Airina termangu dengan menunggu jawaban Tiwi, notifikasi di ponsel genggamnya menyiratkan sebuah pesan singkat. [Selamat kasusmu selesai, Airina. Hahaha.] "Siapa? nomor asing!" pekik Airina keras. "Ada apa, Nona? Mengapa Anda terlihat sangat cemas?" tanya Tiwi dengan penuh kepanikan. "Nomor asing yang suka menghubungiku secara tiba-tiba, siapa dia?" Airina bertanya-tanya. Namun, naasnya ia tidak bisa mengingat siapa pemilik nomor itu. "Nona memiliki musuh? Atau mungkin orang yang tidak mau bisnis nona naik," Tiwi melempar tanya pada Airina. Dengan tidak yakin, ia beranjak dari sofa. Berjalan pelan ke arah dekat jendela, matanya menelisik saat mendapati sosok Arsen sudah ada di sana. "Katanya rapat, tapi sudah kembali lagi ke sini," gumam Airina lirih. "Tiwi, lupakan tentang siapa pengirim pesan itu, aku akan pergi bersama Arsen. Ada kain yang harus aku beli sendiri," tuturnya dengan lembut. "Baik, Nona muda. Saya akan menyiapkan keperluan Anda," pamit Tiwi dengan beranjak men
Airina tertegun melihat sebuah cincin berlian menyala dengan indah di hadapannya. Bulir bening itu luruh tanpa aba-aba. Seorang pria yang dulu memintanya menikah kontrak, kini melamarnya dengan sungguh-sungguh. "A-Arsen ... Kamu serius?" tanya Airina lirih. "Aku serius, Airina. Jadi ... apa kamu mau menikah denganku?" Arsen mengulang pertanyaannya pada Airina. "Aku mau!" seru Airina keras. Arsen menyematkan cincin berlian itu pada jari manis Airina. Ke dua pasang mata itu bertemu pada poros yang sama. Sebuah rentangan tangan berbalas dekapan hangat. "Terima kasih banyak, Arsen ..., Aku tidak bisa berkata-kata lagi," ucap Airina terbata. Pelan tangannya mengusap kening istrinya, "Aku sudah berjanji akan menjagamu dengan baik. Kita juga sudah berjanji di hadapan Tuhan untuk tetap bersama, jadi aku tidak akan pernah mengkhianati itu, Sayang," bisik Arsen lembut. tangis itu pecah membasahi pipi ke duanya, beberapa pelayan yang melihat proses itu ikut terharu. Ketulusan Arsen yang t
" Apa kali ini kamu sudah merasa mampu?" celetuk tanya Airina menanggapi ucapan Arsen. "Sudah, aku sudah memiliki usaha yang cukup untuk menghidupimu. Nanti kita beli rumah di Mitleburg ya," dengan mengusap pelan pipi Airina. "Hah?" Airina membeo mendengar ucapan Arsen. Arsen hanya terdiam dengan menatap Airina, perjalanan itu terasa lebih cepat. Dengan membuka pintu mobil Arsen mengulas senyum. "Kita sudah tiba, istriku ...," ucap Arsen dengan mengulurkan tangan kanannya. Airina melongokkan kepalanya sedikit mendongak, menatap manik mata Arsen dengan lekat. Membiarkan pria itu menerima tangan kirinya. Langkah kakinya mengayun lembut masuk ke dalam apartemen. "Kamu sangat manis sekali hari ini, apa yang kamu inginkan, sayang?" tanya Airina lirih. "Aku mau kamu seutuhnya untukku ... apa kamu akan mengabulkannya malam ini?" Alih-alih memberikan jawaban, Arsen asyik membalikkan tanya hingga Airina tergelak. Tingkah laku Arsen berhasil membuatnya terdiam pasi. "Jangan malam ini,
Suara Airina tidak membuat Arsen berhenti mengungkung istrinya. Tangannya sibuk membelai lembut rambut Airina hingga ke area sensitifnya. Malam itu menjadi malam panas yang tidak terkira di antara ke duanya. "Ar-Arsen, berhenti!" seru Airina lirih. Alih-alih mendengarkan Airina, pria yang masih sibuk dengan tubuh mungil istrinya itu mempercepat iramanya. Membuat suara desis nyaring terdengar. " ..., A-Arsen," rintihan Airina terdengar lirih nyaris tercekat. Setibanya di puncak permainan, Arsen hanya bisa mempercepat lajunya. Nafasnya yang mulai terengah-engah, hingga ia mampu melepaskan dirinya. Cup! Sebuah kecupan melayang pada kening Airina. "Terima kasih, Sayang!" bisik Arsen yang kini limbung di samping Airina. Hanya senyum tipis yang bisa Airina berikan, rasa sakit pada sekujur tubuhnya mulai menjalar. Setelah kepergiannya ke Mitleburg beberapa bulan, hingga sengaja menghilang dari Arsen. Membuat tubuhnya kaku! "Selamat tidur, Arsen ...," lirih bisik Airina. Dalam dek
