No-nona, ini ...?" "Kamu sudah membuat butik menjadi lebih cantik dari sebelumnya. Aku suka, ambilah dan keluarlah!" tutur Airina dengan lembut. "Te-terima kasih, Nona muda. Saya permisi." Sepeninggalan Ratu, Airina m
Tangan Arsen mulai membelai lembut pipi Airina, sesekali ia menyibakkan rambut Airina yang terurai. Tatapannya intens tanpa ragu. "A-Arsen, jangan lakukan di sini!" bisik Airina dengan tatapan mengintimidasi. Arsen menatap Airina dengan tatapan yang lebih intens. Seolah ia siap melayani istrinya di mana pun dan kapan pun. "Arsen, maaf! Aku merasa tidak nyaman jika melakukan itu di sini ...," Airina mengulang ucapannya. "Tidak, mari kita pulang saja!" ajaknya. Kepalang tanggung! Menatap lekat bibir Airina, rasanya Arsen tidak lagi mampu menahan dirinya. "Hah?" Airina membeo. Belum lama ia datang ke kantor Arsen, dan kini pria di hadapannya sudah mengajaknya kembali pulang. Gila! "Kamu masih harus bekerja, jangan lalai dalam pekerjaanmu, Arsen!" tegas Airina pada prianya. "Iya, baiklah." Arsen kembali duduk di kursi kehormatannya, menatap beberapa dokumen yang sempat ia abaikan. Selama itu, Airina hanya diam menatap suaminya bekerja. "Jangan menatapku seperti itu, kamu ingi
Rasa bahagia itu tidak hanya di rasakan sepasang suami istri itu. Di seberang Julie langsung mengalihkan panggilan telepon ke video call. Raut wajahnya yang terharu tercetak jelas, air matanya menitik perlahan ke pipinya. "Ibu turut bahagia dengan kabar ini, apa Airina baik-baik saja?" tanya Julie lirih. "Hanya mual, Bu. Tapi selebihnya aku baik-baik saja," tutur Airina lirih. Suaranya masih lemas, karena isi perutnya terlalu kosong. Hingga tidak menyisakan banyak makanan untuk dicerna sebagai tenaga. "Ibu akan lebih sering datang ke apartemen, jangan berangkat bekerja hari ini!" seru Julie dengan tegas. "Tapi ... Bu? Hari ini akan ada tamu spesial mengepas gaun," Airina mengatakan itu dengan terbata. "Tidak! Sudahlah kamu diam saja di rumah hari ini, ibu akan segera ke sana." Sambungan telepon itu terputus, Arsen menatap Airina tajam."Siapa tamu spesialnya?" tanya Arsen menelisik. "Rafaella, gaunnya sudah selesai saatnya fitting. Apa iya aku melewatkan itu?" Airina melempar
"Tera Fillmoore Pinault!" seru seorang pria dengan tubuh tinggi dengan jas yang melekat pada tubuhnya. "Om Yoshi!" seru Tera. "Happy wedding ya, Om, Aunty!" ucap Tera dengan senyum ramah. Pagi itu, Tera dan Tora diminta menjadi Bridesmaids dan Groomsmen di acara pernikahan Aily dan Yoshi. Di tepi pantai Medoza, ke duanya resmi menikah. Airina dan Arsen hanya mengulas senyum tipis, tatkala sepasang pengantin itu terlihat bahagia di atas pelaminan. "Cie, udah nggak jomblo nih!" ledek Airina. "Diam!" seru Yoshi. Gelak tawa terdengar nyaring, acara pernikahan yang diadakan dengan sederhana. Membuat suasana intimade wedding itu kian kental terasa. "Curang sekali kamu, Yosh. Bisa-bisanya menikahi adikku sendiri," ucap Airina. Ia yang sedari tadi menahan air mata, kini ia benar-benar menumpahkannya di dada Arsen. Usapan pelan pada pundak Airina, membuat ia air matanya semakin pecah. "Aku hanya ingin melindungi adik sekaligus istriku ini, Airin. Lagi pula, kamu sudah mengenal aku c
Aily dan Yoshi saling melempar senyuman tipis. "Aku ingin melamar adikmu, Airin," ucap Yoshi lembut. DegJantung Airina seperti berhenti berdetak sepersekian detik, kaget dan campur aduk. Di hadapan keluarga Arsen, Yoshi dengan entengnya mengatakan kalimat itu tanpa ragu. "Yosh ...? Kamu serius?" tanya Arsen lirih. Yoshi menganggukkan kepalanya membenarkan ucapannya. Membuat Airina dan Arsen semakin terdiam kaku. "Entah restu seperti apa yang harus aku berikan padamu, Yosh. Tapi ... Aku tidak bisa memaksa adikku untuk mengikuti jejakku, aku membiarkan adikku memilih jalannya sendiri. Jadi, apa pun yang diinginkan Aily, aku setuju," tutur Airina lembut. Aily berseru dengan bahagia, setelah selesai pendidikannya. Ia berniat melanjutkan kuliah terlebih dahulu. "Terima kasih, Kak!" Aily memeluk erat tubuh Airina. Malam tahun baru itu membawa rona bahagia pada semuanya. Airina dan Arsen yang cintanya semakin kuat, dalam dekapannya Tora dan Tera tersenyum menggelitik. **** 5 tahu
