Arsen dengan kepanikannya mengetuk pintu kamar secara berulang. Namun, Airina tidak kunjung memberikan jawaban padanya. "Airina, jangan ada di depan pintu, aku akan mendobraknya!" seru Arsen keras. Mendengar suara itu, Airina langsung mendekati pintu. Merasakan pintu kamar itu mulai hendak goyah, enggan terjadi sesuatu yang fatal. "Arsen!" teriak Airina keras. Dengan sengaja ia membuka pintu kamar, membuat kejadian sepersekon detik itu bak angin lalu. Kini, tubuh Arsen sudah menindih tubuh ringkih Airina. Dua pasang mata yang saling menatap intens, manik mata Airina mengerjap beberapa kali. Deg! Detak jantungnya tidak dapat terelakkan begitu cepat. Hingga salah satu dari ke duanya memilih sadar. "Airina, maafkan aku. Kamu tidak apa-apa 'kan?" tanya Arsen dengan penuh kecemasan. "Aku tidak apa-apa, bukannya kamu yang seharusnya aku tanya demikian. Tanganmu yang menumpu tubuhku agar tidak langsung jatuh ke lantai," todong kata Airina. "Aku baik-baik saja," ucap Arsen lirih. K
Ratu menegakkan kepalanya, menatap nanar atasannya dengan penuh rasa takut. Matanya tidak mengerjap sama sekali, ia benar-benar ada di situasi yang cukup genting. Tok tok tok! Sebuah ketukan pintu membuatnya menghela nafas panjang. Setidaknya ia sedikit terselamatkan dari situasi genting itu. "Selamat pagi, Sayang," sapa Arsen yang tiba-tiba datang. "Pagi, Arsen." Airina masih diam, ia menatap Ratu dengan tatapan tajam. "Maafkan saya, Nona. Saya akan mengembalikan tata ruang seperti sebelumnya," ucap Ratu dengan pasrah. "Ada apa, Airina?" Arsen bertanya-tanya. Senyum itu tersungging cerah di wajah cantiknya, kekehan ringan membuat dua orang itu tidak paham."Ratu, kamu akan mendapatkan bonus dariku. Ambil ini," Airina menyerahkan satu amplop putih pada Ratu. "No-nona, ini ...?" "Kamu sudah membuat butik menjadi lebih cantik dari sebelumnya. Aku suka, ambilah dan keluarlah!" tutur Airina dengan lembut. "Te-terima kasih, Nona muda. Saya permisi." Sepeninggalan Ratu, Airina m
Tangan Arsen mulai membelai lembut pipi Airina, sesekali ia menyibakkan rambut Airina yang terurai. Tatapannya intens tanpa ragu. "A-Arsen, jangan lakukan di sini!" bisik Airina dengan tatapan mengintimidasi. Arsen menatap Airina dengan tatapan yang lebih intens. Seolah ia siap melayani istrinya di mana pun dan kapan pun. "Arsen, maaf! Aku merasa tidak nyaman jika melakukan itu di sini ...," Airina mengulang ucapannya. "Tidak, mari kita pulang saja!" ajaknya. Kepalang tanggung! Menatap lekat bibir Airina, rasanya Arsen tidak lagi mampu menahan dirinya. "Hah?" Airina membeo. Belum lama ia datang ke kantor Arsen, dan kini pria di hadapannya sudah mengajaknya kembali pulang. Gila! "Kamu masih harus bekerja, jangan lalai dalam pekerjaanmu, Arsen!" tegas Airina pada prianya. "Iya, baiklah." Arsen kembali duduk di kursi kehormatannya, menatap beberapa dokumen yang sempat ia abaikan. Selama itu, Airina hanya diam menatap suaminya bekerja. "Jangan menatapku seperti itu, kamu ingi
Rasa bahagia itu tidak hanya di rasakan sepasang suami istri itu. Di seberang Julie langsung mengalihkan panggilan telepon ke video call. Raut wajahnya yang terharu tercetak jelas, air matanya menitik perlahan ke pipinya. "Ibu turut bahagia dengan kabar ini, apa Airina baik-baik saja?" tanya Julie lirih. "Hanya mual, Bu. Tapi selebihnya aku baik-baik saja," tutur Airina lirih. Suaranya masih lemas, karena isi perutnya terlalu kosong. Hingga tidak menyisakan banyak makanan untuk dicerna sebagai tenaga. "Ibu akan lebih sering datang ke apartemen, jangan berangkat bekerja hari ini!" seru Julie dengan tegas. "Tapi ... Bu? Hari ini akan ada tamu spesial mengepas gaun," Airina mengatakan itu dengan terbata. "Tidak! Sudahlah kamu diam saja di rumah hari ini, ibu akan segera ke sana." Sambungan telepon itu terputus, Arsen menatap Airina tajam."Siapa tamu spesialnya?" tanya Arsen menelisik. "Rafaella, gaunnya sudah selesai saatnya fitting. Apa iya aku melewatkan itu?" Airina melempar
