Tatapannya nanar ke arah Arsen, mulutnya bungkam seribu bahasa. Tidak ada kata bahkan kalimat yang keluar dari sana. Hanya ada keraguan yang bersarang pada hatinya. "Tiwi, katakan padaku di mana Airina?" dengan suara sedikit memekakkan telinga, Arsen mulai frustasi dengan asisten pribadi istrinya. "Tiwi, apa kamu tidak ingin menjawab pertanyaanku?"Sekali lagi Arsen melempar tanya, namun nihil! Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut asisten pribadi Airina. Hanya tersisa kilatan sendu dari tatapan matanya. Arsen berdecih! "Kenapa para wartawan itu tidak kunjung pergi? Apa kamu hanya berniat berdiri di situ, Tiwi?" todong tanya Arsen dengan melempar tatapan tajam. "Saya akan menemui wartawan itu, Tuan muda. Maafkan saya yang tidak bisa mengatakan keberadaan nona muda pada Anda," pungkasnya. "Tiwi, aku tau kamu lebih menuruti ucapan Airina, tapi ini tentang kesehatannya dan ... sudahlah, terserah!" Arsen kehilangan kalimat yang ingin ia ucapkan, setelahnya Tiwi beranjak meningga
Airina hanya menatap nanar ke arah ponsel genggamnya, sudah dipastikan bahwa banyak wartawan datang ke butik. Seperti saat itu, namun Airina yakin Tiwi dan Arsen akan menyelesaikannya dengan baik. "Kak, apa kamu baik-baik saja?" tanya Aily, ia menoleh ke arah Airina dengan tatapan penuh tanya. "Kakak baik-baik saja, Aily. Hanya ada beberapa hal yang sedang menghantui kepalaku." Airina mengulas senyum tipis, ia menatap lekat ke arah Aily saat ini. Helaan nafas panjang itu sudah menggambarkan betapa ia sangat lelah. "Kakak datang sendiri? Ke mana para bodyguard atau kakak ipar?" celetuk tanya Aily dengan lembut.Deg! "Mereka tidak ikut bersamaku, ada urusan lain yang lebih penting ... Jadi, aku pergi sendiri ke Mitleburg," jelas Airina dengan ragu. "Wah, parah sih kakak ipar! Nanti aku harus menghubunginya, bisa-bisanya kakakku pergi jauh sendirian tanpa sopir bahkan pengawal!" Aily mengerucutkan bibirnya sembari menggerutu. Airina sontak menoleh, ia merampas ponsel Aily segera.
[Airina, lihatlah dua karyawanmu. Mereka sedih karena kamu menghilang begitu saja. Katakan padaku, kamu di mana?] Satu pesan yang menguris hati Airina, ia kembali menutup ponsel itu. Helaan nafas panjang dengan sedikit ulasan senyum tipis. "Tiwi, Ratu, maafkan aku yang merepotkan kalian," gumam Airina lirih. Sebuah sentuhan lembut dari Amelia membuat Airina mendongak. "Nak, kapan ibu boleh pulang? Di rumah sakit sangatlah membosankan. Kamu jadi repot di sini, ibu sangat merepotkanmu ya," ucap Amelia lirih, tatapannya sendu seolah malu pada anak sulungnya. "Tidak, Ibu. Ini sudah menjadi tugasku untuk menemani ibu di sini, aku juga tidak merasa kerepotan sama sekali. Yang penting ibu sehat ya!" ucap Airina lembut pada wanita yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. "Ibu malu, Nak. Kamu harus bekerja keras sampai menikah kontrak, sedangkan ibu hanya bisa menjadi bebanmu. Tidak bekerja malah menghabiskan uang tabunganmu untuk biaya pengobatan," tutur lirih dari Amelia yang
Raut wajah Airina dan Aily terlihat sangat kaget, Amelia yang menahan diri untuk tidak berkomentar banyak. Ia hanya mengulas senyum. "Bercanda, hahahaha. Aku sedang ada di kota tadi, kebetulan aku ingat katamu kalau Airina ada di sini. Jadi, aku sekalian mampir," jelas Yoshi dengan kekehan ringan. "Tapi, Airina memang cantik, Yosh. Lihatlah dia yang sekarang, sangat berbeda dengan dia saat kecil. Makan ice cream cemong," celetuk Amelia mengundang tawa Airina dan Aily. "Ibu, jangan membuka kartu seperti itu!"" Airina menggerutu, ia hanya bisa mengulas senyum tipis. Sedangkan Aily sudah mulai meledek kakak sulungnya itu. Sore itu, Amelia di bawa pulang dengan mobil Yoshi, beberapa alat yang harus dibawa sudah tertata rapi di mobil. "Terima kasih ya, Yosh. Aku sangat merepotkanmu hari ini," ucap Airina setibanya di rumah. "Tidak apa-apa, kita satu arah dan aku sudah ada di sana. Mana mungkin aku membiarkan kalian naik taxi untuk pulang," jelas Yoshi Almahera lirih. "Sekali lagi t
