Degup jantung yang tidak beraturan, matanya tidak henti-hentinya menatap wanita yang kini berdiri di hadapan Arsen. "A- Airina ...," rintihnya lirih. Tubuhnya seperti limbung begitu saja, sebuah kenyataan yang ia tunggu kapan akan terjadi. Langkahnya dengan lemas memaksa berlari. "Airina, kenapa kamu pergi terlalu lama!" hardiknya keras. Arsen yang biasa terlihat kuat dan tidak banyak kata, kini ia hanya bisa memeluk erat tubuh wanita yang ia cintai. Sudah tidak ada waktu baginya untuk menutupi rasa gengsinya. "Kenapa kamu baru kembali sekarang? Ke mana kamu selama ini? Apa yang kamu cari, Airina? Sialnya ...," berondong tanya Arsen tanpa henti. "A ... Aku ...," tidak terucap dengan benar kalimat itu dari mulut Airina. "Stop, jangan katakan apa pun sekarang! Tetaplah di sini, jangan pernah pergi lagi. Aku benar-benar mencintaimu, Airina ...," suara lirih nan lembut itu menembus gendang telinga Airina. Dengan penuh keterkejutan, Airina merasa tubuhnya tidak lagi bertumpuan. Lem
"Maksudmu?" tanya Airina. Ia sempat terhenyak tidak paham dengan kalimat tanya Arsen. Entah maksud apa yang tersirat dari kalimat tanya itu. "Kenapa kita tidak dari dulu saja memulai hubungan dengan serius?" ulang tanya Arsen. Airina mengangguk paham, "Oh ini, iya juga ya. Aku dulu hanya memenuhi permintaanmu sebagai tanda maaf dan rasa kasihan," tutur Airina lirih. "Kasihan?" kalimat tanya menggantung itu berhasil terlontar. "Iya, tapi itu dulu, Arsen. Sekarang sudah berubah ... Apalagi setelah aku diculik dan hidup cukup lama bersamamu," tutur Airina dengan lembut. Pupil matanya melebar saat Arsen menatapnya lekat tanpa jeda. Pria di hadapannya kini hanya berjarak satu jengkal. "Kenapa kamu mendekat seperti itu?" todong tanya Airina keras. "Tidak apa-apa, aku hanya sedang mencari celah pada dirimu ... Bagaimana bisa orang sepertimu tidak ada celanya?" dengan kekehan kecil Arsen mengulas tawa renyah. "Kamu ingin mengatakan apa, Airina?" tanya Arsen lirih. Airina terdiam sej
Airina semakin mendongakkan kepalanya saat Arsen menatapnya dekat lekat. Tubuhnya yang sudah tertindih tubuh kekar Arsen hanya bisa terdiam. “Hust, tidurlah dengan lelap. Besok kita kembali bercerita,” bisik Arsen saat mendekap tubuh Airina. “Tidak ... aku ingin kamu memasak untukku malam ini!” todong Airina tegas. “Ya, baiklah. Aku akan memasak khusus untukmu sayang,” Arsen beranjak dari ranjang dengan menampakkan tubuh yang terbalut kemeja. Tubuh dengan otot kerasnya itu terbungkus rapi yang kini sedikit terbuka. Manik mata Airina yang tidak beralih sama sekali dari fokusnya. “Bahkan kamu masih dengan tatapan canggungmu itu, Airina? Siapa yang kamu tatap saat kamu pergi dari sisiku?” celetuk tanya Arsen secara tiba-tiba. Sontak, manik mata itu menajam, “Tidak ada siapa pun yang aku tatap sedemikian rupa, Arsen. Hanya kau!” hardiknya keras. “Hahaha, aku bercanda, Airina. Siapa tahu ada laki-laki yang mendekatimu selama aku tidak ada di sisimu ...,” ledeknya. “Yoshi menemaniku
Mata Airina berbinar saat membaca pesan yang ditunjukkan Arsen. Sebuah sumber masalah itu telah ditemukan keberadaannya. Tidak ada kata yang mampu keluar dari mulutnya. "Apa yang ingin kamu lakukan pada Albert?" tanya Arsen lirih. "A-aku ... ini benar-benar sebuah jalan keluar. Akhirnya dia tertangkap, aku ingin dia dipenjara. Setelah itu ... aku ingin menemui Shena dan menjelaskan semuanya, Arsen!" serunya dengan tergagap. Buncahan rasa bahagia dalam dadanya tidak bisa dibendung, "Masalah ini menemukan titik terang, terima kasih banyak, Arsen!" ucap Airina dengan memeluk erat tubuh suaminya. "Kamu layak mendapatkan semua ini, perlahan kita perbaiki namamu ya. Aku tidak ingin istriku dikatakan penjahat, padahal jelas-jelas ia adalah wanita terbaik," bisik Arsen dengan senyuman yang merekah pada bibirnya. "Kamu berlebihan, tapi ini memang sebuah kejutan untukku," tutur Airina mengeratkan dekapannya pada Arsen. Lama ke duanya saling merengkuh tubuh masing-masing. Hingga Arsen yang
