Airina meyakinkan dirinya sendiri, pernikahan kontraknya akan segera segera berakhir. Sudah saatnya ia memberi jarak pada Arsen. "Ya, aku harus segera menjauhinya, agar orang-orang yang berusaha mengusik ketenanganku. Tidak ikut mengusik ketenangan Arsen, dia layak lebih bahagia dengan wanita pilihannya," gumam Airina lirih. Tok tok tok! "Nona, saya Tiwi ijin masuk ke ruangan!" seru Tiwi keras dari luar ruangan. "Masuklah!" Airina hanya menatap ke arah pintu, raut wajah Tiwi terlihat berbeda dari biasanya. Apa yang ia sembunyikan rapat-rapat kali ini. "Ada apa?" tanya Airina tanpa basa-basi. "Sa-saya minta maaf, Nona. Anda bisa melihat ini," Tiwi menyerahkan ponselnya pada Airina. Sontak lemas tubuhnya dibuat membawa berita terbaru dari instagrom lambe dower itu. Sebuah akun dengan berita paling hot sampai paling jadul ada di sana. Nama Airina terpampang jelas dengan judul seorang pemilik butik sekaligus istri Arsen Pinault tidak ikhlas menyumbang pada panti asuhan little hom
Tatapannya nanar ke arah Arsen, mulutnya bungkam seribu bahasa. Tidak ada kata bahkan kalimat yang keluar dari sana. Hanya ada keraguan yang bersarang pada hatinya. "Tiwi, katakan padaku di mana Airina?" dengan suara sedikit memekakkan telinga, Arsen mulai frustasi dengan asisten pribadi istrinya. "Tiwi, apa kamu tidak ingin menjawab pertanyaanku?"Sekali lagi Arsen melempar tanya, namun nihil! Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut asisten pribadi Airina. Hanya tersisa kilatan sendu dari tatapan matanya. Arsen berdecih! "Kenapa para wartawan itu tidak kunjung pergi? Apa kamu hanya berniat berdiri di situ, Tiwi?" todong tanya Arsen dengan melempar tatapan tajam. "Saya akan menemui wartawan itu, Tuan muda. Maafkan saya yang tidak bisa mengatakan keberadaan nona muda pada Anda," pungkasnya. "Tiwi, aku tau kamu lebih menuruti ucapan Airina, tapi ini tentang kesehatannya dan ... sudahlah, terserah!" Arsen kehilangan kalimat yang ingin ia ucapkan, setelahnya Tiwi beranjak meningga
Airina hanya menatap nanar ke arah ponsel genggamnya, sudah dipastikan bahwa banyak wartawan datang ke butik. Seperti saat itu, namun Airina yakin Tiwi dan Arsen akan menyelesaikannya dengan baik. "Kak, apa kamu baik-baik saja?" tanya Aily, ia menoleh ke arah Airina dengan tatapan penuh tanya. "Kakak baik-baik saja, Aily. Hanya ada beberapa hal yang sedang menghantui kepalaku." Airina mengulas senyum tipis, ia menatap lekat ke arah Aily saat ini. Helaan nafas panjang itu sudah menggambarkan betapa ia sangat lelah. "Kakak datang sendiri? Ke mana para bodyguard atau kakak ipar?" celetuk tanya Aily dengan lembut.Deg! "Mereka tidak ikut bersamaku, ada urusan lain yang lebih penting ... Jadi, aku pergi sendiri ke Mitleburg," jelas Airina dengan ragu. "Wah, parah sih kakak ipar! Nanti aku harus menghubunginya, bisa-bisanya kakakku pergi jauh sendirian tanpa sopir bahkan pengawal!" Aily mengerucutkan bibirnya sembari menggerutu. Airina sontak menoleh, ia merampas ponsel Aily segera.