Hari-hari berlalu begitu cepat, Airina menjalani kehamilan di 7 Minggu. Pagi-pagi sekali Arsen sudah menyiapkan beberapa persiapan. Mulai dari sarapan hingga beberapa hal yang harus disiapkan untuk cek up ke dokter kandungan. Huek! Suara yang menjadi hiasan setiap pagi hari, selama trimester pertama Airina sering mulai dan muntah. "Arsen, tolong!" teriaknya keras. Tubuhnya sudah lemas, jam tidurnya terganggu dengan rasa tidak nyaman pada tubuhnya. Huek! "Sayang, ada apa lagi?" tanya Arsen sayup-sayup berjalan mendekati istrinya. Tangannya memijat tengkuk Airina, membantunya agar rasa mualnya segera hilang. Alih-alih hilang, rasa mual itu selalu datang hilang semaunya. "Aku sangat lemas, Arsen. Gara-gara kamu mengganti parfum kamar," ujarnya. Arsen hanya menatap kikuk istrinya, parfum ruangan berbau vanilla yang ia minta kapan hari. Menjadi alasan ia mual-mual di pagi hari. "Aku akan menggantinya lagi, bagaiamana sekarang?" tanya Arsen. Tangannya membopong Airina kembali ke
"Panggilkan dokter sekarang!" pekik Arsen keras. Tanpa ragu ia membawa Airina masuk ke dalam butik, membaringkannya di sofa ruang kerjanya. Beberapa karyawan sudah cemas, Tiwi yang bersusah payah menghubungi dokter Arey. "Tuan, katanya dokter akan datang dalam 10 menit," ucap Tiwi dengan ragu."Ya, keluarlah!" Arsen tidak ingin menunjukkan keadaannya yang sekarang. Kacau! Terpendam rasa bersalah akibat ia membiarkan Airina memutuskan untuk datang ke butik. Tanpa ragu ia hanya mengiyakan permintaan istrinya. Bodoh! "Kenapa kamu tidak memikirkan akibatnya terlebih dahulu!" pekik Arsen dengan memukul tembok tanpa ragu. "Sial! kamu sangat ceroboh, Arsen!" Kalimat yang terngiang-ngiang di kepala Arsen saat itu, namun semuanya teralihkan saat sebuah ketukan pintu membuyarkan pikirannya. Tok tok tok! "Permisi, Tuan. Saya dokter Arey, bolehkah saya masuk ke dalam?" Suara keras dari dokter membuat Arsen terpaksa membuka pintu. Dengan malas ia mendekati dokter Arey. "Dokter, katakan
Arsen menatap Airina lekat, kalimat yang keluar dari mulutnya itu cukup membuat Arsen terkejut. Apa yang sebenarnya istrinya pikirkan? "Sayang, aku akan selalu mengusahakan itu," ucap Arsen dengan tangan mengusap pelan puncak kepala istrinya. "Jangan pernah berjanji padaku," elak Airina lirih. Tatapannya sendu seperti menyimpan banyak keraguan dalam dirinya. Nyaris membuat Arsen tidak mampu berkata-kata. "Hei, dengarkan aku. Aku tidak ingin menjanjikan apa pun, selain tetap ada di sampingmu. Menemanimu saat kamu sedang di masa sulit. Bahkan kamu yang pergi meninggalkan aku saat kamu sedang tidak baik-baik saja," papar Arsen. Sejenak ia teringat kejadian beberapa bulan lalu, di mana Airina pergi meninggalkannya. Rasa sepi itu kembali menyeruak dalam dirinya, seolah mengingatkannya pada kejadian yang amat menyakitkan. "Arsen, aku pernah sejahat itu padamu ya," lirih Airina. "Aku tidak berpikir banyak saat itu, karena aku hanya ingin kamu tidak mencintaiku," tutur Airina lirih.
"Tahu apa, sayang?" Arsen hanya menanggapi Airina tanpa banyak basa-basi, ia membiarkan istrinya menikmati setiap pijitannya. Selama hidup, ia tidak memanfaatkan asisten rumah tangga. "Kita butuh asisten rumah tangga, kalau di rumah baru aku mau ada itu. Bukan karena apa-apa, Arsen. Tapi kamu sadar gak kalau kita selalu kerepotan," celetuk Airina. Entah, bagaiamana bisa isi kepala ke duanya bersinambungan. "Iya, nanti saja biar ibu yang cari ya," Airina hanya mengangguk, ia hanya bisa menuruti setiap ucapan Arsen. Sejak bebal, ia selalu saja terkena imbas dari sifatnya satu itu. "Kenapa diam? Apa ada bagian yang sakit lagi?" berondong tanya Arsen. "Tidak ada," singkat jawaban Airina membuat Arsen membalik posisi istrinya. "Aaa!" teriak Airina. Sepasang manik mata itu saling bertemu, Arsen dengan sengaja mendekatkan wajahnya pada Airina. Detak jantung yang kian memburu, nafas yang sudah saling bersahutan. Satu kecupan pada bibir Airina lembut. "Eh ...," desis Airina. Setela