"Arsen ...," Julie mengoyak tubuh anak laki-lakinya, teriakannya cukup keras. Membuat ia yang duduk di ruang tunggu mampu mendengar suaranya. Lama Arsen hanya mengubah posisi tidurnya, entah apa yang ia rasakan di alam mimpi. "Arsen!" gertak Julie. "Arghhh!" Matanya menyipit sebelum benar-benar sadar dari tidur singkatnya. Matanya mengerjap perlahan. "Ibu ... bagaimana bisa ibu ada di sini?" tanya Arsen dengan tergagap. "Kamu mimpi apa? Sangat berisik, ibu takut Airina terganggu," tanya Julie. "Rasanya aku tidak bermimpi, namun ada sesuatu yang mengganjal dalam tubuhku. Maaf ibu," Arsen mengacak rambutnya kasar. "Sudah tidak apa-apa, tenangkan dirimu sebelum kembali tidur. Kasihan Airina jika terganggu," peringat Julie. Arsen akhirnya melangkahkan kakinya ke luar ruang inap, sekilas ia melihat anak kembarnya di ruang bayi. Ia hampir lengah dengan penjagaan di sana. "Aron, panggilkan beberapa orang untuk menjaga ruang bayi!" titahnya. Setelahnya, Arsen hanya duduk di kursi
Mata itu perlahan mengerjap hingga sepenuhnya ia mampu menatap sekeliling ruangan. Dengan nuansa biru lautnya, ruangan yang terlihat luas hanya menyisakan dirinya dan Arsen. Dengan perlahan matanya terbuka dengan lebar, ia mengerjapkan matanya berulang. Pukul 10 malam, setelah pagi hari ia berjuang untuk nyawa dua bayi. Kini, ia kembali siuman setelah tertidur entah berapa lama. "A-Arsen," lirih suaranya samar memanggil nama Arsen di sampingnya. Pria itu menundukkan kepalanya dalam, seolah tidak memiliki harapan besar atas istrinya. Setelah mendengar suara tangisan ke dua kalinya, ia tidak lagi ingat apa yang terjadi padanya. "Airin, kamu sudah siuman? A-aku akan memanggil dokter segera!" ucapnya terbata. Arsen berusaha berlari menuju pintu, namun tangannya tercekal. Airina menahan pergelangan tangan Arsen dengan kuat. "Jangan pergi dulu, bagaimana kabar anak kita?" tanya Airina lirih. "Anak kita sehat, Airina. Dia ada di ruang bayi, kalau kamu sudah sepenuhnya pulih. Kita ak
"Hah?" beo Airina kebingungan. "Kamu tahu dari mana?" tanya Airina pada adik bungsunya. Tatapan mata yang lekat pada adiknya itu menyelidik. Bahkan ia terlihat sudah tahu bagaimana ceritanya kejadian itu terjadi pada kakaknya. "Bu Julie cerita ke aku, Kak. Awalnya aku juga tidak percaya, tapi setahuku memang Nona Gemma tidak pernah menyukaimu 'kan?" tutur Aily lirih. "Aily, kamu tidak perlu sampai seperti itu. Tidak perlu membenci orang lain seperti itu, Aily. Lihatlah kakak baik-baik saja loh," ucap Airina dengan menatap lembut adik bungsunya. "Kakak memang baik-baik saja, jika Kakak tidak baik setelah kejadian itu. Apa kakak bisa mengatakan kalimat barusan?" tanya Aily dengan menekan kalimat demi kalimatnya. Deg! Sifat ke duanya sangat bertolak belakang. Aily membiarkan Airina sibuk dengan pikirannya, ia beranjak meninggalkan ruang tamu. "Aku mau istirahat dulu, Kak. Lelah sekali perjalanan hari ini," keluhnya. Airina hanya bisa melihat adiknya melenggang begitu saja. Hanya