[Airina, lihatlah dua karyawanmu. Mereka sedih karena kamu menghilang begitu saja. Katakan padaku, kamu di mana?] Satu pesan yang menguris hati Airina, ia kembali menutup ponsel itu. Helaan nafas panjang dengan sedikit ulasan senyum tipis. "Tiwi, Ratu, maafkan aku yang merepotkan kalian," gumam Airina lirih. Sebuah sentuhan lembut dari Amelia membuat Airina mendongak. "Nak, kapan ibu boleh pulang? Di rumah sakit sangatlah membosankan. Kamu jadi repot di sini, ibu sangat merepotkanmu ya," ucap Amelia lirih, tatapannya sendu seolah malu pada anak sulungnya. "Tidak, Ibu. Ini sudah menjadi tugasku untuk menemani ibu di sini, aku juga tidak merasa kerepotan sama sekali. Yang penting ibu sehat ya!" ucap Airina lembut pada wanita yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. "Ibu malu, Nak. Kamu harus bekerja keras sampai menikah kontrak, sedangkan ibu hanya bisa menjadi bebanmu. Tidak bekerja malah menghabiskan uang tabunganmu untuk biaya pengobatan," tutur lirih dari Amelia yang
Raut wajah Airina dan Aily terlihat sangat kaget, Amelia yang menahan diri untuk tidak berkomentar banyak. Ia hanya mengulas senyum. "Bercanda, hahahaha. Aku sedang ada di kota tadi, kebetulan aku ingat katamu kalau Airina ada di sini. Jadi, aku sekalian mampir," jelas Yoshi dengan kekehan ringan. "Tapi, Airina memang cantik, Yosh. Lihatlah dia yang sekarang, sangat berbeda dengan dia saat kecil. Makan ice cream cemong," celetuk Amelia mengundang tawa Airina dan Aily. "Ibu, jangan membuka kartu seperti itu!"" Airina menggerutu, ia hanya bisa mengulas senyum tipis. Sedangkan Aily sudah mulai meledek kakak sulungnya itu. Sore itu, Amelia di bawa pulang dengan mobil Yoshi, beberapa alat yang harus dibawa sudah tertata rapi di mobil. "Terima kasih ya, Yosh. Aku sangat merepotkanmu hari ini," ucap Airina setibanya di rumah. "Tidak apa-apa, kita satu arah dan aku sudah ada di sana. Mana mungkin aku membiarkan kalian naik taxi untuk pulang," jelas Yoshi Almahera lirih. "Sekali lagi t
Pasca 1 bulan Airina meninggalkan Arsen, kini ia hanya bisa duduk diam di sudut kamar. Menatap lekat langit pagi itu yang cukup cerah. "Aku merindukanmu, Arsen. Tapi ... aku tidak ingin jatuh cinta lebih dalam denganmu," gumamnya. Kilatan mata yang tajam yang membuat Airina teringat jelas raut wajah suami kontraknya. Sialnya ia hanya bisa diam mematung dengan segala kenangan yang ada. Tok tok tok! "Kakak, aku boleh masuk?" suara Aily yang terdengar nyaring di telinga Airina. "Masuk saja, Ai!" seru Airina. Pintu kamar yang terbuka dengan menampakkan sosok adik kandungnya. Raut wajahnya pasi seolah menyimpan kabar atau hal yang mengganjal hatinya. "Ada apa?" singkat kalimat tanya itu keluar dari mulut Airina. Aily terlihat ragu untuk mengucapkan suatu kata, "E ... Kak, ada pesan dari kakak ipar," singkat ucapannya dengan penuh keraguan. "Hm ... Aku sedang tidak ingin berkomunikasi dengannya, katakan saja aku baik-baik saja." Airina terlihat acuh dengan apa yang terjadi saat in