Pasca 1 bulan Airina meninggalkan Arsen, kini ia hanya bisa duduk diam di sudut kamar. Menatap lekat langit pagi itu yang cukup cerah. "Aku merindukanmu, Arsen. Tapi ... aku tidak ingin jatuh cinta lebih dalam denganmu," gumamnya. Kilatan mata yang tajam yang membuat Airina teringat jelas raut wajah suami kontraknya. Sialnya ia hanya bisa diam mematung dengan segala kenangan yang ada. Tok tok tok! "Kakak, aku boleh masuk?" suara Aily yang terdengar nyaring di telinga Airina. "Masuk saja, Ai!" seru Airina. Pintu kamar yang terbuka dengan menampakkan sosok adik kandungnya. Raut wajahnya pasi seolah menyimpan kabar atau hal yang mengganjal hatinya. "Ada apa?" singkat kalimat tanya itu keluar dari mulut Airina. Aily terlihat ragu untuk mengucapkan suatu kata, "E ... Kak, ada pesan dari kakak ipar," singkat ucapannya dengan penuh keraguan. "Hm ... Aku sedang tidak ingin berkomunikasi dengannya, katakan saja aku baik-baik saja." Airina terlihat acuh dengan apa yang terjadi saat in
Arsen terbata-bata saat memberikan jawaban pada Julie, tidak ada kalimat yang tepat dalam benaknya. Bahkan ia sedang memikirkan apa alasan yang cukup masuk akal. "Dia kenapa, Arsen? Jangan-jangan sudah terjadi sesuatu padanya?" tuduhan Julie dengan tatapan nyalang dan sangat tajam. "Ti-tidak terjadi apa-apa, sudahlah ... Ibu. Tolong ya, aku akan meeting sore ini. Apa ibu mau aku antar pulang ke rumah?" tanya Arsen dengan lembut. Pria itu kini menggiring ibunya pergi dari kantor, alih-alih merasa senang. Julie malah menatap Arsen dengan penuh kekesalan. "Ibu tidak suka sifat kamu yang seperti ini, selalu saja memaksakan kehendak agar ibu cepat pulang!" serunya dengan ketus. Dari ujung mata, Arsen melirik sedikit ke arah Julie. Hanya ulasan senyum tipis yang sengaja ia sunggingkan. Namun, sebuah cubitan kecil pada pinggang Arsen membuat ia merintih kesakitan. "Ibu, aku bukan anak kecil lagi!" serunya keras. "Karena kamu sudah dewasa, aku tidak lagi menjewermu! Katakan di mana Air
Degup jantung yang tidak beraturan, matanya tidak henti-hentinya menatap wanita yang kini berdiri di hadapan Arsen. "A- Airina ...," rintihnya lirih. Tubuhnya seperti limbung begitu saja, sebuah kenyataan yang ia tunggu kapan akan terjadi. Langkahnya dengan lemas memaksa berlari. "Airina, kenapa kamu pergi terlalu lama!" hardiknya keras. Arsen yang biasa terlihat kuat dan tidak banyak kata, kini ia hanya bisa memeluk erat tubuh wanita yang ia cintai. Sudah tidak ada waktu baginya untuk menutupi rasa gengsinya. "Kenapa kamu baru kembali sekarang? Ke mana kamu selama ini? Apa yang kamu cari, Airina? Sialnya ...," berondong tanya Arsen tanpa henti. "A ... Aku ...," tidak terucap dengan benar kalimat itu dari mulut Airina. "Stop, jangan katakan apa pun sekarang! Tetaplah di sini, jangan pernah pergi lagi. Aku benar-benar mencintaimu, Airina ...," suara lirih nan lembut itu menembus gendang telinga Airina. Dengan penuh keterkejutan, Airina merasa tubuhnya tidak lagi bertumpuan. Lem
"Maksudmu?" tanya Airina. Ia sempat terhenyak tidak paham dengan kalimat tanya Arsen. Entah maksud apa yang tersirat dari kalimat tanya itu. "Kenapa kita tidak dari dulu saja memulai hubungan dengan serius?" ulang tanya Arsen. Airina mengangguk paham, "Oh ini, iya juga ya. Aku dulu hanya memenuhi permintaanmu sebagai tanda maaf dan rasa kasihan," tutur Airina lirih. "Kasihan?" kalimat tanya menggantung itu berhasil terlontar. "Iya, tapi itu dulu, Arsen. Sekarang sudah berubah ... Apalagi setelah aku diculik dan hidup cukup lama bersamamu," tutur Airina dengan lembut. Pupil matanya melebar saat Arsen menatapnya lekat tanpa jeda. Pria di hadapannya kini hanya berjarak satu jengkal. "Kenapa kamu mendekat seperti itu?" todong tanya Airina keras. "Tidak apa-apa, aku hanya sedang mencari celah pada dirimu ... Bagaimana bisa orang sepertimu tidak ada celanya?" dengan kekehan kecil Arsen mengulas tawa renyah. "Kamu ingin mengatakan apa, Airina?" tanya Arsen lirih. Airina terdiam sej