Julie terkesiap sejenak, ia menatap ke arah Airina dengan senyum miring. Matanya berbinar seolah ada kesenangan tersendiri dalam dirinya. "Kamu hamil?" tanya Julie. Semua mata tertuju pada Julie, dengan terkejutnya Airina mendengarkan itu. "I-ibu, salah paham! Maksud ayah dan Arsen itu ... aduh, bagaimana sih ini!" Airina mengambil jeda untuk memberikan penjelasan. "Jadi, Arsen dan ayah membahas ingin memiliki cucu ibu, aku belum hamil!" tambahnya. "Oh begitu, ya tidak apa-apa. Tapi sekarang fokus saja pada resepsi pernikahan kalian yang ada di depan mata!" Kembali Julie mengingatkan tentang resepsi, Airina dan Arsen saling menatap. Pusing ke duanya mengingat resepsi pernikahan yang cukup menguras energinya. "Malam ini kalian menginap di sini 'kan? Ini sudah terlalu larut," tanya Julie dengan menatap jam dinding ruang keluarga. Airina mengangguk pelan. "Bagaimana, Airina?" tanya Arsen. Airina yang merasa namanya di panggil hanya mendongakkan kepalanya. Belum lama ia mengangg
Airina masih terisak dalam dekapan Arsen, ia hanya bisa terdiam. Tangisnya kembali pecah saat dekapan Arsen semakin mengerat dalam tubuhnya. "Ada apa, Airin?" lirih suara Arsen melempar tanya. Usapan pelan pada puncak kepala Airina, lembut dengan senyum yang selalu terulas di wajahnya. "Ada apa, Airina?" kembali kalimat tanya yang sama Arsen ulang. "Gemma masih menggangguku," jawab Airina singkat. Tangan kanan Arsen berhasil mengepal dengan geram. Bisa-bisanya mantan tunangannya itu masih berulah saat ke duanya sudah akan menikah secara resmi. "Wanita gila!" pekik Arsen keras. "Hust, aku tidak tahu apa maksud dia menghubungiku, mungkin dia ingin kita segera berpisah ... Apa mungkin dia tahu kalau ...," Airina dengan ragu-ragu mengatakan setiap kalimat yang terlintas di pikirannya. "Hust, tenangkan dirimu, Airina. Jangan hiraukan orang-orang yang ingin mengganggu hubungan kita," Arsen kembali mendekap istrinya dengan lembut. Perlahan tapi pasti, Airina merasa lebih tenang sete
Airina termangu dengan kalimat yang keluar dari mulut Arsen suaminya. Lelaki yang terbiasa irit tentang berbicara itu, kini berubah menjadi pria yang mampu menasehati Airina. "Arsen, terima kasih sudah mengingatkan aku," ucap Airina lirih. "Sama-sama," Arsen tersenyum. Lama ke duanya berbincang dengan asyik, hingga satu telepon dari Tiwi membuat Airina segera mengangkatnya. Di tengah keramaian Jozy Resto, Airina mencoba mendengar suara Tiwi dengan jelas. "Halo," sapa Airina. "Halo, Nona. Apakah Anda akan segera kembali?" tanya Tiwi dengan sedikit gugup. Airina mulai memutar otak, berpikir apa yang terjadi pada asistennya itu. Alih-alih menjawab pertanyaan Tiwi, Airina malah sibuk dengan pikirannya sendiri. Hingga seruan Tiwi membuatnya kembali sadar. "Nona, saya ingin Anda mencoba gaunnya. Maka dari itu, saya tanya apakah nona akan segera kembali?" jelas Tiwi dengan penuh antusias. "Oh iya, aku sudah selesai makan siang. Mungkin akan segera kembali ke butik," jelas Airina, se
Airina tergelak, matanya perlahan mengerjap berulang kali. Ia sangat terkejut saat menatap ke sekeliling ruangan. Masih di dalam kamar, kejadian singkat yang ia alami tadi hanyalah mimpi belaka. "Syukurlah kamu sudah bangun, Airina. Dari setengah jam lalu ibu membangunkanmu," gerutu Julie lirih. "Maafkan aku, Ibu. Aku masih sangat mengantuk," keluhnya. Julie menatap gusar pada calon pengantin itu, semua jendela yang ada sengaja ia buka. Sorot cahaya matahari yang masih ragu-ragu menampakkan dirinya. "MUA-nya sudah datang, ibu harap kamu sudah sadar untuk di make up," ujar Julie. "Baiklah, aku akan segera mandi terlebih dahulu," ucapnya. Airina melenggang begitu saja ke kamar mandi. Terdengar gemericik air yang mengaliri tubuh Airina. "Selamat pagi, Nona muda. Saya Alea, yang akan membantu make up Anda hari ini," sapa Alea yang sudah di sewa Julie. Namanya pernah digaungkan sebagai Make up artis terbaik tahun ini. Sudah pantas jika Julie memilihnya. "Saya masih tidak percaya b