Arsen terbata-bata saat memberikan jawaban pada Julie, tidak ada kalimat yang tepat dalam benaknya. Bahkan ia sedang memikirkan apa alasan yang cukup masuk akal. "Dia kenapa, Arsen? Jangan-jangan sudah terjadi sesuatu padanya?" tuduhan Julie dengan tatapan nyalang dan sangat tajam. "Ti-tidak terjadi apa-apa, sudahlah ... Ibu. Tolong ya, aku akan meeting sore ini. Apa ibu mau aku antar pulang ke rumah?" tanya Arsen dengan lembut. Pria itu kini menggiring ibunya pergi dari kantor, alih-alih merasa senang. Julie malah menatap Arsen dengan penuh kekesalan. "Ibu tidak suka sifat kamu yang seperti ini, selalu saja memaksakan kehendak agar ibu cepat pulang!" serunya dengan ketus. Dari ujung mata, Arsen melirik sedikit ke arah Julie. Hanya ulasan senyum tipis yang sengaja ia sunggingkan. Namun, sebuah cubitan kecil pada pinggang Arsen membuat ia merintih kesakitan. "Ibu, aku bukan anak kecil lagi!" serunya keras. "Karena kamu sudah dewasa, aku tidak lagi menjewermu! Katakan di mana Air
Degup jantung yang tidak beraturan, matanya tidak henti-hentinya menatap wanita yang kini berdiri di hadapan Arsen. "A- Airina ...," rintihnya lirih. Tubuhnya seperti limbung begitu saja, sebuah kenyataan yang ia tunggu kapan akan terjadi. Langkahnya dengan lemas memaksa berlari. "Airina, kenapa kamu pergi terlalu lama!" hardiknya keras. Arsen yang biasa terlihat kuat dan tidak banyak kata, kini ia hanya bisa memeluk erat tubuh wanita yang ia cintai. Sudah tidak ada waktu baginya untuk menutupi rasa gengsinya. "Kenapa kamu baru kembali sekarang? Ke mana kamu selama ini? Apa yang kamu cari, Airina? Sialnya ...," berondong tanya Arsen tanpa henti. "A ... Aku ...," tidak terucap dengan benar kalimat itu dari mulut Airina. "Stop, jangan katakan apa pun sekarang! Tetaplah di sini, jangan pernah pergi lagi. Aku benar-benar mencintaimu, Airina ...," suara lirih nan lembut itu menembus gendang telinga Airina. Dengan penuh keterkejutan, Airina merasa tubuhnya tidak lagi bertumpuan. Lem
"Tera Fillmoore Pinault!" seru seorang pria dengan tubuh tinggi dengan jas yang melekat pada tubuhnya. "Om Yoshi!" seru Tera. "Happy wedding ya, Om, Aunty!" ucap Tera dengan senyum ramah. Pagi itu, Tera dan Tora diminta menjadi Bridesmaids dan Groomsmen di acara pernikahan Aily dan Yoshi. Di tepi pantai Medoza, ke duanya resmi menikah. Airina dan Arsen hanya mengulas senyum tipis, tatkala sepasang pengantin itu terlihat bahagia di atas pelaminan. "Cie, udah nggak jomblo nih!" ledek Airina. "Diam!" seru Yoshi. Gelak tawa terdengar nyaring, acara pernikahan yang diadakan dengan sederhana. Membuat suasana intimade wedding itu kian kental terasa. "Curang sekali kamu, Yosh. Bisa-bisanya menikahi adikku sendiri," ucap Airina. Ia yang sedari tadi menahan air mata, kini ia benar-benar menumpahkannya di dada Arsen. Usapan pelan pada pundak Airina, membuat ia air matanya semakin pecah. "Aku hanya ingin melindungi adik sekaligus istriku ini, Airin. Lagi pula, kamu sudah mengenal aku c
Aily dan Yoshi saling melempar senyuman tipis. "Aku ingin melamar adikmu, Airin," ucap Yoshi lembut. DegJantung Airina seperti berhenti berdetak sepersekian detik, kaget dan campur aduk. Di hadapan keluarga Arsen, Yoshi dengan entengnya mengatakan kalimat itu tanpa ragu. "Yosh ...? Kamu serius?" tanya Arsen lirih. Yoshi menganggukkan kepalanya membenarkan ucapannya. Membuat Airina dan Arsen semakin terdiam kaku. "Entah restu seperti apa yang harus aku berikan padamu, Yosh. Tapi ... Aku tidak bisa memaksa adikku untuk mengikuti jejakku, aku membiarkan adikku memilih jalannya sendiri. Jadi, apa pun yang diinginkan Aily, aku setuju," tutur Airina lembut. Aily berseru dengan bahagia, setelah selesai pendidikannya. Ia berniat melanjutkan kuliah terlebih dahulu. "Terima kasih, Kak!" Aily memeluk erat tubuh Airina. Malam tahun baru itu membawa rona bahagia pada semuanya. Airina dan Arsen yang cintanya semakin kuat, dalam dekapannya Tora dan Tera tersenyum menggelitik. **** 5 tahu