Arsen terperanjat, ia dengan sigap menopang tubuh Airina agar tidak terjatuh. Sayup-sayup Anne berlari dari lawan arah. Membantu Arsen menopang tubuh Airina, tanpa sadar itu adalah salah Anne. Akhirnya, dengan degup jantung yang tidak beraturan, Airina masih selamat. "Terima kasih, Arsen, Anne," lirih ucap Airina. Dengan perasaan penuh kekalutan, Airina memilih duduk di sofa. Membiarkan jantungnya berdegup normal kembali. Dengan segelas air putih ia berusaha menetralkan dirinya sendiri meski cukup sulit. Ada ketakutan dalam dirinya yang cukup kuat. "Anne, bagaimana bisa kamu mengepel dan masih sangat basah seperti itu?" tanya Arsen dengan nada yang cukup keras. Sedangkan pembantunya hanya bisa diam dengan menatap lantai di hadapannya. "Maafkan saya, Tuan. Saya tadi sempat mengambil air bersih, karena mema-" ucapannya terhenti. Arsen tidak lagi mengomel, ia berjalan mendekati Airina. Ia memastikan keadaan istrinya baik-baik saja. "Jangan marah pada Anne, itu akan membuatnya t
Arsen dengan segera memeluk erat tubuh Airina, meredakan setiap kepanikan dan ketakutan dalam dirinya. Tidak ingin membiarkan istrinya begitu kalut dalam rasa takutnya. "Hust, sudah, itu tidak akan terjadi, Airina. Aku ada di sini menemanimu," ucap Arsen. Ia mengecup beberapa kali kening Airina tanpa ragu. Membiarkan istrinya itu lebih tenang dengan adanya dirinya. Tidak berselang lama, Julie masuk dalam ruang inap. Raut wajah paniknya sesaat sudah berubah dengan rasa lega. "Sayang, kamu sudah siuman. Bagaiaman keadaan tubuhmu?" tanya Julie lirih. "Aku baik, Ibu. Rasanya juga sudah lebih baik daripada tadi saat aku jatuh. Ibu ... Maaf sekali aku lalai," ucap Airina lirih. Rasa bersalah dalam dirinya seolah membuat Airina tertekan. Tidak nyaman dengan apa yang terjadi dengan dirinya sendiri. "Airina, kamu selamat saja ibu sudah senang. Tidak perlu mengatakan itu, kamu mau minta maaf atas apa? Gara-gara ada seseorang menabrakmu sampai jatuh? Tidak-tidak, kamu tidak salah dalam ha
Dokter terlihat kalut dengan keadaan pasiennya, Arsen sudah pasrah. Mulutnya hanya bisa merapal doa agar istrinya baik-baik saja. "Dokter, katakan bagaiaman keadaan menantu saya?" tanya Julie dengan tatapan tajam. Dengan berat hati dokter membuka suara, dengan bergetar suara itu terdengar. Setiap kalimat yang ia utarakan seolah akan membuat semua anggota keluarga tercengang. "Sebelumnya saya meminta maaf, awalnya saya tidak yakin Nona Airina akan melalui masa kritis ini. Sempat terjadi pendarahan yang cukup menegangkan," jelasnya. Arsen dan Julie saling menatap, wajahnya mulai pucat tidak siap dengan apa yang akan di utarakan dokter. "Lalu, Dok?" Arsen menggantungkan tanyanya. Helaan nafas cukup panjang diambil begitu saja oleh dokter, "Saya sempat terkejut saat Nona Airina dan bayi dalam kandungannya berhasil melewati masa kritisnya. Sekarang biarkan ia istirahat terlebih dahulu," tambah dokter. Julie memeluk erat tubuh Arsen, dengan perasaan campur aduk. Akhirnya ia dan anak
Namun, bagi Airina itu masih kurang sedikit. Ya, selera ke duanya memang cukup berbeda, maka dari itu rasanya Airina ingin menambahkan sedikit diantara kata itu. Masih diam dengan isi kepalanya, Arsen mulai menatapnya lekat tanpa celah. "Apa kamu tidak suka dengan nama itu?" tanya Arsen dengan tatapan penuh tanya. "Bu-bukan tidak suka, bagiku itu masih kurang sedikit. Nanti bisa kita pikirkan ya," elak Airina dengan senyum manis di bibirnya. Kini mereka sudah kembali sibuk dengan urusannya masing-masing. Bergelut dengan isi kepalanya yang mulai bersahutan, salah dengan banyaknya ide dan nama yang harus diberikan. Ini anak pertama Airina dan Arsen, jadi akan menjadi sebuah hal baru bagi ke duanya. "Sudah, tidak perlu dipikirkan. Nanti bisa kita diskusikan lagi, Airina." Arsen kini menatap istrinya lekat, menunjukkan padanya bahwa mereka sudah tiba di mall terbesar di Macherie. Agatto Mall yang ada di pusat kota Macherie. Langkah ke duanya pelan memasuki mall. Dengan tangan ya