Arsen menatap nanar ke arah Airina, raut muka wanitanya terlihat sendu. Ada duka yang mendalam dalam hatinya. "Airina, perihal Shena nanti mau memaafkanmu atau tidak, itu sudah hak dia. Terlebih kita sudah membawa bukti," jelas Arsen dengan tutur lembut. "Aku sangat takut, Arsen," ucap Airina lirih. "Dengarkan aku, kita akan menemukan titik terang. Nanti aku akan menginvestasikan sebagian dana untuk panti asuhan itu, tenang saja ya!" ucap Arsen dengan mengoyak tubuh Airina. Airina mendongakkan kepalanya pada Arsen lekat. Dengan penuh keraguan ia menatap lekat manik mata Arsen. "Aku takut!" seru Airina keras. Tangannya menarik Airina dalam dekapan Arsen, dada bidangnya menangkup tubuh ringkih Airina. "Dengarkan aku, akan aku selesaikan semua masalah yang membelenggu hidupmu. Tumpahkan keluhmu padaku, jangan ragu!" bisik Arsen. Selama ia masih menenangkan Airina, Aiser sibuk mempersiapkan diri. Tubuh Albert yang sudah terikat kuat dengan tali di tangannya. "Ayo, Aiser!" ajak Ar
Mata Airina membulat pasi, ia masih tidak menyangka dengan tindakan Arsen secara tiba-tiba. Di depan umum dan di hadapan Yoshi. "A-Arsen, apa kamu mabuk?" tanya Airina lirih. "Tidak, aku hanya tidak ingin orang lain menatapmu penuh cinta. Hanya aku yang berhak akan itu," jawab Arsen dengan menekankan setiap kata yang keluar dari bibirnya. "Iya, sekarang menjauhlah sedikit, Arsen. Aku sangat malu mengaji pusat perhatian banyak orang!" hardik Airina bergidik ngeri. "Hust, aku kan suamimu, Airina. Ayo ...," ajaknya ke sudut cafe yang terlihat kosong. Arsen menarik pinggang Airina untuk berjalan sejajar dengannya. Langkahnya terhenti pada sebuah kursi di sudut cafe. "Aku sangat malu hari ini, bisa-bisanya kamu melakukan itu di depan umum!" seru Airina dengan gerutu kesal. "Jangan mengundang pandangan orang lain, aku tidak suka!" tegas Arsen dengan memberikan tatapan intens. Usai sudah acara makan itu, kini mereka kembali ke Macherie. Menyelesaikan masalah yang masih tersisa, denga
"Stop, Arsen!" pekik Airina saat Arsen mulai sibuk menggelitik pinggangnya. Aron hanya bisa menjadi saksi keduanya asyik tertawa. Perjalanan itu berhenti tepat di depan butik. Suasana butik yang sudah ramai di luar dugaan Airina. "A-Arsen, siapa mereka yang sudah berbondong-bondong itu? apa mereka wartawan?" tanya Airina tergagap. Manik matanya menyibak ke beberapa sudut, benar saja tidak ada celah untuknya masuk ke dalam. Aron hanya bisa menepuk pelan jidatnya. "Sebentar aku coba hubungi Tiwi, bagaimana bisa wartawan berjajar seperti ini tapi tidak ada pemberitahuan!" Airina menggerutu dengan mengetuk beberapa kali pada ponselnya. Sebuah telepon yang sudah tersambung itu sempat hening. "Halo, Nona," sapa Tiwi. "Tiwi, bagaimana bisa banyak wartawan seperti ini? Apa ada berita baru yang menyangkut diriku?" berondong tanya Airina yang sudah kalang kabut. "Tidak ada, hanya ada satu berita menyeruak pagi tadi. Saya lupa mengabari nona perihal itu, emm saya akan mencari cara agar n
Tanpa basa-basi, Tiwi langsung menghubungi Arsen. Mengatakan keadaan Airina yang secara tiba-tiba drop. Dengan bergegas pria itu menanggapi kabar dari Tiwi. "Airina!" teriak Arsen keras. Matanya menatap lekat keadaan istrinya yang hanya menatap kosong. Tidak ada raut ceria dari wajahnya kini. "Bawa aku ke Mitleburg sekarang!" seru Airina tanpa ekspresi. "Sayang, ada apa? katakan padaku apa yang terjadi?" tanya Arsen dengan lembut. Alih-alih mendapatkan jawaban, Airina semakin memberontak padanya. "Arsen, bawa aku ke Mitleburg sekarang! Aku ti-tidak bisa menjelaskannya di sini. Waktu kita tidak banyak," ujarnya dengan tergagap. Isak tangisnya membasahi pipi ranumnya, matanya yang basah dengan tangan mengepal. Pukulan kecil sampai besar menghujam tubuh Arsen keras. "Arsen, bawa aku ke Mitleburg. Aku mohon!" rintihnya keras. "Iya, kita pergi ke Mitleburg sekarang! Tenangkan dirimu dulu ya," ucap Arsen lembut. Kini ia menginstrupsi Tiwi dan Aron, meminta ke duanya untuk mempersi