"Arsen ...," Julie mengoyak tubuh anak laki-lakinya, teriakannya cukup keras. Membuat ia yang duduk di ruang tunggu mampu mendengar suaranya. Lama Arsen hanya mengubah posisi tidurnya, entah apa yang ia rasakan di alam mimpi. "Arsen!" gertak Julie. "Arghhh!" Matanya menyipit sebelum benar-benar sadar dari tidur singkatnya. Matanya mengerjap perlahan. "Ibu ... bagaimana bisa ibu ada di sini?" tanya Arsen dengan tergagap. "Kamu mimpi apa? Sangat berisik, ibu takut Airina terganggu," tanya Julie. "Rasanya aku tidak bermimpi, namun ada sesuatu yang mengganjal dalam tubuhku. Maaf ibu," Arsen mengacak rambutnya kasar. "Sudah tidak apa-apa, tenangkan dirimu sebelum kembali tidur. Kasihan Airina jika terganggu," peringat Julie. Arsen akhirnya melangkahkan kakinya ke luar ruang inap, sekilas ia melihat anak kembarnya di ruang bayi. Ia hampir lengah dengan penjagaan di sana. "Aron, panggilkan beberapa orang untuk menjaga ruang bayi!" titahnya. Setelahnya, Arsen hanya duduk di kursi
Mata itu perlahan mengerjap hingga sepenuhnya ia mampu menatap sekeliling ruangan. Dengan nuansa biru lautnya, ruangan yang terlihat luas hanya menyisakan dirinya dan Arsen. Dengan perlahan matanya terbuka dengan lebar, ia mengerjapkan matanya berulang. Pukul 10 malam, setelah pagi hari ia berjuang untuk nyawa dua bayi. Kini, ia kembali siuman setelah tertidur entah berapa lama. "A-Arsen," lirih suaranya samar memanggil nama Arsen di sampingnya. Pria itu menundukkan kepalanya dalam, seolah tidak memiliki harapan besar atas istrinya. Setelah mendengar suara tangisan ke dua kalinya, ia tidak lagi ingat apa yang terjadi padanya. "Airin, kamu sudah siuman? A-aku akan memanggil dokter segera!" ucapnya terbata. Arsen berusaha berlari menuju pintu, namun tangannya tercekal. Airina menahan pergelangan tangan Arsen dengan kuat. "Jangan pergi dulu, bagaimana kabar anak kita?" tanya Airina lirih. "Anak kita sehat, Airina. Dia ada di ruang bayi, kalau kamu sudah sepenuhnya pulih. Kita ak
"Hah?" beo Airina kebingungan. "Kamu tahu dari mana?" tanya Airina pada adik bungsunya. Tatapan mata yang lekat pada adiknya itu menyelidik. Bahkan ia terlihat sudah tahu bagaimana ceritanya kejadian itu terjadi pada kakaknya. "Bu Julie cerita ke aku, Kak. Awalnya aku juga tidak percaya, tapi setahuku memang Nona Gemma tidak pernah menyukaimu 'kan?" tutur Aily lirih. "Aily, kamu tidak perlu sampai seperti itu. Tidak perlu membenci orang lain seperti itu, Aily. Lihatlah kakak baik-baik saja loh," ucap Airina dengan menatap lembut adik bungsunya. "Kakak memang baik-baik saja, jika Kakak tidak baik setelah kejadian itu. Apa kakak bisa mengatakan kalimat barusan?" tanya Aily dengan menekan kalimat demi kalimatnya. Deg! Sifat ke duanya sangat bertolak belakang. Aily membiarkan Airina sibuk dengan pikirannya, ia beranjak meninggalkan ruang tamu. "Aku mau istirahat dulu, Kak. Lelah sekali perjalanan hari ini," keluhnya. Airina hanya bisa melihat adiknya melenggang begitu saja. Hanya
Arsen terperanjat, ia dengan sigap menopang tubuh Airina agar tidak terjatuh. Sayup-sayup Anne berlari dari lawan arah. Membantu Arsen menopang tubuh Airina, tanpa sadar itu adalah salah Anne. Akhirnya, dengan degup jantung yang tidak beraturan, Airina masih selamat. "Terima kasih, Arsen, Anne," lirih ucap Airina. Dengan perasaan penuh kekalutan, Airina memilih duduk di sofa. Membiarkan jantungnya berdegup normal kembali. Dengan segelas air putih ia berusaha menetralkan dirinya sendiri meski cukup sulit. Ada ketakutan dalam dirinya yang cukup kuat. "Anne, bagaimana bisa kamu mengepel dan masih sangat basah seperti itu?" tanya Arsen dengan nada yang cukup keras. Sedangkan pembantunya hanya bisa diam dengan menatap lantai di hadapannya. "Maafkan saya, Tuan. Saya tadi sempat mengambil air bersih, karena mema-" ucapannya terhenti. Arsen tidak lagi mengomel, ia berjalan mendekati Airina. Ia memastikan keadaan istrinya baik-baik saja. "Jangan marah pada Anne, itu akan membuatnya t
Arsen dengan segera memeluk erat tubuh Airina, meredakan setiap kepanikan dan ketakutan dalam dirinya. Tidak ingin membiarkan istrinya begitu kalut dalam rasa takutnya. "Hust, sudah, itu tidak akan terjadi, Airina. Aku ada di sini menemanimu," ucap Arsen. Ia mengecup beberapa kali kening Airina tanpa ragu. Membiarkan istrinya itu lebih tenang dengan adanya dirinya. Tidak berselang lama, Julie masuk dalam ruang inap. Raut wajah paniknya sesaat sudah berubah dengan rasa lega. "Sayang, kamu sudah siuman. Bagaiaman keadaan tubuhmu?" tanya Julie lirih. "Aku baik, Ibu. Rasanya juga sudah lebih baik daripada tadi saat aku jatuh. Ibu ... Maaf sekali aku lalai," ucap Airina lirih. Rasa bersalah dalam dirinya seolah membuat Airina tertekan. Tidak nyaman dengan apa yang terjadi dengan dirinya sendiri. "Airina, kamu selamat saja ibu sudah senang. Tidak perlu mengatakan itu, kamu mau minta maaf atas apa? Gara-gara ada seseorang menabrakmu sampai jatuh? Tidak-tidak, kamu tidak salah dalam ha
Dokter terlihat kalut dengan keadaan pasiennya, Arsen sudah pasrah. Mulutnya hanya bisa merapal doa agar istrinya baik-baik saja. "Dokter, katakan bagaiaman keadaan menantu saya?" tanya Julie dengan tatapan tajam. Dengan berat hati dokter membuka suara, dengan bergetar suara itu terdengar. Setiap kalimat yang ia utarakan seolah akan membuat semua anggota keluarga tercengang. "Sebelumnya saya meminta maaf, awalnya saya tidak yakin Nona Airina akan melalui masa kritis ini. Sempat terjadi pendarahan yang cukup menegangkan," jelasnya. Arsen dan Julie saling menatap, wajahnya mulai pucat tidak siap dengan apa yang akan di utarakan dokter. "Lalu, Dok?" Arsen menggantungkan tanyanya. Helaan nafas cukup panjang diambil begitu saja oleh dokter, "Saya sempat terkejut saat Nona Airina dan bayi dalam kandungannya berhasil melewati masa kritisnya. Sekarang biarkan ia istirahat terlebih dahulu," tambah dokter. Julie memeluk erat tubuh Arsen, dengan perasaan campur aduk. Akhirnya ia dan anak
Namun, bagi Airina itu masih kurang sedikit. Ya, selera ke duanya memang cukup berbeda, maka dari itu rasanya Airina ingin menambahkan sedikit diantara kata itu. Masih diam dengan isi kepalanya, Arsen mulai menatapnya lekat tanpa celah. "Apa kamu tidak suka dengan nama itu?" tanya Arsen dengan tatapan penuh tanya. "Bu-bukan tidak suka, bagiku itu masih kurang sedikit. Nanti bisa kita pikirkan ya," elak Airina dengan senyum manis di bibirnya. Kini mereka sudah kembali sibuk dengan urusannya masing-masing. Bergelut dengan isi kepalanya yang mulai bersahutan, salah dengan banyaknya ide dan nama yang harus diberikan. Ini anak pertama Airina dan Arsen, jadi akan menjadi sebuah hal baru bagi ke duanya. "Sudah, tidak perlu dipikirkan. Nanti bisa kita diskusikan lagi, Airina." Arsen kini menatap istrinya lekat, menunjukkan padanya bahwa mereka sudah tiba di mall terbesar di Macherie. Agatto Mall yang ada di pusat kota Macherie. Langkah ke duanya pelan memasuki mall. Dengan tangan ya